"Bapak bekerja di mana?", begitu kira-kira pertanyaannya seandainya bertemu teman lama. Terus terang saya bingung menjawabnya. Mengapa? Sejak tidak aktif lagi bekerja di perusahaan migas, saya justru lebih sibuk bekerja. Tetapi kali ini saya memilih sendiri untuk mengerjakan hanya hal-hal yang saya sukai saja. Ternyata ini mengasyikkan. Sampai suatu ketika saya sadar waktuku di dunia ini sudah tidak banyak lagi. Bahkan puteri kesayanganku satu-satunya telah mendahuluiku.
Sebagai seorang yang beriman, saya sangat yakin bahwa segala sesuatu yang pernah saya miliki pasti akan dimintai pertanggung-jawaban oleh Allah Swt. Apakah saya siap? Apakah saya yakin telah menggunakan semua titipan Nya sesuai dengan kehendak Allah Swt? Rasanya belum. Saya harus lebih meningkatkan amal-amal soleh dan menanam amal jariyah lebih banyak lagi. Apakah masih bisa? Dulu ketika masih bekerja di perusahaan migas, tidak masalah sumbang sana-sini, bersedekah dll, karena ada gaji yang masih bisa diharap mengalir setiap bulannya. Tetapi sekarang semua sudah tidak sama lagi. Negative cash flow kata pebisnis. Tabungan masih ada. Tetapi tanpa ada pemasukan, lambat laun kemampuan bersedekah pasti berkurang. Melamar kerja lagi? Rasanya sudah tidak pantas lagi. Biarlah kesempatan itu digunakan oleh mereka yang lebih muda. Lagi pula, apa mungkin kesempatan itu masih ada? Satu-satunya pilihan adalah melamar menjadi "karyawan Allah". Tetapi bagaimana caranya? Sebagaimana kaum millenial kalau mencari solusi ke mbah gugel, sayapun mencarinya di sana. Ternyata sudah ada yang menulis artikel tentang menjadi karyawan Allah. Menurut penulisnya, Jamil Azzaini makna menjadi karyawan Allah Swt adalah bahwa apapun yang kita lakukan hanya untuk-Nya, mengikuti aturan-Nya, meninggalkan larangan-Nya. Tugas utama kita adalah “mencari muka” atau mencari perhatian Allah Swt. Jamil Azzaini dalam artikelnya itu mengaku masih "magang menjadi karyawan Allah Swt", tetapi dia sudah merasakan berbagai keajaiban. Pertama, bisnisnya jadi untung meskipun dalam masa pandemi covid 19. Baginya, bisnis bukan semata profesional tetapi juga spiritual sehingga dia mengembangkan mindset untuk mempersembahkan proses, cara dan hasil terbaik untuk Allah Swt. Kedua, mendapatkan ide, gagasan ketika sedang mentok dan bingung melalui orang-orang hebat dan pilihan yang tiba-tiba datang memberikan berbagai solusi, kemudahan dan keajaiban yang terkadang membuatnya menangis terharu. Ketiga, mendapatkan ketenangan dan kebahagiaan dalam menjalankan berbagai peran sebagai pebisnis, inspirator, pengkader orang, kepala rumah tangga, dan peran-peran lainnya. Kalau begitu teman-teman bekerja sebagai karyawan di perusahaan, bisa juga sekaligus menjadi "karyawan Allah"? Tentu saja, asalkan di tempat itu teman-teman bisa mengerjakan tugas dan tanggung-jawabnya sesuai dengan keridoan Allah. Terkadang, kebijakan perusahaan tidak sejalan dengan jalan Allah. Jika demikian tentu sulit kita untuk menjadi karyawan Allah dalam waktu bersamaan. Bekerja wirausaha dalam hal ini lebih tepat karena segala kebijakan kitalah yang menentukan agar selalu sejalan dengan apa yang dikehendaki Allah Swt. Mari melamar untuk menjadi karyawan Allah Swt atau magang menjadi karyawan Allah Swt sehingga suatu ketika kita benar-benar diangkat menjadi karyawan Allah. Jika kita telah menjadi karyawan Allah Swt maka semua kebutuhan kita akan dipenuhi, pengembangan diri kita akan ditopang, berbagai kesulitan hidup kita akan dipermudah, berbagai solusi dan ide datang silih berganti, tiada henti. Berani menjadi karyawan Allah? Siapa takut. Tangerang Selatan, 29 Maret, 2022, Helfia Nil Chalis Komisaris PT Aplus Ponjen Emas
0 Comments
Dalam perjalanan Isra’ ini Nabi ﷺ mengendarai Buraq, seekor hewan berwarna putih yang lebih besar daripada keledai tapi lebih kecil daripada baghal (persilangan antara kuda dan keledai). Ibnu Hajar al-Asqalani meriwayatkan bahwa Buraq ini mempunyai dua sayap.
