Oleh: Rosdiansyah Dilansir dari Hidayatullah.com Perhatian terhadap bangsa Uighur (Uyghur) belakangan ini meningkat. Apalagi setelah kabar penyiksaan, pemaksaan serta aneka tindak kekerasan lainnya telah dilakukan Rezim Beijing secara intensif. Untuk menjustifikasi tindakan represif tersebut, Rezim Beijing telah menghembuskan isu separatisme serta terorisme kepada penduduk Uighur di Xinjiang, kawasan China bagian utara. Akibatnya, banyak negara tertipu lalu larut dalam propaganda sesat Rezim Beijing. Sorotan lembaga-lembaga penegakan HAM internasional diabaikan begitu saja. Tindak kekerasan di Xinjiang tak jua surut. Apalagi Beijing sangat diuntungkan oleh propaganda global isu perang lawan terorisme yang bergema dimana-mana. Bagi Partai Komunis China (PKC) resonansi isu itu menjadi tameng menutupi tindak kekerasan aparat PKC ke warga Uyghur. Mereka dipaksa mengikuti program-program indoktrinasi ala PKC dan tampak jelas pula upaya intensif PKC menghapus identitas Uyghur. Kini, simpati luas masyarakat internasional muncul di berbagai negara. Bahkan berbagai kelompok muncul menyuarakan kepedulian pada Uyghur. Namun demikian, salah-satu masalah penting warga Uyghur saat ini adalah bagaimana cara mengungkapkan ekspresi nasionalisme berbasis etnisitas. Bangsa Uyghur, yakni orang-orang berbahasa Turki yang tinggal di Asia Tengah, merupakan bangsa yang terlupakan dalam sejarah modern. Bangsa ini terbelah dua secara geografis, yaitu Uyghur yang menetap di Rusia dan Uyghur yang berada di Provinsi Xinjiang, China. Penulisan historiografi Soviet dan sovietologi secara sistematis mengecualikan Lembah Tarim dari studi wilayah Asia Tengah. Di lembah itulah banyak berdiam warga Uyghur. Sedangkan para sejarawan China, tidak hanya mereka yang dilatih di kampus-kampus Tiongkok, melainkan juga elit rezim Beijing, biasanya mengabaikan keberadaan puluhan juta minoritas Uyghur. Rezim Beijing asyik menyebarkan pelatihan-pelatihan bahasa serta budaya Tiongkok ke seluruh dunia, tapi mereka sengaja abai pada warisan budaya Uyghur. Oleh karena itu, selama dua dekade terakhir, sekelompok kecil cendekiawan berasal dari berbagai latar belakang disiplin keilmuan di seluruh dunia kini berusaha mengimbanginya. David Brophy adalah salah satunya, dan ia yang paling fokus dalam kajian serta riset ihwal Uyghur. Dalam buku ini, ia menulis ulang sejarah politik dan intelektual orang-orang Uyghur dengan mengulasnya pada seluruh isi buku. Berisi delapan bab berikut pendahuluan serta ditutup kesimpulan, tesis utama buku ini adalah bahwa bangsa Uyghur muncul ketika ide-ide reformis Muslim menjadi topik utama perbincangan masyarakat Uyghur. Baik warga Uighur di wilayah Soviet maupun di daratan Xinjiang membicarakan gagasan reformisme yang sohor di kalangan mereka yang disebut sebagai ”Jadidisme” (pembaharuan). Inti gagasan ini menyangkut pada metode baru dalam pembelajaran sekaligus pendekatan terhadap kajian-kajian Islam klasik. Masyarakat Uyghur termasuk masyarakat di Asia Tengah yang pada abad ke-19 sangat mengidamkan pencerahan serta membangun kembali peradaban muslim. Kedekatan masyarakat Uyghur pada Turki lantas membuat kekaisaran China agak was-was, terutama pada dua hal. Yakni, Pan-Islamisme serta Pan-Turkisme. Keduanya dianggap ancaman. Anggapan ini terus berlangsung serta diwariskan dalam birokrasi Tiongkok walau sistem pemerintahannya sudah berubah. Dari monarki absolut ke sistem pemerintahan komunisme ala China. Sebagai catatan, saat semangat ‘Jadidisme’ sedang membara di bumi Xinjiang, masyarakat modern Uyghur bersatu dengan aktivisme kelompok Uyghur diaspora setelah Revolusi Rusia 1917. Penyatuan ini menjadikan semangat serta upaya mempraktekkan ‘Jadidisme’ bisa berlangsung mulus karena adanya transmisi pengetahuan serta keahlian selama beberapa dekade. Pelan namun pasti rasa kebangsaan Uighur pun bangkit. Paling tidak, dalam sejarah awalnya, nasionalisme Uyghur bukanlah ideologi negara yang lahir dalam buaian revolusi Soviet atau sekadar jimat identitas etnis melawan dominasi China. Melainkan, rasa kebangsaan Uyghur itu menghujam kuat pada jati diri serta martabat etnisitas. Pada abad ke-8 Masehi, tatkala pengaruh kekaisaran bangsa Turk surut di kawasan Asia Tengah, bangsa Uyghur mengisi kekosongan kekuasaan tersebut. Dinasti Tang di China daratan kala itu tak bisa berbuat banyak untuk menjaga stabilitas kawasan, sehingga bangsa Uyghur secara cepat berhasil menduduki kawasan yang sekarang disebut sebagai Mongolia. Bangsa petarung ini