Nama Yatsrib Menjadi Madinah
Yatsrib berasal dari nama Yatsrib bin Mahlail. Ia adalah keturunan raja-raja Amaliqah yang dahulu pernah berkuasa di kota itu. Setelah Rasulullah hijrah, beliau mengganti nama Yatsrib menjadi Madinah. Cuaca di Kota Madinah sangat kering. Pada musim dingin suhunya sangat rendah dan pada musim panas suhunya jauh lebih panas dari pada Mekah. Banyak sahabat Muhajirin yang tidak kuat dengan cuaca tersebut dan jatuh sakit. Mereka dilanda demam tinggi yang melemahkan tubuh. Abu Bakar, Bilal, dan Amir bin Fuhairah termasuk yang jatuh sakit. Saat sakit, Abu Bakar sering berkata, ".....mati itu lebih dekat dari pada tali sepatu kita." Sementara itu, Bilal tidak suka berkata apa-apa jika sedang sakit. Namun, ketika sakitnya hilang, ia sering menangis karena merindukan Mekah sambil berkata, "Apakah aku dapat berjalan malam hari di lembah yang di sekelilingku ada pohon-pohon idzkir dan jalil (nama pohon yang banyak terdapat di Mekah). Dan apakah pada suatu hari aku dapat sampai lagi ke tempat air Majinnah dan apakah dapat terlihat lagi olehku Gunung Syamah dan Gunung Thafil (dua buah gunung dekat Mekah)." Akan halnya dengan Amir bin Fuhairah, jika menderita demam tinggi sering bersyair, "Sungguh aku mendapati mati sebelum merasakannya...." Rasulullah amat prihatin dengan sakit beberapa orang sahabat akibat cuaca panas tersebut. Beliau juga mendengar keluhan-keluhan mereka. Karena itu, Rasulullah pun berdoa kepada Allah, "Ya Allah, berikanlah kami rasa cinta pada Kota Madinah sebesar rasa cinta kami pada Mekah, atau bahkan lebih! Ya Allah, berilah berkah pada pekerjaan kami untuk mencari nafkah, sehatkanlah Kota Madinah ini untuk kami, dan pindahkanlah panasnya ke tempat lain yang Engkau kehendaki." Allah mengabulkan doa Rasulullah itu dan memindahkan panas Kota Madinah ke Dusun Juhfah yang letaknya 82 mil dari Madinah. Selain berdoa dan mengatasi masalah cuaca, Rasulullah pun melakukan hal lain yang sangat indah agar kaum Muhajirin yang berasal dari Mekah tumbuh rasa cintanya pada Madinah. Tabarruk Tabarruk adalah mengaharapkan berkah. Suatu ketika, saat Rasulullah tidur, datanglah Ummu Sulaim. Melihat keringat Rasulullah yang sangat harum menetes, Ummu Sulaim menadahnya. Tidak lama kemudian, Rasulullah bangun dan bertanya, "Apa yang sedang kamu lakukan, wahai Ummu Sulaim?" Ummu Sulaim menjawab, "Kami mengharap berkahnya untuk anak-anak kecil kami," Rasulullah kemudian berkata, "Engkau benar." Saling Bersaudara Suatu hari, Rasulullah mengumpulkan para sahabat Muhajirin dan Anshar. Di hadapan mereka, beliau bersabda, "Hendaklah kalian bersaudara dalam agama Allah dua orang - dua orang." Para sahabat saling pandang. Beberapa di anatara mereka tersenyum. Kemudian, Rasulullah bersabda, "Hamzah bin Abdul Muthalib, singa Allah dan singa Rasul-Nya, bersaudara dengan Zaid bin Haritsah, putra angkat Rasulullah." Kemudian Rasulullah menyebut nama-nama sahabat lain yang saling dipersaudarakan. Seorang Muhajirin dipersaudarakan dengan seorang dari Anshar. Tercatat dalam sejarah, ada seratus orang yang saling dipersaudarakan. Lima puluh dari Anshar dan lima puluh dari Muhajirin. Tujuan Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya adalah untuk menghilangkan rasa asing dalam diri sahabat Muhajirin di Kota Madinah. Selain itu, persaudaraan ini ditujukan untuk menunjukkan bahwa semua orang Islam bersaudara. Selain itu, juga agar setiap Muslim menjadi saling menolong yang kuat menolong yang lemah, yang mampu menolong yang kekurangan. Buah persaudaraan ini akan dirasakan terus selama tahun-tahun sulit yang kelak ditempuh Rasulullah dan para sahabatnya di Madinah. Ternyata, kalangan Anshar memperlihatkan sikap ramah yang luar biasa kepada saudara-saudara Muhajirin mereka. Sudah sejak semula golongan Anshar menyambut gembira kaum Muhajirin. Mereka begitu mengerti bahwa kaum Muhajirin meninggalkan segala yang mereka miliki, termasuk harta benda dan seluruh kekayaan di Mekah. Sebagian besar dari mereka memasuki Madinah dengan perut lapar tanpa ada lagi yang dapat dimakan. Apalagi mereka memang bukan orang berada dan berkecukupan. Tentu saja sebagai kaum yang berbudi, kaum Muhajirin tidak begitu saja terlena dengan bantuan saudara-saudara Anshar mereka. Kaum Muhajirin berusaha melakukan banyak pekerjaan agar mereka bisa kembali mandiri secepatnya. Persaudaraan Sejati Aqidah Islamiyah adalah dasar persaudaraan sejati. Tidak mungkin dua orang yang berlainan agama bisa bersaudara seerat dua orang yang sama agamanya. Rasulullah menghimpun hati para sahabatnya begitu dekat, sehingga tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali ketakwaan dan amal shalih. Bersambung
0 Comments
Tempat Rasulullah Menginap
Semua keluarga di Yatsrib berebut menawarkan diri menjadi tuan rumah kepada Rasulullah. Semuanya ingin agar Rasulullah bersedia tinggal di lingkungan mereka. Rasulullah mengetahui bahwa jika ia menentukan pilihan, keluarga yang tidak terpilih akan malu dan kecewa. Karena itu, beliau memasrahkan pilihan itu kepada Allah. Dengan halus, beliau berkata kepada semua kepala keluarga, "Biarkanlah untaku ini berjalan karena ia diperintah oleh Allah dan akan berhenti ditempat yang Allah kehendaki." Kaum Muslimin mengikuti Al Qushwa yang berjalan perlahan-lahan. Di suatu tempat milik dua orang anak yatim, unta Rasulullah itu berhenti dan merebahkan perutnya ke pasir. Rasulullah mengajak Al Qushwa berjalan lagi. Namun, tidak lama kemudian, ia kembali ke tempat semula dan merebahkan perutnya lagi ke pasir. "Inilah tempat kediamanku, in syaa Allah," demikian sabda Rasulullah. Kemudian, beliau berdoa empat kali, "Ya Allah, semoga Engkau menempatkan aku di tempat kediaman yang diberkahi dan Engkaulah sebaik-baik yang memberi tempat kediaman." Rasulullah membeli tanah dari kedua anak yatim tersebut. Rasulullah turun dan bertanya, "Di mana rumah saudaraku yang paling dekat dari sini?" Dengan penuh gembira, "Abu Ayyub segera menjawab, "Saya, ya Rasulullah! Itu rumah saya!" Rasulullah tersenyum dan berkata, "Baiklah Abu Ayyub, jika Anda berkenan, aku akan tinggal di rumah Anda untuk sementara waktu. Silahkan sediakan tempat untukku." Abu Ayyub tergopoh-gopoh memasuki rumahnya karena begitu gembira. Disiapkannya tempat untuk Rasulullah serapi mumgkin. Kemudian, ia kembali menghadap Rasulullah dan berkata, "Ya Rasulullah, sungguh saya sudah menyediakan tempat beristirahat bagi Tuan. Dengan berkah