Surat Thohaa
Akan tetapi, Umar tidak bisa melawan rasa sayang kepada adiknya. Amarahnya padam seperti api terguyur hujan. Ia duduk, diam dalam penyesalan. Ditatapnya wajah adiknya dalam-dalam, disesalinya luka akibat tamparannya tadi. "Perlihatkan lembaran-lembaran tadi yang kalian baca agar aku tahu apa yang Muhammad bawa," pinta Umar. "Kami khawatir engkau merampas lembaran-lembaran itu." "Tidak perlu takut, perlihatkanlah. Aku bersumpah akan mengembalikannya." Saat itu, timbul harapan di hati Fatimah agar kakaknya memeluk Islam. "Kakak engkau adalah penyembah berhala, karena itu engkau kotor. Sesungguhnya, lembaran ini tidak boleh disentuh kecuali orang yang suci." Tanpa berkata lagi, Umar berdiri lalu mandi. Setelah itu ia kembali dan membaca lembaran-lembaran yang berisi surat Thohaa. طه Thaahaa. مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَىٰ Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah; إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَىٰ tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah), تَنْزِيلًا مِمَّنْ خَلَقَ الْأَرْضَ وَالسَّمٰوٰتِ الْعُلَى yaitu diturunkan dari Allah yang menciptakan bumi dan langit yang tinggi. الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ (Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ´Arsy. لَهُ مَا فِي السَّمٰوٰتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ وَمَا بَيْنَهُمَا وَمَا تَحْتَ الثَّرَىٰ Kepunyaan-Nya-lah semua yang ada di langit, semua yang di bumi, semua yang di antara keduanya dan semua yang di bawah tanah. وَإِنْ تَجْهَرْ بِالْقَوْلِ فَإِنَّهُ يَعْلَمُ السِّرَّ وَأَخْفَى Dan jika kamu mengeraskan ucapanmu, maka sesungguhnya Dia mengetahui rahasia dan yang lebih tersembunyi. اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ Dialah Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang baik), ............ Umar terus membaca sebagian besar lembaran-lembaran tadi, lalu berhenti. Tangannya terkulai. Matanya sayu. Dikembalikannya lembaran-lembaran tadi ke tangan Fatimah. Dengan rasa heran dan penuh harap, Fatimah memerhatikan wajah kakaknya. Kemudian di dengarnya Umar mendesah. "Alangkah bagus dan agung kata-kata ini." Seolah mendadak matahari yang terang benderang muncul dari balik awan. Khattab bin Al Arat segera keluar dari persembunyiannya. "Wahai Umar!" serunya meluap-luap, "aku sungguh berharap mudah-mudahan Allah mengistimewakan dirimu. Kemarin kudengar Rasulullah berdoa, "Ya Allah! kuatkanlah Islam dari dua Umar, Abu Jahal bin 'Amr bin Hisyam atau Umar bin Khattab!" Mendengar itu, Umar segera bangkit dan bergegas menuju Darul Arqam. Namun, tangannya masih menghunus pedang dan wajahnya seperti singa padang pasir yang siap bertarung. Keislaman Umar bin Khattab Berdentum-dentum pintu Darul Arqam diketuk Umar. Sebelum membuka pintu, seorang sahabat mengintip keluar dan terkejut, seperti baru mengalami mimpi buruk. "Pengetuk pintu adalah Umar bin Khattab!" desisnya panik kepada Rasulullah dan orang-orang di dalam, "Dia datang dengan pedang terhunus!" Hamzah bin Abdul Muthalib berdiri dan berkata tenang. "Biarkan saja dia masuk. Jika dia datang dengan maksud baik, kita sambut dengan baik. Namun, jika dia datang dengan maksud jahat, kita bunuh saja dia dengan pedangnya". Setelah berkata begitu, tangan Hamzah bergerak meraba gagang pedangnya. Suasana tambah mencekam ketika pintu dibuka. Namun, Umar tidak juga masuk, ia tetap berdiri dengan sikap garang di depan pintu. Melihat itu, Rasulullah pun berdiri dan berjalan cepat menghampiri Umar. Dengan kecepatan yang bahkan tidak terduga oleh Umar sendiri, tangan Rasulullah yang mulia bergerak dan mencengkeram leher baju Umar dengan kuat. Dengan suara tegas yang tidak bisa dibantah, Rasulullah berkata, "Wahai Umar! Dengan maksud apa engkau datang? Demi Allah, aku tidak akan melihat engkau berhenti dengan sikap dan tindakanmu terhadap kami hingga Allah menurunkan bencana untukmu". Kerongkongan Umar tersekat karena begitu terkejut. Kesombongannya runtuh, bahkan rasa takut menguasai dirinya. Dengan suara lirih ia berkata "Wahai Rasulullah......." Semua orang di Darul Arqam tercengang. Mereka lebih tercengang lagi mendengar Umar bin Khattab, sang Singa Quraisy, melanjutkan kata-katanya, "Aku datang kepadamu untuk beriman kepada Allah dan Utusan-Nya". Rasulullah melepaskan cengkeramannya dan berkata penuh rasa syukur, "Subhanallah ....." Takbir Hamzah membahana. Pada bulan Dzulhijjah tahun keenam kenabian itu, Umar bin Khattab, Sahabat berperang dan teman minumnya, menjadi saudara seiman. Hati mereka terikat dalam tali yang tidak bisa putus lagi sampai ke akhirat. Dengan kegembiraan yang tiada tara, Rasulullah mengusap dada Umar agar sahabat barunya itu tetap dalam keimanan. Bersambung
0 Comments
Berita untuk Umar
Umar melanjutkan langkahnya menuju Darul Arqam. "Sudah jelas, Muhammad-lah yang menyebabkan semua kesengsaraan ini! Aku harus membunuhnya agar Mekah kembali damai dan tenang. Mengenai Hamzah, aku akan bertarung dengannya. Aku yang mati atau Hamzah yang mati, itu tidak terlalu membuatku risau." Tiba-tiba, lamunannya buyar ketika Nu'aim bin Abdullah menegurnya, "Hendak kemana, wahai putra Khattab?" "Aku akan menemui Muhammad! Dia yang menukar agama nenek moyang kita. Dia yang memecah belah masyarakat Quraisy. Dia memiliki banyak angan-angan bodoh. Dia yang mencaci tuhan-tuhan kita. Untuk semua kesalahannya itu, aku akan menebas lehernya!" "Demi Allah, engkau telah tertipu oleh dirimu sendiri, wahai Umar! Apakah tindakanmu membunuh Muhammad akan dibiarkan saja oleh Bani Abdi Manaf? Tidakkah lebih baik engkau pulang dan mengurusi keluarga mu sendiri?" Umar berhenti melangkah dan bertanya tajam, "Keluarga ku yang mana?" "Saudara sepupumu sendiri, Sa'id bin Zaid bin Ammar dan istrinya yang tak lain adalah adik perempuanmu, Fathimah binti Khattab. Mereka telah mengikuti ajaran Muhammad, urusi saja mereka dulu!" Umar segera membalikkan badan dan melangkah cepat menuju ke rumah adiknya. "Kalau itu