Pengunjung Helfianet.com yang saya banggakan. Kali ini saya ingin mengajak mengenal sedikit tentang apa yang dimaksud dengan RESIKO atau RISK dalam sebuah Keselamatan Proses atau Process Safety. Sebelumnya mari kita berkenalan dulu dengan apa yang disebut dengan BAHAYA atau HAZARD. Bahaya adalah suatu keadaan atau praktek yang berpotensi menyebabkan orang cidera atau merusak lingkungan. Sebagai contoh dalam industri migas, sebuah tangki berisi minyak mentah adalah BAHAYA karena jelas keberadaannya merupakan suatu keadaan yang berpotensi menyebabkan orang cidera atau merusak lingkungan. Apabila suatu peristiwa atau kejadian berpotensi menyebabkan orang cidera atau merusak lingkungan, maka kita menyebut peristiwa itu dengan istilah KECELAKAAN. Seberapa sering sebuah kecelakaan terjadi dalam satu tahun disebut dengan istilah FREKUENSI. Di sinilah pentingnya sebuah statistik KECELAKAAN dalam industri migas. Sejalan dengan teknologi informasi yang berkembang pesat, industri migas telah mengembangkan database FREKUENSI kegagalan berbagai komponen peralatan sehingga bisa memprediksi FREKUENSI sebuah KECELAKAAN. Ketika sebuah KECELAKAAN terjadi, dampaknya bisa kecil atau besar terhadap manusia dan lingkungan. Besar kecil dampak dari sebuah KECELAKAAN ini disebut dengan istilah KEPARAHAN atau SEVERITY yang dikelompokkan dalam beberapa tingkatan atau level. Sebuah RESIKO dalam dunia KESELAMATAN PROSES diukur dengan mengetahui seberapa FREKUENSI terjadinya KECELAKAAN dan seberapa tingkat KEPARAHAN nya. Semakin sering potensi kecelakaan terjadi dalam setahun maka RESIKO KESELAMATAN PROSES semakin tinggi. Begitu pula jika tingkat KEPARAHAN sebuah kecelakaan tinggi. RESIKO adalah gabungan antara FREKUENSI terjadinya KECELAKAAN dan tingkat KEPARAHAN nya. Oleh karena itu RESIKO dalam dunia KESELAMATAN PROSES hanya bisa diturunkan dengan menurunkan FREKUENSI terjadinya KECELAKAAN atau mengurangi tingkat KEPARAHAN nya apabila sampai terjadi. Segala upaya penurunan RESIKO KESELAMATAN PROSES pada intinya dilakukan dengan menurunkan FREKUENSI dan KEPARAHAN sebuah potensi BAHAYA. LNG Tangguh menetapkan sebuah KECELAKAAN masuk kategori KECELAKAAN BESAR apabila berpotensi menyebabkan kematian 3 orang atau lebih. Begitu pula jika berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang serius dan luas. Tangguh LNG melakukan sebuah proses sejak tahap proyek sampai dengan tahap operasi untuk menilai potensi KECELAKAAN BESAR baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Adapun tujuannya adalah agar Tangguh LNG memiliki pemahaman yang baik tentang resiko KECELAKAAN BESAR dan bisa melakukan upaya penurunan resiko secara berkesinambungan.
0 Comments
Judul asli tulisan ini adalah “Kisah orang Indonesia pertama yang mencapai kutub selatan” yang ditulis oleh Agus Supangat dalam Buku "Kisah-kisah Sebuah Angkatan" dari Alumni ITB 77. Sangat menarik mengikuti pengalaman Agus Supangat, yang pernah dianugrahi penghargaan Satyalencana Wira Karya di bidang Kelautan oleh Pemerintah SBY ini, ketika mengawal Prasasti ke Antartika. Ikuti kisahnya di sini. Menuju Perancis Latar belakang pendidikanku berawal dari Sarjana Geofisika dan Meteorologi ITB yang aku peroleh pada bulan Maret tahun 1983. Kemudian melanjutkan dosen di ITB yang secara resmi dimulai di tahun 1985. Pada tahun 1987, aku mendapatkan beasiswa dari pemerintah Perancis untuk melanjutkan program DEA (S2) di bidang Meteorologi di Universite de Blaise Pascal dan DEA (S2) di bidang Geomorfologi dan Coastal Manajemen di Universite de Bretagne Occidentale tahun 1989. Pada tahun 1993 aku balik lagi ke Perancis untuk meneruskan program Doktor di bidang Marine Environmental di Universite de Montpellier II hingga selesai pada tahun 1996. Menjadi teman dan fasilitator di kampus ITB Sepulang sekolah dari Perancis, aku mulai lagi berkecimpung di dunia pendidikan di ITB seperti mengajar, sebagai dosen wali mahasiswa, membimbing mahasiswa, administrasi, organisasi, penelitian dan juga proyek. Cukup mengasyikkan kalau ketemu para mahasiswa apalagi yang masih baru (TPB), ada rasa haru setiap tahun kalau ikut menerima mereka, ketemu orangtuanya sampai akhirnya mereka diwisuda. Aku selalu, dan mungkin hampir rata-rata gaya dosen ITB, memposisikan diri sebagai teman dan fasilitator baik kuliah maupun di luar jam kuliah, dan ini cukup bagus menurutku karena mereka lebih terbuka kalau ada masalah baik akademis maupun pribadi. Dalam pengajaran aku lebih memilih Learning Base bukan Teaching Base. Untuk itu ya harus mempersiapkan dengan bagus semua materi yang diberikan, konsekuensi ya harus banyak nulis sebagai bahan bacaan para mahasiswa, bahkan dibudayakan untuk on-line alias dimanapun dan kapanpun dosen dan mahasiswa bisa diskusi. Dan satu hal yang menurutku penting adalah bahwa seringkali para mahasiswa memperhatikan sepak terjang dosennya, kadang malah ada yang dijadikan panutan. Diminta memberi “warna” Departemen Kelautan dan Perikanan yang baru Sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan, sekitar tahun 1999, aku ditugaskan oleh ITB untuk ikut memberi warna Departemen baru ini terutama dibidang kelautannya karena memang departemen ini lebih dominan di sisi perikanannya. Dan kami mulai dari nol bahkan kantor saja harus “nebeng”, meja dan kursi gantian. Pada waktu aku diminta menghadap Pak Sarwono dan Pak Indroyono, beliau hanya berpesan bahwa tidak ada fasilitas mobil maupun rumah dinas dan aku harus tetap mengajar !. “Siap Pak...!” jawabku. Teman-teman di ITB juga tahu bahwa istri dan kedua anakku memang tinggal di Jakarta. Alhamdulillah akhirnya semua berjalan, dimulai dari riset yang sifatnya lokal, nasional maupun internasional sudah berhasil kami lakukan. Dari mulai Arus Lintas Indonesia, Submarine Hydrothermal sampai Antartika. Kami benar-benar berusaha menunjukkan “bendera” kelautan Indonesia. Dan dampak dari itu semua, aku pernah jadi selebriti kelas proletar, profilku sempat dimuat dari mulai majalah Bobo, Harian Republika, Gatra, d’Maestro bahkan sempat diminta ikutan kuis Dang Dut-nya Jaja Miharja dan di era pemerintahan SBY ini aku dianugrahi penghargaan Satyalancana Wira Karya di bidang Kelautan. Pada awal September 2001 ada tawaran dari AAD (Australian Antarctic Division) kepada Indonesia melalui BRKP untuk melakukan riset di Antartika. AAD mengajak Indonesia untuk bergabung menjadi anggota tim Ekspedisi Antartika untuk tahun 2002. Ada 12 (dua belas) orang kandidat dari Indonesia, aku termasuk di antara nama-nama calon anggota Tim Ekspedisi Antartika tersebut. Ternyata akulah satu-satunya yang memasukkan proposal di bidang oseanografi. Akhir kata, setelah melalui berbagai seleksi yang lumayan berat dan ketat, seperti menjalani test kesehatan di Indonesia dan di Hobart, Australia, aku diterima sebagai anggota team ekspedisi. Memulai perjalanan ke Antartika Pulau Tasmania, selatan Australia, Sabtu 26 Januari 2002. jam menunjukkan pukul 19.00 waktu setempat. Matahari masih bersinar. Cahaya emasnya tampak benderang. Angin tak kencang, hanya berembus sepoi. Beberapa burung camar terlihat asyik melayang sambil sesekali menukik ke air, mencari ikan. Di dermaga, puluhan pasang mata tak lepas mengamati Aurora Australis. Sore itu, kapal riset milik Australia ini baru saja berangkat meninggalkan