Allah, silahkan berdiri dan masuk ke dalam." Gentong Pecah Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub. Abu Ayyub ingin Rasulullah tinggal di lantai atas, tetapi Rasul menolak. Suatu ketika gentong Abu Ayyub pecah dan airnya tumpah. Abu Ayyub dan istrinya segera menggunakan selimut satu-satunya untuk menyerap air agar tidak menetes ke tempat tinggal Rasulullah. Setelah itu, Abu Ayyub mendesak Rasulullah agar tinggal di atas. Akhirnya Rasulullah pun bersedia tinggal di atas. Mendirikan Masjid Tujuh bulan lamanya, Rasulullah dan keluarganya tinggal di rumah Abu Ayyub. Selama itu, Abu Ayyub, Sa'ad bin Ubadah, As'ad bin Zurarah, dan yang lainya mengirim makanan untuk keluarga Rasulullah secukup-cukupnya. Setiap pagi dan petang, Ummu Ayyub memasak makanan dan tidak mereka makan sebelum terlebih dahulu mereka sajikan kepada Rasulullah dan keluarganya. Demikianlah budi Abu Ayyub dan keluarganya kepada Rasulullah. Rasulullah tinggal di rumah Abu Ayyub sampai beliau mendirikan masjid dan rumah sendiri. Ketika akan mendirikan masjid, Rasulullah memgumpulkan Bani Najjar yang menjadi pemilik tanah di tempat itu. "Wahai Bani Najjar," demikian sabda Rasulullah, "hendaklah kalian tawarkan harga kebun-kebun ini kepadaku karena aku akan membelinya." "Ya Rasulullah, kami tidak akan menghargai kebun-kebun itu karena mengharap ridha Allah saja." Namun, Rasulullah tetap meminta mereka memberikan harga walaupun rendah. Akhirnya, Abu Bakar membayar harganya sebesar sepuluh dinar. Setelah itu, bersama para sahabat, Rasulullah membenahi tanah itu, membersihkan pohon, dan membongkar serta memindahkan kuburan yang sudah rusak. Setelah itu barulah mendirikan masjid. Rasulullah meletakkan batu pertama, lalu beliau meminta Abu Bakar meletakkan batu selanjutnya, kemudian beliau menyuruh Umar bin Khattab, setelah itu Utsman bin Affan, dan terakhir Ali bin Abu Thalib. Beliau bersabda, "Mereka itulah khalifah-khalifah setelah aku." Setelah itu, semua orang bekerja keras dengan gembira dan penuh semangat. Sambil bekerja, Rasulullah bersyair, "Ya Allah sesungguhnya pahala itu pahala akhirat, maka kasihilah sahabat-sahabat Anshar dan Muhajirin." Para sahabat menjawab syair Rasulullah, "Jika kami duduk termenung, padahal Nabi bekerja, yang demikian itu sungguh perbuatan yang tidak pantas." Batu diangkat, diletakkan, disusun, dan disisipkan sampai akhirnya masjid pun selesai. Pagarnya dari batu dan tanah, tiangnya dari batang-batang kurma, atapnya pelepah kurma. Kiblatnya menghadap ke Baitul Maqdis. Ketika itu, Ka'bah belum menjadi kiblat. Di sisi masjid, didirikan dua buah kamar untuk tempat tinggal Rasulullah dan keluarganya. Sungguh, sebuah masjid sederhana yang penuh berkah. Warna Masjid Umar bin Khattab pernah berkata tentang bagaimana sebuah masjid dibangun. Kata beliau, "Lindungilah orang-orang dari tampias hujan. Janganlah kalian mewarnai (dinding masjid) dengan warna merah atau kuning sehingga dapat menimbulkan fitnah." Bersambung Shalat Jum'at Pertama
Rasulullah berangkat dari Quba pada Jum'at pagi. Beliau diiringi para sahabat Muhajirin dan Anshar. Sebagian berkendaraan, sebagian lagi berjalan kaki. Ketika waktu shalat Jum'at tiba, Rasulullah tengah melewati Wadi Ranuna. Tempat itu dekat dengan perkampungan Bani Amr bin Auf. Rasulullah berhenti dan mendirikan shalat Jum'at bersama para sahabatnya. Itulah shalat Jum'at pertama yang didirikan Rasulullah. Dalam shalat itu, Rasulullah berkhutbah, "Wahai seluruh manusia hendaklah kalian mengerjakan amal kebaikan demi kalian sendiri. Sungguh kalian mengetahui, demi Allah, sesungguhnya akan datang suatu hari ketika salah satu dari kalian dikejutkan oleh suara gemuruh, sehingga ia akan melupakan harta apa pun yang dimilikinya. Pada hari itu, Allah akan berfirman kepadanya langsung tanpa ada yang menerjemahkan dan menghalang-halangi. Firman-Nya, "Tidaklah telah datang seorang Rasul kepadamu lalu ia menyampaikan ajaran kepadamu dan Aku telah memberikan harta kepadamu serta Aku telah memberikan banyak karunia kepadamu. Namun, semua itu kamu gunakan untuk dirimu sendiri." "Saat itu, ia akan melihat ke kanan dan ke kiri, tetapi tidak melihat apa pun. Namun, ketika melihat ke muka, ia akan menatap Neraka Jahanam. Siapa pun yang dapat menjaga wajahnya dari bahaya api neraka, walaupun dengan separuh kurma, hendaklah ia banyak menyebut kalimat thayyibah karena kalimat thayyibah itu adalah sesuatu yang indah yang akan diberi balasan sampai tujuh ratus kali lipat. Keselamatan dan rahmat Allah serta barokah-Nya semoga dilimpahkan atas kamu dan atas Rasulullah." Pada saat shalat Jum'at itu, Rasulullah berkhutbah setelah shalat didirikan. Baru pada kemudian hari, Rasulullah mengubah cara itu sehingga khutbah dilakukan sebelum shalat Jum'at dilakukan. Rasulullah pun melanjutkan perjalanan. Setiap kali melewati sebuah perkampungan, orang-orang selalu berebut menawarkan tempat bersinggah dan beristirahat kepada beliau. Namun, selalu mengulang jawaban yang sama, "Biarkanlah unta ini berjalan, sesungguhnya ia diperintah Allah agar berhenti di tempat yang dikehendaki-Nya." Tiba di Madinah Kota Yatsrib dipenuhi bermacam perhiasan indah untuk menyambut kedatangan Rasulullah. Ketika beliau tiba, seluruh kaum Muslimin perempuan dan laki-laki, anak-anak dan budak belian, keluar rumah untuk menyambut kedatangan Rasulullah yang telah lama mereka nantikan. Anak-anak lelaki dan para budak laki-laki ramai-ramai berbaris di jalan seraya bersorak, "Telah datang Muhammad! Telah datang Rasulullah! Ya Muhammad! Ya Rasulullah!" Para pemuda dan laki-laki dewasa menghunus pedang dan tombak sebagai tanda siap mati membela Rasulullah. Kaum Muslimin yang mengiringi Rasulullah dari Quba berseru bersama, "Telah datang Nabi Allah! Telah datang Nabi Allah! Telah datang Nabi Allah!" Sementara itu, anak-anak perempuan naik ke atas rumah seraya bersama membaca syair, "Kami anak-anak perempuan keturunan Najjar, hai orang yang cinta bertetangga dengan Nabi Muhammad!" Mendengar sambutan yang begitu hangat dan penuh sayang itu, Rasulullah bertanya, "Apakah kalian semua cinta kepadaku?" "Ya, sudah tentu ya Rasulullah!" jawab semuanya. Dengan hati bergetar penuh kasih, Rasulullah bersabda, "Allah mengetahui bahwa hatiku sangat mencintai kalian semua." Ada orang yang menangis, ada juga orang yang tersenyum saat mendengar pernyataan cinta dari Rasulullah yang begitu mulia, yang begitu mereka cintai, dan yang