benar, aku akan bertindak pada Sa'id bin Zaid seperti yang pernah dilakukan oleh ayahku yang garang. Al Khattab, kepada ayah Sa'id, Zaid bin Ammar! Berani-beraninya dia memeluk Islam, sedangkan dia tahu aku membenci agama itu!" Dengan keras, Umar bin Khattab menggedor pintu rumah Sa'id bin Zaid dan Fatimah. Suaranya berdentum-dentum keras mengejutkan siapa saja yang ada di dalam rumah. Sudah bisa diduga, kali ini akan jatuh lagi korban dalam penganiayaan yang menimpa kaum Muslimin. Amuk Umar bin Khattab Di dalam rumah, Sa'id dan Fathimah binti Khattab sedang mengikuti ayat Al Qur'an yang dibacakan oleh Khabbab bin Al Arat. Begitu pintu berguncang diketuk Umar, Sa'id dan Fathimah segera menyembunyikan Khabbab. Fathimah segera menyembunyikan lembaran-lembaran yang tadi mereka baca di bawah pahanya. Sa'id membuka pintu dan Umar bergegas masuk. "Suara apa yang baru kudengar itu?" bentak Umar. " Tidak.... kami tidak mendengar suara apa pun tadi ". Seketika amarah Umar bin Khattab meledak, "Kudengar kalian telah mengikuti ajaran Muhammad!". Belum sepatah kata pun keluar dari mulut kedua suami istri itu, pedang Umar sudah terayun dan gagangnya mengenai Sa'id hingga ia jatuh terjerembab di lantai dan luka. Melihat suaminya berdarah, Fathimah bangkit berusaha melerai, tetapi tangan Umar cepat sekali menampar wajahnya. Fathimah jatuh di samping suaminya dengan darah mengucur dari wajahnya. Meski garang, Umar terkenal lembut dan penyayang kepada keluarganya sendiri. Melihat darah Fathimah, Umar tertegun. "Fathimah berdarah," pikirnya, "Mengapa aku bisa sampai begitu? Aku menyayangi adikku itu sepenuh hati, bahkan lebih mirip rasa sayang antara ayah kepada putrinya!" Fathimah yang lembut dan biasanya selalu patuh kepada Umar, kali ini mengangkat wajah, menentang langsung paras kakaknya itu. "Baiklah," seru Fathimah. "Lakukanlah apa saja yang engkau kehendaki!" Fathimah sudah siap menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi. Ia siap disiksa oleh kakaknya sendiri yang dari kecil begitu menyayanginya, ia bahkan siap untuk mati. Kedua tangannya terentang, seolah siap menerima tikaman pedang Umar ke dadanya. Al Qur'an bukan Mantra Syair Suatu malam, Umar bin Khattab diam-diam mendengar Rasulullah ﷺ membaca Al Qur'an pada malam hari, Umar terpesona. Namun, ia berkata dalam hati, "Ah, ini pasti ucapan seorang penyair". Bisik hati Umar. Saat itu Rasulullah ﷺ membaca surah Al Haqqah ayat 41, وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَاعِرٍ ۚ قَلِيلًا مَا تُؤْمِنُونَ "Dan Al Quran itu bukanlah perkataan seorang penyair. Sedikit sekali kamu beriman kepadanya." Kembali, Umar bin Khattab diam-diam datang ke rumah Rasulullah pada tengah malam dan mendengar Rasulullah membaca Al Qur'an. Umar berkata dalam hati, "Kalau ini bukan ucapan tukang tenung, ini pasti ucapan Muhammad, bukan Firman Tuhan." Namun, sesegera itu juga, Rasulullah membaca Surah Al Haqqah ayat 43: تَنْزِيلٌ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ "Ia (Al Qur'an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam." Bersambung Ke Habasyah
Gangguan terhadap kaum Muslimin semakin berat dari hari ke hari. Bahkan, beberapa orang gugur karena disiksa terlalu keras. Berdasarkan wahyu dari Allah, Rasulullah pun memerintahkan agar mereka berhijrah. "Wahai Rasulullah, ke mana kami akan pergi?" Rasulullah menasehati agar mereka pergi ke Habasyah yang rakyatnya menganut agama Kristen. "Tempat itu diperintah oleh seorang raja dan tidak ada orang yang dianiaya di situ. Itu bumi yang jujur, sampai nanti Allah membukakan jalan buat kita semua," demikian sabda Rasulullah. Mematuhi perintah Rasulullah, berangkatlah rombongan pertama kaum Muslimin ke Habasyah pada bulan Rajab, tahun ke lima kenabian. Rombongan itu terdiri atas 12 orang pria dan 4 perempuan. Dengan sembunyi-sembunyi, mereka meninggalkan Mekah, menyeberangi laut ke benua Afrika, dan tiba di pantai Habasyah. Seperti yang dikatakan Rasulullah, Najasyi, Raja Habasyah itu, memberi mereka perlindungan dan tempat yang baik. Kelak, ketika mendengar bahwa orang Quraisy tidak lagi menyiksa kaum Muslimin, mereka kembali pulang. Namun, ternyata berita itu tidak benar. Di Mekah, keadaan justru semakin buruk bagi kaum Muslimin. Mereka pun berangkat kembali ke Habasyah, kali ini dengan jumlah rombongan yang lebih besar, terdiri atas 83 orang pria dan 18 wanita dipimpin oleh Ja'far bin Abu Thalib. Habasyah Saat itu Habasyah adalah negara yang meliputi bagian selatan Mesir, Erytrea, Ethiopia, dan Sudan. Habasyah artinya 'persekutuan'. Dahulu Habasyah bersekutu dengan kerajaan Saba atau Himyar. Kaum Muslimin berangkat dari Teluk Syu'aibah, sebelah selatan Jeddah. Amarah Umar Umar bin Khattab duduk termenung di rumahnya. Di seluruh Mekah, tidak ada seorang pun yang mampu melunakkan hati Umar. Ia begitu cepat naik pitam dan garang. Ia tidak pernah luluh oleh rayuan gadis-gadis penghibur setiap kali ia mendatangi para penjual khamr. Ia tidak pula pernah terbujuk ikut bergabung dengan para pejalan malam yang suka bergerombol di pelataran rumah sambil mendengarkan para penabuh rebana. Segalanya tidak mampu melembutkan kekerasan hatinya yang suka bertindak garang dan menakutkan. Namun kini, ia tengah duduk termenung sendiri. "Hamzah, apa yang terjadi padamu? Engkau menaklukkan dan mempermalukan Abu Jahal, temanmu sendiri! Apa yang membuatmu jadi seperti ini? Bahkan, engkau berani meninggalkan agama nenek moyang kita dan bergabung dengan Muhammad! Ini jelas akan membuat pengikut agama baru ini jadi sombong dan besar kepala! Hamzah, bukankah engkau, Abu Jahal, Khalid bin Walid dan aku telah bersama membuat Quraisy jadi suku paling disegani? Semua itu berkat kerja keras dan keuletan kita berempat. Suku-suku yang lain iri kepada Quraisy karena Quraisy memiliki kita. Ini semua gara-gara Muhammad! Hamzah tidak lagi mau minum-minum bersamaku. Betapa sepinya malam-malam tanpa Hamzah!" "Muhammad, engkau membuat pusing kepala orang-orang miskin, para