Pelabuhan Hobart. Perlahan namun pasti, Aurora Australis meninggalkan pulau seukuran Pulau Madura itu. Kami, rombongan peneliti dan sebagian awak berjajar di geladak paling atas ketika kapal beringsut perlahan meninggalkan pelabuhan. Peristiwa sore itu, tampaknya, tak akan pernah lepas dari ingatan. Dari atas geladak Aurora Australis saya melambaikan tangan ke teman-teman yang melepas di dermaga. Beberapa teman dari Indonesia memang hadir di sana. Mereka mahasiswa Indonesia yang tengah melanjutkan studi di negara itu. Saya terharu melihat mereka ikut mengantar kepergian kami. Dalam perjalanan riset yang kali ini diberi nama Voyage 7, Aurora Australis membawa tim peneliti gabungan. Ada 25 peneliti dari berbagai negara dalam misi ini. Ada peneliti dari Selandia Baru, Kanada, Brasil, Prancis, Amerika, Afrika Selatan, Belanda, Irlandia dan, tentu saja, Australia. Aurora Australis, dengan bobot mati 6.500 ton, dinakhodai Kapten Les Morrow. Pria berkebangsaan Australia ini telah berulang kali melakukan misi ke Antartika. Ia ramah, selalu enak diajak bercakap-cakap. Padahal, tanggung jawabnya besar. Kapal Aurora Australis ini besarnya hampir lima kali kapal Baruna Jaya VIII, kapal riset milik LIPI. Hari pertama di atas Aurora Australis berlalu dengan lancar. Laut sangat bersahabat. Hari pertama itu dihabiskan para peneliti dengan melakukan persiapan penelitian. Perbincangan di antara para peneliti pun makin akrab. Maklum, sebelumnya kami memang telah bertemu di darat. Kami telah bergabung sejak 21 Januari di pangkalan darat dekat Hobart. Pada 21 Januari itu, saya mendarat di Hobart, kota pulau dengan penduduk 40.000 jiwa, yang menjadi base camp penelitian Antartika. Di kota inilah terletak Australian Antarctic Division (AAD) - Lembaga Penelitian Antartika Australia. Di AAD ini, kami mendapat penjelasan awal sebelum melangsungkan penelitian. Saya merasa sangat beruntung bisa bergabung dengan peneliti dari berbagai negara untuk melakukan riset di Antartika. Melakukan penelitian di Kutub Selatan jelas sebuah peluang langka. Saya jelas bersyukur, sebab kesempatan ini belum tentu bisa terulang lagi. Mengambil air di 21 lokasi Tak perlu waktu lama bagi kami untuk menyesuaikan diri. Sebab, sebelum berangkat, segala hal telah direncanakan dengan baik dari Hobart. Semua peneliti boleh dikata telah mengingat di luar kepala segala hal mengenai kapal, posisi dalam tim, teman kerja, serta peralatan yang ada. Bagi saya, perjalanan ke Antartika ini merupakan suatu berkah karena berkesempatan melakukan penelitian mengenai air laut langsung di Kutub Selatan. Kesempatan semacam ini jelas hal langka bagi peneliti di Tanah Air. “Saya akan gunakan kesempatan ini sebaik mungkin,” begitu berulang saya tekadkan dalam hati. Dalam pelayaran Voyage 7, saya termasuk dalam tim AMISOR – Amery Ice Shelf Ocean Research – tim yang meneliti kaitan antara pemanasan global dengan pelelehan es di antartika. Disamping itu saya juga bertugas meneliti keberagaman klorofil di air laut. Sepanjang perjalanan, tim kami berulang kali menghentikan pelayaran untuk mengambil contoh air. Ada 21 titik berbeda harus diambil airnya. Semua contoh air itu bervariasi pada kondisi arus, kedalaman, juga dedahan cahaya mataharinya. Paling dalam mencapai titik 200 meter. Pada titik inilah cahaya matahari masih bisa mempengaruhi plankton. Untuk penelitian ini, saya bekerja pada laboratorium basah dan laboratorium kering. Setiap mengambil contoh air, Aurora Australis harus lego jangkar, berhenti berjam-jam. Sampel air diambil dengan menggunakan peralatan CTD, atau Conductivity -Temperature -Depth, sebuah perangkat seharga sekitar AUS$700.000. Peralatan ini dilengkapi dengan sistem komputer untuk analisis data, pengoperasian alat ini sepenuhnya dilakukan lewat komputer. CTD dioperasikan dari geladak D Aurora Australis, tempat laboratorium kering dan basah terletak. Pada saat akan mengambil contoh air, pintu di dinding kanan kapal akan terbuka. Kemudian sebuah belalai dikeluarkan. Di ujung belalai ini ada semacam alat yang bisa membuka-menutup. Fungsinya mengambil air. Contoh air inilah yang akan digunakan sebagai bahan penelitian. Sebelum Aurora Australis berangkat, semua titik pengambilan air sudah ditentukan. Pada lintang-bujur berapa, demikian juga variasi kedalamannya. Karena itu saya tak perlu lagi repot harus berkoordinasi dengan nakhoda untuk menghentikan kapal. Begitulah, pada penelitian ini, semua kru dan peneliti tahu persis tugas masing-masing. Dilibas Badai Samudra Selatan Di Aurora Australis, semua kontrol dilakukan di layar komputer. Pintu untuk keluar-masuk belalai penelitian, misalnya, diatur otomatis. Saya pun bisa dengan mudah dan akurat menentukan kedalaman air yang bakal diambil. Setelah kedalaman sesuai dengan yang direncanakan, tombol panel pun ditekan, dan sampel air segera “terciduk”. Pada saat mengambil air, peneliti di atas kapal juga sudah tahu persis berapa besar kekuatan arus, suhu air, dan parameter lainnya di titik pengambilan itu. Sebuah sensor yang duhubungkan ke komputer kapal langsung membaca situasi umum itu dengan otomatis. Untuk mengubah ukuran kedalaman pengambilan air, saya hanya perlu menekan sebuah tombol panel di keyboard komputer. Semua memang serba computerized. Pada 31 Januari, pelayaran memasuki area Samudra Selatan. Suasana laut berubah tak bersahabat. Keganasan Samudra Selatan mulai terasa. Hari ini tak ada peneliti yang berani berjalan di areal terbuka geladak F. Di geladak paling atas Aurora Australis itu, air laut riuh menyerbu. Angin melibas kencang, dan badai menyemburatkan ombak yanng tingginya tak kurang dari 17 meter. Di samudra yang terkenal keganasan arusnya itu. Aurora Australis harus berjuang untuk terus melaju. Ternyata badai tak segera lewat. Tiga hari penuh kapal kami diombang-ambingkan badai dengan ombak yang lebih tinggi dari pohon kelapa. Beberapa teman peneliti sudah dilanda mabuk laut, mual-mual dan muntah-muntah. Rob Easther, lelaki 47 tahun yang menjadi komandan tim peneliti, tampak tegar berbeda dengan wakilnya Garry Nash, cewek ahli mikrobiologi ini mabuk laut. Ia tak tahan melawan hempasan ombak. Padahal, ini bukan kali pertama Garry Nash berlayar ke Kutub. Hempasan gelombang ke lambung kapal memang benar-benar tak sistematis, dan tak menerpa hanya dari satu arah. Kadang ombak tinggi menyapu dari buritan, kadang dari lambung kanan atau kiri. Hari pun rasanya penuh perjuangan. Saya sendiri hanya bisa tinggal di kamar. Kami semua memang hanya menghabiskan waktu untuk makam dan minum. Tak ada yang bisa kami lakukan kecuali berdoa. Saya yakin, badai kali ini memang amat kuat. Serangan paling hebat datang pada hari kedua. Dua kontainer di buritan kapal hilang, terbawa arus dan mencebur ke laut. Bagi saya, laporan kehilangan dua kontainer ini awalnya cukup menciutkan hati. Sebab, satu kontainer berisi peralatan penelitian seperti, peralatan mekanik, dan peralatan lain yang bakal digunakan di stasiun peneliti di Antartika. Sedangkan kontainer satunya penuh berisi bahan makanan. Tapi, kehilangan ini tak membuat kru dan awak kapal khawatir. Begitu juga para peneliti lain. Ternyata, semua barang yang hilang tadi sudah dibuatkan asuransi. Alat-alat pendukung penelitian yang tenggelam di laut itu sudah ada cadangannya. Semua ternyata