begitu mereka rindukan. Maka rebana-rebana pun berbunyi dan kaum wanita berpantun. طلع البدر علينا ¤ من ثنية الوداع Thola’al badru ‘alaynâ min tsaniyyatil wadâ’i Telah terbit purnama di atas kita. Dari kampung Tsaniyyatil Wada. وجب الشکر علينا ¤ ما دعا لله داع Wajabasy-syukru ‘alaynâ mâ da’â lillâhi dâ’î Wajiblah kita bersyukur akan apa yang diserukan penyeru. أيها المبعوث فينا ¤ جئت بالأمر المطاع Ayyuhâl mab’ûtsu fînâ ji'ta bil amril muthô’i Duhai orang yang diutus kepada kami. Engkau datang dengan perintah yang ditaati. Demikian seterusnya, pantun-pantun kehormatan diucapkan oleh kaum Muslimin laki-laki dan perempuan ketika mereka menyambut kedatangan Rasulullah. Itu adalah suatu saat yang amat membahagiakan dan tidak akan pernah terulang lagi dalam sejarah, suatu penyambutan yang begitu tulus dan penuh cinta. Muhajirin yang Pertama Abu Salamah bin Abdul Asad adalah Muhajirin yang pertama tiba di Madinah. Setelah itu, menyusul Amir bin Rabi'ah bersama istrinya, Laila binti Abi Hasymah. Beliaulah wanita Muhajirin yang pertama tiba di Madinah. Bersambung Rasulullah Tiba di Quba
Kaum Muslimin di Yatsrib sudah mendengar bahwa Rasulullah telah meninggalkan Mekah. Oleh sebab itu mereka menanti-nanti dan berharap-harap kedatangan beliau. Bahkan beberapa dari mereka pergi ke Quba, suatu kampung yang letaknya beberapa mil dari Yatsrib untuk menyambut Rasulullah. Setiap pagi mereka pergi bersama-sama ke tempat itu. Jika sampai siang Rasulullah belum datang, mereka pergi dan berteduh sebentar di tempat lain. Ketika petang tiba, dan Rasulullah belum juga tiba, mereka pulang ke Yatsrib. Begitu terus setiap hari. Rasulullah dan rombongan memang masih agak jauh dari Yatsrib. Suatu hari ketika panas matahari tengah begitu terik, Rasulullah tiba di Quba. Saat itu, penduduk Quba juga sudah banyak yang memeluk Islam. Mereka juga tengah menanti-nanti kedatangan Rasulullah. Namun, tidak seorang pun yang sudah mengenal wajah Rasulullah dan Abu Bakar. Oleh sebab itu, ketika beliau dan Abu Bakar berteduh di bawah pohon kurma, tidak seorang pun yang datang menyambut. Sampai akhirnya, lewatlah seorang Yahudi yang mengetahui Rasulullah dan Abu Bakar yang tengah berteduh itu. Yahudi itu segera naik ke tempat yang tinggi dan berteriak sekeras-kerasnya, "Hai orang-orang Arab! Itulah orang yang kamu harap-harap dan kamu nanti-nanti kedatangannya! Ia telah berada di sini! Ia telah datang!" Demikian teriak orang Yahudi itu berulang-ulang. Orang-orang Quba datang berduyun-duyun ke tempat Rasulullah berteduh. Ketika tiba, mereka memberi hormat kepada Abu Bakar. Melihat itu, Abu Bakar segera membuka selendangnya dan meneduhi Rasulullah. Barulah orang-orang sadar bahwa mereka telah salah menyalami orang. Orang-orang meminta Rasulullah beristirahat selama beberapa hari di Quba. Rasulullah pun mengabulkan permintaan itu. Beliau tinggal di rumah seorang sahabat Anshar bernama Kaltsum bin Hadam. Kerinduan pada Rasulullah Banyak penduduk Muslim Yatsrib yang belum melihat Nabi Muhammad. Kerinduan akan sosok Rasulullah melambung saat menanti kedatangan beliau. Mereka ingin bertemu laki-laki yang telah menderita jiwa dan raga dalam berjuang, terusir dari kampung halaman, tetapi tetap bersemangat, percaya diri, kokoh, berhati tulus, dan terus berdakwah, tanpa pernah berhenti. Hijrah Ali bin Abu Thalib Bagaimana dengan Ali bin Abu Thalib, sesuai dengan pesan Rasulullah, setelah mengembalikan barang-barang titipan kepada pemiliknya, Ali bin Abu Thalib berangkat hijrah. Ali pergi mengawal keluarga Rasulullah dan keluarga Abu Bakar. Mereka adalah Fatimah, Ummu Kultsum, Saudah, Ummu Aiman dan anaknya, Usamah. Selain itu juga turut istri Abu Bakar, Ummu Ruman dan anak-anaknya, Aisyah, Asma, dan Abdullah. Juga ada orang-orang Muslim lain yang lemah dan tidak berdaya. Terbayang dengan jelas betapa beratnya tugas Ali bin Abu Thalib saat berhijrah. Apalagi mereka semua kekurangan, sehingga Ali bin Abu Thalib harus berjalan kaki menempuh jarak lebih dari 400 kilometer di tengah padang pasir itu. Selama perjalanan, mereka berhenti dan bersembunyi pada siang hari untuk menghindari kejaran pasukan Quraisy. Jika malam tiba, barulah mereka berangkat dan meneruskan perjalanan. Akhirnya, tibalah rombongan hijrah Ali bin Abu Thalib di Quba. Di sana, mereka berjumpa dengan Rasulullah yang masih berada di tempat itu. Begitu jauh dan beratnya perjalanan, kaki Ali bin Abu Thalib membengkak dan dipenuhi luka di sana-sini. Rasulullah merasa sangat iba kepada sepupunya ini. Beliau berdoa kepada Allah memohon agar Allah berkenan menyembuhkan semua luka di kaki Ali dan memulihkan kekuatannya seperti sedia kala. Dengan kedua tangan beliau yang mulia itu, Rasulullah mengusap kaki Ali bin Abu Thalib. Alhamdulillah, segera saja pulihlah semua luka, kempislah bengkak, dan lenyaplah semua rasa sakit dari kaki Ali bin Abu Thalib. Saat Ali bin Abu Thalib dan orang-orang yang dikawalnya tiba di Quba, Rasulullah telah berhenti di sana selama lebih dari sepuluh hari. Dalam sepuluh hari itu, beliau dan para sahabat yang lain telah membangun sebuah masjid. Itulah masjid pertama dalam sejarah Islam. Di dalam Al Qur'an, Allah menyebut masjid itu dengan nama Masjid Taqwa. Sampai kini, masjid itu dikenal sebagai Masjid Quba. Masjid Quba Rasulullah adalah orang pertama yang meletakkan batu untuk mendirikan Masjid Quba. Setelah itu, beliau menyuruh Abu Bakar lalu Umar bin Khattab dan setelahnya Utsman bin Affan. Ammar bin Yasir adalah orang yang pertama kali membangun temboknya. Kemudian, para sahabat Muhajirin dan Anshar membangunnya bersama-sama. Begitu masjid selesai kaum Muslimin di Quba menyangka Rasulullah akan tinggal di Quba lebih lama lagi. Namun, Allah memerintahkan Rasulullah untuk berangkat ke Yatsrib. Begitu mengetahui hal itu, dengan wajah sedih, Kaum Muslimin Quba mendatangi Rasulullah dan bertanya pelan, "Ya Rasulullah apakah Tuan memang menghendaki rumah yang lebih baik daripada rumah kami?" Rasulullah mengerti betapa besar rasa sayang kaum Muslimin Quba terhadap dirinya. Beliau pun menjawab dengan kata-kata yang sangat halus, "Oh tidak begitu, Allah memerintahkan saya berangkat ke Yatsrib. Karenanya, hendaklah Tuan-Tuan membiarkan unta saya terus melanjutkan perjalanan." Sebelum berangkat, Rasulullah berdiri di Masjid Quba. Para sahabat berkumpul dihadapan beliau. Rasulullah bertanya kepada mereka, "Apakah Anda sekalian orang-orang beriman?" Semuanya