budak, buruh kasar, dan para perempuan lemah! Engkau membuat mereka berani menentang para majikan! Apa yang engkau sampaikan pasti sebuah sihir. Muhammad, tegakah engkau melihat para pengikut mu pergi meninggalkan tanah air nya ke Habasyah yang begitu jauh? Ini benar-benar keterlaluan! Aku harus membunuh Muhammad sekarang juga! Meski aku harus berhadapan dengan Hamzah, aku akan membunuhmu dan membuat Mekah kembali seperti dulu!" Setelah berpikir begitu, Umar bin Khattab mencabut pedangnya. Amarahnya dengan cepat naik ke ubun-ubun. Dengan langkah-langkah yang tidak bisa dirintangi, Umar berjalan cepat menuju Darul Arqam. Matanya mengandung api dan pedangnya membara! Tidak seorang pun bisa menghalangi Umar jika ia sudah bertekat dengan sunguh-sunguh! Duka Umar Ummu Abdillah adalah seorang perempuan tua. Ia juga tetangga Umar bin Khattab. Setelah ia sekeluarga memeluk Islam, Umar suka mengganggunya. Padahal sebelum itu, Umar cukup hormat dan bahkan menyayanginya. Saat itu, Ummu Abdillah tengah membereskan barang-barang untuk dibawa hijrah ke Habasyah. Tiba-tiba, hatinya berdebar. Ia melihat Umar bin Khattab melangkah dengan pedang terhunus! Karena tidak ada waktu lagi untuk lari ke dalam rumah, Ummu Abdillah bersembunyi di balik barang-barangnya. Hatinya berdebar tidak karuan. Tanpa sadar, ia menahan napas ketika Umar semakin mendekat. Akan tetapi, Umar melihatnya dan berhenti. "Jadi engkau benar benar akan berangkat, wahai Ummu Abdillah?" Ummu Abdillah keluar dari tempat persembunyiannya. Ia heran karena suara Umar tidak terdengar marah seperti biasanya. "Ya, demi Allah. Engkau telah menyakitiku dan menindasku. Aku akan benar-benar pergi ke bumi Allah hingga Allah memberikan jalan keluar bagiku," sahut Ummu Abdillah. Sesaat, Umar tampak merenung, "Ini dia tetanggaku, mereka akan pergi juga meninggalkan Mekah." Umar berpaling, menatap wajah tua Ummu Abdillah dan berkata dalam hati, "Begitu jauh jalan yang akan ditempuh orang tua ini, begitu sedikit barang yang bisa dibawanya." Akhirnya Umar melangkah pergi sambil berkata parau, "Semoga Allah senantiasa menyertaimu." Ummu Abdillah terpana. Belum pernah Umar berlaku selembut ini sejak mereka memeluk Islam. "Tidakkah engkau melihat kelemahlembutan dan kedukaan Umar terhadap kita?" tanya Ummu Abdillah kepada putranya. "Apakah Ibu berharap ia akan memeluk Islam?" tanya sang putra. "Dia tidak akan pernah memeluk Islam sebelum keledai bapaknya juga masuk Islam!" Bersambung Tawaran Utbah bin Rabi'ah
"Sesak dadaku melihat Muhammad dan para pengikutnya!" teriak seorang pembesar Quraisy. "Setiap hari mereka semakin kuat!" geram yang lain. "Semua gangguan dan siksaan kita seolah tidak berpengaruh apa-apa. Sangat mengherankan!" gerutu yang lain menggelengkan kepala. Ketika suasana bertambah panas, Utbah bin Rabi'ah berdiri. Semua orang memandangnya dan menunggu. "Kalau jalan kekerasan tidak membuahkan hasil, sudah saatnya kita mencoba cara lain, " kata Utbah bin Rabi'ah. Suaranya pelan dan tenang. "Kalau kalian setuju, aku akan bicara dengan Muhammad dan menawarkan beberapa hal menarik kepadanya. Apakah kalian setuju?" Setelah terdiam sejenak, akhirnya orang orang Quraisy itu pun setuju. "Coba laksanakan usulmu! Kami bersedia memberi apa saja asal Muhammad mau bungkam!" kata mereka. Utbah bin Rabi'ah pun menemui Rasulullah. "Anakku," katanya lembut, "engkau adalah orang terhormat. Namun kini, engkau membawa soal besar sehingga masyarakat kita tercerai-berai. Sekarang dengarlah, kami menawarkan kepadamu beberapa hal, mungkin sebagiannya bisa engkau terima. Anakku, kalau yang engkau inginkan adalah harta, kami siap mengumpulkan dan memberikan harta kami sehingga engkau akan menjadi seorang paling kaya. Kalau engkau ingin kedudukan, akan kami angkat engkau sebagai pemimpin kami sehingga kami tidak akan mengambil keputusan tanpa persetujuanmu. Kalau engkau ingin menjadi raja, akan kami nobatkan engkau menjadi raja kami. Jika engkau diserang penyakit yang tidak dapat engkau sembuhkan sendiri, akan kami biayai pengobatannya dengan harta kami sampai engkau sembuh." Rasulullah terdiam sejenak. Utbah bin Rabi'ah merasa kata katanya yang berbunga itu seolah menguap tanpa jejak ke udara. Surat Fushilat Rasulullah lalu membaca ayat-ayat Al Qur'an Surat Fushilat mulai dari ayat pertama: بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (1). حم Haa Miim. (Haa Miim) hanya Allah saja yang mengetahui arti dan maksudnya. (2). تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (3). كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui, (4). بَشِيرًا وَنَذِيرًا فَأَعْرَضَ أَكْثَرُهُمْ فَهُمْ لَا يَسْمَعُونَ yang membawa berita gembira dan yang membawa peringatan, tetapi kebanyakan mereka berpaling (daripadanya); maka mereka tidak (mau) mendengarkan. (5). وَقَالُوا قُلُوبُنَا فِي أَكِنَّةٍ مِمَّا تَدْعُونَا إِلَيْهِ وَفِي آذَانِنَا وَقْرٌ وَمِنْ بَيْنِنَا وَبَيْنِكَ حِجَابٌ فَاعْمَلْ إِنَّنَا عَامِلُونَ Mereka berkata: "Hati kami berada dalam tutupan (yang menutupi) apa yang kamu seru kami kepadanya dan di telinga kami ada sumbatan dan antara kami dan kamu ada dinding, maka lakukanlah (sesuai kehendak kamu); sesungguhnya kami akan melakukan (sesuai kehendak kami)". Rasulullah terus membacakan ayat-ayat lanjutannya yang menuturkan tentang Rasulullah hanyalah seorang pemberi peringatan, tentang gunung-gunung yang kokoh, tentang penciptaan langit dan tujuh lapisannya, tentang azab petir yang menimpa kaum Tsamud, tentang ngerinya nasib kaum kafir yang menolak wahyu dari Allah. Ayat-ayat itu begitu memesona Utbah sampai ia lupa pada apa yang ia tawarkan kepada Rasulullah. Hatinya semakin hanyut, larut, dan... "Cukuplah Muhammad. Cukuplah sekian saja!" seru Utbah. Ia diam sejenak, lalu kemudian bertanya lagi, "Apakah engkau dapat menjawab selain yang tadi engkau baca?" "Tidak". Utbah terpana. "Jadi, inilah Muhammad," pikirnya. "Laki laki ini bukanlah orang yang ingin memiliki gunungan harta, kedudukan, kerajaan, dan sama sekali bukan orang sakit. Ia hanyalah orang yang ingin mempertahankan tugasnya dengan baik sekali dan ia tadi mengucapkan kata kata penuh mukjizat..." Begitulah, akhirnya Utbah bin Rabi'ah kembali dengan tangan hampa. Para pembesar Quraisy pun kecewa karena Rasulullah menolak tawaran mereka. Kemudian, penganiayaan dan siksaan terhadap kaum Muslimin pun berlanjut dan semakin ganas. Bersambung Singa Padang Pasir