Oleh: Dr Budi Handrianto (dikutip dari Hidayatullah.com) TANGGAL 27 Rajab kita kenal sebagai Peringatan Hari Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad ﷺ. Dulu di masjid-masjid sering ada PHBI, Peringatan Hari Besar Islam Isra’ Mi’raj. Ada perayaan, ada ceramah, ada syiar Islam. Entah mengapa sekarang jarang ada PBHI di masjid-masjid terutama di kota. Kita jadi kurang menyelami makna hari besar tersebut dan gaung syiarnya menjadi tidak ada. Mungkin karena ada sebagian yang membid’ahkan sehingga orang jadi “takut” melakukannya. Sebenarnya selain peristiwa Isra’ Mi’raj yang terjadi pada tanggal 27 Rajab tahun ke-11 kenabian, ada dua peristiwa penting lain yang terjadi pada tanggal 27 Rajab, yaitu direbutnya kembali Baitul Maqdis dari Tentara Salib Eropa setelah selama 70 tahun berada di bawah kekuasaan mereka dan umat Islam di sana mengalami penindasan. Pembebasan ini dilakukan orang tentara Islam yang dipimpin oleh Shalahuddin al-Ayubi. Peristiwa pembebasan Baitul Maqdis terjadi pada tanggal 27 Rajab 583 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Oktober 1187 M. Peristiwa berikutnya adalah berakhirnya imperium Turki Utsmani yang sudah berjaya lebih dari 600 tahun di tangan Mustafa Kemal dan berganti menjadi Republik Sekuler Turki. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 27 Rajab 1342 H atau 3 Maret 1924 M. Tapi dua peristiwa ini tidak hendak kita bahas. Isra’ Mi’raj merupakan gabungan dua kata Isra’ dan Mi’raj. Isra’, sebagaimana diterangkan di dalam QS al-Isra’ ayat 1, adalah perjalanan malam hari yang dilakukan oleh Nabi Muhammad ﷺ -di mana tentu Allahlah yang memperjalankan beliau ﷺ, dari Masjidil Haram di Makkah ke Masjidil Aqsha di Palestina, yang kalau ditarik garis lurus sepanjang 1.350 km. Dalam perjalanan Isra’ ini Nabi ﷺ mengendarai Buraq, seekor hewan berwarna putih yang lebih besar daripada keledai tapi lebih kecil daripada baghal (persilangan antara kuda dan keledai). Ibnu Hajar al-Asqalani meriwayatkan bahwa Buraq ini mempunyai dua sayap. Dalam sebuah hadits shahih riwayat Bukhari Muslim disebutkan bahwa bila Buraq ini meletakkan kaki depannya maka jaraknya sejauh ujung pandangan mata. Nabi ﷺ memakai Buraq hanya untuk perjalanan Isra’ saja. Sedangkan Mi’raj menurut hadist riwayat Muslim Nabi ﷺ diapit tangannya oleh Malaikat Jibril dan dibawa ke langit melalui mi’raj. Mi’raj atau jamaknya ma’arij merupakan mish’ad/thariq ilas sama’, jalan menuju langit. Dalam QS Al-Ma’arij ayat 4 disebutkan para malaikat termasuk Malaikat Jibril naik (menghadap) Tuhan dalam sehari yang kadarnya lima puluh ribu tahun. Nabi ﷺ dibawa oleh Jibril menembus langit pertama, kedua hingga ke tujuh. Kemudian ketika sampai Sidratul Muntaha, sebuah pohon yang luar biasa besar dan sangat indah -di sebelahnya ada surga, malaikat Jibril berhenti mengantar Nabi ﷺ dan kemudian beliau sendiri langsung menghadap Allah untuk menerima perintah shalat 5 waktu, sebagaimana yang sekarang kita kerjakan. Peristiwa Isra’ Mi’raj merupakan mukjizat Nabi ﷺ di antara mukjizat-mukjizat yang lainnya. Mukjizat merupakan khawariqul adat, sesuatu yang menyimpang dari kebiasaan. Seperti tongkat Nabi Musa dilempar bisa menjadi ular dan membelah laut. Padahal tongkat pada umumnya tidak bisa menjadi ular dan membelah laut. Maka, mukjizat ini merupakan ranah untuk kita imani, kita yakini kebenarannya. Dari mana kita mendapatkan kebenaran tersebut? Tentu dari wahyu yang kebenarannya 100% kita yakini. Dan atas kebenaran wahyu kita sam’na wa atha’na, kami mendengar dan kami taat. Mukjizat sendiri fungsinya memperkuat iman dan membuang keragu-raguan. Maka, orang yang mendengar peristiwa Isra’ Mi’raj waktu itu dan imannya masih lemah, ada yang berbalik menjadi kafir (murtad). Dalam Islam, kebenaran wahyu sudah final. Kita tidak perlu lagi mencari kebenaran karena kebenaran sudah kita dapat. Beda dengan manusia Barat yang “senantiasa mencari kebenaran”. Yang kita lakukan kemudian adalah menafsirkan atau menguraikan kebenaran yang ada di dalam wahyu tersebut. Dari uraian tersebut kita ambil hikmah yang terkandung