menguasai wilayah luas. Catatan arsip-arsip Tiongkok kuno menyebut, kekuasaan Uyghur dibangun melalui segelintir elit dikelilingi etnis-etnis lain. Kemapanan Uyghur menguasai wilayah Asia Tengah sampai Mongolia bertahan selama satu abad. Awalnya, mereka menganut ajaran Budha karena pengaruh dari India, Persia dan China, dan kawasan mereka tinggal saat itu biasa disebut ‘Uyghuristan’. Kemudian, dari kawasan tersebut muncul dinasti Qarakhanid pada abad ke-10 yang secara resmi mengadopsi Islam sebagai agama mereka. Ibukota mereka ada dua, satu di Kashgar dan kedua di Balasaghun (kini, Balashagun masuk wilayah Kirgiztan). Melalui ekspedisi yang dijalankan sampai ke pinggir-pinggir Asia Tengah, Dinasti Qarakhanid berhasil melampaui padang pasir Taklamakan, lalu masuk ke lembah Tarim. Inilah proses Islamisasi kawasan yang sukses dilakukan dinasti tersebut, dan berlangsung secara intensif. Sultan Satuq Bughra Khan pada abad ke-10 dari Dinasti Qarakhanid lantas berhasil menjadikan wilayah ‘Uyghuristan’ sebagai wilayah Muslim. Literasi bangsa Uyghur sangat tinggi, dibanding bangsa Mongol. Sehingga bangsa Mongol menjadikan para intelektual Uighur sebagai elit lingkaran Jenghis Khan. Mereka kerap mendampingi aksi-aksi penaklukan pasukan Jenghiz Khan, bahkan Dinasti Yuan (1271-1368) yang kemudian menguasai China, juga kerap dibantu oleh intelektual Uyghur, dalam bidang pendidikan serta peningkatan literasi. Ketika berada di beberapa pusat kota kerajaan China inilah, para intelektual Uyghur sering bertemu dengan komunitas muslim berbahasa China yang biasa disebut sebagai ‘Hui’. Sampai abad ke-18 berbagai dinasti di Tiongkok sulit menaklukkan kawasan Uighuristan. Jalan termudah menjaga pengaruh Tiongkok ke kawasan itu adalah melalui pengangkatan tuan tanah setempat sebagai perwakilan dinasti di sejumlah area di wilayah Uighuristan. Sementara itu, kekhawatiran para kaisar Tiongkok terhadap pengaruh Turki terus meningkat. Maka, berbagai upaya dilakukan ke wilayah Uighuristan guna menghambat laju pengaruh Turki tersebut. Hasilnya, muncul resistensi lokal pada para kaisar Tiongkok. Apalagi, aparat kekaisaran Tiongkok sering menerapkan pajak tinggi pada warga Uyghur dan terjadi mal-administrasi yang parah di internal pemerintahan lokal yang didukung Tiongkok. Pada 1864, terjadi pergolakan Muslim berbahasa China di Shanxi dan Ghangzu. Pergolakan ini segera saja memantik simpati Muslim Uighur yang ikut mempertanyakan cara-cara dinasti Tiongkok memerintah. Melalui kepemimpinan Dawud Khalifa, tokoh sufi Xinjiang, perlawanan terhadap Dinasti Tiongkok berlangsung cukup sengit dan masif. Bahkan banyak warga Kazakh berada di belakang Dawud. Apalagi kemudian juga muncul serangan tak terduga Yaqub Beg asli Kokandi ke kawasan Xinjiang. Serangan ini kian memperlemah pengaruh dinasti Qing. Namun sayang, memasuki tahun 1877, Yaqub Beg mendadak meninggal di Kashgari, sedangkan Dawud tak diketahui kiprahnya lagi. Pasukan Yaqub terbelah, sebagian mengakui kekaisaran Tiongkok, sedangkan sebagian lagi tetap melakukan perlawanan. Bangsa Uighur kembali berada dalam masa kekosongan kekuasaan di kawasan Uyghuristan dimana lembah Tarim berada di dalamnya. Sampai kemudian perjanjian antara Tiongkok dan Rusia digelar di Saint Peterburgh pada 1881, yang sangat mempengaruhi dinamika sosial di kawasan Xinjiang karena Rusia ingin juga menebar pengaruh ke kawasan tersebut. Jika melihat peta geografis kawasan Xinjiang ini, maka siapapun akan segera tahu betapa strategisnya kawasan ini karena berada dalam berbagai jalur perlintasan, termasuk pada masa modern sekarang ini. Sepertinya, rezim Beijing memang berupaya sekuat tenaga men-Tiongkok-kan Uyghur demi mencapai keuntungan tiga hal, yaitu geopolitik, geo-strategis dan geo-ekonomi.* Buku : Uighur Nation Penulis : David Brophy Penerbit : Harvard University Press, USA Tebal : xiii + 347 halaman Cetakan : Pertama, 2016 Peresensi alumni FH Unair, master studi pembangunan ISS, Den Haag, Belanda. Peraih beragam beasiswa internasional. Kini, periset pada the Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi/JPIP, Surabaya Rep: Admin Hidcom Editor: Cholis Akbar
0 Comments
Leave a Reply. |
ISLAM
Cari artikel? Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini. Kebenaran Quran dan Ajaran IslamMenyampaikan bukti-bukti kebenaran Quran dan ajaran Islam melalui tulisan dan pengakuan ahli ilmu pengetahuan dunia yang diambil dari berbagai sumber.
Archives
July 2024
Categories
All
kirim pesan [email protected]
|