Orang-orang terus menertawakan Rasulullah setiap kali lewat. "Pembohong besar! Orang gila! Tukang sihir!" Abu Jahal terus menyemangati orang-orang yang mengejek sambil kerap kali melontarkan caci maki juga. Rasulullah mendadak berhenti melangkah. Beliau berpaling dengan tenang menghadap Abu Jahal, dengan sorot matanya tajam. Abu Jahal berhenti dan terdiam. Dengan wajah sayu penuh belas kasihan, Rasulullah memandang orang-orang kecil yang mengejeknya. Seketika, sorak-sorai pun mereda. Semua orang yang berada di sekitar tempat itu terpesona melihat keadaan Rasulullah. Baru kali ini mereka seolah disadarkan, betapa menyakitkannya ejekan mereka itu diterima Rasulullah. Sorot mata Rasulullah seolah berkata, "Mengapa kalian mengejekku? Bukankah aku sedang berjuang menyelamatkan kalian dari kekejaman bangsa Quraisy dengan membawa Islam yang mulia? Seandainya kalian tahu, ejekan Abu Jahal itu tidak begitu menyakitkan dibanding kata-kata kalian, sebab kepada kalianlah Allah meyuruhku menebar kasih sayang." Tanpa sepatah kata pun, Rasulullah berlalu. Orang-orang bubar dengan membawa perasaan masing-masing. Tatapan Rasulullah tadi sangat berkesan di hati seorang budak perempuan. Ketika budak itu berjalan pulang, ia melihat Hamzah bin Abdul Muthalib datang. Hamzah adalah paman Nabi, usia mereka hampir sebaya. Dari kecil, Rasulullah dan Hamzah dibesarkan bersama, bermain bersama, dan menjadi sahabat karib. Karena itulah Hamzah begitu menyayangi Rasulullah. Hamzah berjalan gagah dan bangga memasuki Mekah. Ia betul-betul laki-laki perkasa dengan perawakan tinggi dan kekar. Dengan wajah angkuh, Hamzah melangkah sambil menyandang busurnya. Ia habis berburu. Orang-orang yang melihatnya pun berbisik kagum. Namun, budak perempuan tadi merasa ada yang janggal, mengapa orang segagah ini tidak membela Muhammad, keponakannya sendiri? Mengapa ia bisa setenang itu? Tahukah ia bahwa Muhammad keponakannya, dicaci maki orang? Muhammad dihina pemimpin kabilah lain yang menjadi saingan Bani Hasyim! Pantaskah ia disebut sebagai pemuda perkasa yang pantang menyerah pada lawan, sedangkan ia tidak berbuat apa pun ketika seorang keluarga Bani Hasyim dicaci maki orang? Dengan dada hampir meluap, budak perempuan itu menegur Hamzah, "Tuan, tidak tahukah Anda apa yang menimpa kemenakanmu itu?" Hamzah berhenti dan budak perempuan itu menceritakan apa yang dilihatnya. Dalam sekejap saja, wajah Hamzah memerah. Tanpa berkata apa pun, ia berbalik menuju Ka'bah dengan langkah bergegas. Ia mencari Abu Jahal. Kebimbangan Hamzah Di depan Ka'bah, Abu Jahal bercerita kepada beberapa temannya, "Puas rasanya melihat Muhammad dicaci begitu banyak orang", ujar Abu Jahal, "Kalau kuberi semangat sedikit lagi, bukan tidak mungkin mereka akan memukulinya." Teman-temannya terlihat ikut bersemangat. Beberapa orang mulai ikut bicara, tetapi mendadak semuanya terdiam dan memandang ke satu arah. Abu Jahal ikut menoleh dan seketika kerongkongannya tercekat. Hamzah bin Abdul Muthalib, sang pahlawan Bani Hasyim, menjulang di belakangnya dengan mata menyala tanpa ampun. "Beraninya engkau mencaci maki Muhammad, padahal aku telah memeluk agamanya? Coba lakukan penghinaanmu kepadaku jika engkau benar-benar jantan!" Setelah berkata begitu, Hamzah melayangkan busurnya. Bunyinya mendecit, cepat , dan keras sehingga kepala Abu Jahal pun terluka. Beberapa teman Abu Jahal serempak berdiri. Tampaknya, perkelahian tidak terhindarkan lagi. Ketika Abu Jahal melihat ini, ia mengangkat tangan untuk mencegah teman temannya. Abu Jahal yakin, dalam keadaan seperti itu, Hamzah tidak akan ragu-ragu membunuh orang. Dengan napas tersengal, Abu Jahal memegangi kepalanya. Ia berkata sambil menahan marah, "Kita tinggalkan saja dia! Aku memang telah mencaci maki kemenakannya." Mereka pun pergi dengan geram dan murung. Namun, hati Hamzah belum lagi lega. Ia pulang dengan bimbang, "Mengapa begitu mudah kutinggalkan agama nenek moyangku?" Setelah melewati malam yang gelisah, Hamzah akhirnya berdoa, "Ya Tuhan, jika Muhammad benar, teguhkanlah hatiku. Jika Muhammad salah, jauhkanlah aku darinya!" Hamzah menemui Rasulullah dengan sedih dan menceritakan semua kegelisahan hatinya. Rasulullah lalu membacakan beberapa ayat Al Qur'an. Perlahan, hati Hamzah dipenuhi rasa tenang, haru, dan kagum. Dengan bulat hati, ia pun berkata, "Aku menyaksikan bahwa engkau itu sungguh benar, maka itu tampakkanlah agamamu, hai anak saudaraku!" Bukan main bersyukurnya Rasulullah. Kini, Islam telah memiliki benteng yang kuat dalam menghadapi kekerasan Quraisy. Hamzah memeluk Islam pada akhir tahun ke enam kenabian (nubuwwah). Orang-orang Quraisy tidak putus asa, Mereka mempunyai cara lain untuk menekan perjuangan Rasulullah. Singa Allah dan Singa Rasul-Nya Kemudian seluruh kegagahan Hamzah dibaktikannya untuk membela Allah dan agama-Nya, sehingga Rasulullah memberi Hamzah julukan istimewa, Singa Allah dan Singa Rasulullah. Hamzah adalah komandan Sariyah yang pertama. Sariyah adalah pasukan Muslim yang berangkat tanpa disertai Rasulullah. Bersambung Darul Arqam
