Gas Nitrogen dalam industri migas sangat penting peranannya. Di pabrik pencairan gas alam atau LNG gas Nitrogen selain digunakan untuk mengusir hidrokarbon ketika sebuah bejana akan dibuka pada waktu shutdown, juga digunakan sebagai salah satu komponen pendingin refrigeran. Sebagai refrigeran gas Nitrogen berfungsi menurunkan titik didih campuran refrigeran sampai - 170 C. Gas Nitrogen sering dianggap tidak berbahaya karena memang sehari-hari kita selalu menghirup udara dengan kandungan gas Nitrogen sampai 79.1% bersama-sama oksigen dengan kandungan normal 20.9%. Selain itu gas nitrogen tidak berbau dan tidak beracun. Faktor-faktor ini mungkin yang menyebabkan bahaya gas Nitrogen sering dianggap enteng oleh kebanyakan pekerja. Dalam keselamatan kerja, bahaya yang paling besar mengancam jiwa adalah bahaya yang tidak diketahui keberadaannya oleh kita. Gas Nitrogen termasuk dalam kategori ini. Survey dari Chemical Safety Board (CSB) Amerika tahun 1992 - 2002 mencatat 80 orang meninggal dunia dan 50 orang mengalami kecelakaan akibat gas Nitrogen. Dari 85 kecelakaan akibat gas Nitrogen, 62% terjadi di pabrik kimia, food processing and storage facilities, manufacturing operations dan industri-industri lain termasuk pabrik nuklir. Adapun bahaya gas Nitrogen bukanlah karena sifat gasnya tetapi akibat kekurangan oksigen dalam diri korban ketika terhirup gas Nitrogen murni. Ketika kandungan oksigen berkurang sampai dibawah 10% seseorang kehilangan kemampuan menggerakkan anggota tubuhnya dan hilang kesadaran bahkan terancam mati. Dalam salah satu inspeksi yang biasa saya lakukan di pabrik saya pernah menemukan sekelompok pekerja berkumpul di dekat lokasi venting gas Nitrogen. Saya meminta supervisornya menghentikannya sementara dan mengajak mereka diskusi tentang bahaya gas Nitrogen. Saya bertanya apakah mereka sadar bahwa mereka berdiri di dekat venting gas Nitrogen dan apakah mereka sadar bahayanya. Sayapun mulai menjelaskan bahwa seandainya tanpa di sadari salah seorang sudah berada dalam udara yang sudah mengandung terlalu banyak gas Nitrogen dia bisa tiba-tiba jatuh tidak sadarkan diri. Kejadiannya bisa berlangsung sangat cepat tanpa disadari oleh korban. Hal ini karena gas Nitrogen dapat menyusup kedalam darah melalui pori-pori selain juga ketika terhirup lewat paru-paru. Akhirnya saya meminta agar setiap kali melakukan venting gas Nitrogen harus dipasang terlebih dahulu barikade dan tanda agar orang tidak masuk ke daerah venting gas Nitrogen. Jika kita selalu melakukan hal-hal sederhana yang menjamin keselamatan kita seperti memasang barikade dan tanda setiap kali akan melakukan venting gas Nitrogen, maka kita dan orang lain akan terselamatkan dari kemungkinan terhirup udara yang mengandung kekurangan oksigen.
0 Comments
Dr. Ir. Masri Sitanggang dalam situs gipnkri.com menulis bahwa dia betul-betul merasa terganggu dengan tudingan anti NKRI, anti kebhinekaan dan anti Pancasila yang dialamatkan kepada kelompok Islam hanya karena mereka mengamalkan syariat agamanya. Dia tersinggung, marah dan “terpaksa” menuliskan kembali catatan-catan penting sejarah tentang perjuangan memerdekakan bangsa ini; agar jelas kelompok mana berperan sebagai apa: Pahlawan cinta NKRI atau bagian dari penjajah? Menurutnya terpaksa, karena akhlaq Islam mengajarkan umatnya untuk tidak menepuk dada, menyebut-nyebut kebaikan yang pernah dibuatnya. Karena itu pula dia dalam artikelnya itu, banyak mengutip sumber-sumber dari kalangan non muslim. Berikut tulisannya. Perjuangan kemerdekaan muncul karena adanya penjajahan dan itu dimulai sejak