telah diperhitungkan segala kemungkinannya... “Luar biasa”, saya membatin. Laporan mengenai hilangnya perbekalan ini juga langsung dikabarkan ke stasiun tujuan di Antartika yaitu Davis dan Mowson, serta base station di Hobart. Mengunjungi Benua Beribu Gunung Es Kapal, dan juga semua kru, termasuk para peneliti, memang sudah dipersiapkan untuk menghadapi semua kondisi terburuk. Untuk menghadapi risiko itu, latihan penyelamatan diri dari berbagai bahaya kontinu dilakukan dalam periode tertentu. Jadwal latihannya pun tercantum jelas. Semua harus ikut berlatih untuk menghadapi situasi riil di atas kapal, bila terjadi keadaan darurat. Termasuk latihan evakuasi, mengenakan baju pengaman, pelampung, serta masuk sekoci penyelamat. Semua latihan dilakukan dalam kondisi riil. Semua harus segera berada dalam posisi masing- masing, dan diabsen satu per satu. Kalau satu ketika ada peneliti yang tidak muncul, ia bakal kena marah. Toh akhirnya, badai pun mereda, dan perjalanan bisa dilanjutkan. Memasuki kawasan Antartika, tepatnya ketika melewati lintang 60 derajat, mulai terlihat gunung-gunung es. Cedric adalah gunung es pertama yang saya lihat. Sambutannya pun lumayan ramah. Bongkahan es raksasa itu berjalan tenang tertbawa arus laut. Gunung es sebesar lapangan sepak bola itu memiliki tinggi 10 meter dari permukaan laut. Tentu saja bongkahan yang ada di bawahnya jauh lebih besar. Gununng es memang menyimpan 90% tubuhnya di bawah laut. Saya, Lukman, dan peneliti lain, yang untuk pertama kali datang ke Kutub Selatan, memandangi Cedric dengan rasa takjub. “Umur gunung es ini diperkirakan lebih dari 10.000 tahun,” kata Rob Easther. Saya tentu saja makin tercengang. Mungkin melihat pandangan mata saya yang sangat ingin tahu, akhirnya Rob Easther pun mengulurkan sebagian kliping koran mengenai Cedric. Daerah tempat Cedric muncul ini disebut brink B, atau tepian B. Di sini sudah tampak gunung es bertebaran. Laut pun sangat tenang. Ancaman badai es memang ada, tapi itu hanya muncul di musim dingin. Bagi kapal, tantangan di areal ini adalah membekunya laut. Ternyata Aurora Australis sudah langganan terperangkap es. Hanya berkat kepiawaian Kapten Les Morrow, kapal ini selalu bisa terbebaskan. Sebagai perlengkapan standar Aurora memang dilengkapi dengan alat pemecah es. Pemecah es ini bekerja untuk membuka jalan. Tanpa alat ini, kapal bisa terjebak selamanya di daerah dingin ini. Bila tersangkut es, pemecah es pun mulai digunakan. Dinding kapal akan terasa bergetar bila alat ini bekerja. Caranya memecah es adalah dengan mendorongnya ke depan, dan berputar seperti bor. Gerakan ini dilakukan berulang kali, sampai es yang mengikat kapal pun pecah. Tujuan akhir perjalanan tim peneliti yang diboyong Aurora Australis adalah stasiun Penelitian Davis. Sebenarnya, selain Davis, Australia masih memiliki dua stasiun penelitian lainnya, yakni Mowson dan Casey. Tapi, Davis adalah pusat penelitian yang terbesar dan terlengkap. Letak Davis sangat dekat dengan stasiun penelitian milik Pemerintah Cina. Dalam perjalanan kami, Aurora Australis memang sempat berpapasan dengan kapal milik “Negeri Panda” itu. Waktu Jakarta di Kutub Selatan Dari Asia, hanya Cina, Jepang, Korea Selatan, dan India yang sudah memiliki stasiun penelitian Antartika. Membuka sebuah pusat penelitian di daerah sejauh Kutub Selatan ini tentulah sangatlah mahal. Tapi, saya kira Indonesia tak bisa mengabaikan peluang melakukan riset di daerah dingin ini. Apa manfaat riset-riset di Kutub bagi negara tropis seperti Indonesia? Menurut saya, laut adalah sebuah hamparan yang berhubungan satu dengan lainnya. Kejadian di kutub pasti bakal mempengaruhi laut di kawasan tropis. Maka manfaat penelitian di Kutub pasti sangat besar, sebab negara kita memiliki laut sangat luas. Kali ini, saya bisa berangkat karena Indonesia ingin menjadi anggota Antarctic Treaty. Meskipun, untuk sementara, masih harus bergabung dengan negara yang memiliki fasilitas riset di tempat dingin itu. Australia sudah bersedia mengajak para peneliti Indonesia untuk turut dalam penelitian di sana. Perjalanan saya tahun ini adalah perjalanan bersejarah bagi Indonesia. Saya pantas berbangga karena mungkin adalah manusia Indonesia pertama yang berlayar dan bisa mendarat di benua Antartika. Misi Indonesia ini tak hanya untuk penelitian, karena saya juga punya satu tugas penting lain : membawa sebuah batu prasasti, seberat 35kg. Prasasti yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri itu telah diletakkan di pusat penelitian Davis, yang bunyinya : " With the bless of God, the existence of Indonesian marine scientists with their colleagues from Australia on Antarctic continent brings a close relationship between two neighbouring country, Australia and Indonesia ". Perjalanan prasasti ini ternyata cukup panjang. Sebab baru hari ke-13 kapal Aurora Australis sampai di tujuan. Ternyata tidak semua peneliti diperkenankan turun. Hanya lima peneliti yang boleh merasakan kesempatan langka menjejakkan kaki di daratan es itu. Saya satu di antaranya. Untuk mencapai daratan es, kami dijemput sebuah helikopteer. Perlu waktu 45 menit dengan heli menyebrangi lautan es untuk sampai ke Davis. Yang unik, ternyata longitude atau bujur koordinat stasiun Davis hampir sama dengan bujur koordinat di wilayah barat Indonesia. Saya kaget. Setelah kekagetan itu lenyap, saya pun memutar jarum jam tangan ke posisi awal. Sebab, waktu Davis menggunakan standar waktu Indonesia bagian barat – WIB. Tapi kekagetan ternyata bertambah lagi ketika bertemu dengan para pilot heli di stasiun Davis. Umumnya mereka mengerti bahasa Indonesia. “Mau ke mana ?” mereka bertanya. Saya kaget benar, mereka ternyata sudah diberitahu akan ada peneliti asal Indonesia. Belakangan mereka bercerita, Bahasa Indonesia itu mereka pelajari ketika bekerja di berbagai pertambangan di pedalaman Indonesia Timur. Umumnya pilot-pilot helikopter di Davis memang pernah bekerja di tambang-tambang Indonesia Timur. Prasasti Megawati dan Air Mata Pakaian khusus semacam ini memang harus digunakan setiap turun ke daratan Antartika. Tapi, saya beruntung, Januari suhu di sekitar Davis tak terlalu menggigit. Suhunya berkisar antara 5 derajat hingga minus 5 derajat celcius. Dalam suhu seperti ini, bagian tanah di daratan itu masih terlihat. Sebagian jalan batu yang dibuat menuju stasiun itu juga nampak jelas. Di kiri dan kanan jalan itu terdapat tali penuntun. Pada Januari, tali itu tak terlalu berguna. Tapi, di musim dingin sekitar Juli- Agustus, tali itu menjadi tempat bergantung yang penting. Pada musim itu angin kencang bisa menghajar tubuh siapa pun hingga roboh. Sesampai di Davis, rombongan kami disambut sangat hangat oleh para peneliti yang ada di sana. Saya benar-benar merasa beruntung bisa menjadi orang Indonesia pertama yang sampai ke daerah dingin itu. Sebab, batu prasastii Presiden Megawati akhirnya jadi juga diletakkan di dekat bangunan utama Stasiun Davis. Rabu 13 Februari, pukul 19.00 WIB, ketika saya mengibarkan sang Merah Putih dan meletakkan batu prasasti di Stasiun Davis, adalah hari bersejarah bagi Indonesia. Hingga kini saya masih bisa mengingat deetik-detiknya secara jelas. Sebab, setelah prasasti itu diletakkan, saya mengerek bendera Merah Putih. Bagi saya, adalah momen mengharukan bisa