Vanny El Rahman
26 September 2020 Judul buku: *Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia Pengarang: Ben Bland Penerbit: Penguin Random House Tahun terbit: 2020 Harga buku: Paperback US$12,95 (Amazon) Paperback US$12.99 (penguin.com.au) Jakarta, IDN Times - “Jokowi adalah seorang demokrat yang terjebak dalam otoritarianisme. Orientasi ekonominya liberal tapi praktiknya adalah proteksionisme. Dia mencitrakan diri sebagai rakyat, tapi dikelilingi elite. Jokowi terlihat menjunjung keberagaman, tapi dia berlindung di balik kelompok konservatif.” Paragraf di atas adalah kompilasi kalimat yang ditulis Ben Bland dalam bukunya berjudul “Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia”. Bland merupakan Direktur Program Asia Tenggara di Lowy Institute, Australia. Sebelumnya, dia adalah koresponden untuk Financial Times di Indonesia. Buku ini ditulis setelah perjumpaan panjang Bland dengan Jokowi sejak 2012. Pertama kali menginjakkan kaki di DKI Jakarta, Bland menyaksikan hiruk-pikuk Ibu Kota menyambut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pengalamannya sebagai jurnalis menjadikan Bland saksi karier politik Jokowi, dari Balai Kota menuju Istana. Kuda hitam asal Solo itu satu per satu menaklukkan elite politik papan atas, mulai dari Fauzi Bowo hingga Prabowo Subianto. Tidak heran, semua mata tertuju kepadanya. Jokowi adalah sosok yang dianggap lumayan bersih. Pengusaha kayu dan mebel. Sempat dicitrakan sebagai lelaki desa sederhana tanpa hasrat politik. Jokowi adalah sosok yang dalam majalah Time disebut sebagai “A New Hope”. Memasuki masa jabatan yang kedua, enam tahun berkuasa, dukungan kepada Jokowi mulai melemah. Dalam berbagai kebijakannya, mulai dari penegakan korupsi dan hak asasi manusia (HAM), pembangunan tol laut, rencana pemindahan Ibu Kota Negara, hingga penanganan pandemik COVID-19, keputusan yang diambil Jokowi tidak seperti janji yang dia ucapkan. Melalui buku ini, Bland ingin mengatakan bahwa Indonesia dipimpin oleh presiden yang bahkan tidak bisa konsisten dengan kata-katanya sendiri. Di mata Bland, Jokowi adalah sosok yang unik. Dia bertindak tanpa visi yang jelas. Keras kepala tapi enggan mendengar analisis. Namun tetap “dicintai” rakyat. Setelah mewawancarai salah seorang menteri Jokowi, Bland mendapati istilah yang tepat bagi Jokowi, yaitu “bundle of contradictions”. Buku setebal 120 halaman ini menjadi cara Bland untuk memaparkan anomali kebijakan Jokowi. Buku ini terbagi menjadi 7 bagian. Bland mengaku telah mewawancarai ratusan orang, dari dukun, mantan teroris, hingga menteri, hanya untuk memahami Jokowi. Buku ini menjadi saksi bisu perjuangannya. “Hanya dengan memahami kontradiksinya, barulah kita bisa memahami tujuan dia sebenarnya,” tulis Bland pada bagian pendahuluan buku. Bagian Pertama: The furniture maker who captured a nation’s imagination Bagian ini dimulai dengan pernyataan tegas, yaitu “Anda harus mengetahui cara berpikir seorang pengusaha untuk memahami Jokowi.” Bland merujuk kalimat di atas ke percakapan antara seorang penasihat bersama Jokowi terkait Laut Cina Selatan (LCS). Jokowi bertanya, kenapa harus menyiapkan sumber daya yang besar untuk konflik yang tidak berdampak langsung terhadap Indonesia? Menandakan sikap Jokowi untuk menghindari konflik internasional. Jokowi baru mau bergerak setelah diberi analogi sederhana mengenai pentingnya stabilitas dalam mendongkrak ekonomi. Seandainya terjadi eskalasi situasi LCS, maka biaya asuransi untuk kapal kargo akan meningkat, dan itu akan buruk bagi bisnis internasional. “Ketika saya jelaskan seperti itu, dia baru memahaminya,” ungkap penasihat tersebut. Bland memutuskan untuk mengulik masa lalu Jokowi. Tidak begitu mendalam. Tapi dia mendapat gambaran bagaimana Jokowi di masa muda hingga bagaimana Jokowi sebagai pengusaha mebel. Di mata Bland, Jokowi adalah sosok yang kurang peduli terhadap politik. Dia pernah bertanya kepada Jokowi terkait siapa tokoh politik panutannya. Jokowi selalu gugup dan kebingungan ketika menanggapi pertanyaan itu, menandakan dia tidak memiliki referensi politik. Sebagai pengusaha, aksi lebih penting daripada ide. Cara berpikir inilah yang melandasi Jokowi dalam bersikap. Mulai dari pengingkaran atas janji tidak membangun dinasti politik, janji membangun Jakarta hingga satu periode, ataupun dalam pengambilan keputusan. Sederhananya, Jokowi adalah sosok yang tidak memiliki visi politik. Bagian kedua: Going to the ground to reach the top Bagian ini mengulas bagaimana “blusukan”, pendekatan politik ala Jokowi, adalah jurus utamanya memenangkan hati rakyat. Lagi-lagi Bland menafsirkan blusukan dari perspektif pengusaha atau dia menyebutnya sebagai politik ritel, yaitu semakin banyak bertemu pelanggan, maka semakin mendapat kepercayaan. Ada dua ide besar penting digarisbawahi. Pertama, blusukan adalah bukti lain Jokowi tidak memiliki visi. Alih-alih turun ke lapangan dengan rencana, Jokowi memilih turun ke lapangan tanpa gagasan, mendengar aspirasi dan keluhan, barulah mengambil tindakan. Alhasil, dalam kasus Solo, keberhasilan Jokowi bukan pada pembenahan birokasi, tapi fokus pada penuntasan masalah yang tertunda. Kedua, blusukan merupakan kebijakan populis yang mampu mengalahkan strategi politik para elite. Jokowi juga sadar bahwa turun ke gorong-gorong merupakan santapan hangat bagi kamera media. Ketika Jokowi menjual kesederhanaannya untuk keuntungan elektoral, saat itulah Jokowi telah menjadi seorang politikus. Bland menilai blusukan adalah cara efektif untuk mengaburkan fakta bahwa Jokowi diantarkan oleh elite dan taipan, hingga menjadi gubernur bahkan presiden. Sedekat apa pun Jokowi dengan pengusaha, dia tetap dianggap sebagai representasi rakyat. Wong cilik. Kenapa? Karena