terdiam, tidak seorang pun yang berani menjawab. Kemudian, Rasulullah bertanya lagi, "Apakah Anda sekalian orang-orang yang beriman?" Kembali semua orang terdiam kecuali Umar bin Khattab. Saat itu Umar menjawab, "Ya Rasulullah, sesungguhnya mereka semua orang-orang beriman dan saya termasuk salah seorang dari mereka." Rasulullah bertanya lagi, "Apakah anda sekalian percaya pada keputusan Allah?" Kali ini semuanya menjawab, "Ya." "Apakah Anda sekalian bersabar akan malapetaka yang menimpa?" "Ya, ya Rasulullah." "Dan apakah Anda sekalian bersyukur saat mendapat kebahagiaan?" "Bersyukur saat mendapat kebahagiaan?" "Ya, kami bersyukur ya Rasulullah." "Demi Tuhan, kalau begitu Anda sekalian orang-orang beriman." Mengapa Masjid Dibangun Lebih Dulu? Masyarakat Islam tidak akan tegak jika tidak ada masjid. Oleh karena itu, perbedaan pangkat, kekayaan, kedudukan, dan lainnya akan terhapus jika umat Islam selalu bertemu setiap hari di masjid untuk menyembah Allah. Masjid juga merupakan tempat berkumpulnya kaum Muslimin untuk mempelajari syariat Allah. Bersambung Buraidah
Tidak hanya Suraqah bin Malik yang mengincar hadiah seratus ekor unta. Pemimpin Kabilah Banu Sahmin yang bernama Buraidah bin Al Hasib Al Aslami juga keluar mencari beliau. Ia memimpin tujuh puluh orang prajurit dan menyusuri jalan-jalan ke arah Yatsrib. Di suatu tempat, tiba-tiba saja secara kebetulan mereka bertemu rombongan Rasulullah. "Kepung!" perintah Buraidah. Beberapa detik kemudian, tujuh puluh pedang, tombak, dan panah mengurung Rasulullah dan memaksa beliau berhenti. Buraidah menegur Rasulullah. Beliau pun menjawabnya. Kemudian, sebelum Buraidah sempat bertanya lagi, Rasulullah mendahuluinya, "Siapa Anda?" "Saya Buraidah bin Al Hasib." Dengan tenang Rasulullah berkata kepada Abu Bakar, "Mudah-mudahan suasana mencekam ini kembali menjadi lebih baik." Kemudian, beliau memandang kembali Buraidah dan bertanya, "Dari keturunan siapa Anda?" "Dari desa Aslam, keturunan Sahmin." Kembali Rasulullah memalingkan wajahnya ke Abu Bakar dan berkata, "Kita telah selamat dan keluar dari jangkauan panah mereka." "Siapakah engkau?" Kali ini Buraidah yang bertanya. "Saya Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib." Dengan kehendak Allah, saat itu juga Buraidah mengucapkan dua kalimat syahadat dan memeluk Islam. Melihat pemimpin mereka memeluk Islam, tujuh puluh orang pasukan pengepung pun mengikuti jejaknya. Setelah itu, Buraidah dan pasukannya mengawal rombongan Rasulullah sampai keluar dari wilayah mereka. Dalam situasi diburu dan dikejar pun, Rasulullah tetap mampu mengumpulkan pengikut, berkat ketenangan, kekuatan iman, dan pertolongan Allah. Penyebaran Islam di Yatsrib Pesatnya perkembangan Islam di Yatsrib tidak lepas dari jasa Mush'ab bin Umair yang diutus Rasulullah ke Yatsrib untuk mengajarkan Islam. Mush'ab yang cerdas dan berhati lembut mampu membuat orang yang memusuhinya menjadi kawan. Berikut ini adalah salah satu kisah kecemerlangan dakwah Mush'ab bin Umair. Jauh sebelum Rasulullah dan kaum Muslimin Mekah berhijrah, di Yatsrib, Mush'ab bin Umair sedang mengajarkan Islam kepada sekelompok orang di kebun Bani Zafar. Sa'ad bin Muadz tidak senang mendengar berita ini. Ia lalu mendatangi Usaid bin Hudhair. Kedua orang ini adalah para pemimpin kaumnya. "Usaid temui orang Mekah itu. Dia datang ke daerah kita dan mengajarkan agama baru kepada orang-orang kita. Agama itu bisa membuat orang lemah dan miskin bangkit melawan kita." Mendengar itu, Usaid pergi menjinjing tombak ke kebun Bani Zafar. Ditegurnya Mush'ab bin Umair dengan tombak teracung. Namun, Mush'ab berkata tenang, "Maukah kau duduk dulu dan mendengarkan? Kalau kau tidak menyukainya, aku bersedia pergi dari sini." Usaid berpikir sejenak, "Baiklah, itu cukup adil." Kemudian, ia duduk dan mendengarkan Mush'ab. Semakin lama, hati Usaid makin tertarik. Akhirnya, ia memeluk Islam saat itu juga. Setelah itu, ia menemui Sa'ad bin Muadz. "Apa? Jadi sekarang justru engkau ikut memeluk agama baru itu?" teriak Sa'ad marah. Ia pun bergegas menemui Mush'ab sambil menyandang pedangnya. Namun, apa yang terjadi pada Usaid, terjadi pula pada Sa'ad. Begitu mendengar penjelasan Mush'ab tentang Islam, ia begitu tertarik sehingga menjadi Muslim saat itu juga. Setelah itu, tanpa membuang waktu, ia pergi menemui kaumnya dan berseru, "Hai Banu Abdul Asyhal, apa yang kalian ketahui tentang diriku?" "Engkau adalah pemimpin kami, yang paling dekat dengan kami, engkau punya pendapat dan pengalaman yang terpuji." Maka kata-katamu, baik wanita maupun pria, bagiku adalah suci selama kalian beriman kepada Allah dan utusan-Nya," demikian seru Sa'ad bin Muadz. Sejak saat itu, seluruh suku Abdul Asysal memeluk Islam. Amr bin Jamuh Keberanian kaum Muslimin di Yatsrib benar-benar diluar dugaan kaum Muslimin di Mekah. Para pemuda di sana dengan sangat berani mempermainkan berhala-berhala orang-orang yang masih musyrik. Amr bin Jamuh adalah seorang bangsawan dari Banu Salamah. Ia mempunyai sebuah berhala bernama Manat yang terbuat dari kayu. Setelah itu para pemuda dari Banu Salamah masuk Islam, diam-diam mereka mengambil Manat pada malam hari dan memasukkan berhala kayu itu ke dalam lubang penuh lumpur. "Manat! Kemana Tuhanku itu?" seru Amr bin Jamuh. Pagi-pagi sekali, ia sudah datang ke tempat penyembahan dan kebingungan mencari Manat yang hilang. Setelah mencari kesana kemari, ia menemukan Manat tersuruk di tempat yang sangat kotor. Amr segera mengambil, mencuci, dan membersihkan tuhannya itu sampai bersih dan meletakkannya lagi di tempat semula. "Siapa yang berani mengganggu Manat, akan kutebas lehernya!" ancam Amr bin Jamuh kepada orang-orang disekitarnya. Namun, pada malam harinya para pemuda Muslim kembali mengambil dan memasukkan Manat ke lubang yang kotor dan berlumpur. Sambil menuduh-nuduh dan memgancam-ancam, Amr bin Jamuh kembali mencuci dan membersihkan tuhannya. Begitulah terjadi berkali-kali sampai akhirnya rasa kesal Amr bin Jamuh berbalik pada Manat. Amr mengalungkan pedang pada Manat sambil berkata pada tuhannya itu, "Kalau kau memang berguna, bertahanlah! Kusertakan pedang ini bersamamu!" Keesokan harinya, Amr sudah kembali kehilangan Manat. Ia menemukan tuhannya itu di dalam sumur bersama bangkai seekor anjing. Sementara itu, pedangnya hilang. "Mengapa kau tidak membela dirimu? Mengapa kau biarkan dirimu terhina?" keluh Amr tidak berdaya. Beberapa orang pemuka masyarakat yang sudah memeluk Islam mendekati Amr dan mengajaknya berbicara. Saat itu, sadarlah Amr bin Jamuh betapa sesatnya ia selama ini. Setelah itu, tanpa ragu lagi ia memeluk Islam dan menjadi Muslim yang taat. Bersambung Menuju Yatsrib