Waktu terus berjalan. Kegigihan dakwah Rasulullah ﷺ mulai berbuah, sedikit demi sedikit, para pemeluk Islam mulai bertambah. Rumah Rasulullah yang kecil itu mulai terasa sempit. "Ya Rasulullah, alangkah baiknya jika kita memindahkan tempat pertemuan ke rumahku," usul Arqam. "Rumahku cukup luas untuk menampung jumlah kita yang sudah puluhan orang. Lagi pula, letaknya ada di puncak bukit. Orang-orang jahat tidak mudah mencapai tempat itu untuk mengganggu kita." Rasulullah pun setuju. Oleh karena itu, pertemuan setiap malam pun pindah ke rumah Arqam. Sebagian pemeluk Islam waktu itu adalah orang-orang lemah: para budak, buruh, orang miskin, perempuan-perempuan fakir, serta orang tertindas lain. Sisanya adalah golongan orang terpelajar dan pedagang kaya. Sebenarnya, kebanyakan pedagang mulanya agak ragu. "Bagaimana jika nanti ajaran baru ini menutup Mekah dari rombongan saudagar dari tempat-tempat lain? Kalau demikian yang terjadi, kita akan bangkrut." Ujar seorang pedagang. Namun, keraguan itu ditepis Rasulullah. Islam tidak akan menutup Mekah. Islam juga tidak akan mengubah musim ziarah ketika justru banyak pedagang mancanegara berdatangan ke Mekah. Islam tidak melarang semua itu. Hal yang dilarang adalah: 1. Menyembah berhala 2. Menyerahkan persembahan dan korban kepada bangsawan Quraisy 3. Bertelanjang ketika thawaf di Ka'bah 4. Menyelenggarakan pelacuran 5. Mengeluarkan kata-kata kotor dan tindakan buruk lain saat melaksanakan ziarah Rencana Para Pemuka Quraisy Setelah mendengar penjelasan Rasulullah, para pedagang pun merasa lega. Kebanyakan mereka bukan pedagang budak dan tidak menarik untung dari korban yang dipersembahkan untuk bangsawan-bangsawan Quraisy. Iman mereka pun semakin kuat. Melihat Islam semakin dicintai para pengikutnya, para pembesar Quraisy pun menyusun rencana lain... "Apa yang harus kita lakukan?" teriak seorang pemuka Quraisy. "Abu Bakar dan teman-temannya terus membebaskan budak-budak kita! Tidak ada jalan lain, bunuh budak-budak itu agar yang lain ketakutan!" "Tidak," geleng Abu Jahal lemah. "Sumayyah telah kubunuh, tapi itu tidak membuat yang lain takut. Cari saja cara yang lain!" Seorang pemuka Quraisy berdiri cepat, "Pukuli Muhammad sampai remuk! Dengan demikian, wibawanya akan hancur dan pengikutnya pun bubar ketakutan!" "Namun, keluarga Muhammad dari Bani Hasyim akan membelanya!" lengking yang lain. "Siapa? Abu Thalib sudah terlalu tua! Yang harus kita takuti dari Bani Hasyim adalah Hamzah! Namun, engkau lihat sendiri, Hamzah sibuk berfoya-foya sendiri! Ia tidak peduli pada nasib keponakannya itu! Pilihlah dua orang yang paling ditakuti di Mekah untuk melaksanakan tugas ini!" Sejenak, orang-orang terdiam sambil memandang berkeliling. Kemudian, seorang dari mereka menunjukkan jarinya kepada pemuda bertubuh tinggi besar, "Engkau, Umar bin Khattab! Engkau dan Abu Jahal! Tidak ada orang lain yang berani melawan kalau kalian memukuli Muhammad!" Orang-orang berseru "setuju." "Sabar," tiba-tiba seseorang berseru, "langkah awal bukanlah serangan fisik! Hancurkan dulu wibawanya! Ku usulkan agar kita suruh para budak melempari Muhammad dan meneriakinya sebagai pembohong, orang gila, dan tukang sihir!" Usul itu disetujui. Mulai hari itu, setiap Rasulullah melewati jalan-jalan di Mekah, para budak, para wanita yang nasibnya justru sedang diperjuangkan Rasulullah, meneriaki beliau, "Pembohong besar! Orang gila! Tukang sihir!" Suara mereka keras dan tajam layaknya orang sedang mengusir kucing yang masuk dapur. Kemudian, apa yang terjadi jika Abu Jahal atau Umar mulai memukuli Rasulullah? Kuda Jantan Saat itu merupakan masa yang berat bagi Rasulullah. Beliau pergi ke sebuah tempat yang teduh, berbaring di atas batu, dan berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Tidak ada yang lebih menyakitkan dibanding cacian dan celaan dari orang-orang yang justru sedang diperjuangkan Rasulullah mati-matian. Sementara itu, di depan Ka'bah, Abu Jahal berkoar di depan teman temannya, "Aku bersumpah untuk menghantam kepala Muhammad dengan sebuah batu ketika dia sedang sujud kepada Tuhannya!" Beberapa orang bersorak memberi semangat, sedangkan yang lain saling pandang dengan terkejut. Itu adalah sebuah tindakan kejam yang dapat menimbulkan kematian. Jika Muhammad meninggal, Bani Hasyim pasti akan menuntut balas dan Mekah akan terpecah oleh perang saudara. Namun, Abu Jahal telah mengucapkan sumpah yang tidak dapat ditarik lagi tanpa mencoreng mukanya sendiri. Oleh karena itu, mereka memilih untuk mengamati apa yang terjadi dengan dada berdebar-debar. Kesempatan yang ditunggu Abu Jahal pun tiba. Saat itu, Rasulullah sedang shalat di depan Ka'bah. Ketika beliau sujud, Abu Jahal dengan cepat melangkah mendekat. Kedua tanganya yang menggenggam batu terangkat tinggi-tinggi, matanya menyala buas. Namun, ketika batu akan dihujamkan sekuat tenaga, mendadak Abu Jahal berbalik pergi. Batu di tangannya lepas dan wajahnya pucat ketakutan. "Ada apa?" semua teman- temannya bertanya kebingungan. Dengan napas tersendat-sendat, Abu Jahal berkata, "Demi Tuhan, di depanku tadi berdiri seekor kuda jantan. Belum pernah aku menyaksikan seekor kuda jantan serupa itu. Kepala, tengkuk, dan giginya sungguh mengerikan. Aku yakin dia akan menelanku seandainya batu tadi kuhantamkan!" Abu Jahal pergi cepat-cepat untuk menenangkan diri. Orang-orang memandang Rasulullah dengan heran dan takjub. Sementara itu, Rasulullah tetap melanjutkan shalat dengan khusyuk. Wajah beliau begitu teduh dan tenteram. Bersambung Dikepung
Abu Bakar berpesan kepada putranya, Abdullah, agar setiap hari mendengarkan rencana-rencana Quraisy saat mereka tahu Rasulullah telah berangkat hijrah: "Abdullah, setiap petang pergilah ke Gua Tsur tempat Rasulullah dan aku bersembunyi. Ajaklah adikmu, Asma. Suruh ia membawa makanan untuk kami." Abu Bakar juga menugasi pembantunya, Amir bin Fuhaira, agar menggembalakan kambing-kambingnya di dekat Gua Tsur selama Rasulullah dan Abu Bakar sembunyi di situ. Amir bertugas memerah susu kambing untuk minum Rasulullah dan Abu Bakar, sekaligus memberi peringatan jika orang-orang Quraisy itu mendekat. Malam pun tiba, Rasulullah telah besiap-siap. Beliau meminta Ali bin Abu Thalib untuk tidur di atas tempat tidur beliau dan menggunakan selimut yang biasa beliau kenakan. Kemudian, datanglah para pembunuh ke rumah Rasulullah. Mereka adalah para pemuda kekar yang berasal dari berbagai kabilah. Pembunuh-pembunuh itu bersenjata lengkap dan mengepung rumah Rasulullah