blusukan. Sehingga, dalam kontestasi apa pun, Jokowi mengartikan kemenangannya sebagai kemenangan rakyat. Bagian ketiga: From outsider to father of a new political dynasty Bagian ini menjelaskan tentang keputusan Jokowi “menggadaikan” Balai Kota untuk Istana Negara. Kurang dari dua tahun menjabat sebagai gubernur, tentu sulit untuk mengatakan bahwa Jokowi memiliki rekam jejak yang bagus sebagai kepala daerah. Maka pertanyaannya, apa yang membuat Jokowi berhasil memenangkan Pilpres? Bland kemudian menyebut Jokowi sebagai “man in time”. Jokowi adalah orang yang diuntungkan momentum. Pada Pilkada DKI, Jokowi diuntungkan karena periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera berakhir. Secara tidak langsung, hal itu mempengaruhi peta dukungan kepada Fauzi Bowo, petahana gubernur yang satu partai dengan SBY. Pada Pilpres 2014, Jokowi juga diuntungkan karena pesaingnya menanggung “dosa sejarah”. Apa maksudnya? Wiranto, Prabowo, Aburizal Bakrie adalah calon presiden potensial namun memiliki noktah hitam pada Orde Baru. Mereka memiliki rekam jejak dituding sebagai pelanggar HAM hingga perusak lingkungan. Jokowi menjadi sosok alternatif terbaik. Poin penting yang diulas Bland pada bagian ini adalah bagaimana Jokowi merangkul lawan politiknya. Jokowi menyadari posisinya sebagai kader partai yang tidak mewarisi darah Sukarno. Hal itu menyebabkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) setengah hati mendukung Jokowi, sebab dia melompati Megawati dan Puan Maharani. Namun, mereka sadar elektabilitasnya kalah dari Jokowi. Pada periode pertama, Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi lama-kelamaan keropos. Satu per satu partai politik mulai mendukung Jokowi. Hal yang sama terlihat pada periode kedua. Jokowi membentuk “Kabinet gendut” untuk merangkul semua pendukungnya, bahkan Prabowo yang merupakan rivalnya sekalipun. Bagian terakhir yang Bland ulas adalah ternyata Jokowi tidak beda dari presiden sebelumnya di perkara dinasti politik. Dari Sukarno hingga SBY, kecuali Habibie, semuanya menunjukkan keinginan untuk membangun dinasti politik. Dari sinilah Jokowi perlahan berubah dari “orang luar” menjadi “orang dalam”, selain karena kedekatannya dengan para taipan yang seolah-olah “mengendalikan” politik di balik layar. Bagian keempat: Building the economy: A hard-hat president chases dreams Ada dua bagian penting yang diulas pada bagian ini. Pertama, orientasi kebijakan ekonomi Jokowi. Bland cukup baik dalam menjawab kenapa Jokowi fokus pada pembangunan infrastruktur, pemangkasan izin usaha, dan modal asing. Untuk menjawab pertanyaan itu, Bland memiliki dua alasan. Pertama, pertumbuhan ekonomi era SBY mandek di angka lima persen. Artinya, Jokowi perlu terobosan untuk mengoptimalkan potensi ekonomi. Kedua, sebagai pengusaha mebel, Jokowi pernah mengalami kesulitan memperoleh modal usaha hingga hambatan pengiriman barang ke daerah. Tidak heran, Jokowi bersikeras memotong seluruh anggaran kementerian demi pembangunan. Jokowi yakin, semakin baik infrastruktur, maka meningkat pula kesejahteraan masyarakat. Di sini, dia terlihat sebagai seorang developmentalis. Bland kemudian menjuluki Jokowi sebagai “orang dari partai Sukarno yang berpikir layaknya Suharto”. Lagi-lagi ini adalah bentuk sindiran kepada Jokowi yang tidak memiliki visi politik dan semangat demokrasi. Di tengah retorika Jokowi yang mengharapkan Indonesia menjadi negara ekonomi liberal, yang terbuka bagi investasi asing, *ternyata dia juga menerapkan sejumlah kebijakan proteksionisme. Dari situlah tidak heran jika Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, yang populer disebut Omnibus Law, belum menjadi daya tarik bagi modal asing untuk masuk ke Indonesia. Kedua, Jokowi adalah “man in actions”. Perjumpaannya dengan elite pemerintahan membuat Bland berkesimpulan bahwa Jokowi adalah orang yang keras kepala, bekerja berdasarkan aksi bukan teori, dan enggan mendengarkan analisis yang berbelit. Jokowi adalah sosok yang lebih suka aksi daripada berdebat pada teori. Hal ini menjadi masalah karena kebijakan yang diputuskan Jokowi sering kali justru merugikan negara. Sebut saja pembangunan pelabuhan dan bandara. Kebijakan ini seakan mempermudah akses ke daerah, tapi Jokowi tidak memperhatikan kajian kebutuhan. Alhasil, banyak dermaga dan bandara yang terbengkalai karena sepi. Contoh lainnya adalah rencana pemindahan Ibu Kota Negara. Ketika banyak ahli yang menolak kebijakan itu karena kurangnya perencanaan, Jokowi dengan gegabah justru mengumumkan rencana pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur. Kini, rencana itu ditenggelamkan oleh pandemik COVID-19. Di bagian akhir, Bland melihat Jokowi sebagai “orang dengan niat baik tapi eksekusi yang buruk.” Bagian Kelima: Between democracy and authoritarianism Penekanan pada bagian ini adalah bagaimana Jokowi berpakaian demokrat, tapi bertindak otoriter. Hal pertama yang Bland ulas adalah kedekatan Jokowi dengan elite militer. Kenapa begitu? Karena Jokowi bukan tokoh dan dia butuh sosok kuat yang mendukungnya dari balik layar. Dari situ, tidak heran bila Jokowi merekrut tokoh militer dan juga tokoh polisi, dalam kabinetnya. Dari sekian tokoh militer, Jokowi memiliki orang kepercayaan, yaitu Luhut Binsar Pandjaitan. Dari Kepala Kantor Staf Kepresidenan hingga Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, menunjukkan betapa percayanya Jokowi pada Luhut. Keengganan mendengar analisis dan kepercayaannya kepada sejumlah tokoh adalah bukti Jokowi lebih mendengar siapa yang menyampaikan daripada apa yang disampaikan. Kehadiran Jokowi di tengah Aksi 212, secara tidak langsung, berarti legitimasi kehadiran kelompok konservatif. Dia bahkan menarik Ma’ruf Amin, dinilai Bland sebagai tokoh Islam