Portugis menyerang Kesultanan Malaka di sekitar tahun 1511. Sebelum itu, tidak ada perjuangan kemerdekaan, artinya, tidak ada penjajahan. Meski berbeda suku bangsa dan bahasa di tengah mayoritas muslim, rakyat hidup aman tentram di bawah Pemerintahan Kesultanan. Nusantara ketika itu memang berada di bawah kekuasaan kesultanan-kesultanan di mana antar kesultanan terjalin hubungan erat bahkan hingga ke luar Nusantara; dan perlu diingat, yang namanya Sultan sudah pastilah muslim dan Syariat Islam diberlakukan. Kedatangan Portugis tidak terlepas dari semangat Perang Salib. Dr.W.Bonar Sijabat (dalam KH Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, 1979) menerangkan, sekalipun orang-orang Eropa kocar-kacir akibat pukulan-pukulan dari musuhnya (Islam) dalam bagian terakhir dari Perang Salib, namun takluknya Kerajaan Islam di Granada (Spanyol) tahun 1492 dan berhasilnya Colombus mendarat di benua Amerika membuat Spanyol dan Portugis masuk kepada suatu lonjakan sejarah yang maha hebat. Tetapi itu bukanlah alasan satu-satunya. Menurut Pdt. Dr. Jan S. Aritonang (Sejarah Penjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia, 2005), Paus Alexander VI membagi dua kekuasaan di dunia: belahan Barat untuk Spanyol dan belahan Timur untuk Portugis. Paus memberi restu dan mandat kepada kedua negara –sebagai penghargaan atas jasa mereka dalam Perang Salib melawan tentara Islam, untuk menaklukkan kawasan-kawasan yang mereka lalui dan menanamkan Kristen kepada penduduknya. Mandat ini tertuang di dalam Bulla (maklumat) Paus Alexander VI tanggal 4 Mei 1493 dan perjanjian Tordesillas 9 Juni 1494. Karena itulah Hamka (Sejarah Umat Islam IV, 1976) menilai penyerbuan ke negeri-negeri Timur lebih besar karena dorongan kemenangan dan penyiaran agama ketimbang keinginan berniaga. Demikian juga pendapat tokoh gereja Indonesia,TB. Simatupang (Iman Kristen dan Pancasila, 1989), katanya: “ Orang Portugis datang ke Indonesia dengan suatu pengertian teologi dan politik di balik tujuan mereka untuk mematahkan ekonomi orang Islam (yang menguasai perdagangan dari Indonesia ke Eropa), dan menduduki wilayah negeri-negeri lain dalam nama raja Portugal serta memenangkan penduduk negeri-negeri itu untuk Gereja Roma Katolik”. Jan S. Aritonang (2005) menyebut bangsa Barat datang sambil mengibarkan panji-panji Kristen, termasuk tanda salib di bendera kapal-kapal dagang mereka. Di dalam diri penguasa Portugis dan Sepanyol tertanam dendam yang mendalam terhadap Islam, dendam Perang Salib. Dan Semua itu tergambar dalam pidato Panglima Perang Portugis Alfonso Albuquerque di depan pasukannya ketika akan menyerang kerajaan Islam Malaka ( Hamka, 1976): “Adalah satu pengabdian maha besar dari kita kepada Tuhan apabila kita telah dapat mengusir orang Arab dari daerah ini kelak, sehingga nyala pelita ajaran Muhammad itu padam dan tidak akan bangkit lagi untuk selama-lamanya”. Pada bagian lain pidatonya, dikatakan : “…karena saya yakin apabila semenanjung Malaka ini telah kita rebut dari tangan mereka, Kaum Muslimin itu, dengan sendirinya Kairo dan Mekkah jadi tanah tandus yang tidak ada penduduknya lagi. Dan orang Venesia sendiri tidak akan dapat berniaga rempah-rempah kalau tidak membeli kepada kita”. Bagian akhir pidato ini membuktikan hal lain, yakni eratnya hubungan negeri-negeri Islam saat itu, betapa negeri Melayu ini tidak terpisahkan dengan (sejarah) negeri Islam di mana pun. Saifuddin Zuhri (1979) bahkan mengatakan bahwa peranan Kerajaan Pasai di Aceh sangat besar dalam mempertahankan Masjid Aqsha pada masa Perang Salib. Karena itu pula kemudian