menyaksikan bendera negeri tercinta berkibar untuk pertama kali di Kutub Selatan. Benar-benar sulit rasanya membendung air mata. Usai pengibaran bendera, saya bergegas masuk ke bangunan utama pusat penelitian Davis. Tak sabar saya mengirimkan e-mail ke teman-teman di Tanah Air, mengumumkan keberhasilan itu. Selesai mengirim e-mail, saya langsung mengangkat telepon: “Halo, halo ini Agus dari Antartika…,” ke rekan-rekan di Departemen Kelautan. Saya pun tak lupa menelepon keluarga, istriku Endang Indrawati, serta kedua anakku, Eriyanti Primadani, dan Janviero Demillo. Saya lega, separuh tugas selesai. Kini tinggal berkonsentrasi pada penelitian. Lupa Membawa kaset dangdut Suasana di Aurora Australis sangat menyenangkan. Kapal penelitian ini memiliki enam geladak. Dek A, B dan C, yang terletak paling bawah, digunakan kru kapal. Geladak D menjadi lokasi laboratorium basah dan kering. Di lantai ini pulalah terdapat kamar tidur, ruang makan, bar, dan toko makanan yang dikelola kru kapal. Fasilitas olahraga juga berada di geladak ini. Dek paling atas adalah Dek F. Geladak ini sebagiannya adalah ruang terbuka. Melihat ukurannya, kira-kira empat heli bisa hinggap sekaligus di geladak ini. Tapi yang paling membuat saya dan Lukman betah adalah, hampir seluruh kru dan peneliti Australia bisa berbahasa Indonesia walaupun terbatas. Meski terbata-bata dan dengan kosakata terbatas, mereka berusaha menggunakan bahasa Indonesia. Sapaan “mau makan apa”, “mau ke mana”, sangat sering terdengar. Tak Cuma itu, lagu Satu-satu Aku Sayang Ibu pun sering terlantun di Aurora Australis. Rachael, satu di antara peneliti, paling sering melantunkan lagu itu. Cewek 27 tahun ini sangat hafal lagu Satu-satu Aku Sayang Ibu. Peneliti Australia yang sedang menyelesaikan studi S-3 mengenai kelautan di Universitas Brisbane ini mengaku hafal karena ibunya kerap menyanyikan lagu itu ketika ia kecil. Menurut Rachael, lagu itu dinyanyikan ibunya sebagai pengantar tidur. Saya, yang penasaran, pernah bertanya apakah Rachael mengerti benar arti lagu itu. Dengan senyum, cewek jangkung itu mengatakan: tentu saja. Sepanjang perjalanan, makanan benar-benar berlimpah. Tak mengherankan jika berat badan saya pun melonjak tiga kilo seusai pelayaran. Selain soal makanan, saya juga cukup terkagum dengan sarana komunikasi di Aurora. Fasilitas e-mail tersedia 24 jam. Setiap saat saya bisa berkomunikasi dengan dunia luar, walau penggunaan e-mail di kapal ini adalah tidak diperkenankan penggunaan attachment. Komunikasi dibatasi hanya tulisan, tak boleh mengirim foto atau gambar. Satu hal lain yang harus diceritakan adalah pengalaman hari ketujuh pelayaran Aurora Australis. Hari itu saya benar-benar sial, karena kurang berhati-hati ketika membuka mantel selesai mengambil foto di geladak kapal, kamera yang tergantung di leher itu ikut tertarik, jatuh dan pecah. Saya benar-benar putus asa, dan hampir menangis sebab perjalanan baru dimulai, dan masih ada puluhan hari lagi dalam perjalanan. Beruntung, musibah ini diketahui Debora Glasgow, fotografer asal Selandia Baru, yang turut dalam ekspedisi Voyage 7. Pada akhir perjalanan saya dihadiahi kejutan. Laptop pribadi saya ternyata sudah ia isi dengan dokumentasi foto sepanjang perjalanan ke Antartika. Saya kaget bukan kepalang. Tak kurang dari 500 frame foto dimasukkan Glasgow ke laptop saya. Di seri foto itu tampak seluruh kegiatan saya selama perjalanan. Tengah meneliti, makan, bercanda, tidur, bahkan tengah berolahraga. Mengenang perjalanan di Aurora Australis, ada juga penyesalan. Saya menyesal lupa membawa kaset lagu dangdut. Padahal, fasilitas audio di kapal itu rasanya bisa dimanfaatkan untuk mengenalkan joget dangdut pada para kru dan peneliti. Hiburan memang jadi bagian penting di kapal ini. Setelah menjalani aktivitas yang menjenuhkan, para peneliti bisa menghibur diri dengan bercanda, berolahraga, juga menonton TV. Fasilitas seperti bar dan kafe juga ada di sini. Tapi saya lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain sepak bola. Sebuah lapangan terbuka di geladak F bisa dimanfaatkan untuk berolahraga berebut bola ini. Luas lapangan itu seukuran lapangan basket. Pertandingan sepak bola tiga lawan tiga cukup memadai dilakukan di lapangan seluas itu. Sebenarnya, selain sepak bola, meja dan perlengkapan pingpong juga tersedia. Namun, olahraga satu ini tak terlalu populer. Sebab, gelombang dan angin laut yang kencang kerap membelokkan arah pantulan bola. Maka tak mengherankan jika meja pingpong ini hanya dibuka bila laut amat tenang. Menjelang akhir perjalanan, sebuah ritual pelepas lelah khusus dilakukan di Aurora Australis. Seminggu sebelum mencapai Hobart, ritual itu digelar. Di geladak D, semua peneliti berkumpul. Pada ritual ini, para peneliti yang baru pertama kali pergi ke Antartika “diwisuda”, mirip penggojlokan ala ospek mahasiswa dan harus mengikuti setiap perintah “para senior”. Tentu saja ini dilakukan dengan rasa humor yang tinggi. Selain itu ada juga acara pengorbanan. Siapa saja yang berani boleh melakukan pengorbanan, misalnya menggundulkan rambut. Biasanya kemudian terjadi adu tawar-menawar antar peneliti. Misalnya, kalau saya bersedia dicukur gundul, peneliti lain berani bayar berapa dolar dan hasil pengorbanan ini bakal disumbangkan ke panti sosial. Uang hasil ritual pengorbanan ini dikumpulkan dan disumbangkan ke yayasan untuk pengobatan AIDS dan program sosial lainnya di Australia. Tapi, saya pilih menyumbang tanpa melakukan pengorbanan rambutku digunduli, sebab, sungguh, saya benar-benar tak suka gundul karena emang sudah gundul...... Salah satu pemandangan yang luar biasa adalah terlihatnya bintang Aurora di langit Antartika. Berikut ini adalah foto pemandangan yang sulit untuk dilihat dari belahan dunia lainnya : Tentang penulis (oleh redaksi Buku "Kisah-kisah Sebuah Alumni")
Agus Supangat adalah alumni dari Jurusan Meteorologi dan Geofisika. Agus selain menjadi staf Pengajar di Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral ITB, juga dipercaya sebagai Kepala Bidang Pelayanan Teknis di Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Ia saat ini banyak melayani kerjasama riset nasional dan internasional di bidang Oseanografi, Variabilitas Iklim dan Lingkungan Laut. Kisah Alumni ITB - Yayung Dua Tahun Berjuang Melawan Leukimia Yang Diderita Anaknya dan Berhasil1/23/2014 Tulisan berikut ini saya kutip dari "Kisah Sebuah Alumni" yang telah dibukukan dengan judul asli dari penulisnya: “Berkarier hingga menjadi Direktris Bank dan berjuang melawan Leukemia yang diderita oleh anak saya” Ditulis oleh Dian A. Soerarso. Saya sempat meneteskan airmata ketika membaca kisah perjuangan Yayung di Belanda merawat anaknya yang menderita leukemia. Simak juga kesaksian Yayung tentang prinsip "Good Corporate Governance" (GCG) yang menyelamatkan Bank Niaga ketika krisis moneter 1998. Selamat mengikuti dan semoga bermanfaat. Ingin bekerja di Surabaya Sewaktu saya lulus dari ITB Jurusan Teknik Industri pada tahun 1982, saya sebenarnya ingin bekerja di industri Telekomunikasi, sesuai dengan tugas akhir saya. Namun karena sebagian besar perusahaan Telekomunikasi berada di Jakarta, sedangkan saya ingin tinggal dekat keluarga di Surabaya, maka akhirnya saya memilih untuk bekerja di pabrik perusahaan Corning