Irian Jaya yang sekarang kita kenal dengan Papua dan Papua Barat masuk ke pangkuan Republik Indonesia sebagai bagian dari NKRI setelah melalui perjuangan panjang tak kenal lelah dari pendahulu kita. Belanda telah berjanji akan menyelesaikan masalah penyerahan kekuasaan atas Irian Barat dari Belanda ke Indonesia pada Konferensi Meja Bundar di Den Haag tanggal 2 November 1949 dalam waktu satu tahun. Namun sampai dengan tahun 1961 Belanda tetap tidak mau memenuhi janjinya. Presiden Sukarno kemudian mengambil langkah-langkah penting untuk membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda. Tiga langkah penting yaitu langkah diplomasi, langkah konfrontasi dan operasi militer. Perjanjian New York Amerika Serikat yang justru terkesan paling bernafsu membicarakan status kepemilikan Irian Barat mendesak pihak-pihak yang bersengketa untuk duduk di meja perundingan. Amerika bahkan menawarkan diri sebagai penengah dan menyediakan tempat “netral” untuk membicarakan masalah tersebut. Indonesia dan Belanda, atas desakan Amerika, akhirnya bertemu kembali di satu meja. Delegasi Indonesia dipimpin Adam Malik, sedangkan Belanda mengutus Dr. Jan Herman van Roijen. Diplomat AS, Ellsworth Bunke, bertindak sebagai penengah. Salah satu hasil dari perjanjian New York adalah gencatan senjata dan penyerahan kekuasaan atas Irian Barat dari Belanda ke Indonesia. Perjanjian New York ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 1962 oleh Adam Malik selaku Menteri Luar Negeri Republik Indonesia dengan Schuurman dan Van Royen yang mewakili pemerintah Belanda. Proses penandatanganan perjanjian ini disaksikan oleh Sekertaris Jenderal PBB U Thant dan Ellsworth Bunker di markas besar PBB. Langkah diplomasi untuk membebaskan Irian Barat dari tangan Belanda sudah dilakukan jauh-jauh hari dari kabinet Natsir dan kabinet selanjutnya. Namun langkah diplomasi ini mengalami kegagalan karena Belanda bersikeras untuk menguasai Irian Barat. Bahkan Belanda secara sepihak memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Belanda pada bulan Agustus 1952. Perisitiwa ini mengakibatkan Indonesia menghapus Misi Militer Belanda pada April 1953. Diplomasi PBB Upaya diplomasi di PBB juga dilakukan setelah perundingan langsung dengan Belanda tidak berhasil. Kabinet Ali Sastoramidjojo I membawa masalah Irian Barat ini ke forum PBB namun tidak membuahkan hasil. Selanjutnya Kabinet Burhanuddin melanjutkan usaha kabinet sebelumnya untuk membawa masalah Irian Barat ini ke dalam sidang Majelis Umum PBB. Belanda menanggapi usaha ini dengan cara meyakinkan PBB bahwa persoalan Irian Barat merupakan masalah bilateral antara Indonesia dan Belanda. Tentu saja pernyataan Belanda ini dikecam oleh Indonesia, sehingga pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo II, seluruh isi dari Konferensi Meja Bundar dibatalkan. Diplomasi di PBB gagal karena Indonesia belum mendapat dukungan dari 2/3 anggota Majelis Umum PBB yang hadir pada sidang tersebut. Langkah Konfrontasi Pada tahun 1956 Belanda tetap tidak ingin mengembalikan Irian Barat dan bersikeras ingin menguasainya, karena itu Indonesia mencoba menghadapi sikap Belanda melalui langkah konfrontatif dalam bidang ekonomi. Presiden Sukarno mengirim wakilnya yaitu Anak Agung Gede Agung untuk merundingkan masalah Finansial Ekonomi dengan perwakilan Belanda di Jeneva pada tanggal 7 Januari 1956. Namun, persetujuan ini ditolak oleh Belanda, sehingga pada tanggal 13 Februari 1956 Kabinet yang dipimpin oleh burhanuddin Harahap membubarkan uni Indonesia-Belanda secara sepihak. Ini terpaksa dilakukan karena Belanda menolak persetujuan Finansial Ekonomi di Jeneva. Operasi Militer Operasi Militer ditempuh karena cara damai yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia semuanya gagal. Operasi Militer dilakukan dengan dibentuknya Trikora dan pembentukan Komando Mandala dalam rangka pembebasan Irian Barat. Tugas komando Mandala adalah sebagai berikut:
Isi Perjanjian New York Paling lambat pada tanggal 1 Oktober 1962 Belanda menyerahkan Irian Barat kepada United Nation Temporary Executive Authority (UNTEA).
Belanda merupakan negara penjajah yang kejam dan ingkar janji. Sangat disayangkan bahwa dewasa ini Papua dan Papua Barat kembali bergejolak. Menurut Natalius Pigai gejolak ini bersumber dari adanya diskriminasi dalam pengelolaan sumber daya oleh pihak aparat Pemerintah, Kepolisian dan TNI yang sudah berlangsung lama. Semoga kita bisa menemukan jalan keluar yang baik untuk tetap mempertahankan Papua dan Papua Barat sebagai bagian tidak terpisahkan dari NKRI. Sumber: Urusandunia.com, Tirto.id Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiaGoOnline.com
0 Comments
Leave a Reply. |
ISLAM
Cari artikel? Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini. Kebenaran Quran dan Ajaran IslamMenyampaikan bukti-bukti kebenaran Quran dan ajaran Islam melalui tulisan dan pengakuan ahli ilmu pengetahuan dunia yang diambil dari berbagai sumber.
Archives
July 2024
Categories
All
kirim pesan [email protected]
|