konservatif, sebagai pendampingnya. Namun, menariknya, dia juga membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kelompok yang mendukung berdirinya khilafah. Sekali lagi, ini butki bahwa Jokowi tidak memiliki orientasi politik yang jelas. Di bagian akhir, Bland mengulas betapa Jokowi ingin pemerintahannya berjalan tanpa oposisi. Dalihnya adalah demokrasi Barat tidak selaras dengan nilai-nilai demokrasi Indonesia, yaitu gotong royong. Justru inilah yang mengantarkan Jokowi pada jurang otoritarianisme, karena dia menghilangkan fungsi oposisi sebagai check and balances dalam demokrasi. Bahkan di Parlemen sekalipun, hampir semuanya sepakat mendukung Jokowi. Bagian keenam: Jokowi and the world: From Asia’s new fulcrum to friends with benefits Bagian terakhir fokus pada kebijakan luar negeri Jokowi. Sebagai pengamat, Bland melihat Jokowi kurang peduli pada forum-forum internasional. Dia jarang hadir di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kenapa? Menurut Bland, karena di PBB Indonesia tidak menghasilkan uang, justru Indonesia malah membayar iuran. Sebaliknya, Jokowi selalu hadir di forum G20 atau KTT ASEAN karena dia berharap bisa kembali membawa modal asing. Jokowi memberikan interpretasi baru pada prinsip luar negeri SBY, menjadi “Thousand friends (with benefits), zero enemy.” Jokowi hanya fokus pada negara-negara yang dirasa bisa memberikan keuntungan domestik. Tidak heran retorika Poros Maritim Dunia mendekatkan Indonesia dengan Tiongkok, yang sedang menggalakkan pembangunan di jalur sutra. Nyatanya, upaya Jokowi mewujudkan Poros Maritim Dunia tidak pernah terlihat. Siapa yang dipusingkan dari sikap Jokowi? Para duta besar dan diplomat. Jokowi membebankan 70-80 persen tugas dari seorang duta besar adalah diplomasi ekonomi. Padahal, mereka tidak diberikan tambahan sumber daya dan pelatihan lebih mendalam. Mereka juga dipusingkan karena Jokowi hanya ingin menghadiri kegiatan internasional sepanjang memberikan “santapan media”. Lawatan Jokowi ke Filipina misalnya, dia menandatangani kerja sama untuk membuka rute pelayaran dari General Santos, Mindanao menuju Bitung, Sulawesi Utara. Namun, kunjungan Bland ke Bitung justru mendapati pelabuhan yang sepi, tanpa aktivitas ekonomi, tidak semeriah apa yang diberitakan. Terakhir, Bland menyoroti tingginya ekspektasi kepada Jokowi di mata internasional. Dia adalah politikus yang mengerti apa yang diinginkan media. Itulah kenapa dia mampu menarik sensasi dengan janji politik dan frasa-frasa sensasional pada pidato internasional. Seolah-olah Jokowi adalah sosok yang bisa mewujudkannya. Padahal, sama seperti di dalam negeri, apa yang dia sampaikan di forum internasional hanya sebagian dari kontradiksinya. Kesimpulan: Why we keep getting Indonesia wrong Pertanyaan ini berusaha untuk menjawab, di tengah kontradiksi kebijakan Jokowi, kenapa dia tetap bertahan bahkan terpilih lagi pada periode keduanya? Padahal, terlihat jelas semakin tinggi jabatan yang diemban Jokowi, semakin ngawur kata-kata yang dia sampaikan. Untuk menjawab hal itu, Bland mengutip ungkapan Niccolo Machiavelli dalam buku The Prience, “it is much to be feared than loved.” Bland mengakui kehebatan Jokowi adalah kemampuannya untuk menjadi orang yang ditakuti, sekaligus dicintai. Jokowi kerap dinilai sebagai orang yang diragukan kemampuannya. Tapi, dari situlah Bland justru melihat keunggulan Jokowi, bahwa ekspektasi yang tidak berlebih menjadi nilai lebihnya. Kadang Jokowi dianggap sebagai “boneka” Megawati, kadang dia “menurunkan sedikit harga diri” demi merangkul Prabowo, oposisi yang kerap menjelek-jelekkannya ketika Pilpres. Di sisi lain, menurut Bland, 75 tahun usia Indonesia membawa negara ini pada persimpangan. Sederetan pemimpin bangsa belum ada yang bisa meletakkan fondasi kuat bagi Indonesia. Jadi, kepemimpinan Jokowi masih dianggap sebagai upaya Indonesia mencari jati dirinya. Catatan terhadap karya Bland Buku Man of Contradctions karya Ben Bland (Twitter Ben Bland/@benjaminbland) Buku ini mendapat sorotan karena dirilis di tengah kegagalan pemerintah menangani pandemik COVID-19. Banyak pihak yang merasa terwakili karena tulisan Bland seakan “menyentil” Jokowi. Frasa “man of contradictions” merupakan plesetan halus bagi ungkapan tidak kompeten. Kendati begitu, buku ini juga menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Indonesianis dari Australian National University (ANU), Marcus Mietzner. Penggalan kalimat “the first English-language biography of Jokowi” dalam buku ini adalah klaim yang berlebihan. Muatannya jauh berbeda dari biografi yang ditulis Indonesianis lainnya, seperti biografi Sukarno karya John Legge, biografi Suharto karya Robert Elson, atau biografi Abdurrahman Wahid karya Greg Barton. Kemudian, Mietzner juga menyayangkan Bland yang puas dengan sumber-sumber yang belum jelas rujukannya sebagai referensi utama. Sebagai jurnalis, Mietzner merasa Bland harusnya memahami betul urgensi verifikasi sebelum menulis. Sehingga, tidak menjawab pertanyaan utama yang diajukan, yaitu kenapa Jokowi bersikap kontradiktif? Dia bahkan menulis bahwa semua orang Indonesia sudah tahu apa yang ada di buku ini. Kritik lainnya datang dari Liam Gammon, mahasiswa doktoral ANU. Menurutnya, pembahasan mengenai kontradiksi kebijakan adalah analisis yang dangkal. Sebab, hampir semua pemimpin di berbagai negara pasti bersikap kontradiktif. Kritik serupa juga pernah dilancarkan oleh komedian asal Amerika Serikat, Hassan Minhaj, kepada Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, pada Patriot Act yang dirilis 1 September 2019. Hal ini menandakan kontradiksi yang diambil oleh kepala negara adalah fenomena di negara berkembang hingga negara maju. Terlepas dari kritik, pengajar di Cornell University, Thomas Pepinsky, mengapresiasi cara Bland dalam merangkai tulisannya. Siapa pun yang membaca buku ini akan mendapat gambaran jelas mengenai kontradiksi sosok Jokowi. Di sisi lain, Bland juga mengakui bahwa tulisannya mungkin tidak bisa memuaskan banyak pihak. Tapi, dia berharap dari tulisannya bisa memicu perdebatan lebih jauh mengenai kebijakan yang ditelurkan Jokowi. Dari IDN TIMES Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiaGoOnline.com