di dalamnya agar kita makin mantap dalam menyakini kebenaran tersebut. Demikian pula dengan peristiwa Isra’ Mi’raj. Sains adalah penjelasan terhadap fenomena alam (description of nature). Dalam filsafat sains modern (Barat) sumber sains yang diakui (channel of knowledge) hanyalah akal (ratio) dan panca indra (empiris). Maka, sesuatu dikatakan saintifik (ilmiah) apabila dapat diindra atau dapat dibuktikan secara empirs serta masuk akal (rational). Jika syarat sesuatu itu saintifik didasarkan pada dua sumber tersebut, maka pertanyaan: di mana letak dimensi saintifik peristiwa Isra’ Mi’raj? Jawabnya: Tidak ada. Sehingga kita pun tidak perlu mencari-cari segi ilmiah dari peristiwa tersebut. Jika mata bisa melihat suatu benda karena memerlukan cahaya, maka mata hati ketika melihat kebenaran memerlukan cahaya kebenaran, yaitu wahyu. Jika kita ingin bisa mengetahui peristiwa Isra’ Mi’raj secara jelas seperti kita melihat benda yang bercahaya, maka rujuklah ke wahyu, bukan ke dunia sains, sungguhpun dunia sains sekarang ini sudah sangat maju. Dalam filsafat ilmu Islam, selain mengakui kebenaran empiris dan rasio, sains Islam juga mengakui satu (atau dua) sumber lagi yaitu khabar shadiq (true reports, kabar yang benar) yaitu wahyu dan keterangan orang yang memiliki otoritas. Satu lagi, kalau mau ditambahkan, intuisi (ilham). Jadi channel of knowledge dalam Islam ada 4: akal, panca indra, khabar shadiq (termasuk wahyu di dalamnya) dan intuisi. Kita boleh-boleh saja memakai penjelasan saintifik (rasio dan empiris) untuk membantu memahami wahyu, seperti salah satu corak tafsir yang sekarang ini berkembang yaitu tafsir bil-ilmi (I’jazul ilmi). Misal, dahulu kaum muslimin mempercayai begitu saja keterangan perjalanan Isra’ Nabi ﷺ yang dapat waktu kurang dari semalam menempuh perjalanan ke Baitul Maqdis sepanjang 1.350 km yang kalau ditempuh dengan perjalanan mengendarai unta bisa 2 bulan. Tapi sekarang dengan adanya pesawat terbang, kita bisa memberikan gambaran seekor semut yang nempel di tubuh seseorang yang naik pesawat, katakanlah, Jakarta ke Makasar di pagi hari, lalu sore balik lagi Makasar Jakarta. Ketika si semut menceritakan pengalamannya hari itu bolak-balik ke Makasar tentu teman-temannya banyak tidak percaya. Namun kita tahu itu mungkin saja terjadi. Capaian teknologi pesawat terbang, bahkan sekarang ada pesawat supersonik yang berkecepatan suara, membantu menafsirkan peristiwa Isra’ Nabi ﷺ. Namun untuk peristiwa Mi’raj sampai sekarang akal kita belum bisa menjangkaunya. Jika perjalanan Mi’raj menggunakan kecepatan cahaya saja dalam waktu semalaman, menurut Prof Fahmi Amhar sebagaimana dikutip kawan saya Ustadz Syukron Ma’mun, perjalanan baru sampai Planet Jupiter, belum keluar dari tata surya kita, belum keluar dari galaksi Bima Sakti atau Super Cluster Laniakea tempat kita berada. Kita tidak/belum tahu ukuran kecepatan di atas kecepatan cahaya. Bahkan, ketika kita bisa memberikan contoh dengan si semut naik pesawat, kita pun belum bisa “merasionalkan” Buraq yang dikendarai Nabi ﷺ. Maka, yang patut kita lakukan adalah sami’na wa atha’na. Tidak perlu “memperkosa” ayat/dalil untuk menyelaraskan dengan sains modern atau “mengarang” cerita sains untuk membodohi orang awam. Intinya, peristiwa Isra’ Mi’raj tidak bisa didekati dengan sains modern jika hanya menggunakan rasio dan panca indra, baik langsung maupun menggunakan alat canggih. Tapi dengan sains Islam, di mana sumber khabar shadiq merupakan salah satu sumber ilmu yang sah, peristiwa tersebut bisa masuk di dalam hati sanubari kita. Sekali lagi, kalau mata bisa melihat benda karena pancaran cahaya, mata hati pun akan melihat kebenaran dengan cahaya wahyu. Wallahu a’lam. Penulis pengajar di UIKA Bogor dan peneliti INSISTS |
ISLAM
Cari artikel? Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini. Kebenaran Quran dan Ajaran IslamMenyampaikan bukti-bukti kebenaran Quran dan ajaran Islam melalui tulisan dan pengakuan ahli ilmu pengetahuan dunia yang diambil dari berbagai sumber.
Archives
July 2024
Categories
All
kirim pesan [email protected]
|