dapat dipahami mengapa Mesir (Kairo) dan negara-negara Islam menjadi negara pertama yang mengakui Kemerdekaan RI, sementara negara Barat Kristen sangat terlambat. Di mana-mana di Nusantara ini Portugis menghadapi kekuatan Islam yang dipimpin para Sultan dan Ulama. Meski Kesultanan Malaka dan Kerajaan Islam Pasai di Aceh dapat ditaklukkan, tetapi ambisi Portugis untuk menguasai Sunda Kelapa dapat dipatahkan oleh Sultan Fatahillah yang kemudian memberi nama Jayakarta (Jakarta) untuk daerah itu. Di Ternate, setelah terjadi beberapa kali konflik senjata, terdapat kesepakatan antara Portugis dan Sultan Khairun: perdagangan boleh dimonopoli Portugis, tapi bidang agama Sultan Khairun yang berwenang. Namun seperti dikatakan T.B. Simatupang (1989) bahwa misi Portugis ke Indonesia adalah menduduki wilayah dalam nama raja Portugal serta memenangkan penduduk negerinya untuk Gereja Roma Katolik, maka keadaan tetap tidak aman; umat Islam di mana-mana mendapat tekanan. Akhirnya Sultan Khairun membolehkan penyiaran Kristen dengan catatan harus dilakukan di daerah yang penduduknya belum Islam, yakni Ambon. Di Ternate, karena pendudukya sudah Islam, Portugis hanya boleh berdagang. Ini ditempuh Sultan karena Baginda merasa bertanggung jawab terhadap aqidah rakyatnya. Tetapi oleh Portugis dibalik, Ambon dijadikan pusat perdagangan dan Ternate dijadikan pusat penyiaran Kristen, yang menyebabkan Sultan memaklumkan’’Perang Sabil’’. Kepada pasukannya, Baginda memerintahkan untuk mengusir semua orang Kristen dari Ternate, baik orang Portugis maupun pribumi. Mengapa ? Menurut Hamka (1976), orang-orang yang telah memeluk Kristen tidak mau mengakui kekuasaan Sultan lagi. “Dan yang lebih berbahaya daripada itu”, tulis Hamka,“ialah bahwa seketika terjadi perselisihan-perselisihan di antara Sultan dengan Gabnor, orang-orang Krsiten anak negeri selalu berpihak kepada Potugis, bahkan ada yang menjadi mata-mata Portugis.” Jan S. Aritonang (2005) mengonfirmasi adanya missionaris Portugis bersama Kristen anak negeri yang tewas dalam beberapa kali bentrokan melawan pihak kesultanan, yang memberi bukti bahwa anak negeri yang telah Kristen memang berada di pihak Penjajah. Ketika Portugis terdesak dan kemudian meminta damai, Sultan bersedia bersahabat lagi asal portugis tidak menjadikan Ternate sebagai pusat penyiaran Kristen. Ini menunjukkan betapa faktor agama menjadi begitu penting dalam hubungan kedua bangsa ini. Perjanjian damai ditandatangani, Sultan memegang Al-Quran dan Gubernur Portugis memegang Injil; do’a dipimpin oleh qadi Islam. Tapi sayang, Sultan di bunuh ketika bersantap dalam jamuan makan yang sengaja dibuat oleh Portugis untuk menghormati perjanjian suci itu, Pebruari 1570. Suatu penghianatan yang sangat keji, yang membakar semangat perang total melawan Portugis. Sultan Babullah, pengganti Sultan Khairun, mengepung benteng penjajah Portugis di Ambon. Terbukti pula Raja Bacan, yang telah memeluk Kristen, membantu Portugis yang terkepung dengan menyuplai bahan makanan. Bukan main murkanya Sultan Babullah sehingga mengancam akan memusnahkan kerajaan Bacan. Takut akan ancaman, Bacan berhenti menyuplai bahan makanan. Benteng Ambon jatuh ke tangan Pasukan Islam, Portugis lari ke Malaka. Sultan Babullah menyatakan tidak akan membunuh Kristen anak negeri dan tidak akan dipaksa masuk Islam asal mereka tunduk kepada kekuasaan Sultan. Masuklah ke era kolonial Kristen Protestan Belanda. Sudah umum pula diketahui bahwa mereka yang tampil memimpin perjuangan mengusir Belanda adalah para pemuka agama Islam. Clefford Greetz (dalam A. Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, 1995) menyebut perlawanan menentang Belanda ini sebagai “pemberontakan Santri’’. Simbol-simbol perjuangan dan selogannya menonjolkan semangat Islam, semangat jihad dan kesediaan mati syahid. Imam Bonjol di Padang dengan perang Paderinya, Teuku Umar dan Cik Ditiro di Aceh dengan “Perang Sabil” melawan orang “kape”-nya, Diponegoro di Jawa dengan“Perang Sabil” dan jubah putihnya, begitu juga Sultan Hasanuddin di Sulawesi dan Si Singamangaraja ke XII di Toba. Suryanegara (1995) menyebut, penyebaran Kristen menjadi pangkal perlawanan Si Singamangaraja XII (SSM XII) terhadap Belanda. Ini sejalan dengan pernyataan J.P.G.Westhoff, : ”Untuk tetap memiliki jajahan-jajahan kita, sebagian besar adalah tergantung dari pengkristenan rakyat.” Jan S Aritonang (2005) menyebut SSM XII menentang Zending Kristen dikarenakan Zending dijadikan alat pemerintah Hindia Belanda untuk menguasai wilayahnya. Menurut Suryanegara(1995) daerah–daerah yang telah dipengaruhi Kristen secara administrasi diserahkan oleh misionaris kepada Belanda. Untuk itu pemerintah Belanda merasa berhutang budi kepada missionaris Nomensen sehingga ia diberi bintang Officer van Oranje-Nassau. Fakta-fakta yang disampaikan Suryanegara (1995) berupa kliping koran yang diterbitkan Belanda dan kenyataan bahwa dalam perlawanannya menentang Belanda Raja Toba itu dibantu oleh Panglima Nali dari Minangkabau dan Panglima Teuku Mohammad dari Aceh, meyakinkan Bahwa SSM XII adalah muslim. Bagaimana sikap orang-orang yang telah “ditunjuki” Belanda kepada Kristen? T.B. Simatupang(1989) menuturkan : “Orang-orang Kristen yang menjadi nasionalis –yang berarti menentang Belanda, dianggap oleh gereja sebagai tidak lagi orang-orang Kristen yang baik.” Sementara tokoh Kristen lainnya, Dr. Mulia (dalam Simatupang 1989) mengakui adaya kesan bahwa misi Kristen di Tapanuli, Minabasa dan Maluku hanya melayani tata hidup kolonial dan kapitalis. Artinya, gereja secara lembaga tidak berada pada barisan perjuangan kemerdekaan, melainkan di pihak penjajah Belanda. Uraian Ahmad Mansur Suryanegara (Api Sejarah 2, 2012) ini perlu juga dicatat. Kongres Nasional Syarikat Islam di Bandung, 17-24 Juni 1916, memutuskan memelopori tuntutan pemerintahan sendiri, berjuang untuk Indonesia merdeka dan tegaknya pemerintahan yang demokratis dengan adanya parlemen. Lain dari itu, para pemimpin Islam berupaya membangun organisasi kesenjataan modern melalui Indie Weerbar Actie, untuk membangkitkan kembali semangat keprajuritan pemuda. Namun tuntutan Indie Weerbar itu itu ditolak Belanda. Ini terjadi karena pimpinan partai-partai non religius dan sekuler seperti Parindra, Gerindo, Parpindo serta partai non Islam seperti Partai Kristen dan Partai Katolik dengan politik asosiasinya berpihak dan memertahankan pemerintahan penjajah Belanda. Mengutip A.K. Pringgodigdo, Suryanegara (2012) mengatakan sikap partai-partai Kristen itu sebagai akibat partai tersebut dipimpin oleh orang Belanda. Begitulah perjuangan Ummat Islam memerdekaan bangsa ini dari penjajah Katolik Portugis, begitu pula di masa penjajah Protestan Belanda serta Inggris dan demikian juga di masa mempertahankan kemerdekaan dari sekutu. Pada masa serangan sekutu, Resolusi Jihad Ulama dan teriakan Takbir Bung Tomo serta kepemimpinan Jendral Sudirman adalah legenda rakyat muslim Indonesia mempertahankan NKRI yang tak boleh dilupakan. Akhirnya Dr. Ir. Masri Sitanggang menghimbau kita jujurlah pada sejarah, agar kita bisa saling hormat dan menghargai. Jujur pulalah dalam bernegara agar Indonesia benar-benar