0 Comments
by M Rizal Fadillah
Setelah sebelumnya banyak kecurigaan bahwa Tenaga Kerja Asing asal Cina yang masuk ke Indonesia itu bukan semata pekerja tetapi juga tentara, karena terlihat dari postur tubuh yang tegap, kini kedatangan 153 orang melalui bandara Soekarno Hatta di masa pandemi juga dicurigai. 3 orang memegang visa diplomatik dan 150 lainnya memiliki Kartu Izin Tinggal Terbatas (KITAS) dan Kartu Izin Tinggal Tetap ( KITAP). Sungguh mengejutkan dan mencurigakan apalagi 153 pendatang tersebut menggunakan pakaian hazmat, APD lengkap sehingga sulit dilihat siapa mereka, sangat mungkin tentara pula. Mengapa seleluasa ini WNA Cina dapat masuk ? Ada apa dengan Kantor Imigrasi dan Pemerintah Indonesia sekarang ini ? Demi kewaspadaan nasional dan keamanan negara hal ini harus diusut dan diklarifikasi. Presiden Republik Indonesia atau sekurangnya Menkopolhukam harus menjelaskan di depan publik siapa mereka itu dan apa antisipasi Pemerintah merespons kekhawatirkan masyarakat atas kedatangan "makhluk misterius" seperti ini. Jangan sampai semua menjadi terlambat. Penyusupan yang difasilitasi oleh agen-agen bangsa kita yang menjadi penghianat negara. Ketergantungan ekonomi tidak boleh menyebabkan keterjajahan para pemimpin negara kepada Republik Rakyat Cina. Bahaya. Kita teringat proses aneksasi Tibet oleh Cina dahulu. Para tentara Cina menyamar sebagai pekerja yang berujung invasi. Mega proyek dibuat sebagai investasi Cina baik PLTA, KA, Bandara, maupun Jaringan Telekomunikasi. Proyek besar yang nyatanya sama sekali tidak menyejahterakan masyarakat Tibet akan tetapi lebih menguntungkan Pemerintah Cina dan migran Cina itu sendiri. Pemimpin spiritual Dalai Lama terusir ke India. Industrialisasi Cina telah mengubah budaya rakyat Tibet. Masyarakat dan bangsa Indonesia gelisah dengan kebijakan Pemerintahan Jokowi yang membuka lebar pintu investasi, hutang luar negeri, dan migrasi WNA Cina. Proses pewarganegaraan yang dipermudah sangat mengkhawatirkan. DPR harus melakukan pengawasan intensif dan serius atas kebijakan pemerintahan yang cenderung menerapkan politik luar negeri "tidak bebas aktif". Sekali lagi jangan sampai semua menjadi terlambat. Nah kembali kepada masuknya WNA Cina melalui Bandara Internasional Soekarno Hatta dengan berpakaian hazmat (hazardous material suit) yang patut untuk dicurigai, maka pertanyaan mendasar kita adalah apakah mereka itu Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) Republik Rakyat China ? Waspada terhadap kemungkinan tentara yang siap melatih, mengkoordinasi, dan menginvasi. Waiting for the right moment to invade. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 28 Januari 2021 CHINA – Para penambang China sangat bersyukur bisa diselamatkan. Mereka pun menceritakan apa yang terjadi di kedalam 600 meter di bawah tanah. Termasuk bagaimana mereka bisa bertahan selama dua pekan di sana.
Dua penambang China yang diselamatkan setelah terjebak di bawah tanah selama dua minggu menggambarkan bagaimana mereka melakukan kontak dengan penyelamat - dengan mengetuk pipa. Mereka juga berbicara tentang perasaan lega mereka setelah diselamatkan. Satu orang dari mereka mengatakan dia "merasa dilahirkan kembali", dalam wawancara pertama sejak penyelamatan dramatis mereka. Mereka termasuk di antara 11 orang yang diselamatkan hidup-hidup setelah ledakan pada 10 Januari di tambang emas di Provinsi Shandong, China. Tim penyelamat masih mencari satu penambang yang masih belum ditemukan. Longsor 'seperti tsunami' melanda tambang giok di Myanmar, lebih dari 160 orang tewas. Sembilan orang lainnya ditemukan tewas, sementara satu lagi meninggal minggu lalu di dalam tambang, setelah jatuh koma. Berbicara dari ranjang rumah sakit pada hari Selasa, seorang penambang yang diidentifikasi sebagai Du An mengatakan kepada outlet media pemerintah, "Ketika kami mendengar suara bor, kami semua berdiri ... kami sangat senang. "Tidak ada kata untuk menggambarkan perasaan ini. Saya merasa seperti terlahir kembali." "Kami terjebak hampir 600 meter di bawah tanah, itu hal yang menakutkan," kata pria lain, yang diidentifikasi sebagai Wang Kang. Kelompok yang terdiri dari 22 orang itu bekerja di berbagai bagian berbeda di tambang, sekitar 600 meter di bawah permukaan tanah ketika ledakan yang belum dapat dijelaskan terjadi. Ledakan itu membuat jalan masuk ke tambang rusak parah dan jalur komunikasi para penambang dengan petugas di darat terputus. Mengingat saat-saat pertama ledakan, Wang berkata bahwa dia tidak dapat melihat apa pun dengan jelas saat ledakan itu terjadi. "Ledakan itu membuat kami terlempar jauh dan helm pengaman kami retak. Setelah ledakan selesai, kami segera mencoba mencari teman-teman kami." Selama berhari-hari, kelompok yang berjumlah 11 penambang itu menunggu untuk diselamatkan, tapi sia-sia. Mereka kemudian mengetahui bahwa pejabat perusahaan baru melaporkan kecelakaan tersebut 30 jam setelah kejadian. Mereka tidak memiliki makanan dan bertahan hidup hanya dengan air. "Ada banyak air di bawah sana, tapi tidak terlalu cocok untuk diminum. Jadi kami hanya minum sedikit untuk bertahan hidup," kata Du. Dia mengatakan mereka berusaha untuk tetap semangat. "Kami saling menghibur dengan kata-kata yang memberi semangat. Begitulah cara kami melewatinya." Laporan