Tiga hari tiga malam lamanya, Rasulullah dan Abu Bakar tinggal di Gua Tsur. Selama tiga hari itu pula, musyrikin Quraisy kelabakan. Abdullah bin Abu Bakar menjalankan tugasnya dengan sangat baik. Setiap hari ia memata-matai pembicaraan orang Quraisy dan menyampaikan ke Gua Tsur ketika petang tiba. Asma binti Abu Bakar setiap sore mengantarkan makanan bersama Abdullah. Sementara itu, Amir bin Fuhairah yang menggembalakan kambing di luar Gua Tsur selalu memerah susu kambing agar Rasulullah dan Abu Bakar tidak kehausan sekaligus memberi tahu jika ada orang yang mendekat. Ketiga orang itu menjalankan tugasnya dengan tenang sehingga tidak satu pun orang Quraisy yang mencurigai gerak-gerik mereka. Setelah tiga hari, kepanikan di kota Mekah sudah agak mereda. Saat itu lah Rasulullah dan Abu Bakar berangkat ke Madinah. Mereka diiringi Abdullah bin Uraiqith, seorang penunjuk jalan yang saat itu masih kafir. Ketika akan berangkat, ternyata tidak ada tali yang dapat digunakan untuk menggantungkan makanan dan minuman di pelana unta. Asma memecahkan masalah itu. Dengan sigap ia merobek sabuknya menjadi dua helai kain panjang. Sejak saat itu, Asma dikenal dengan Dzatun Nithaqain (yang bersabuk dua). Dengan cerdik Rasulullah memilih jalan yang sulit dan tidak bisa dilalui orang. Beliau memilih jalan memutar ke tepi laut. Mereka berusaha secepatnya menjauhi Mekah dan menghindari daerah pemukiman. Di Mekah orang ribut mendengar sebuah pengumuman yang sangat menarik, "Siapa pun yang dapat menemukan Muhammad dan membawanya sampai ke Mekah, akan mendapat hadiah 100 ekor unta." Dengan cepat, berita itu menyebar sampai ke dusun-dusun yang jauh. Suraqah bin Malik, kepala kabilah Bani Mudlij, turut mendengar berita itu. Suatu saat, ia didatangi seorang anggota kabilahnya yang datang tergopoh-gopoh. "Tuan, tadi saya melihat dari jauh ada beberapa unta lewat di tepi pantai. Mungkin itulah Muhammad!" "Bukan, itu orang lain!" kata Suraqah. Namun, setelah berkata begitu, Suraqah cepat-cepat pulang dan mengambil senjata lengkap. Ia pacu kudanya ke arah yang ditunjukkan orang tadi. Ternyata yang di buru Suraqah memang benar rombongan Rasulullah. Suraqah bin Malik Dengan cepat, Suraqah telah berada di belakang rombongan Rasulullah. Abu Bakar yang selalu waspada menoleh dan melihat musuh mendekat, "Ya Rasulullah, ada orang mengejar kita! Kita tentu akan tertangkap!" Namun, Rasulullah tetap tenang. Tanpa menoleh ke belakang, beliau bersabda, "Tenanglah sahabatku, jangan bersusah hati. Sesungguhnya Allah bersama kita." Kemudian, Rasulullah berdoa, "Ya Allah, cukupkanlah kami akan dia (Suraqah) sekehendak Engkau." Saat itu juga, kuda Suraqah tergelincir dan penunggangnya terpelanting. Suraqah terdiam sejenak. Ia merasa ada yang tidak beres. Suraqah pun memaksa kudanya bangkit dan mengejar lagi. Dengan keras kepala, Suraqah memaksa berdiri kudanya yang hampir tidak mampu bangkit. Ia lalu kembali mengejar. Untuk ketiga kalinya, namun Suraqah terjatuh lagi. Saat itu hilanglah niat jahat dalam hatinya. Ia memanggil-manggil Rasulullah. Beliau pun berhenti dan membiarkan Suraqah mendekat. "Maafkan saya, beribu-ribu maaf!" kata Suraqah. "Jangan engkau balas perbuatan saya, wahai Muhammad! Berilah saya sebuah surat jaminan bahwa engkau tidak akan membalas saya saat engkau dan agamamu kelak telah menguasai seluruh jazirah Arab." Rasulullah tersenyum dan mengabulkannya. "Tahukah Anda bahwa orang-orang Quraisy menjanjikan 100 ekor unta bagi siapa pun yang dapat membawa Anda kembali" ucap Suraqah. Rasulullah kembali tersenyum menyejukkan hati. Dengan penuh semangat, Suraqah menawarkan bekal dan peralatan untuk perjalanan jauh. Namun, Rasulullah menolaknya dengan halus. Beliau hanya berpesan agar Suraqah merahasiakan pertemuan ini. Sebelum kembali berangkat, Rasulullah bersabda, "Ya Suraqah, suatu saat kelak engkau akan berpakaian dan memakai perhiasan, gelang, serta emas yang biasa di pakai raja-raja Persia." Dengan hati dipenuhi rasa bahagia, Suraqah memandang wajah Rasulullah yang pergi menjauh. Memerah Susu Tidak lama kemudian, rombongan Rasulullah melewati kemah seorang ibu yang bernama Ummu Ma'bad. Mereka pun berhenti untuk membeli kurma, daging, dan susu. Tempat seperti itu memang biasa menyediakan perbekalan untuk para musyafir yang lewat. Namun sayang, apa yang mereka inginkan ternyata sudah habis. Ummu Ma'bad yang baik hati merasa iba. "Demi Allah, seandainya ada sesuatu yang Tuan-Tuan butuhkan, silahkan mengambilnya,Tuan-Tuan tidak perlu membayar." Rasulullah melihat kambing kurus dan bertanya, "Bagaimana keadaan kambing itu, Ummu Ma'bad? Apakah ia bisa mengeluarkan susu?" "Kambing itu adalah kambing yang sakit-sakitan Tuan. Ia sama sekali tidak menghasilkan susu." "Apakah engkau memperkenankan saya memerah susunya? tanya Rasulullah lagi. "Silahkan jika memang Tuan mengira ia dapat menghasilkan susu." Dengan izin Allah, kambing sakit-sakitan itu menghasilkan susu ketika Rasulullah memerahnya. Susu itu beliau berikan kepada Abu Bakar, lalu Abdullah bin Uraiqith, dan terakhir untuk beliau sendiri. Sesudah itu, beliau memerahkan susu untuk Ummu Ma'bad. Dan, beliau memerahkan segelas lagi untuk suami Ummu Ma'bad. "Ambillah ini satu gelas buat Abu Ma'bad jika nanti ia datang." Setelah itu, Rasulullah dan rombongannya pun meneruskan perjalanan. Sesudah matahari terbenam, datanglah Abu Ma'bad. Melihat segelas susu telah disediakan untuknya, ia keheranan dan bertanya pada istrinya, dari mana segelas susu ini Ummu Ma'bad?" "Ini dari kambing kita yang sakit-sakitan." Kemudian Ummu Ma'bad bercerita panjang lebar. Abu Ma'bad segera keluar dan memerah susu kambing yang kurus itu. Ternyata sejak saat itu sampai mati kambing kurus itu selalu menghasilkan banyak susu. Abu Ma'bad berkata kepada istrinya, "Sungguh, saya bercita-cita apabila kelak saya dapat berjumpa dengan orang yang kau ceritakan itu, saya hendak menjadi pengikut dan sahabatnya." Bersambung Namanya Ali bin Husein bin Ali bin Abi Thalib. Karena kemuliaan pribadi, ketakwaan dan banyaknya ibadah kepada Allah Ta'ala, orang-orang pun menjulukinya Zainal Abidin (Hiasan Para Ahli Ibadah). Julukan inilah yang kemudian lekat dengan dirinya, Ali Zainal Abidin.