dari segala penjuru: depan, belakang, dan samping. Disertai para ketua kabilah, jumlah semuanya hampir seratus orang. Tampaknya tidak ada celah sedikit pun untuk meloloskan diri. Menurut sebuah riwayat, salah seorang dari mereka mengintai ke dalam rumah Rasulullah dengan memanjat. Konon, setiap kali ia memanjat, terdengarlah suara tangis seorang anak perempuan. Orang itu pun segera turun. Begitulah yang terjadi berkali-kali. Menurut adat kesopanan Quraisy, terhinalah seorang ksatria yang memasuki rumah orang yang akan dibunuhnya dan hinalah seorang ksatria yang sampai merusak keamanan seorang perempuan. Anak perempuan tadi adalah seorang keluarga Rasulullah yang terbangun dari tidurnya. Demikianlah, para pembunuh terus berusaha mengintai untuk memastikan apakah Rasulullah masih berada di rumah atau tidak. Ketika melihat Ali bin Abu Thalib yang tidur dengan berselimut, mereka menyangka itu adalah Rasulullah. Dengan demikian, tenanglah mereka. Rasulullah Meloloskan Diri Ketika saatnya tiba, Rasulullah keluar rumah dengan sangat perlahan. Beliau mengambil segenggam pasir dan menaburkannya ke kepala para pengepung sambil membaca doa. Dengan pertolongan Allah, para pengepung itu tidak dapat melihat Rasulullah ke luar rumah. Bahkan semuanya jadi mengantuk dan tertidur. Rasulullah pun pergi. Tidak lama kemudian, Abu Bakar datang. Setelah tahu apa yang terjadi, Abu Bakar segera menyusul Rasulullah dan berhasil menemui beliau di tengah perjalanan menuju Gua Tsur. Pagi hampir tiba ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki tua yang tidak seorang pun pernah melihatnya. Orang tua itu berseru nyaring untuk membangunkan para pengepung, "Hai orang banyak! Kamu semua di sini sedang menunggu apa? Mengapa kalian tertidur demikian pulas?" "Kami sedang menunggu Muhammad! Bukankah ia masih tidur di dalam!" Orang itu menggeleng-geleng, "Kasihan .... kasihan .... kasihan sekali kalian! Muhammad sudah pergi dari tadi setelah menaburkan pasir di kepala kalian!" Para pemuda gagah itu bangkit, sambil membersihkan pasir di kepala mereka, "Aduh, pasir di kepala kita! Sungguh keterlaluan! Keterlaluan!" Salah seorang dengan gemas menggedor-gedor pintu rumah Rasulullah. "Muhammad! Muhammad! Muhammad!" Mereka kemudian menyerbu masuk dengan pedang terhunus. Hanya dalam waktu beberapa detik, mereka mengelilingi tempat tidur Rasulullah. Dengan kasar, selimut ditarik dan pedang-pedang terangkat siap untuk dihujamkan. Namun, Ali bin Abu Thalib yang tidur di tempat Rasulullah itu segera melompat bangun dan siap menghadapi maut. Wajah para pemuda itu membeku pucat melihat bukan Rasulullah yang berbaring. "Mana Muhammad?" hardik mereka kasar. "Aku tidak tahu!" jawab Ali bin Abu Thalib. Para pemuda itu kemudian menggiring Ali bin Abu Thalib ke dekat Ka'bah. Di sana mereka memukul, menendang, dan menampar wajah beliau. Namun, Ali lebih baik mati daripada mengatakan di mana Rasulullah berada. Dengan putus asa, mereka pun melepaskan Ali bin Abu Thalib yang telah bertahan demikian berani. Di Gua Tsur Saat itu Rasulullah dan Abu Bakar tiba di Gua Tsur. Selama berjalan, Abu Bakar sebentar-sebentar melangkah di muka Rasulullah, lalu disamping, kemudian pindah ke belakang. Demikian berulang-ulang. "Abu Bakar, saya tidak mengerti perbuatanmu ini?" ucap Rasulullah. "Ya Rasulullah, saya takut kita diikuti pengintai. Untuk mengelabuhi mereka, saya berpindah-pindah berjalan di dekat Anda." Saat itu Rasulullah berjalan dengan kaki telanjang. Padahal beliau tidak biasa berjalan tanpa alas kaki. Akibatnya, kaki Rasulullah dipenuhi luka. Tiba di Gua Tsur, Abu Bakar meminta Rasulullah menunggu sebentar di luar. Abu Bakar tahu Gua Tsur banyak dihuni binatang-binatang liar, buas, dan berbisa seperti ular dan kalajengking. Tidak seorang manusia pun berani masuk ke dalamnya. Abu Bakar pun masuk dan membersihkan gua tanpa menghiraukan bahaya yang mengancam. Ia merobek pakaiannya secarik demi secarik untuk menutup semua lubang yang terlihat. Setelah itu, dengan pakaian terkoyak-koyak, ia menyingkirkan batu-batu. Mendadak seekor ular yang bersembunyi di balik bebatuan itu menggigit kakinya dengan keras. Sakit sekali bekas gigitan itu seperti hendak meledakkan kepalanya. Namun, Abu Bakar menahan rasa sakit itu dan terus bekerja tanpa bersuara. Setelah selesai, Rasulullah pun masuk. Demikian lelahnya beliau hingga tertidur dengan meletakkan kepala di pangkuan Abu Bakar. Saat itu, rasa sakit bekas gigitan ular semakin terasa menyengat sampai-sampai air mata Abu Bakar menetes-netes. Setitik air mata itu menetes di muka Rasulullah. Beliau bangun dengan terkejut. "Mengapa engkau menangis wahai Abu Bakar?" "Saya digigit ular, ya Rasulullah." "Oh, mengapa tidak engkau katakan dari tadi?" "Saya takut membangunkan engkau." Rasulullah memeriksa luka Abu Bakar dan mengusapnya. Seketika itu juga, bengkak dan rasa sakitnya lenyap. Kemudian, Rasulullah bertanya, "Kemana pakaianmu?" Abu Bakar menceritakan semua yang terjadi. Rasulullah terharu. Beliau pun berdoa, "Ya Allah, letakkan Abu Bakar kelak pada hari Kiamat pada derajatku!" Bersambung Syahidah Pertama