awal mengatakan tim penyelamat pertama kali menyadari ada penambang yang selamat ketika mereka merasakan tali ditarik ke dalam tambang. Namun media pemerintah pada hari Selasa mengatakan tanda kehidupan pertama sebenarnya adalah suara ketukan pipa. Para penambang mengatakan kepada wartawan bahwa setiap hari salah satu anggota kelompok itu akan mengetuk pipa bor yang mengarah ke permukaan. Akhirnya pada 17 Januari, ketika Wang mengetuk pipa lima kali - untuk menunjukkan bahwa mereka berada di bagian kelima tambang - suara itu akhirnya terdengar oleh tim penyelamat. Tim penyelamat mengetuk pipa kembali sebagai bentuk tanggapan. "Saya mendengar lebih dari 20 ketukan, tapi saya tidak mengerti," kata Wang. "Saya kembali untuk mendiskusikannya dengan penambang lainnya. Kami pikir itu bisa berarti jumlah penambang di bawah tanah, jadi saya kembali [ke pipa] dan menjawab dengan 22 ketukan." Tim penyelamat akhirnya mengebor poros tambang yang kecil untuk komunikasi dan mengirimi makanan, obat-obatan, kertas, dan pensil kepada para penambang. Sebuah catatan kemudian dikirim dengan tali dari kelompok yang terdiri dari 11 penambang juga orang ke-12 yang terjebak jauh di bawah mereka. Saluran telepon juga kemudian dibuat. Setelah itu, kontak dengan penambang ke-12 terputus, sementara salah satu dari kelompok 11 penambang, yang mengalami koma setelah mengalami luka di kepala dalam ledakan tersebut, dipastikan tewas.Upaya penyelamatan diperkirakan akan memakan waktu berminggu-minggu, tetapi "kemajuan besar terjadi" pada hari Minggu pagi ketika "penghalang besar yang memblokir poros tambang tiba-tiba jatuh ke dasar lubang," kata petugas penyelamat utama Du Bingjian kepada Global Times, yang dikelola pemerintah. Saat tim penyelamat berusaha mengeluarkan kelompok utama penambang, mereka menemukan pria lain yang masih hidup dan terperangkap di bagian lain dari tambang emas itu. Rekaman TV menunjukkan saat-saat dia dievakuasi, sementara para petugas bersorak. Matanya ditutup untuk melindungi matanya dari cahaya. Ia segera dibawa ke rumah sakit untuk perawatan dan kondisinya disebut "sangat lemah". Sekitar satu jam setelah itu, tim penyelamat berhasil menemukan kelompok utama dan menarik mereka keluar. Beberapa di antara mereka terlihat berjalan sendiri dengan dibantu oleh petugas penyelamat, sebelum dibawa ke rumah sakit. Sembilan penambang lainnya yang tewas diyakini berada di "bagian keenam" dari tambang tersebut, tetapi rincian bagaimana posisi mereka diketahui belum dijelaskan. Pejabat masih mencari satu penambang terakhir, sambil berjuang melawan naiknya level air tanah yang membanjiri tambang. Kecelakaan pertambangan biasa terjadi di China. Pada Desember tahun lalu, 23 penambang tewas setelah kebocoran karbon monoksida di tambang batu bara. Pada bulan September, 16 pekerja tewas di tambang lain di pinggiran Chongqing, juga karena karbon monoksida. Pada Desember 2019, ledakan di tambang batu bara di Provinsi Guizhou, barat daya China, menewaskan sedikitnya 14 orang. Dikutip dari Okezone 28 Jan 2021. Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiGoOnline.com Oleh: M Rizal Fadillah
Pemerhati Politik dan Kebangsaan Sedang ramai bangsa ini menyoroti perampokan uang rakyat oleh mantan Menteri Sosial Juliari Batubara dan rekan dari partai PDIP nya. Brutal dan dahsyat dalam memakan dana bansos di saat pandemi. Di samping masyarakat menghendaki hukuman mati bagi Juliari juga sampai tuntutan pembubaran PDIP. Di tengah perampokan uang rakyat yang berkelanjutan dari Jiwasraya, Asabri, Pertamina, hingga Lobster dan kini Bansos, justru Pemerintah mencanangkan Gerakan Nasional Wakaf Uang. Sesuatu yang seperti biasa tetapi menjadi luar biasa karena dicanangkan di saat negara "butuh uang sekali". Seperti yang berpihak kepada umat Islam tetapi sebenarnya umat Islam sendiri menduga ada motif lain dari canangan ini. Motif ekonomi ketimbang ibadah sebagaimana ungkapan Presiden sendiri yang menyatakan wakaf tidak hanya sebagai ibadah tetapi sosial dan ekonomi. Sungguh menunjukkan kedangkalan keagamaan dan pandangan sekuler yang memisahkan ibadah dan sosial ekonomi. Seorang muslim yang baik akan memandang aspek sosial dan ekonomi itu sebagai ibadah. Rezim kapal keruk sepertinya layak untuk disematkan. Mengeruk dana investor yang semakin tersendat, mengeruk hutang asing sampai 6000 Trilyun, lalu mengeruk uang umat Islam melalui eksploitasi zakat dan dana haji. Kini mencoba mengeruk dana wakaf umat Islam. Setahun 188 Trilyun. Sri Mulyani sudah bermimpi menggunakan dana ini untuk pembangunan infrastruktur. Umat Islam bukan tak senang bagian dari syari'at agama dicanangkan sebagai program nasional, masalahnya adalah Pemerintah menerapkan kebijakan ambivalen. Di satu sisi umat Islam dicoba untuk dilumpuhkan melalui isu radikalisme, intoleransi, terorisme, dan ekstrimisme. Juga melalui kriminalisasi ulama dan aktivis. Di lain sisi dana umat via zakat, haji, dan wakaf justru akan diambil. Infrastruktur pula orientasinya. Celakanya lagi uang yang ada di BUMN pun dikorupsi, begitu juga dana pinjaman untuk menanggulangi pandemi dirampok habis. Krisis ekonomi yang sudah di depan mata membuat Pemerintah menggaruk apapun, termasuk dana wakaf umat. Sayangnya Wapres yang Kyai selalu tampil menjadi tukang stempel kebijakan yang berhubungan dengan keumatan. Soal wajib dan halal vaksin, dana haji yang digunakan untuk keperluan selain haji, eksploitasi zakat, serta pembenaran wakaf yang digunakan untuk hal "di luar ibadah". Wakaf uang di tengah perampokan uang adalah tema dari drama negara. Ada sindiran gambar foto seseorang yang sedang melirik tajam sambil tersenyum, lalu ada tulisan di atasnya "that moment" dan di bawahnya --when the corruptor hear 'Wakaf'-- he he. Bandung, 27 Januari 2021 By : Rizal Fadillah