Glass, Surabaya. Namun ternyata pekerjaan ini hanya berlangsung selama 3 bulan saja. Hampir pada saat yang bersamaan, saya mendapat panggilan untuk mengikuti “Executives Development Program” (EDP) Bank Niaga. Saya langsung memutuskan untuk mengambil kesempatan tersebut, dengan pemikiran yang sangat sederhana, yaitu bisa bekerja di lingkungan ber-AC yang dingin dan bersih, dan diperbolehkan berpenampilan rapi. Bekerja di Bank terasa lebih cocok untuk seorang wanita, dibandingkan dengan bekerja di pabrik yang panas dan tidak nyaman karena diharuskan memakai celana panjang. Memulai karier di Bank Niaga Bank Niaga adalah sebuah bank swasta yang telah berdiri sejak tahun 1955. Salah satu alasan yang membuat saya tertarik bekerja di Bank ini adalah, karena Bank Niaga dikenal sebagai bank yang mencetak tenaga-tenaga perbankan professional, terutama setelah mereka menjalin kerjasama dengan Citibank baik dari sisi sistem recruitment maupun pengelolaan sumber daya manusianya. Dibawah pimpinan Bapak Robby Djohan, saya merasa Bank Niaga mempunyai visi dan misi yang jelas, baik dari sisi pencapaian target bisnis maupun penanganan manusia sebagai asset utamanya. Salah satu hal yang paling menonjol di Bank Niaga dan menjadi daya tarik saat itu, adalah pemanfaatan sistim komputer pada seluruh cabang-cabang Bank Niaga di Jakarta maupun di Surabaya. Sehingga seorang nasabah di salah satu kantor cabang Surabaya, dapat menyetorkan uang, ataupun mengambil uang tunai, dan juga melakukan kliring dari kantor cabang manapun di kota Surabaya. Walaupun saat ini, hal tersebut sudah sangat biasa, namun di tahun 1982, terobosan Bank Niaga termasuk sangat luar biasa. Mendalami bidang consumer banking Saya mengikuti training EDP selama 10 bulan. Setelah lulus program ini, kemudian saya mendapat tugas menjadi seorang account officer. Tugas account officer adalah memperkenalkan dan menjelaskan produk-produk Bank kepada calon-calon nasabah khususnya tentang produk-produk Commercial Banking yang lebih didominasi oleh pinjaman, baik KIK-KMKP ataupun pinjaman biasa. Setelah 2 tahun saya menjabat sebagai account officer, kemudian saya diberi kesempatan untuk menangani Consumer banking. Saya sangat menyenangi bidang consumer banking yang ternyata nantinya akan menjadi sebagian besar kegiatan dari karier hidup saya. Hanya dalam 2 tahun saya belajar dan mendalami tugas consumer banking, kemudian saya dipromosikan menjadi kepala bagian pemasaran consumer banking di salah satu kantor cabang Bank Niaga pada tahun 1985. Pada tahun itulah Tuhan mengaruniai kami, putra kami yang pertama. Pada tahun 1987, saya ikut mengimplementasi sistem Automated Teller Machine (Anjungan Tunai Mandiri - ATM) di jajaran Bank Niaga sebagai Bank yang pertama memanfaatkan jasa ini di Indonesia. ATM dan Kartu kredit adalah ujung tombak pelayanan jasa consumer banking pada industri perbankan. Mungkin karena saya memang menyenangi bidang ini, maka pada tahun 1988, Bank Niaga menugaskan kepada saya untuk menjadi Kepala cabang Bank Niaga Surabaya Kota. Pada tahun 1988 inilah, kami dikarunai anak kedua yang juga anak bungsu kami, yang kemudian kami beri nama Dias Widya Ramadhan. Tugas sebagai ibu yang harus merawat seorang bayi dan juga memimpin sebuah kantor cabang bank memerlukan keteguhan, kekuatan fisik dan juga commitment yang sangat luar biasa untuk dapat melaksanakan tugas kedua-duanya dengan sempurna. Syukur alhamdulilah saya dapat melaksanakan pekerjaan-pekerjaan sehari-hari sebagai kepala cabang dengan relatif baik. Hal ini saya sadari, setelah mengetahui bahwa management bank Niaga pada tahun 1991, mulai memberikan tugas yang lebih besar lagi kepada saya untuk memperlebar cakupan tanggung jawab hingga lingkup propinsi Jawa timur (bukan terbatas lagi pada kota Surabaya). Bahkan pada tahun 1992 saya kemudian diberi tanggung jawab untuk menjadi pimpinan Bank Niaga untuk Wilayah Jawa Timur, khusus untuk menangani bidang pemberian kredit kepada invididu (bukan korporasi). Karier dan kehidupan keluarga saya nampak berjalan lancar hingga bulan Agustus 1993. Anakku menderita Leukemia Pada bulan Agustus 1993, Dias yang berumur 5 tahun, menderita demam dan sepertinya menderita penyakit flu biasa. Namun, walaupun sudah diberi obat dan nampaknya sembuh, empat hari kemudian Dias kembali sakit. Selain itu muncul bercak kebiruan di daerah kaki dan wajahnya terlihat pucat. Akhirnya karena khawatir, saya bersama suami, Agoes Soerarso, membawa Dias ke dokter spesialis anak, yang kebetulan juga dokter ahli darah. Sang dokter mencurigai adanya kelainan darah dan menyarankan Dias menjalani pemeriksaan laboratorium. Ternyata, Dias menderita penyakit kanker darah atau lebih dikenal dengan Leukemia. Ia di diagnosa menderita penyakit Leukemia jenis “Acute Leukemia Limphoblastic” tingkatan kedua (L-2). Leukemia jenis ini adalah jenis penyakit kanker dimana terjadi produksi sel darah muda yang sangat pesat. Jika tidak ditangani segera, penderita akan meninggal dalam hitungan bulan. Bisa di bayangkan betapa sedih dan kalutnya saya dan suami saat mendengar berita tersebut. Namun hal itu tidak saya biarkan berlarut – larut, saya putuskan untuk berjuang demi kesembuhan anak bungsu saya. Bersama suami, saya bangkit dari kesedihan, berusaha mencari pengobatan yang terbaik. Saya segera mencari informasi tentang segala hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi penyakit Leukemia tersebut. Bahkan, selama satu bulan, walaupun tetap bekerja di siang hari, saya terus-menerus menginap di rumah sakit tanpa pernah pulang ke rumah. Alhamdulilah Ibu saya ikut membantu menjaga Dias di Rumah Sakit kalau saya sedang bekerja. Suatu saat, mungkin karena stress dan juga karena lelah menjaga Dias disiang hari, saat saya bekerja dikantor, ibu saya akhirnya jatuh sakit yang mengharuskan beliau diopname juga. Namun sayang, dokter yang menangani ibu tidak manangani pasien di Rumah Sakit dimana Dias sedang dirawat. Sehingga, ibu harus diopname di rumah sakit yang berbeda dengan tempat Dias dirawat. Karena keduanya merupakan sosok yang sangat penting bagi kehidupan saya, maka saya membagi bezuk dengan cara : disaat istirahat makan siang saya bezuk ibu di Rumah Sakit Budi Mulia, kembali lagi ke kantor dan sore harinya saya ke Rumah Sakit RKZ dimana Dias dirawat. Saya kemudian menginap di sana sampai keesokan paginya, kembali berangkat ke kantor dari rumah sakit. Demikian berlangsung sampai seminggu lamanya. Jujur saja pada saat itu perhatian saya kepada anak sulung saya sangat minim, saya percayakan kepada suami bersama ibu mertua. Tidak tega melihat suntik melalui Bone Marrow Saya bersyukur, walaupun Dias saat itu masih kecil, tetapi ia mudah untuk diajak bekerja sama. Ia pasrah dan tidak pernah mengeluh walaupun harus minum obat dan disuntik berkali – kali. Padahal untuk menjalani kemoterapinya, Dias harus disuntik di tulang belakangnya dalam posisi badan yang ditekuk. Rasanya saya tidak tega harus berada diruangan tersebut. Hanya karena ingin selalu berada disamping Dias untuk memberikan semangat, saya dan suami secara bersama, saling menguatkan untuk terus berada di dalam ruangan tersebut. Membawa Dias berobat ke Belanda Setelah menjalani pengobatan di Indonesia selama 1 bulan, atas saran Bapak Robby Djohan, atasan saya di Bank Niaga, saat beliau bezoek ke rumah sakit, dan setelah berkonsultasi dengan para dokter, saya dan suami akhirnya memutuskan untuk membawa Dias berobat ke Belanda. Kami berhasil dihubungkan dengan salah satu rumah sakit khusus Leukemia anak di Amsterdam yaitu Vrije Universiteit Ziekenhuis.. Disana, Dias kembali menjalani pemeriksaan dan perawatan seperti yang dilakukan di Indonesia. Selama masa terapi itu, saya mengambil cuti besar dari Bank Niaga. Total masa terapi Dias ternyata memerlukan waktu sekitar 2 tahun. Dimana tahun pertama selama 4 bulan dan tahun kedua selama 6 bulan di Belanda. Bisa dibayangkan betapa sulitnya keadaan saya pada saat itu, berada di tempat yang asing, tanpa sanak saudara. Disaat-saat awal saya hanya ditemani oleh ibu, karena suami saya harus mengurus anak pertama kami yang masih kelas 3 SD. Biaya pengobatan di Belanda juga sangat mahal, belum lagi biaya untuk hidup. Saya saat itu tidak mempunyai penghasilan karena saya mengambil cuti diluar tanggungan perusahaan. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari–hari, yang sangat mahal untuk ukuran orang Indonesia, saya sempat berdagang dengan mengirim barang untuk di jual di Indonesia. Semua dibantu oleh teman dan saudara, mulai saat pengiriman, penjualan sampai penagihan pembayarannya. Saya sempat untuk melamar agar bisa berpindah kerja di Belanda. Saya bahkan sudah sampai tahap interview untuk diterima bekerja di salah satu perusahaan Belanda. Namun niat ini saya urungkan karena Dias memerlukan perhatian penuh. Untungnya semuanya berjalan lancar. Semua seperti sudah diatur oleh Tuhan. Saya selalu dipertemukan dengan orang – orang yang sepertinya dikirim Tuhan untuk bisa membantu saya mengatasi semua masalah di sana, walaupun awalnya saya tidak mengenal orang tersebut. Sampai saat ini, sangat erat pertemanan kami dengan mereka bahkan melebihi saudara sendiri. Belum lagi perhatian pak Julius Tahija (Komisaris Utama Bank Niaga), yang secara rutin menelepon saya setiap 2 minggu dari Australia/Amerika ke Belanda, dan juga pak Idham (Komisaris) yang secara terus-menerus mengirim dana ke Belanda, yang semuanya merupakan support yang tak ternilai bagi saya dan keluarga. Tangan-tangan Tuhan terasa sangat banyak dan membantu. Selama saya harus melakukan perjalanan Surabaya-Jakarta-Belanda dan bila harus menginap di Jakarta, saya sangat dibantu oleh Devi (sahabat saya sejak kuliah di ITB) dengan menyediakan kendaraan antar jemput dari dan ke bandara Jakarta (terimakasih banyak ya Devi). Sewaktu mendengar saya akan membawa anak berobat ke Belanda, sahabat- sahabat saya yang terdiri dari 10 orang (sampai saat ini saya masih sangat ingat satu-per-satu) memberi ”bekal” kepada saya berupa dana cash, yang ternyata dikemudian hari amat sangat berguna. Saya menerimanya dengan sangat terharu, begitu besar perhatian para sahabatku itu. Dias sendiri amat tabah dan selalu kooperatif dalam menjalani terapinya itu. Agar ia tidak tertinggal di sekolah, saya sering membantu mengajarkan pelajaran-pelajaran Dias di rumah sakit. Sedangkan untuk ulangan, guru sekolah Dias datang secara khusus ke Rumah Sakit. Terkadang Dias harus ulangan di dalam ruangan kaca. Karena memang Dias dirawat dalam ruang steril yang tidak semua orang boleh masuk. Sang guru hanya boleh mengawasi dari luar ruangan kaca. Sewaktu perawatan dilaksanakan di Belanda, soal ulangan dikirim dalam amplop tertutup dan Dias harus berangkat ke Denhaag. Saat itu kami tinggal di Amsterdam dan Dias menjalankan ulangan-nya di Sekolah Indonesia Nederland (SIN), Denhaag. Kami perlu menempuh perjalanan Amsterdam ke Denhaag memerlukan waktu kurang-lebih 1 jam. Hasil ulangannya dikirim kembali ke Surabaya dalam amplop tertutup. Pihak sekolah yang penuh pengertian, sangat membantu semangat belajar Dias. Sehingga walaupun terapi penyembuhannya sangat berat dan memerlukan waktu 2 tahun, namun syukur Alhamdulilah Dias tidak pernah tinggal kelas. Kembali ke Indonesia Akhirnya kondisi Dias-pun mulai membaik dan bisa melanjutkan pengobatan secara permanen di Indonesia. Kami kemudian meneruskan terapinya di Surabaya. Akan tetapi, setelah kembali ke tanah air, keadaan Dias kembali memburuk sehingga harus keluar-masuk rumah sakit. Karena daya tahan tubuhnya belum terlalu kuat, maka jika ia terkena penyakit flu, pilek atau batuk biasa maka efeknya bisa sangat parah. Menurut dokter, Dias harus dijaga benar kondisinya agar tidak terserang cacar air dan sakit mata karena bisa berakibat fatal baginya. Karena itu pula, seluruh keluarga dekatpun yang merawat Dias, harus menjaga kesehatannya masing-masing agar tidak menularkan penyakit ke Dias. Pernah pada suatu hari, kerja jantung Dias terganggu, dan sempat di rawat di Intensive Care Unit (ICU). Waktu itu tangannya sampai sebatas siku sudah terasa amat dingin dan ia berada dalam kondisi yang kritis. Alhamdulillah saya selalu diberi pikiran yang tenang dan selalu diberi jalan oleh Tuhan. Disaat kritis seperti itu, tim dokter Indonesia langsung menghubungi dokter Belanda dan langsung mereka diberikan bimbingan apa-apa yg harus dilakukan. Tak henti-hentinya saya bersyukur atas kemurahan Tuhan YME. Pernah pada suatu saat Dias memerlukan segera transfusi darah putih. Rekan-rekan Bank Niaga langsung mendaftar untuk menjadi donor. Dari kurang-lebih 100 orang pendaftar, karena adanya persyaratan tertentu, akhirnya yang dapat diterima sebagai pendonor hanya sekitar +/- 40 orang. Sekali lagi, hanya ucapan syukur Alhamdulillah yang bisa saya panjatkan, karena saya berada di lingkungan yang sangat kekeluargaan dan kondusif seperti itu. Dan, akhirnya, setelah dua tahun menjalani pengobatan, Dias pun dinyatakan sembuh total oleh dokter. Syukur Alhamdulilah, pekerjaan di kantor juga tetap bisa saya jalani dengan baik. Dias pun tidak terganggu sekolahnya, karena ia bisa mengerjakan ulangan serta tugas – tugasnya selama di rumah sakit. Menghadapi krisis moneter Dengan sembuhnya Dias pada tahun 1996, saya dapat terus melanjutkan konsentrasi pada karier saya di Bank Niaga. Namun rupanya setelah melewati krisis Dias, saya menghadapi krisis lain yaitu sebuah krisis perbankan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah perbankan Indonesia. Krisis ini diawali dengan runtuhnya mata uang Baht di Thailand pada bulan Juli 1997. Devaluasi Baht mengakibatkan terjadinya re-evaluasi nilai tukar di negara-negara Asia lainnya termasuk juga nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar di Indonesia. Para investor dan pebisnis di Indonesia menjadi sangat khawatir untuk ”memegang” mata uang Rupiah dan ingin secepatnya menukar ke mata uang US Dollar yang dianggap lebih stabil dan aman. Berbeda dengan negara Malaysia yang mem-pagu (peg) nilai tukar Malaysian Ringgit ke US Dollar serta ”menutup” perdagangan valas, pemerintah Indonesia justru ”mengambangkannya” untuk mengikuti perkembangan pasar dan tetap ”membuka” pertukaran valuta asing secara bebas. Langkah ini mungkin tepat bila devisa Indonesia cukup kuat dan juga hutang negaranya sedikit (seperti yang dilakukan Hongkong). Namun karena ekonomi Indonesia sebenarnya dibiayai oleh hutang maka dampaknya ternyata sangat luar biasa. US Dollar diburu oleh pelaku bisnis dan juga masyarakat, sehingga Rupiah melemah secara drastis. Para pelaku bisnis yang meminjam