Sabar, demikian sabda Rasulullah ﷺ, setiap kali para pengikutnya mengadukan penderitaan mereka. Saat itu memang tidak ada lagi yang dapat diperbuat selain sabar sampai mati. Sabar yang demikian membuat para pemeluk Muslim pertama sanggup menanggung derita siksa di luar batas kemampuan fisik manusia. Khabbab bin Al Arat pernah meminta agar Rasulullah ﷺ berdo'a kepada Allah dalam menghadapi penindasan ini. Mendengar ini, Rasulullah duduk dengan wajah merah padam seraya bersabda, "Sungguh telah terjadi sebelum kamu, ada orang yang disisir badannya dengan sisir besi hingga dagingnya mengelupas dan terlihat tulang-tulangnya. Akan tetapi, ia tetap teguh memegang keyakinannya. Allah سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى akan menyempurnakan urusan ini sampai seorang penunggang kuda berjalan dari Shan'a ke Hadramaut dan ia tidak takut kecuali kepada Allah. Ingatlah, serigala akan tetap ada di tengah-tengah gembalaan, hanya saja kalian lengah." Sumayyah adalah ibu Ammar bin Yasir. Beserta suami dan anaknya, Sumayyah disiksa karena mengikuti ajaran Rasulullah. Ia diseret di jalan-jalan Kota Mekah, lalu dilempar ke padang pasir. "Pukuli dia! Pukuli dia sekuat-kuatnya!" Perintah Abu Jahal. Sumayyah pun dipukuli sampai pingsan. Kejadian ini dilakukan berulang-ulang selama berhari-hari. Namun, semakin sakit tubuhnya, iman Sumayyah malah semakin tinggi. "Engkau mengikuti Muhammad karena tertarik pada ketampanannya!" ejek Abu Jahal. "Tidak," geleng Sumayyah, "Aku mengikuti Rasulullah karena percaya pada apa yang beliau sampaikan. Aku mengikuti Rasulullah karena beliau mengajarkan ada Tuhan yang lebih patut disembah daripada berhala-berhala kalian!" Akhirnya, kesabaran Abu Jahal pun habis. Dia mengambil tombak dan menusuk Sumayyah. Sumayyah tercatat dalam sejarah sebagai perempuan muslim pertama yang syahid (syahidah) karena membela Islam. Surga Untuk Keluarga Yasir Ketika Rasulullah ﷺ menyaksikan Yasir, Sumayyah dan putra Yasir yang bernama Ammar disiksa habis-habisan, beliau bersabda, "Sabar wahai keluarga Yasir, tempat yang telah dijanjikan bagi kalian adalah surga." PENEBUSAN Melihat saudara-saudara baru mereka disiksa demikian kejam, Abu Bakar, Utsman bin Affan, dan semua orang kaya yang beriman segera bertindak. Abu Bakar mendatangi Umayyah bin Khalaf yang sedang menyiksa Bilal. "Bebaskan dia," pinta Abu Bakar. "Tidak!" Cibir Umayyah. "Engkau dan temanmu telah meracuni pikirannya! Justru aku yang minta kamu menghentikan pengaruh jahatmu terhadap budakku ini!" Abu Bakar merasa bahwa hati Umayyah tidak mungkin dibujuk lagi, maka dia segera mengajukan penawaran. "Kubeli Bilal darimu! Lihat, ini lima uqiyah emas! Ambil uang itu, dan berikan Bilal kepadaku!" Dengan seringai penuh kemenangan, Umayyah menyambar uang-uang emas itu. "Wahai Abu Bakar! Andaikata engkau menawar satu uqiyah saja, sudah tentu aku menjualnya! Dia sudah tidak berharga lagi bagiku!" Wajah Abu Bakar memerah, bukan karena marah, melainkan karena dipenuhi rasa bahagia bisa menolong saudaranya yang tertindas. "Jangan hanya lima uqiyah" ujar Abu Bakar sepenuh hatinya, "Andaikan engkau menjual seratus uqiyah pun, aku akan tetap membelinya!" Kini giliran wajah Umayyah yang memerah. Terbayang keuntungan yang akan didapatnya seandainya ia menawar lebih tinggi lagi. Abu Bakar yang baik hati kemudian membebaskan Bilal. Tidak berhenti sampai di situ, beliau pun terus menggunakan hartanya untuk membebaskan lima kaum muslimin lain yang tengah disiksa. Budak terakhir yang dibebaskan adalah budak milik Umar bin Khattab. Orang-orang Quraisy mengejek Abu Bakar, "Alangkah sia-sianya Abu Bakar itu! Dia membuang-buang uang untuk membebaskan orang!" Namun, semangat Abu Bakar justru membakar kaum muslimin lain untuk turut berusaha keras membebaskan saudara-saudara mereka. Bersambung Bilal bin Rabbah
Beberapa pengikut Rasulullah yang pertama berasal dari kalangan miskin dan lemah. Ajaran Islam yang melarang penindasan membuat banyak budak dengan segera menjadi seorang Muslim. Namun, jika tuan mereka tahu akan hal ini, para budak itu dipaksa harus memilih: kembali menyembah berhala atau disiksa habis-habisan. "Lemparkan dia dan baringkan tubuhnya di atas pasir!" raung Umayyah bin Khalaf Al Juhmi. Rupanya, ia sangat murka mengetahui seorang budaknya, Bilal bin Rabbah, menjadi pengikut Rasulullah. Lebih murka lagi ia ketika tahu bahwa Bilal, si pemuda hitam itu, lebih memilih menghadapi siksa dan membangkang kehendaknya daripada harus keluar dari agama barunya itu. Orang-orang suruhan Umayyah membuka seluruh baju Bilal. Kemudian, budak malang itu ditelentangkan di atas padang pasir yang panasnya begitu menyengat saat matahari berada di atas kepala. "Budak jelek, engkau akan diperlakukan seperti ini hingga engkau mati atau engkau mengingkari Muhammad dan kembali menyembah Lata dan Uzza!". Menghadapi ancaman itu, Bilal hanya berkata, "Ahad! Ahad!" ("Maha Esa Allah! Maha Esa Allah! "). Suara cambuk memerihkan telinga ketika Bilal disiksa, "Ahad! Ahad!" "Letakkan batu besar di atas dadanya!" raung Umayyah. Bilal merasa dadanya hampir remuk dan terasa sesak sekali, sehingga nyaris ia tidak dapat lagi bernapas atau pun bersuara, tetapi ia tetap melantunkan kalimat juangnya. "Ahad! Ahad! Ahad!" Ibu Bilal, Hamamah, juga disiksa tuannya. Menurut suatu riwayat, ia gugur dalam penyiksaan itu dan wafat sebagai syuhada. (Dalam riwayat yang lain, Hamamah, dimerdekakan Rasulullah). Khalid bin Sa'id Seperti Bilal, Khalid bin Sa'id termasuk orang-orang pertama yang beriman. Khalid adalah orang ke kelima yang masuk Islam. Ia bermimpi akan jatuh ke jurang api, tapi diselamatkan oleh seseorang yang ternyata ia adalah Rasulullah SAW. Siksaan Demi Siksaan Setelah melihat Umayyah menyiksa Bilal sedemikian kejam, para pemilik budak dan pembesar Quraisy yang lain ikut menyiksa para budak mereka yang ketahuan memeluk agama Islam. Beragam siksaan sangat kejam ditimpakan kepada para pemeluk Islam pertama itu. "Hukuman apa yang harus kutimpakan kepada budak pembangkang ini, Tuan?" Tanya algojo. Sang Tuan tersenyum sinis, "Cambuk dia sampai tanganmu tidak mampu lagi!" Algojo melaksanakan tugasnya dengan patuh. Suara lecutan cambuk disertai erangan orang terdengar dari detik ke detik. Setiap lecutan membuat rasa sakit lebih perih dari lecutan sebelumnya. Sebagian orang yang kuat bertahan hingga pingsan. Sebagian yang lain gugur karena tidak kuat menahan derita. Lebih dari itu, ternyata bukan hanya cambuk yang bicara. "Buka pakaiannya!" perintah seorang bangsawan kepada tukang pukulnya. Beberapa budak Muslim yang malang itu segera saja menjadi tidak berbaju. "Pakaikan mereka pakaian besi yang ketat menempel di kulit!" seringai sang bangsawan. Para tukang pukul segera menurut. "Sekarang, bakar baju besi yang telah dikenakan itu!" seru bangsawan dengan buas. Jerit kesakitan budak-budak Muslim itu amat memilukan karena baju besi yang dibakar itu menghanguskan seluruh kulit tubuh mereka. Ummu Ubais dan Zinnirah Ummu Ubais dan Zinnirah adalah dua perempuan Muslim yang disiksa sampai jadi buta. Orang-orang Quraisy mengejek dengan mengatakan bahwa kebutaan itu disebabkan mereka dikutuk berhala. Akan tetapi, dengan izin Allah, keduanya kemudian dapat melihat lagi sehingga orang-orang Muslim dapat membalas ejekan orang-orang kafir. Bersambung Dahsyatnya Iman