Luar biasa korupsi di negeri ini seakan menjadi warna Pemerintahan Jokowi. Mulai kasus Jiwasraya hingga lobster dan bansos pandemi terus menghiasi pernak-pernik dunia perampokan uang negara. Sudah masuk stadium tinggi hingga tinggal menyisakan dua pilihan yaitu amputasi atau mati. Amputasi Menteri dan "Perdana Menteri" atau Negeri yang dibiarkan mati. Madam dan anak Pak Lurah pun muncul dan terdeteksi menjadi bagian dari bancakan dana bansos yang bersumber dari "ngutang" luar negeri. Kedua profil manusia misterius tapi tercium menyengat ini masih tersembunyi dengan bantahan sana-sini. Putera Pak Lurah teriak tak memberi rekomendasi, "tak ada bukti" katanya. Sementara partai sang Madam juga "menolak dulu" terlibat korupsi bansos. Sesungguhnya makin terbongkar borok PDIP karena dari 1,9 juta paket bantuan, yang dikutip fee kisaran 10 ribu hingga 100 ribu per paket oleh Juliari mantan Mensos hanya 600 ribu paket, sedangkan 1,3 juta paket yang menjadi jatah dua anggota DPR Fraksi PDIP Herman Hery dan Ihsan Yunus "kutipan fee" nya adalah untuk Madam tadi. Analisis berdasarkan teori konspirasi sebenarnya Madam itu sedang berhadap-hadapan dengan pak Lurah. Saling serang, beradu pengaruh dan sandera. KPK adalah alat Pak Lurah untuk melumpuhkan dan menyandera PDIP. Kasus-kasus bansos menjadi alat untuk memukul Mak benteng dan pasukannya. Sementara pertahanan Madam yang efektif adalah penyerangan kepada anak pak Lurah melalui penguatan tali jeratan keterlibatan korupsi dana bansos yang sama "goody bag". Dukungan penuh "bantuan" PDIP untuk sukses Walikota adalah kartu truf yang dapat dimainkan. Skandal bansos yang mungkin bergeser menjadi skandal banpol. Konflik sosial dan politik kubu Madam dan Pak Lurah dalam kasus bansos melalui Kementrian Sosial ini nampaknya kelanjutan dari perseteruan antara keduanya pada kasus Jiwasraya yang diobrak abrik "Madam" Kejagung dengan kasus Harun Masiku yang diusut KPK nya "pak Lurah". Konflik tersembunyi antar geng di lingkungan kekuasaan ini menarik dan bukan tak mungkin akan membesar dan melebar. Rakyat tentu sudah merasa muak dengan korupsi uang dan kekuasaan yang membuat seolah-olah negara ini hanya milik mereka semata. Di tengah hiruk pikuk korupsi, persekongkolan dan penyanderaan politik inner circle, kebijakan represif disiapkan bahkan dijalankan. Pembungkaman oposisi, pembunuhan politik, Perpres ekstrimisme, Pamswakarsa, Komcad, hingga Polisi Maya terus dikonsolidasikan. Otoritarianisme mulai dibangun. Korupsi bansos di saat pandemi sangat menyesakkan. Soal hukuman mati hingga pembubaran PDIP mengemuka. Tentu PDIP tak akan tinggal diam dan tidak ingin menjadi bulan-bulanan, bulan lain juga harus dihajar. Nah daripada sembunyi-sembunyi bertengkar Madam dengan Pak Lurah, lebih fair dan bertanggung jawab, ayo keluarlah. Awal tahun 2021 ditandai bencana alam longsor, banjir, letusan gunung. Riuh pula bencana sosial bansos, mungkinkah akan segera terjadi bencana politik Negara ini butuh iklim yang lebih tenang dan damai bukan atmosfir kegaduhan yang diakibatkan oleh keserakahan pengelola negara yang hanya sibuk bagi bagi jabatan, uang, dan kekuasaan. Lalu bertengkar. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 23 Januari 2021 KONTENISLAM.COM - Ketua Tim Advokasi Korban Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), Hariadi Nasution, menyebut bila Mahkamah Pidana Internasional atau International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda sudah menerima laporan dan berkas terkait insiden penembakan 6 laskar FPI oleh kepolisian RI.
“Saya perlu jelaskan, bentuknya itu bukan sebuah gugatan, akan tetapi seluruh laporan informasi terkait pelanggaran HAM berat sudah kita sampaikan kepada ICC, dan pihak ICC menyampaikan sudah menerima semua berkas itu dengan baik,” kata pria yang akrab disapa Ombat itu, Jumat (22/1). Tak hanya insiden penembakan 6 Laskar FPI, Ombat menuturkan pihak ICC juga sudah menerima berkas laporan dugaan pembunuhan oleh aparatur keamanan Indonesia dalam peristiwa demonstrasi 21-23 Mei 2019 lalu. Menurut Ombat, laporan itu sengaja dikirimkan agar ICC melihat indikasi mata rantai kekerasan yang terus dilakukan aparatur keamanan negara Indonesia. “Seperti sudah menjadi kebijakan yang bersifat permanen oleh rezim Indonesia,” tuturnya. Lanjut Ombat, masih menunggu tindak lanjut dan proses selanjutnya dari pihak ICC. Tak hanya ke ICC, Ombat mengaku turut mengirimkan laporan penembakan 6 Laskar FPI itu ke Committe Against Torture di Jenewa, Swiss pada 25 Desember 2020 lalu. Laporan itu dikirimkan lantaran Indonesia terikat dalam Konvensi Anti-Penyiksaan yang sudah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia. “Dalam hal perjuangan menegakkan hukum dan keadilan serta hak asasi manusia, kita akan terus melakukan upaya-upaya yang di anggap perlu dan sesuai dengan mekanismenya,” kata dia. Seperti diketahui, insiden bentrokan antara polisi dengan enam Laskar FPI pengawal Rizieq Shihab terjadi di Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada Senin (7/12) dini hari silam. Dalam kejadian tersebut, enam anggota FPI tewas ditembak aparat kepolisian. Masing-masing kelompok menyampaikan klaim atas kejadian tersebut, baik dari pihak FPI maupun polisi. Tepat usai insisen Komnas HAM langsung menggelar investigasi. Berbulan kemudian tim penyelidikan Komnas HAM menyimpulkan kejadian pada pengujung 2020 lalu itu sebagai pelanggaran HAM. PERTARUNGAN MAUT ITU BERADA DI ANTARA USIA 55 HINGGA 70 TAHUN. Jika kita mencapai usia 55 tahun, maka waspadalah, karena inilah saat yg menentukan, akhir perjalanan seorang manusia. Akhir yg baik (husnul khaatimah) insyaAllah atau akhir yg buruk (su'ul khaatimah). NA'UDUBILLAH.