Beliaulah satu-satunya anak lelaki dari Sayyidina Husein bin Ali ra. (cucu kesayangan Rasulullah ﷺ) yang selamat dari tragedi pembataian di padang Karbala, Iraq, 10 Al-Muharram tahun 61 Hijriyah. Tentang Ali Zainal Abidin, Imam Az-Zuhri berkata, "Wa mâ ra'aytu ahadan kâna afqah minhu. Aku tidak melihat seseorang yang lebih faqih (paham agamanya) selain beliau." (Al-Imam Adz-Dzahabi, Siyar A'lam An-Nubalâ') Ada banyak kisah inspiratif yang dinukilkan para ulama dari sosok mulia ini. Salah satunya dikisahkan oleh Al-Hafizh Ibnul Jauzi dalam Shifatush Shafwah (2:97). Satu ketika, Ali Zainal Abidin didatangi oleh orang-orang Syiah ekstrem dari kalangan penduduk Iraq di Madinah. Saat berbincang, mereka dengan lancang membicarakan kedudukan Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan dengan hal-hal yang tidak patut. Ketika orang-orang ini selesai bicara, Ali Zainal Abidin berkata, "Apakah kalian tidak pernah mendengar bahwa ketiganya termasuk kaum Muhajirin pertama yang disebutkan dalam ayat ini: الْمُهَاجِرِينَ الَّذِينَ أُخْرِجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا وَيَنْصُرُونَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ ۚ أُولَٰئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ '… Yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan-(Nya) dan mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.' (QS Al-Hasyr, 69:8)" Mereka menjawab, "Tidak!" Ali Zainal Abidin kembali bertanya, "Apakah kalian pernah diberi kabar tentang kaum Anshar, yang kemuliaannya disebutkan dalam ayat ini: وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِنْ قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ 'Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (kaum Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (kaum Anshar) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (kaum Anshar) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu) ...' (QS Al-Hasyr, 69:9)" Mereka berkata, "Tidak!" Ali Zainal Abidin lalu berkata, "(Kalau begitu), kalian telah berlepas diri untuk menjadi bagian dari kedua golongan itu (kaum Muhajirin dan Anshar)." "Aku bersaksi bahwa kalian tidak termasuk orang-orang yang disebutkan dalam ayat ini: وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا 'Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, "Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau biarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang beriman …" (QS Al-Hasyr, 69:10) Setelah itu, Ali Zainal Abidin mempersilahkan mereka untuk meninggalkan majelisnya sembari berkata, "Silakan kalian pergi! Allah-lah yang akan mengurus kalian." Dikutip dari Qishashul Auliyâ' (Kisah Para Kekasih Allah), karya Muhammad Khalid Tsabit. Memburu Rasulullah
Di Mekah, musyrikin Quraisy tampak panik. Para pembesar berkumpul sepagi mungkin. Dengan segera, pasukan berkuda disebar ke beberapa perkampungan seputar Mekah, untuk mencari Rasulullah. "Mengapa Muhammad bisa lolos? Bukankah kita telah mengepung begitu rapat sampai tidak seekor ular gurun pun dapat lolos?" teriak seorang pembesar. Semua orang terdiam. Mereka berusaha mencari jawabannya. Namun, tidak seorang pun bisa menjelaskan apa yang terjadi. "Sudahlah, itu tidak penting!" akhirnya seseorang berseru. "Sekarang yang paling mendesak adalah menemukan Muhammad secepat mungkin! Ada yang punya usul?" "Panggil pencari jejak paling ahli! Suruh dia melacak jejak Muhammad!" Usul itu segera dijalankan. Pencari jejak yang amat ahli itu mengikuti jejak yang ditinggalkan Rasulullah. Pasukan bersenjata lengkap mengikuti di belakangnya dengan wajah tidak sabar. Sebagian besar dari mereka adalah para pemuda yang semalam ditugaskan menyergap Rasulullah. Setelah bekerja dengan teliti, pencari jejak itu menarik napas sambil menggeleng, "Jejaknya sudah terhapus oleh orang yang lalu lalang tadi pagi!" "Gawat!" gemas seseorang. "Apa kau punya usul lain, pencari jejak?" "Siapa sahabatnya? Kita bisa bertanya kepada sahabat Muhammad yang paling dekat!" Orang Quraisy saling pandang dan serempak bergumam, "Abu Bakar!" Dipimpin Abu Jahal, pasukan pencari itu tiba di rumah Abu Bakar. Asma binti Abu Bakarlah yang keluar membukakan pintu. "Di mana ayahmu?" bentak Abu Jahal. "Dia pergi dan saya tidak tahu ke mana perginya," jawab Asma dengan berani. "Jangan berdusta! Katakan ke mana perginya?" "Saya tidak tahu! Di rumah hanya ada ibu dan saudari saya." "Ah, terlalu!" sambil bersungut, Abu Jahal menampar wajah Asma keras-keras. Sarang Laba-Laba Ketika mereka keluar kota dan menjajaki beberapa jalan, sang pencari jejak menemukan jejak mencurigakan. Kemudian, satu kelompok pasukan berkuda mengikuti jejak itu sampai tiba di kaki Gunung Tsur. Namun, di situ jejak terputus. Mereka kebingungan. "Ke mana arah kita? Ke kanan atau ke kiri?" tanya komandan pasukan. "Apakah Muhammad masuk ke dalam gua itu atau terus mendaki ke puncak?" "Aku tidak tahu," geleng si Pencari Jejak. Namun, lewatlah seorang gembala dan mereka menanyainya. "Mungkin saja mereka ke dalam gua itu," jawab sang gembala. "Tapi aku tidak melihat ada orang yang menuju ke sana." Di dalam gua, keringat dingin Abu Bakar keluar, ketika mendengarnya, "Bagaimana kalau mereka sampai masuk ke dalam sini? Bukan keselamatanku yang aku khawatirkan, melainkan keselamatan Rasulullah!" kata Abu Bakar dalam hati. Beberapa pemuda naik dan melongok-longok ke mulut gua. Jantung Abu Bakar hampir lepas. Ia berbisik, "Ya Rasulullah, kalau ada yang menengok ke bawah, pasti kita akan terlihat." Rasulullah menjawab mantap, "jangan takut Abu Bakar, sesungguhnya Allah bersama kita." Para pemuda itu turun, kembali ke pasukannya. "Mengapa kalian tidak masuk ke dalam gua?" tanya komandan mereka dingin. "Gua itu tertutup sarang laba-laba! Tidak mungkin Muhammad masuk ke dalam tanpa merusaknya!" "Lagi pula ada dua ekor merpati hutan bersarang tepat di mulut gua!" lapor yang lain. "Jika Muhammad masuk ke dalam, sarang itu juga pasti akan rusak." Komandan pasukan mengalihkan mukanya ke arah lain sambil menghela napas, "Baiklah, naik kudamu! Kita cari ke arah lain!" Pasukan pun menjauh. Sarang laba-laba dan burung merpati yang menutupi gua itu adalah pertolongan yang diberikan Allah. Padahal sebelum Rasulullah dan Abu Bakar masuk, tidak ada laba-laba dan burung merpati yang bersarang. Selain laba-laba dan burung merpati, di mulut gua juga mendadak tumbuh sebatang pohon yang menghalangi sebagian jalan masuk. Di dalam, Abu Bakar menarik napas lega. Keimanannya kepada Allah dan Rasul-Nya semakin bertambah kuat. Perjuangan Anak Muda Abdullah bin Abu Bakar dan saudarinya, Asma binti Abu Bakar, masih muda ketika mereka membantu hijrah Rasulullah dan ayah mereka. Abdullah bertugas mencari berita di tengah kaum Quraisy, sedangkan Asma mengirimkan makanan ke gua. Itulah ciri khas para pemuda Muslim sepanjang zaman. Mereka tidak hanya tekun beribadah ritual, tetapi juga mengerahkan seluruh kesanggupannya untuk berjuang. Menenteramkan Kakek Abu Quhafah adalah ayah Abu Bakar. Dia buta. Setelah Abu Bakar hijrah, Abu Quhafah mendatangi Asma. Sang kakek khawatir Abu Bakar tidak meninggalkan sepeser pun untuk putrinya. Memang demikian, karena Abu Bakar membawa semua uangnya untuk perjuangan Islam di Madinah. Asma membungkus batu dan berkata, Ayah telah meninggalkan banyak uang untuk kami. Abu Quhafah meraba batu itu dan hatinya tentram karena ia menyangka Abu Bakar memang meninggalkan uang yang banyak. Bersambung Dikepung
