Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan (RAN PE) yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024. Dalam upaya mewujudkan pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan, ada sejumlah program yang telah direncanakan. Salah satunya adalah penambahan materi pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di sekolah dan kampus.
Program ini berawal dari belum adanya materi tersebut dalam pendidikan formal. Penanggung jawab program di atas adalah Kemendikbud dan BNPT/BPIP. Salah satu bunyi program tersebut adalah Pelatihan=pelatihan bagi tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, peran media massa, dan influencer di media sosial (termasuk mantan narapidana teroris) dalam menyampaikan pesan mencegah Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Ambigu Dan Multitafsir Bila ditelaah substansi PERPRES Perpres No. 7/2021 tentang RAN PE menuai polemik dan berpotensi besar menciptakan kegaduhan. Isi peraturan tersebut bukan fokus di aksi terorisme, tapi menyasar pada keyakinan dan mengarah kepada gejala pra aksi terorisme yang kemudian dibahasakan sebagai ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada aksi terorisme. Sementara diksi ekstrimisme muktitafsir dan ambigu. Potensi subyektifitas dan tendensiusitas akan muncul dan sulit dikontrol. Upaya mengaitkan terorisme dengan dakwah para ulama atau dengan Islam jelas bukan hal baru. Upaya ini terus diulang-ulang sejak program War on Terrorism (Perang Melawan Terorisme) dimulai oleh Amerika Serikat di seluruh dunia, khususnya di negeri-negeri Muslim (termasuk Indonesia), segera sejak terjadinya Peledakan WTC 11 September 2001. Sejak itu Amerika menegaskan bahwa Perang Melawan Terorisme bakal memakan waktu lama alias perang jangka panjang. Tujuannya tidak lain karena yang diperangi oleh AS bukanlah semata-mata terorisme, tetapi Islam itu sendiri sebagai kekuatan ideologi dan politik. Sebab, para pejabat dan politisi AS, termasuk sebagian intelektualnya, memang menganggap Islam sebagai ancaman potensial bagi ideologi Kapitalisme yang diusungnya, setelah ancaman ideologi Sosialisme-komunis tidak ada lagi pasca runtuhnya Uni Sovyet. Inilah sebetulnya yang harus disadari dan dikritisi. Dalam konteks Islam, kita tentu sepakat, bahwa tindakan teror atau kekerasan apapun adalah tidak dibenarkan. Di luar itu, teror dan kekerasan apapun yang dilakukan oleh negara -meski atas nama keamanan - juga seyogyanya harus ditolak, apalagi sekadar didasarkan pada kecurigaan. Contohnya adalah penangkapan yang pernah dilakukan oleh Kepolisian Jawa Tengah terhadap 17 anggota Jamaah Tabligh yang sedang mengadakan ‘khuruj’ (dakwah) di Purbalingga dan Solo. Polisi menangkap mereka hanya didasarkan pada tampilan fisik luar seperti berjenggot dan bersorban. Contoh lainnya adalah pengawasan oleh negara terhadap kegiatan dakwah. Meski Kapolri membantahnya, Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Muladi justru mendukung pemantauan dakwah di masjid-masjid. "Lakukan saja, itu tugas polisi sebagai pengayoman masyarakat," ujarnya. (Tempointeraktif.com, 25/8/2009). Andai hal ini dilakukan, berarti Pemerintah telah melakukan bentuk 'teror' baru terhadap umat Islam. Selain 'ngawur', tindakan demikian juga melecehkan Islam; seolah-olah dakwah Islamlah faktor pemicu munculnya aksi-aksi terorisme. Selain itu, tindakan Kepolisian mengawasi kegiatan dakwah akan memberikan pembenaran, bahwa secara keseluruhan para da’i, mubalig dan khatib terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dianggap membahayakan keamanan negara. Hal ini jelas berbahaya karena akan berdampak pada munculnya disintegrasi (perpecahan) di tengah-tengah masyarakat. Jika sampai terjadi demikian, berarti Pemerintah sendirilah yang sesungguhnya menimbulkan ketidakamanan dan ketidaknyaman di masyarakat.
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|