Dengan usia yg mencapai 55 tahun atau lebih, maka tidak ada yang layak untuk dia lakukan selain perbanyak istighfar, perbanyak ibadah keta'atan dan KONSENTRASI PENUH UNTUK AKHIRAT ... ! RASULULLAH shalallaahu alaihi wa sallam pernah bersabda bahwa usia umatnya adalah berkisar di antara 60 - 70 tahun ! "Sedikit yg berhasil melewatinya". (HR Tirmidzi dan Ibnu Majah). Barang siapa yg meyakini perjumpaan dg Sang Khalik, ia harus sadar bahwa ia akan ditanya, dan harus menyiapkan jawabannya. Lalu bagaimana jalan keluarnya? Caranya mudah. Teori bertaubat: Beribadah dan beramal shalihlah disisa usiamu, karena ALLAH Subhanahu wata'ala. sangat menyayangi terhadap hambaNya yg mau menghabiskan sisa usianya untuk lebih mendekat kepadaNya, INSYAA ALLAH, ALLAH Subhanahu wata'ala akan mengampuni dosa² yg telah lalu dan ALLAH subhanahu wata'ala memberikan keselamatan serta kebahagiaan di dunia, di kubur hingga di akhiratNya". Di saat kita sudah berumur 55 tahun atau apalagi sudah menginjak usia 60 tahun atau bahkan lebih, maka biasakan berdo'a memohon perlindungan dari ketidak-berdayaan, malas, fitnah dan dijauhkan dari siksa kubur dan siksa akherat: “Allaahumma inni a’uudzubika minal ‘ajzi wal kasali, waljubni walharam, wa a’uudzibika minal fitnatil mahya wamamaati, wa a’uudzubika min ‘adzaabil qabr”. Artinya: “Yaa Allah, aku berlindung kepadaMu dari sifat lemah & malas, penakut dan tua. Aku berlindung kepadaMu dari fitnah hidup dan mati, aku juga berlindung dari siksa kubur". Jangan merasa aneh, inilah kehidupan. Hakikatnya tak ada yg memberimu manfaat selain shalatmu. Alam itu aneh. Jenazah disusul dg jenazah. Kematian disusul dg kematian berikutnya. Berita tentang kematian terus bermunculan. Ada yg mati karena kecelakaan, ada yg karena sakit, ada yg tiba2 mati tanpa diketahui sebabnya. Dunia ini akan ditinggalkan semua yg ada dan semua manusia akan dikuburkan, itu pasti. Hariku dan harimu pasti akan tiba, mari kita persiapkan bekal untuk perjalanan yg tak dapat kembali. Wahai orang yg menunda taubat dg alasan karena masih muda, kuburan bukanlah tempat untuk orang dewasa saja, kuburan tempat manusia segala usia ... Sungguh, Dunia itu hanya 3 hari saja. Hari Kemarin, kita hidup di situ, dan tidak akan kembali lagi, Hari Ini, kita jalani namun tak berlangsung lama, Hari Besok, kita tidak akan tahu apa yg akan terjadi. Maka saling memaafkanlah antar saudara dan sesama, bersedekahlah, karena aku, engkau dan mereka pasti akan pergi meninggalkan gemerlapnya dunia ini untuk selamanya. Yaa, Allah. Kami memohon keridha'an Mu husnul khaatimah dan beruntung dg mendapatkan surga dan selamat dari api neraka. Barang siapa yang hidup dalam suatu kebiasaan, maka ia akan mati dengan kebiasaannya itu. Jadi marilah kita membiasakan diri dg memperbanyak BERIBADAH KEPADA ALLAH SUPAYA MATI KITA DALAM KEADAAN BERIBADAH KEPADA ALLAH. Jika sudah membaca tulisan ini insyaaAllah akan mendapatkan pahalanya. Namun bila menyebarkannya dan orang lain mendapatkan manfaat juga, maka akan dilipat-gandakan pahala kita. Aamiin aamiin aamiin ya Robbal'alamiin. InsyaaAllah. Presiden Joko Widodo (Jokowi) meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan (RAN PE) yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020-2024. Dalam upaya mewujudkan pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan, ada sejumlah program yang telah direncanakan. Salah satunya adalah penambahan materi pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di sekolah dan kampus.
Program ini berawal dari belum adanya materi tersebut dalam pendidikan formal. Penanggung jawab program di atas adalah Kemendikbud dan BNPT/BPIP. Salah satu bunyi program tersebut adalah Pelatihan=pelatihan bagi tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan, peran media massa, dan influencer di media sosial (termasuk mantan narapidana teroris) dalam menyampaikan pesan mencegah Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Ambigu Dan Multitafsir Bila ditelaah substansi PERPRES Perpres No. 7/2021 tentang RAN PE menuai polemik dan berpotensi besar menciptakan kegaduhan. Isi peraturan tersebut bukan fokus di aksi terorisme, tapi menyasar pada keyakinan dan mengarah kepada gejala pra aksi terorisme yang kemudian dibahasakan sebagai ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah kepada aksi terorisme. Sementara diksi ekstrimisme muktitafsir dan ambigu. Potensi subyektifitas dan tendensiusitas akan muncul dan sulit dikontrol. Upaya mengaitkan terorisme dengan dakwah para ulama atau dengan Islam jelas bukan hal baru. Upaya ini terus diulang-ulang sejak program War on Terrorism (Perang Melawan Terorisme) dimulai oleh Amerika Serikat di seluruh dunia, khususnya di negeri-negeri Muslim (termasuk Indonesia), segera sejak terjadinya Peledakan WTC 11 September 2001. Sejak itu Amerika menegaskan bahwa Perang Melawan Terorisme bakal memakan waktu lama alias perang jangka panjang. Tujuannya tidak lain karena yang diperangi oleh AS bukanlah semata-mata terorisme, tetapi Islam itu sendiri sebagai kekuatan ideologi dan politik. Sebab, para pejabat dan politisi AS, termasuk sebagian intelektualnya, memang menganggap Islam sebagai ancaman potensial bagi ideologi Kapitalisme yang diusungnya, setelah ancaman ideologi Sosialisme-komunis tidak ada lagi pasca runtuhnya Uni Sovyet. Inilah sebetulnya yang harus disadari dan dikritisi. Dalam konteks Islam, kita tentu sepakat, bahwa tindakan teror atau kekerasan apapun adalah tidak dibenarkan. Di luar itu, teror dan kekerasan apapun yang dilakukan oleh negara -meski atas nama keamanan - juga seyogyanya harus ditolak, apalagi sekadar didasarkan pada kecurigaan. Contohnya adalah penangkapan yang pernah dilakukan oleh Kepolisian Jawa Tengah terhadap 17 anggota Jamaah Tabligh yang sedang mengadakan ‘khuruj’ (dakwah) di Purbalingga dan Solo. Polisi menangkap mereka hanya didasarkan pada tampilan fisik luar seperti berjenggot dan bersorban. Contoh lainnya adalah pengawasan oleh negara terhadap kegiatan dakwah. Meski Kapolri membantahnya, Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) Muladi justru mendukung pemantauan dakwah di masjid-masjid. "Lakukan saja, itu tugas polisi sebagai pengayoman masyarakat," ujarnya. (Tempointeraktif.com, 25/8/2009). Andai hal ini dilakukan, berarti Pemerintah telah melakukan bentuk 'teror' baru terhadap umat Islam. Selain 'ngawur', tindakan demikian juga melecehkan Islam; seolah-olah dakwah Islamlah faktor pemicu munculnya aksi-aksi terorisme. Selain itu, tindakan Kepolisian mengawasi kegiatan dakwah akan memberikan pembenaran, bahwa secara keseluruhan para da’i, mubalig dan khatib terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang dianggap membahayakan keamanan negara. Hal ini jelas berbahaya karena akan berdampak pada munculnya disintegrasi (perpecahan) di tengah-tengah masyarakat. Jika sampai terjadi demikian, berarti Pemerintah sendirilah yang sesungguhnya menimbulkan ketidakamanan dan ketidaknyaman di masyarakat. by M Rizal Fadillah