Abu Bakar berpesan kepada putranya, Abdullah, agar setiap hari mendengarkan rencana-rencana Quraisy saat mereka tahu Rasulullah telah berangkat hijrah: "Abdullah, setiap petang pergilah ke Gua Tsur tempat Rasulullah dan aku bersembunyi. Ajaklah adikmu, Asma. Suruh ia membawa makanan untuk kami." Abu Bakar juga menugasi pembantunya, Amir bin Fuhaira, agar menggembalakan kambing-kambingnya di dekat Gua Tsur selama Rasulullah dan Abu Bakar sembunyi di situ. Amir bertugas memerah susu kambing untuk minum Rasulullah dan Abu Bakar, sekaligus memberi peringatan jika orang-orang Quraisy itu mendekat. Malam pun tiba, Rasulullah telah besiap-siap. Beliau meminta Ali bin Abu Thalib untuk tidur di atas tempat tidur beliau dan menggunakan selimut yang biasa beliau kenakan. Kemudian, datanglah para pembunuh ke rumah Rasulullah. Mereka adalah para pemuda kekar yang berasal dari berbagai kabilah. Pembunuh-pembunuh itu bersenjata lengkap dan mengepung rumah Rasulullah dari segala penjuru: depan, belakang, dan samping. Disertai para ketua kabilah, jumlah semuanya hampir seratus orang. Tampaknya tidak ada celah sedikit pun untuk meloloskan diri. Menurut sebuah riwayat, salah seorang dari mereka mengintai ke dalam rumah Rasulullah dengan memanjat. Konon, setiap kali ia memanjat, terdengarlah suara tangis seorang anak perempuan. Orang itu pun segera turun. Begitulah yang terjadi berkali-kali. Menurut adat kesopanan Quraisy, terhinalah seorang ksatria yang memasuki rumah orang yang akan dibunuhnya dan hinalah seorang ksatria yang sampai merusak keamanan seorang perempuan. Anak perempuan tadi adalah seorang keluarga Rasulullah yang terbangun dari tidurnya. Demikianlah, para pembunuh terus berusaha mengintai untuk memastikan apakah Rasulullah masih berada di rumah atau tidak. Ketika melihat Ali bin Abu Thalib yang tidur dengan berselimut, mereka menyangka itu adalah Rasulullah. Dengan demikian, tenanglah mereka. Rasulullah Meloloskan Diri Ketika saatnya tiba, Rasulullah keluar rumah dengan sangat perlahan. Beliau mengambil segenggam pasir dan menaburkannya ke kepala para pengepung sambil membaca doa. Dengan pertolongan Allah, para pengepung itu tidak dapat melihat Rasulullah ke luar rumah. Bahkan semuanya jadi mengantuk dan tertidur. Rasulullah pun pergi. Tidak lama kemudian, Abu Bakar datang. Setelah tahu apa yang terjadi, Abu Bakar segera menyusul Rasulullah dan berhasil menemui beliau di tengah perjalanan menuju Gua Tsur. Pagi hampir tiba ketika tiba-tiba muncul seorang laki-laki tua yang tidak seorang pun pernah melihatnya. Orang tua itu berseru nyaring untuk membangunkan para pengepung, "Hai orang banyak! Kamu semua di sini sedang menunggu apa? Mengapa kalian tertidur demikian pulas?" "Kami sedang menunggu Muhammad! Bukankah ia masih tidur di dalam!" Orang itu menggeleng-geleng, "Kasihan .... kasihan .... kasihan sekali kalian! Muhammad sudah pergi dari tadi setelah menaburkan pasir di kepala kalian!" Para pemuda gagah itu bangkit, sambil membersihkan pasir di kepala mereka, "Aduh, pasir di kepala kita! Sungguh keterlaluan! Keterlaluan!" Salah seorang dengan gemas menggedor-gedor pintu rumah Rasulullah. "Muhammad! Muhammad! Muhammad!" Mereka kemudian menyerbu masuk dengan pedang terhunus. Hanya dalam waktu beberapa detik, mereka mengelilingi tempat tidur Rasulullah. Dengan kasar, selimut ditarik dan pedang-pedang terangkat siap untuk dihujamkan. Namun, Ali bin Abu Thalib yang tidur di tempat Rasulullah itu segera melompat bangun dan siap menghadapi maut. Wajah para pemuda itu membeku pucat melihat bukan Rasulullah yang berbaring. "Mana Muhammad?" hardik mereka kasar. "Aku tidak tahu!" jawab Ali bin Abu Thalib. Para pemuda itu kemudian menggiring Ali bin Abu Thalib ke dekat Ka'bah. Di sana mereka memukul, menendang, dan menampar wajah beliau. Namun, Ali lebih baik mati daripada mengatakan di mana Rasulullah berada. Dengan putus asa, mereka pun melepaskan Ali bin Abu Thalib yang telah bertahan demikian berani. Di Gua Tsur Saat itu Rasulullah dan Abu Bakar tiba di Gua Tsur. Selama berjalan, Abu Bakar sebentar-sebentar melangkah di muka Rasulullah, lalu disamping, kemudian pindah ke belakang. Demikian berulang-ulang. "Abu Bakar, saya tidak mengerti perbuatanmu ini?" ucap Rasulullah. "Ya Rasulullah, saya takut kita diikuti pengintai. Untuk mengelabuhi mereka, saya berpindah-pindah berjalan di dekat Anda." Saat itu Rasulullah berjalan dengan kaki telanjang. Padahal beliau tidak biasa berjalan tanpa alas kaki. Akibatnya, kaki Rasulullah dipenuhi luka. Tiba di Gua Tsur, Abu Bakar meminta Rasulullah menunggu sebentar di luar. Abu Bakar tahu Gua Tsur banyak dihuni binatang-binatang liar, buas, dan berbisa seperti ular dan kalajengking. Tidak seorang manusia pun berani masuk ke dalamnya. Abu Bakar pun masuk dan membersihkan gua tanpa menghiraukan bahaya yang mengancam. Ia merobek pakaiannya secarik demi secarik untuk menutup semua lubang yang terlihat. Setelah itu, dengan pakaian terkoyak-koyak, ia menyingkirkan batu-batu. Mendadak seekor ular yang bersembunyi di balik bebatuan itu menggigit kakinya dengan keras. Sakit sekali bekas gigitan itu seperti hendak meledakkan kepalanya. Namun, Abu Bakar menahan rasa sakit itu dan terus bekerja tanpa bersuara. Setelah selesai, Rasulullah pun masuk. Demikian lelahnya beliau hingga tertidur dengan meletakkan kepala di pangkuan Abu Bakar. Saat itu, rasa sakit bekas gigitan ular semakin terasa menyengat sampai-sampai air mata Abu Bakar menetes-netes. Setitik air mata itu menetes di muka Rasulullah. Beliau bangun dengan terkejut. "Mengapa engkau menangis wahai Abu Bakar?" "Saya digigit ular, ya Rasulullah." "Oh, mengapa tidak engkau katakan dari tadi?" "Saya takut membangunkan engkau." Rasulullah memeriksa luka Abu Bakar dan mengusapnya. Seketika itu juga, bengkak dan rasa sakitnya lenyap. Kemudian, Rasulullah bertanya, "Kemana pakaianmu?" Abu Bakar menceritakan semua yang terjadi. Rasulullah terharu. Beliau pun berdoa, "Ya Allah, letakkan Abu Bakar kelak pada hari Kiamat pada derajatku!" Bersambung Umar dan Hamzah Hijrah
