Oleh : Rengganis Santika
Lagu yang akhir-akhir ini lumayan "viral" di layar kaca, yaitu Iman, Imun, Aman, mungkin ada benarnya juga. Dampak keimanan bagi emosional dan psikologi memang sudah lazim. Namun benarkah iman bisa membentuk imun sebagaimana vaksin? Sejauh mana peran iman dalam mendukung kesehatan serta kesembuhan seseorang? Semua pertanyaan ini penting untuk dijawab, apalagi di tengah tragedi kesehatan global pandemi saat ini, kesehatan menjadi barang mewah dan sesuatu yang sangat berharga. Perhatikanlah fenomena yang terjadi di masyarakat, demi kesehatan semua mendadak peduli pola hidup sehat. Memilih makanan sehat, olahraga, mengkonsumsi obat-obat herbal kini menjadi trend. Termasuk melakukan berbagai aktivitas anti stress. Sebab imunitas dipengaruhi juga oleh faktor kemampuan pikiran dalam mengelola stress. Dan cuma pikiran dengan iman yang kuat yang kelola stress secara positif. Fakta ini related dengan yang diungkap oleh Ibu Jo Marchant Ph.D seorang pakar mikrobiologi dan genetik yang bekerja di rumah sakit terkemuka di Inggris, dalam bukunya yang laris manis menjadi best seller dunia, yaitu "The Cure", ibu Jo bertanya apakah keyakinan pada Tuhan dapat menyembuhkan penyakit? Dalam uraian "looking for God" ternyata keyakinan spiritual akan keberadaan Sang Khaliq (Pencipta) dan keimanan seseorang terhadap keberadaan Alloh atau Tuhan tidak hanya menyehatkan secara emosional namun juga mampu mempengaruhi kesehatan dan kesembuhan secara significant. Beberapa penyakit mematikan dan berbahaya seperti jantung, stroke, meningitis dan hipertensi termasuk kanker dapat dihindari, dikendalikan bahkan sembuh dengan keyakinan dan keimanan seseorang. Bahkan pada penyakit-penyakit ekstrim seperti kasus HIV Aids, efek keyakinan spiritual sangat berpengaruh. Penelitian yang dilakukan Gail Ironson yang melakukan wawancara terhadap 100 orang yang baru saja terdiagnosis positip mengidap virus HIV aids, dimana virus ini menyerang sistem kekebalan tubuh yaitu sel darah putih (CD4) sehingga penyandang HIV akan mudah sakit bahkan berujung kematian. Penderita HIV aids (ODHA) diwawancarai tentang keyakinan spiritualnya. 45% memiliki keimanan yang makin tinggi setelah terdiagnosis, 42% tidak berubah atau sama saja keimanannya dari sebelumnya dan 13% justru makin tidak religius. Hasilnya sangat mengejutkan setelah 4 tahun pengamatan, kelompok 45% memiliki kadar virus yang paling rendah dalam sel darah, juga kadar CD4 nya yang tidak banyak berkurang, bahkan imunitasnya bertambah dibanding kelompok lain. Dalam sebuah Penelitian tahun 2005 pada penderita Aids dengan spiritualitas (keimanan) yang baik, setelah 11 tahun tidak menunjukkan gejala sakit apapun, bahkan memiliki kadar CD4 yang baik sehingga tidak memerlukan treatmen HIV aids. Penelitian lain yang dilakukan oleh Kenneth Pargament dan Amy Wachholtz, tentang meditasi sekuler dan meditasi spiritual, kelompok sekuler diminta memikirkan, bahagia dengan frase-frase umum seperti rumput hijau, taman yang indah, sementara kelompok spiritual diminta mengingat frase-frase agamawi seperti Tuhan Maha kasih (dalam Islam Alloh Ar Rahman). Mereka diminta melakukan meditasi setiap hari 20 menit selama 2 minggu. Hasilnya tingkat toleransi terhadap sakit dari kelompok spiritual lebih tinggi, dan mereka lebih tahan ketika berada dalam kolam dingin 2x lipat daripada kelompok sekuler. Penelitian inipun dilakukan pada 83 orang penderita migrain, tentu kelompok sekuler lebih mudah merasakan sakit. Selain itu keimanan yang melandasi keterlibatan seseorang dalam kelompok yang punya tujuan dan visi besar juga bisa mempengaruhi kesehatan dan kesembuhan seperti yang dijelaskan ibu Jo Marchant Ph.D. Hidup dengan jama'ah, kelompok, seperti komunitas yang bergerak di bidang sosial bisa menjadi terapi kesehatan dan penyembuhan. Saya pribadi pun (penulis) memiliki pengalaman tentang hal ini, ketika terdiagnosis mengalami hepatitis B dan kemudian mengidap batu empedu sehingga divonis harus operasi dengan resiko biaya besar. Alhamdulillah dengan keyakinan pada Alloh ta'ala diiringi