uang dalam mata uang US Dollar terpaksa harus membayar hutangnya dengan Rupiah dalam jumlah yang berkali-kali lipat. Banyak perusahaan yang kemudian menjadi bangkrut sehingga bank-bank pendukungnya-pun ikut bangkrut karena hutangnya macet. Kondisi politik saat itu juga sangat tidak mendukung terutama dengan adanya demonstrasi-demonstrasi untuk menjatuhkan Presiden Soeharto. Akhirnya untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, Presiden Soeharto terpaksa menanda-tangani perjanjian dengan IMF (Letter of Intent – LOI) untuk menerima bantuan sekitar US $ 40 milyar. Pada Mei 1998, Presiden Soeharto kemudian mengundurkan diri dan digantikan oleh Presiden Habibie. Salah satu kesepakatan dalam Letter of Intent tersebut antara lain harus menjual asset mayoritas kepemilikan saham di Bank Niaga kepada publik atau partner strategis. Disaat-saat tersebut, saya dan jajaran Bank Niaga Jawa timur, justru melihat dan mencari peluang untuk meningkatkan asset bank dengan tetap mengutamakan prinsip prudential banking. Upaya-upaya ini dapat dilihat pada penghargaan-penghargaan yang diterima oleh jajaran Bank Niaga Jawa timur saat itu seperti : • Area with the Highest Asset Growth selama 2 periode berturut-turut yaitu periode 1997 – 1998 dan periode tahun 1998 – 1999. • Selain itu Area Jawa timur juga mendapatkan predikat the Best Quality of Asset pada tahun 1999 Kualitas ekuitas kami baik dari sisi agunan maupun fixed asset memang betul-betul kuat dan baik. Dari kacamata saya, konsep-konsep Good Corporate Governance (GCG) yang diterapkan Bank Niaga jauh sebelum krisis moneter, sangat membantu Bank Niaga melewati krisis moneter sehingga tidak mengalami kehancuran seperti bank-bank lain. Dimana bank-bank lain terpaksa harus ditutup dan dimerger karena akibat hutang macet (”non-performing loan)”, Bank Niaga saat itu justru meningkat kinerjanya. Selain penerapan GCG, Bank Niaga juga sangat memperhatikan sumber daya manusia dan juga teknologi sistem informasi yang diterapkannya. Beberapa fondasi ini antara lain adalah berkat fokus dan tatanan yang dibuat oleh pak Robby Djohan sewaktu beliau menjadi direktur utama Bank Niaga pada tahun 1984 s/d 1994. Sehingga Bank Niaga mampu melewati masa-masa krisis moneter. Menjadi direktris tapi harus berpisah dengan keluarga Pada tahun 1999, saya kemudian diberi tanggung jawab oleh management, menjadi pimpinan consumer banking Bank Niaga untuk seluruh propinsi Jawa timur. Dengan fokus dan komitment yang tinggi, jajaran consumer banking Bank Niaga Jawa timur memperoleh predikat ”Best performance” selama 2 tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 1999 dan 2000. Prestasi-prestasi yang dicapai dan juga promosi menjadi pimpinan tertinggi di Jawa timur, membuat saya merasa kurang mendapat tantangan baru (challenge). Saya sempat berfikir untuk pindah perusahaan mencari tantangan baru, terutama yang memberikan coverage lebih luas. Syukur alhamdulilah, pada bulan Juni tahun 2000, para pemilik Bank Niaga mempercayai saya untuk menjabat sebagai Direktur Individual Banking, tentunya dengan catatan saya harus pindah ke Jakarta. Hal ini sempat menjadi bahan diskusi dengan suami dan akhirnya suami memberikan dukungannya. Akhirnya saya menjalani tugas sebagai salah satu direktris Bank Niaga di Jakarta. Banyak sekali karya-karya inovatif yang sempat saya luncurkan dan laksanakan sehingga Bank Niaga dapat memperoleh nasabah baru dan juga meningkatkan kinerjanya. Pada saat itu kami dapat meningkatkan perputaran uang nasabah dari Rp 300 milyar per bulan ke Rp 1 Triliun. Sehingga Bank Niaga mendapatkan penghargaan sebagai Bank Service Excellent Monitoring Program versi MRI-Infobank Magazine pada tahun 2001 dan 2002. Kami juga menjadi pemanfaat jasa Visa electrron tertinggi dibandingkan bank-bank lain. Beberapa kiat-kiat yang kami lakukan antara lain :
Pada bulan Oktober 2001, aset Bank Niaga tumbuh sampai mencapai Rp 21,3 triliun dengan dukungan jaringan 117 kantor cabang dan 154 ATM yang tersebar di 30 kota besar dan 12 provinsi di seluruh Indonesia. Berdasarkan laporan keuangan per 30 Juni 2001, bank ini memiliki rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio atau CAR) 20,33 persen walaupun dengan Non-performing Loan-nya (NPL) yang cukup tinggi yaitu sebesar 25,20 persen. Namun kredit yang telah disalurkan nilainya mencapai Rp 7,7 triliun. Di penghujung tahun 2002, Pemerintah tetap melaksanakan ketentuan dalam Letter of Intent dengan IMF dan menjual aset mayoritas Bank Niaga dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada Commerce Asset-Holding Berhad (CAHB). CAHB sebagai perusahaan jasa keuangan kedua terbesar di Malaysia dengan jaringan internasional di Singapore, Hong Kong, Tokyo, London dan Mauritius, akhirnya menjadi pemilik 63.87 % dari Bank Niaga. Berpisah dengan Bank Niaga Dengan adanya pemilik baru dan juga management baru, pada November 2002 saya tidak lagi bergabung di Bank Niaga. Di acara perpisahan Bank Niaga, saya sampaikan secara khusus terima kasih kepada seluruh Board of Commisisoner dan Board of Director, karyawan dan juga para sahabat di Bank Niaga. Secara spesifik saya ceritakan tentang perjuangan saya merawat Dias dan terus tetap berkarier di Bank Niaga. Saya sampaikan bahwa Dias adalah seorang anak Bank Niaga. Maksud saya bukan hanya dalam arti kiasan, bahwa Dias dilahirkan saat saya masih berkarya di Bank Niaga. Namun ditubuhnya juga mengalir darah rekan-rekan Bank Niaga dalam arti yang sebenarnya, sehingga sampai kapanpun juga, keterikatan Dias dan saya sekeluarga tidak terpisahkan dengan Bank Niaga. Sekali lagi, saya ucapan syukur Alhamdulillah dan terima kasih yang bisa saya panjatkan, karena saya pernah berada di lingkungan keluarga besar Bank Niaga. Berkarier di Bank Permata Setelah berkarier di Bank Niaga, saya bergabung dengan Bank Permata yang membawa Service Quality Bank Permata dari ranking 11 ke ranking 7 kemudian ke ranking 2 dan akhirnya sampai ranking pertama (versi MRI). Disamping itu saya juga sempat membidani lahirnya program tabungan ”Permata Ceria” yang saat itu bisa memasukan dana tabungan sebesar Rp. 1,7 Triliun selama 16 bulan. Dengan spesialisasi di bidang consumer banking, saya terus berupaya menghasilkan berbagai karya- karya bagi Bank Permata. Namun pada tanggal 1 April 2007, saya mengundurkan diri dari Bank Permata, untuk mencari tantangan baru yang lebih menarik lagi. Tawaran dari Bank Bumiputra nampak begitu menarik. Kilas balik kehidupan Saat ini tahun 2007, Dias telah bersekolah di ITB jurusan Sekolah Bisnis Manajemen semester 6. Segala puji hanya bagi-Mu, ya Tuhan, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ditengah kesibukan berkarier, saya menganggap pengalaman menemani putra saya hingga sehat kembali sebagai bagian istimewa dalam hidup saya. Banyak hikmah yang saya peroleh dalam menghadapi cobaan itu. Hampir dua tahun, saya bersama Dias Widya Ramadhan berjuang melawan penyakit Leukemia yang dideritanya. Alhamdulilah berkat pertolongan Tuhan serta kasih sayang orang-orang yang terdekat, Dias berhasil bebas dari penyakit yang umumnya sulit disembuhkan itu. Tentang penulis (dari redaksi "Kisah Sebuah Alumni") Dian A Soerarso dengan panggilan akrab “Yayoeng” adalah alumni Jurusan Teknik Industri. Yayoeng saat ini juga