Abu Thalib memanggil Rasulullah dan berkata, "Muhammad, orang-orang Quraisy kembali datang padaku dan mengatakan, 'Wahai Abu Thalib, engkau adalah orang terhormat dan terpandang di kalangan kami. Oleh karena itu, kami meminta baik-baik kepadamu untuk menghentikan keponakanmu itu, tetapi tidak juga engkau lakukan. Ingatlah, kami tidak akan tinggal diam terhadap orang yang memaki nenek moyang kita, tidak menghargai harapan-harapan kita, dan mencela berhala-berhala kita. Suruh diam dia atau kami lawan dia hingga salah satu pihak nanti binasa!' Abu Thalib memandang wajah keponakannya lekat-lekat, hampir seperti memohon, lalu katanya, "Jagalah Aku, Nak. Jaga juga dirimu. Jangan Aku dibebani dengan hal-hal yang tidak dapat kupikul." Rasullullah tertegun. Beliau tahu, pamannya seolah sudah tidak berdaya lagi membelanya. Pamannya hendak meninggalkan dan melepasnya. Sementara itu, kaum muslimin masih lemah dan belum mampu membela diri. Namun, semua diserahkan pada kehendak Allah. Rasullullah bertekad untuk terus berdakwah. Lebih baik mati membawa iman daripada menyerah atau ragu-ragu. Oleh karena itu, dengan seluruh kekuatan jiwa, Rasulullah berkata, "Paman, demi Allah, kalau pun mereka meletakkan matahari di tangan kananku dan bulan di tangan kiriku agar aku meninggalkan tugas ini, sungguh tidak akan kutinggalkan. Biar nanti Allah yang akan membuktikan apakah kemenangan itu ada di tanganku atau aku binasa karenanya." Begitulah kedahsyatan iman Rasulullah. Abu Thalib sampai tertegun dan gemetar mendengar tekad keponakannya itu. Rasulullah pergi sambil menitikkan airmata, tetapi Abu Thalib memanggilnya kembali sambil berkata, "Anakku katakanlah sekehendakmu. Aku tidak akan menyerahkan engkau apa pun yang terjadi." Utsman dan Ruqayyah Sore itu, Rasulullah pulang ke rumah dengan hati yang sangat sedih. Seharian, beliau melihat para pengikutnya disiksa. Betapa berat penderitaan orang-orang Muslim saat itu. Khadijah menghampiri suaminya tercinta. Dihibur dan dikuatkannya kembali diri Rasulullah . Tiba-tiba, pintu terbuka. Ruqayyah, putri kedua Rasulullah, tiba-tiba masuk sambil menangis. Ruqayyah mendekap pangkuan ibunya sambil menangis tersedu-sedu. "Ada apa, sayang?" tanya Khadijah begitu lembut, menutupi kekhawatirannya sendiri akan berita buruk yang dibawa putrinya itu. "Suamiku menceraikan aku, Bunda," isak Ruqayyah. "Ayah mertuaku, Abu Lahab, menyuruh suamiku menceraikan aku dan suamiku menurut. Ia dijanjikan akan dinikahkan kembali dengan putri bangsawan." Rasulullah dan Khadijah saling bertatapan sedih. Sudah sekejam itu Abu Lahab bertindak untuk menyakiti Rasulullah dan keluarganya. "Ummu Jamil, ibu mertuaku, merobek-robek bajuku," lanjut Ruqayyah pilu. "Abu Lahab memukuliku. Abu Lahab, Ummu Jamil, dan suamiku, Utbah, bersumpah tidak akan menerima lagi kehadiranku selama ayah masih tetap mendakwahkan Islam." Seberapa pun tabahnya Khadijah, akhirnya air matanya menitik juga melihat putrinya yang kini menjadi orang terusir. Dengan lembut, Rasulullah memeluk putrinya itu dan menghapus air mata di pipinya. "Aku lebih sayang Ayah dan Bunda daripada siapa pun di dunia ini," bisik Ruqayyah kepada Rasulullah. Dengan hati pilu, Rasulullah pergi menemui Abu Bakar. Rasulullah menceritakan kejadian yang menimpa Ruqayyah. "Ya Rasulullah," kata Abu Bakar dengan lembut. "Sebenarnya, dari dulu, Utsman bin Affan sudah menaruh hati pada Ruqayyah, tetapi Utbah mendahuluinya. Utsman sangat menyesal tidak dapat menyunting putri Anda." Mendengar penuturan Abu Bakar, Rasulullah pun kemudian menikahkan Utsman dengan Ruqayyah. Untuk sementara, berakhir satu kesedihan. Masih banyak lagi cobaan dan ujian lain yang akan mendera Rasulullah, keluarga, dan para sahabatnya. Duri-duri di Jalan Gangguan Ummu Jamil dan Abu Lahab semakin menjadi jadi. Setiap kali Rasulullah ﷺ berjalan untuk menemui para pengikutnya, setiap itu pula beliau menemukan duri-duri bertebaran di jalan. Perlahan dan berhati-hati, Rasulullah ﷺ melangkah agar duri tidak menembus kakinya. Namun, hampir setiap kali pula dalam keadaan itu, kotoran dan batu melayang ke arah beliau. Suara tawa melengking terdengar jika Rasulullah ﷺ tengah sibuk menghindari lemparan batu dan kotoran. Sambil menghapus kotoran yang melekat di pakaian, Rasulullah menoleh ke arah suara tawa. Ummu Jamil dan Abu Lahab kelihatan begitu menikmati penderitaan Rasulullah ﷺ. Ummu Jamil berpakaian mencolok dan selalu menatap Rasulullah ﷺ dengan tatapan menghina. "Lihat!" lengking Ummu Jamil, "Inilah Muhammad, anak gembel yang berani membawa agama baru! Agama yang dikiranya dapat menyamakan kedudukan para bangsawan dan budak!" Rasulullah ﷺ tidak berkata apa-apa untuk membalas. Beliau hanya balik menatap dengan tatapan yang tajam. "Percuma kamu banyak berkata, istriku! Telinganya sudah tuli!" Sembur Abu Lahab. "Hai, para budak! Lanjutkan kesenangan kalian!” Seketika itu juga, budak-budak kuat bertubuh besar milik Abu Lahab dan Ummu Jamil kembali melempari Rasullulah ﷺ dengan batu, kotoran, dan pasir. Diperlakukan seperti itu, Rasulullah ﷺ tidak membalas sedikit pun. Beliau hanya menghindar, menahan sakit, seraya bersabar dan terus bersabar. Bersambung |
ISLAM
Cari artikel? Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini. Kebenaran Quran dan Ajaran IslamMenyampaikan bukti-bukti kebenaran Quran dan ajaran Islam melalui tulisan dan pengakuan ahli ilmu pengetahuan dunia yang diambil dari berbagai sumber.
Archives
July 2024
Categories
All
kirim pesan [email protected]
|