Bekerja sia-sia bahkan tidak profesional adalah pilihan diksi yang mungkin pas diberikan bagi Komnas HAM yang diberi amanah untuk menyelidiki kasus pembantaian 6 anggota Laskar FPI 7 Desember 2021. Harapan publik begitu besar atas kerja keras, transparan, obyektif, dan independen. Namun harapan itu sirna melalui realita kerja Komnas HAM. Menurut UU No. 39 tahun 1999 tentang HAM Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi HAM. Pasal 89 ayat (3) butir c dalam hal pemantauan maka Komnas HAM melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang patut diduga terdapat pelanggaran HAM. Ada kesalahan mendasar Komnas HAM dalam penyelidikan kasus penembakan 6 anggota laskar FPI, yaitu : Pertama, dari peristiwa yang secara dini dipantau publik diduga penembakan bahkan pembantaian yang terjadi adalah "extra ordinary" dengan tuntutan keras akan pembentukan TPF independen, maka sesuai UU No 26 tahun 2000, seharusnya Komnas HAM membentuk tim ad hok yang terdiri dari Komnas HAM dan unsur masyarakat (vide Pasal 89 ayat 2). Kedua, bahwa hasil penyelidikan dengan kesimpulan terjadinya pelanggaran HAM Komnas HAM seharusnya mengumumkan kepada publik siapa yang diduga pelanggar HAM tersebut. Mengetahui penembak atau pembantai adalah hal termudah dan layak didapat oleh Komnas HAM dalam kasus ini. Ketiga, Komnas HAM tidak mampu menjelaskan indikasi penyiksaan (torture) bahkan terkesan menghindar, hal ini merupakan pelanggaran atas tanggungjawab moral kemanusiaan yang mendasar. Foto kondisi jenazah yang beredar ternyata tidak terklarifikasi baik dalam penyelidikan. Keempat, Komnas HAM keliru hanya melaporkan hasil kerja kepada Presiden, sebab pada pelaporan reguler saja dilakukan kepada DPR dan Presiden dengan tembusan Mahkamah Agung (Pasal 97 UU HAM), apalagi pelaporan khusus. Komnas HAM itu bekerja bukan atas perintah dan bertanggungjawab kepada Presiden. Mengingat kegagalan kerja Komnas HAM dalam kasus penyelidikannya, apalagi mengganggu asas dasar kemandiriannya, maka layak jika Komnas HAM dengan angggota yang kini menjabat patut untuk mendapat sanksi. Pemberhentian adalah konsekuensi. Pimpinan dan tim penyelidik kasus penembakan atau pembantaian bertanggungjawab atas kegagalan. Pemberhentian dari keanggotaan Komnas HAM ini sesuai dengan ketentuan Pasal 85 UU HAM yang membuka pintu pemberhentian atas dasar "mencemarkan martabat dan reputasi dan atau mengurangi kemandirian dan kredibilitas dalam Komnas HAM". Kesalahan sebagaimana dimaksud Pasal 85 bila dilakukan secara kolektif dan sistematis maka Komnas HAM yang semestinya menjadi pelindung dan pembela HAM justru menjadi bagian dari pengaburan dan pelanggaran HAM itu sendiri. Jika hasil kerja Komnas HAM memang dinilai sudah tidak efektif, mandul, dan tidak berwibawa dalam langkah hukum lanjutannya, maka sebaiknya Komnas HAM dibubarkan saja. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 22 Januari 2021 Presiden telah menandatangani dan memberlakukan Perpres No. 7 tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme. Dasar pertimbangannya sesuai konsiderans Perpres adalah "seiring dengan semakin meningkatnya ancaman ekstrimisme yang berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia".
Menjadi pertanyaan mendasar adalah sejauh mana terjadinya peningkatan ancaman ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah ada terorisme itu ? Terlebih jika dihubungkan dengan "mengancam rasa aman dan stabilitas nasional". Adakah kasus HRS dan FPI yang baru saja terjadi adalah model ancaman yang dimaksud ? Pentingnya kewaspadaan tentu dapat difahami, akan tetapi jika berlebihan maka menjadi kontra produktif, tidak sehat, serta menciptakan kultur saling curiga. Sosialisasi hingga pelatihan untuk mengadukan atau melaporkan kepada yang berwenang atas dasar kecurigaan dapat membangun budaya "main lapor" seenaknya atau rekayasa. Budaya ini berbahaya dan dapat mengancam iklim demokrasi. Sikap kritis akan mudah dituduhkan sebagai ekstrimisme. Sementara pendukung kekuasaan atau mungkin penjilat menjadi nyaman dalam perilakunya yang sebenarnya juga ekstrim, radikal, atau intoleran. Bernuansa teror pula. Setelah dibombardir dengan isu dan program deradikalisasi, anti kemajemukan, dan lainnya kini rakyat ditambah beban baru berupa penanggulangan ekstrimisme berbasis kekerasan yang mengarah terorisme. Masyarakat terus ditakut-takuti dengan doktrin yang rumusannya bersifat multi tafsir atau bias makna. Perpres No 7 tahun 2021 ini berbahaya, karena : Pertama, dasar hukum Perpres yang tidak kuat. Jika dimaksud adalah UU No 5 tahun 2018 yang berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana terorisme, maka hal ini tidak adekuat. Terorisme memiliki rumusan delik yang jelas sedangkan ekstrimisme tidak. Semestinya derivasi aturan pun adalah Peraturan Pemerintah bukan Perpres yang merumuskan "ekstrimisme" itu bias dan memungkinkan untuk ditarik kemana-mana meskipun dengan kalimat "berbasis kekerasan" Kedua, melibatkan banyak kementrian, instansi, atau badan dan lembaga menyebabkan "ekstrimisme" menjadi isu di banyak ruang dan bidang. Program pelatihan kepada penceramah dan ruang ibadah sebagai contoh kegiatan yang dinilai tendensius. Ekstrimisme yang diatur oleh Perpres menjadi racun baru yang dipaparkan ke publik, doktrin keseragaman, serta legalisasi untuk tindakan membungkam demokrasi. Ketiga, sosialisasi yang masif dengan melibatkan banyak institusi adalah kebijakan membuka banyak proyek komersial berbasis ideologi. Dana negara yang akan dihambur-hamburkan atas nama program strategis. Konsentrasi pemerintahan pun terfokus lebih pada "kegaduhan" radikalisme, ekstrimisme, dan terorisme yang pada hakekatnya tak lain untuk menutupi maraknya korupsi, krisis ekonomi, serta kegagalan dalam menangani pandemi. Menciptakan kecurigaan apalagi ketakutan di masyarakat adalah khas pemerintahan otoriter atau komunis. Hembusan fitnah dan adu domba menjadi habitat. Tentu kita tidak ingin kekuasaan di bawa ke arah sana. Pilihan kita adalah demokrasi berkeadaban, sarat nilai, santun dan menumbuhkan sikap saling percaya. Perpres 7 tahun 2021 yang ditindaklanjuti dengan desk aduan khusus yang dibuka di Kepolisian dan Kejaksaan, ditambah Calon Kapolri yang bertekad untuk menghidupkan kembali Pamswakarsa, lalu pandemi Covid 19 yang dijadikan alasan untuk kebijakan represif, maka wajar menimbulkan pertanyaan hendak dibawa ke mana negara ini ? Semakin gencar membombardir masyarakat dengan isu radikalisme, intoleransi, ekstrimisme hingga terorisme, maka secara tidak sadar negara sendiri yang sedang memberi predikat dirinya sebagai negara radikal, negara ekstrim, dan negara teroris. Sejarah hitam mulai digoreskan kembali di negeri Republik Indonesia yang merdeka dan berkedaulatan rakyat ini. Demokrasi terpimpin telah dimulai. *) Pemerhati Politik dan kebangsaan Bandung, 21 Januari 2021 |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|