Akhirnya berangkatlah kaum Muslimin secara berangsur-angsur. Yang tinggal di Mekah saat itu hanyalah Rasulullah, Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Hamzah, Umar bin Khattab, dan beberapa gelintir orang yang tidak menemukan cara untuk meloloskan diri. Ketika Abu Bakar meminta izin untuk berhijrah, Rasulullah menjawab, "Jangan tergesa-gesa, mungkin saja Allah memerintahkan aku berhijrah dengan disertai seorang kawan." Akhirnya, Hamzah pun berangkat bersama beberapa orang. Namun, beda dengan saudara-saudara Muslimnya yang berangkat dengan sembunyi-sembunyi. Hamzah bin Abdul Mutthalib berangkat terang-terangan sambil menyandang pedang. Sorot matanya seolah-olah berkata, "Siapa pun yang berani mencegahku pergi, akan menghadapi tebasan pedang!" Melihat sorot mata itu, tidak seorang Quraisy pun yang berani bertanya-tanya. Setelah itu, Umar bin Khattab pun menyusul. Ia pergi bersama beberapa orang lemah dan miskin yang tidak mungkin dibiarkan pergi jika dikawal seorang pelindung yang disegani Quraisy. Sambil menyandang pedang, meletakkan busurnya di pinggang. Umar bin Khattab pergi melewati Ka'bah. Tangannya menggenggam anak-anak panah. Di hadapan para pembesar Quraisy yang sedang duduk-duduk disitu, ia berkata, "Siapa di antara kalian yang ingin ibunya merasakan kematian anaknya, yang ingin anaknya menjadi yatim, dan istrinya menjadi janda, temuilah aku di belakang lembah ini." Namun, tidak seorang pun beranjak memenuhi tantangan itu. Melihat tantangannya tidak terjawab, Umar bin Khattab melompat ke atas kuda dan pergi memimpin rombongan hijrah. Kepergiannya diikuti tatapan penuh rasa takut sekaligus benci orang-orang yang memusuhi Islam. Kini, tinggallah Rasulullah, Abu Bakar, dan Ali bin Abu Thalib yang belum berhijrah. Melihat Rasulullah sendirian, para pemuka Quraisy merencanakan sesuatu yang jahat untuk mencelakakan beliau. Quraisy Mengincar Rasulullah Pada sebuah pertemuan bernama Darun Nadwah, para pemimpin Quraisy berkumpul untuk menentukan sikap terhadap Rasulullah. "Sudah berkali-kali kita membicarakan kepergian Muhammad dan pengikutnya ke Yatsrib, tetapi sampai saat ini tidak ada satu pun tindakan yang bisa kita lakukan!" ujar seseorang. "Betul, padahal persoalan ini begitu gawat buat kita. Sadarilah oleh kalian, jika Muhammad dan pengikutnya berkumpul di Yatsrib, suatu saat bisa saja mereka datang ke sini untuk menyerang kita!" "Dan kafilah-kafilah dagang kita!" jerit yang lain. "Kafilah-kafilah dagang kita harus melalui daerah pinggiran Yatsrib untuk bisa sampai ke Syam! Apa jadinya jika perdagangan kita mereka tutup? Kita akan kelaparan dan menderita! Persis seperti kita mengurung Muhammad dan keluarganya selama beberapa tahun di Syi'ib Abu Thalib!" Semua orang bergidik ngeri membayangkan kemungkinan itu. Sejenak tidak seorang pun tahu harus berkata apa. Sampai akhirnya, seseorang memecahkan keheningan, "Kita harus segera bertindak! Kemukakan usul kalian tentang apa yang harus kita lakukan!" "Masukkan dia dalam kurungan besi dan tutup pintunya rapat-rapat, kemudian kita awasi biar dia mengalami nasib seperti penyair-penyair semacamnya sebelum dia, seperti Zuhair dan Nabighah!" Namun pendapat ini tidak mendapat dukungan yang lain. "Kita usir dia! Buang saja dia keluar Mekah!" Namun, nanti dia bisa bergabung dengan pengikutnya di Yatsrib!" Akhirnya mereka menyetujui usul Abu Jahal yang sangat kejam, "kita ambil seorang anak muda yang tangguh dan terpandang dari setiap suku. Kemudian suruh mereka menusuk Muhammad secara bersama-sama dengan pedang-pedang yang telah diasah setajam mungkin. Bani Abdu Manaf dan Bani Hasyim tidak akan bisa membalas kematian Muhammad karena seluruh suku di sini terlibat pembunuhan itu! Paling-paling kita hanya harus membayar ganti rugi yang bisa kita tanggung bersama-sama!" Persiapan Hijrah Rasulullah Pada hari dilaksanakannya rapat untuk membunuh Rasulullah. Jibril turun dan menyampaikan firman Allah yang membongkar rencana Quraisy tersebut. Setelah itu, Jibril berkata, "Ya Rasulullah! Jangan Anda tidur malam ini di atas tempat tidur yang biasa, sesungguhnya Allah menyuruh Anda agar berangkat hijrah ke Yatsrib." Jibril juga menyampaikan bahwa kawan hijrah Rasulullah adalah Abu Bakar. Setelah mendengar perintah tersebut, tanpa membuang waktu lagi, Rasulullah pergi ke rumah Abu Bakar. Saat itu, tengah hari. Panas matahari terasa membakar kepala. Rasulullah berjalan sambil menutup muka dan kepala. Begitu tiba di depan rumah Abu Bakar, beliau segera memanggil-manggil sahabatnya itu. Abu Bakar terkejut, "Rasulullah sampai memerlukan datang di tengah panas yang amat menyengat begini, pasti ada sesuatu yang penting." Tergesa-gesa Abu Bakar keluar menyambut Rasulullah dan menyilakan beliau masuk. Rasulullah duduk dan berkata, "Allah telah mengizinkan aku keluar dan hijrah." Dengan hati berdebar dan penuh harap, Abu Bakar bertanya, "Berkawan dengan ..... saya ya Rasulullah?" Rasulullah tersenyum, " Ya, dengan izin Allah." Saat itu juga, Abu Bakar menangis karena begitu bahagia. Sudah berbulan-bulan lamanya ia berharap agar Allah memberinya kehormatan untuk menemani hijrah Rasulullah. Saat ini, impiannya itu menjadi kenyataan. Abu Bakar bangkit dan menunjukkan dua ekor unta yang sangat bagus, "Ya Rasulullah ambillah salah satu dari kedua ekor unta ini untuk kendaraan Tuan." Rasulullah kemudian memilih seekor unta dan beliau namakan Al-Qushwa. Abu Bakar segera berkemas. Beliau memerintahkan kedua putrinya, yaitu Aisyah dan Asma, untuk membantu menyiapkan bekal. Rasulullah cepat-cepat kembali ke rumah dan memanggil Ali bin Abi Thalib. Beliau berpesan agar Ali mengembalikan semua barang orang-orang yang sebelumnya dititipkan kepada Rasulullah. Pemandu Rasulullah dan Abu Bakar menyewa seorang pemandu atau penunjuk jalan bernama Abdullah bin Uraiqith. Ia termasuk orang Quraisy yang tinggal di luar kota Mekah. Ia hafal benar jalan-jalan dan situasi di daerah itu. Ia masih seorang musyrik, tetapi dapat dipercaya. Daya Tahan Rasulullah Hijrah menandai berakhirnya periode Mekah dalam dakwah Rasulullah. Selama 13 tahun berdakwah di Mekah, Rasulullah telah menunjukkan daya tahan, kesabaran, dan ketabahan yang luar biasa. Beliau menerima semua perlakuan buruk orang kafir selama bertahun-tahun tanpa amarah, apalagi hingga patah semangat. Bersambung |
ISLAM
Cari artikel? Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini. Kebenaran Quran dan Ajaran IslamMenyampaikan bukti-bukti kebenaran Quran dan ajaran Islam melalui tulisan dan pengakuan ahli ilmu pengetahuan dunia yang diambil dari berbagai sumber.
Archives
July 2024
Categories
All
kirim pesan [email protected]
|