sering menjadi narasumber bila ada keluarga yang salah satu anaknya menderita penyakit Leukemia. Banyak keluarga yang menghubungi Yayoeng untuk mencari dan memperoleh informasi. Kepada mereka, Yayoeng selalu membagi- kan semua pengalaman- pengalamannya, mulai dari dokter-dokter ahli yang menangani penyakit Leukemia, cara mendapatkan obat yang mudah, tata-cara merawat anak agar saat menjalani chemotherapy tidak terlalu banyak rambut yang rontok, sampai prosedur pengobatan ke Belanda. Kerap Yayoeng ikut membantu menghubungi pihak rumah sakit dan dokter di Belanda. Juga ikut memperkirakan biaya yang diperlukan keluarga untuk melakukan pengobatan Leukemia di Belanda. Yayoeng melakukan ini semua sebagai amalnya dan juga karena pernah merasakan betapa beratnya orang tua yang mendapatkan vonis dari dokter bahwa anaknya menderita Leukemia. Yayoeng dapat dihubungi via e-mail pada alamat [email protected] Percaya atau tidak, barangkali tempat perhentian bus di LNG Site Tangguh seperti dalam foto ini adalah yang paling mahal di dunia. Mengapa begitu? Tempat perhentian bus ini lokasinya di area yang beresiko terkena paparan gelombang tekanan sampai 70 millibar apabila terjadi ledakan di pabrik LNG yang hanya berjarak sekitar 600 meter dari sana (lihat tulisan bahaya ledakan di pabrik LNG sebelumnya di sini). Meskipun pabrik ini sudah dirancang dengan baik, namun tentu saja tidak ada yang bisa menjamin 100% bahwa resiko peledakan tidak akan pernah terjadi. Oleh karena itu perusahaan harus mengikuti praktek disain yang baik, yaitu pada area yang berjarak antara 272 m - 998 m dari pusat pabrik di LNG Tangguh, diberlakukan ketentuan bangunan yang ada di sana harus tahan ledakan. Itulah sebabnya tempat perhentian bus ini juga harus dirancang memenuhi kriteria bangunan yang mampu menahan gelombang tekanan udara sampai 70 millibar. Dengan demikian apabila hal terburuk terjadi, maka jumlah orang yang terpapar dengan resiko 'fatality' bisa ditekan sampai minimum. Tempat perhentian bus ini memang sangat diperlukan mengingat lokasi pabrik yang berjarak 1 - 2 km dari tempat tinggal pekerja LNG Tangguh. Adanya bus angkutan sangat membantu menjaga produktifitas pekerja. Pada musim Turn-Around (TA = pabrik dihentikan untuk melakukan inspeksi dan perbaikan rutin) jumlah pekerja bisa mencapai ratusan orang yang transportasinya perlu dikelola dengan baik agar tetap terjamin keselamatannya dan produktifitas tetap tinggi. Bisnis pencairan gas alam (LNG) memang sejatinya adalah mengelola resiko dengan cara menekan tingkat resiko itu serendah mungkin. Meski demikian tetap ada yang disebut dengan resiko sisa (remaining risk). Resiko sisa ini dikelola dengan menerapkan praktek disain dan praktek operasi yang baik. Untuk itu dibutuhkan disiplin tinggi. Contoh kecil misalnya dalam hal penggunaan PPE ketika memasuki pabrik, memang seolah tidak perlu karena kecelakaan tidak selalu terjadi. Tetapi ketika seseorang alpa bisa saja kepalanya tiba-tiba membentur pipa di sekitarnya sehingga kalau PPE tidak digunakan bisa berakibat fatal. Begitupun dalam hal mengoperasikan peralatan di pabrik. Meskipun ada cara lain dalam mengoperasikannya tetapi selalu harus menggunakan prosedur yang telah disetujui. Hal ini untuk mendapatkan hasil yang konsisten dan sudah terbukti aman. Kalau ada yang ingin melakukan perubahan prosedur, maka harus dilakukan tinjauan lagi apa resiko yang mungkin terjadi dan bagaimana mengatasinya. Setelah itu baru prosedur diujicoba dan diajukan untuk proses persetujuan oleh pihak-pihak yang diberi kewenangan untuk itu. Berita mengejutkan mulanya saya terima dari teman saya Nasrul ketika sedang makan di Tangguh LNG Site, Papua. Benar saja ketika saya buka WA, teman-teman Teknik Kimia - Institut Teknologi Bandung Angkatan 1977 sudah ramai memberitakan alm. Djasli yang sempat dilarikan ke RS Halim setelah mendapat serangan pecah pembuluh darah kecil yang ke otak usai jogging. Doapun mengalir tidak putus-putus sampai sekarang. Sosok Djasli memang cukup dikenal di kalangan TK - ITB 77 meskipun beliau berbeda jurusan (Elektro 77), bukan dari Jurusan Teknik Kimia. Ini tentu berkat pergaulannya yang luas dan pertemanan dengan Hengki, ketua alumni TK-ITB 77. Semoga almarhum mendapatkan ampunan dari Allah Swt atas segala dosa dan kesalahannya serta dilipatgandakan segala amal solehnya semasa hidup. Begitu juga doa kami semoga keluarga yang ditinggalkannya sabar, tabah dan tawakkal dalam menerima kepergiannya. Berikut ini adalah kutipan puisi almarhum Djasli yang ditulisnya tahun 2007, saat kami mengadakan reuni ITB Angkatan 77 yang ke 30, yang saya dapat dari rekan Satya Kamayanti lewat WA. Sebuah himbauan untuk kita semua agar memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya. Puisini diberinya judul "Surat Putih". SURAT PUTIH Sebuah cita-cita mulia dari almarhum Djasli. Semoga pemikiran dan himbauan beliau bisa kita maknai dengan benar dan semoga Allah Swt memberi kemampuan kepada kita untuk melaksanakannya. Insya Allah dengan begitu kesemuanya bisa menjadi amal jariah yang tetap mengalir bagi almarhum Djasli, meski ketika jasadnya dan kita semua kelak telah musnah di telan bumi. Aamiin Yaa Robbal 'Aalamiin.
Helfia Nil Chalis, 11 Januari 2014. Suatu hari seorang petani menemukan keledainya jatuh ke dalam sumur. Si keledai berteriak-teriak panik selama berjam-jam ketika si petani masih berpikir bagaimana cara menyelamatkan keledainya. Akhirnya, si petani memutuskan mengubur saja keledai itu karena si keledai sudah tua dan sumur itu memang sudah harus ditutup juga. Tidak ada gunanya menyelamatkan si keledai. Si petanipun memanggil tetangganya untuk membantunya menutup sumur. Mereka mengambil sekop dan mulai melempar tanah ke dalam sumur. Mula-mula, si keledai ketika sadar apa yang terjadi berteriak-teriak panik. Kemudian, mereka semua heran kok si keledai sekarang diam saja. Setelah beberapa sekop tanah galian dilemparkan ke dalam sumur itu si petani akhirnya melongok ke dalam. Dia takjub dengan apa yang dilihatnya. Setiap kali tanah yang dilempar ke dalam sumur mengenainya, si keledai menggoyang-goyang badannya dan naik ke atas tanah. Ketika para tetangga si petani melempar tanah ke atas tubuhnya, dia terus menggoyang-goyang badannya dan naik. Tidak lama, semua orang terkagum-kagum ketika si keledai melangkah keluar dari pinggir sumur dan berteriak senang!! MORAL : Kehidupan ini akan melempar anda dengan berbagai sampah. Cara menyelamatkan diri keluar dari sumur itu adalah dengan menggoyangkan badan anda agar sampah-sampah itu terlempar jatuh dan anda menaikinya. Setiap masalah yang anda hadapi sejatinya adalah sebuah batu loncatan. Kita bisa keluar dari sumur paling dalam hanya dengan tidak berhenti, tidak menyerah! Goyangkan dia dan melangkahlah ke atasnya. Ingatlah lima kiat sederhana untuk bahagia: 1. Bebaskan diri anda dari kebencian - Maafkanlah. 2. Bebaskan pikiran dari cemas - Sebagian besar tidak pernah terjadi. 3. Hidup sederhana dan menghargai apa yang kamu miliki - Bersyukur. 4. Lebih banyak memberi. 5. Berharap sedikit saja dari orang tetapi berharap banyak pada dirimu. Anda memiliki dua pilihan.... tersenyum dan menutup halaman ini atau... meneruskannya kepada mereka yang membutuhkannya. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|