sababiyah berupa ikhtiar yang mampu saya lakukan, tanpa mengurangi intensitas aktivitas dalam jama'ah dakwah Islam, seiring waktu tanpa disadari penyakit berangsur pulih tanpa operasi, virus hepatitis B pun negatif. Penelitian yang dilakukan dalam bingkai sekuler, lebih berorientasi sekedar manfaat yaitu demi kesehatan an sich! Kita tahu keimanan orang-orang kafir tidak shahih, namun sebuah keimanan tak shahih pun memberi efek penyembuhan. Hal ini karena hukum alam memang menganut obyektifitas berlaku universal. Tanpa memandang aqidah dan ideologi. Logikanya, sudah barang tentu bagi kita kaum muslimin yang punya keimanan, aqidah, ideologi yang shahih pasti akan berdampak jauh lebih dahsyat dan tidak semata demi sehat saja namun bisa jadi daya dorong kuat beramal produktif untuk meraih ridlo Alloh. Keimanan dalam Islam juga berdampak kolektif, sebab pemikiran Islam yang shahih mampu menjadi obat sekaligus "vaksin" penyakit sosial dan jadi antibodi bagi masyarakat dari serangan virus peradaban sakit, yaitu kapitalisme sekuler. Islam adalah vaksin dalam melawan kegilaan dan ketidakwarasan masyarakat kapitalis. Kegilaan kapitalisme yang sudah diluar nalar manusia. Nyawa dan harga dirimu tak lebih mahal daripada syahwat harta, wanita dan kuasa! Lebih gila lagi, ditengah krisis akut pandemi Covid 19 dan resesi ekonomi, kapitalisme masih bergairah mengais untung, dalam kesempitan rakyat yang lemah! Warga +62 tengah autogalau atas vaksin sinovac yang pernah diragukan efektifitas dan kehalalannya, bahkan ketika itu belum mengantongi izin pakai WHO. Kita sesungguhnya punya senjata iman yang kokoh, yang bisa jadi semacam "analgesik" (penghilang sakit) sementara terhadap kecemasan. Pada dasarnya vaksin yang dianggap canggihpun seperti pfizer, moderna, tak akan ada gunanya bila jiwamu jauh dari iman. Sejatinya keimananlah vaksin terampuh milik kita. Vaksin ini tak gratis! Mahal harganya sebab harus diperjuangkan, menuntut pengorbanan lalu istiqomah menjalaninya. Sebagaimana menurut Syekh Taqiyuddin An Nabhani dalam Kitab Nidzomul Islam (peraturan hidup islam) Bab Thoriqul Iman (jalan menuju iman), bahwa iman yang kokoh harus diperoleh dengan cara berpikir, agar bisa membawa pada kebangkitan dan perubahan hakiki (bukan cuma untuk sehat jasadi) iman tidak boleh taklid atau muncul dari perasaan (wijdan), sebab iman seperti ini lemah, mudah terkikis. Maha benar Alloh... kini kita semakin paham mengapa Rasululloh saw begitu sehat hingga selama hidupnya hanya mengalami 2x sakit yaitu ketika diracun Yahudi dan jelang wafatnya. Di usia jelang 60 tahun, dimana manusia modern masa kini umumnya pensiun, aktivitas mereka biasanya untuk menghindari post power sydrome, dengan kegiatan fun atau hobi mengurus ikan, burung, tanaman hias atau ikut klub jantung sehat, sepeda atau bisnis dan semisalnya. Usia jelang pensiun terkategori lansia, nonproduktif, dan mulai sakit-sakitan. Semua itu tidak berlaku bagi Rasululloh sholallohu alayhi wassalam. Beliau memberi contoh di usia 60 tahun fisiknya tetap prima, berkuda memimpin pasukan perang Tabuk ke Syam wilayah Romawi dalam keadaan panas terik dengan logistik minim tentu dengan kepiawaian pedang Zulfikarnya. Ternyata rahasianya bukan sekedar hidup sehat ala sunnah Rasululloh namun justru yang paling asasi sehatnya beliau karena terinstal iman yang kokoh dan tujuan hidup juga visi besar lagi mulia yaitu tegaknya aturan Alloh secara kaaffah di muka bumi hingga Islam jadi Rahmatan lil Alamin. Begitulah Islam tak pernah salah, apa yang ditulis ibu Jo Marchant Ph.D di abad 20, telah terangkum indah dalam Islam 14 yang lalu..... wallohu 'alam bishowab. Catatan: Tulisan ini diedit sedikit dari aslinya tanpa mengurangi pesan asli penulisnya.
0 Comments
Leave a Reply. |
ISLAM
Cari artikel? Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini. Kebenaran Quran dan Ajaran IslamMenyampaikan bukti-bukti kebenaran Quran dan ajaran Islam melalui tulisan dan pengakuan ahli ilmu pengetahuan dunia yang diambil dari berbagai sumber.
Archives
July 2024
Categories
All
kirim pesan [email protected]
|