menjadi milik bersama. Jangan ada dusta di antara kita, agar bangsa ini bisa tumbuh besar dan kuat dengan rakyat yang rukun dan damai. Meski di antara kita ada yang “ditunjuki” oleh penjajah (Portugis atau Belanda), tinggalkanlah cara-cara bangsa asing itu. Jadilah sepenuhnya bangsa Indonesia. Janganlah Umat Islam dituduh anti NKRI, anti kebhinekaan, radikal dan lain semacamnya karena itu menyakitkan. Tuduhan itu hanya layak dilontarkan oleh penjajah dan itu berarti membangkitkan kenangan lama: perlawanan umat Islam menentang penjajah dan antek-anteknya !. Wallahu a’lam bishshawab. Saya lahir pada tahun 1933, di Padang, Sumatera Barat. Alhamdulillah sejak kecil orang tua mendidik saya dengan ajaran Islam yang ketat. Ayah saya berlatar pedagang. Sejak saya kecil, ia juga mendidik saya untuk berdagang. Sekaligus mengajarkan akhlaq berdagang. Suatu saat tanpa disadari, ayah saya kurang mengembalikan uang pembeli. Tetapi pembeli itu diam saja dan berlalu. Lekas dipanggilnya orang itu. Sewaktu saya bertanya mengapa dikembalikan sisa uangnya sedangkan orang itu tidak tahu. Ayah menjawab, Allah Maha Tahu. Sikap demikian akhirnya tertanam dalam hati nurani saya. Sewaktu baru berumur 11 tahun, saya sudah diberinya sejumlah uang. “Kamu mau dagang apa, terserah,” ujarnya lembut. Setiap pulang “berdagang”, saya melaporkan pendapatan saya. “Berapa kamu dapat ? Bagus,” pujinya. Waktu itu saya berinisiatif menjual kelapa. Dengan menggunakan gerobak, saya membeli kelapa di rumah penduduk, dan menjualnya ke pasar dengan jarak tempuh sampai 10 km. Tapi ayah tetap mengutamakan pendidikan formal. “Jangan tinggalkan sekolah.”itu selalu ia tekankan. Lulus SMA saya meneruskan studi ke Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Setelah lulus, saya bekerja sebagai Direktur BPD. Saya sudah bertekad, suatu saat harus mandiri. Setelah tujuh tahun bekerja di BPD, saya menolak diperpanjang masa jabatan. Saya merasa inilah titik awal permulaan usaha saya. Saya mesti berdiri di atas kaki sendiri. Maka sejak 1967, saya mulai menekuni berbagai bidang usaha. Hingga sepuluh tahun kemudian, sewaktu mencoba bisnis properti kecil-kecilan, saya sadar, usaha itu sudah tidak bisa lagi saya kembangkan. Lalu pada tahun 1978, saya memutuskan keliling Eropa, melakukan “studi banding”, apa sih yang sebaiknya saya kembangkan. Akhirnya saya menemukan, yang pokok diperlukan manusia itu sandang dan pangan. Ternyata siapa yang bergerak di bidang itu, asalkan mempraktekkan teori-teori yang benar, dapat berkembang. Pada tahun 1979, mulailah saya membuka TIP TOP di Rawamangun. Waktu itu hanya toko kecil, semacam mini market. Saya memulai dari bawah, dari nol. Luas lantainya hanya 400 M2. Saya juga pergi ke pasar-pasar tradisional membeli bawang, cabai langsung sama mbok-mbok penjualnya. Ini berlangsung sekitar dua tahun. Bagi saya ini banyak hikmahnya, saya jadi tahu perputaran arus barang mulai dari bawah. Sejak awal saya sudah mematok mini market itu harus berdasarkan prinsip-prinsip Islami. Bukan hanya tidak menjual daging babi dan minuman keras, tetapi saya juga selektif memilih barang. Misalnya daging sapi atau ayam, kalau harganya terlalu murah, atau tidak jelas memotongnya Islami atau tidak, saya tolak. Bagi saya justru nmencurigakan kalau harganya terlalu murah, dari mana dapat daging itu? Jadi barang-barang yang tidak jelas asal usulnya tak mau saya terima. Saya juga perlu melihat langsung tempat pemotongan hewannya.Saya berusaha memprotect, agar hanya barang yang halal dan thoyyib saja yang dijual. Saya juga mencoba mengikuti bagaimana nabi berdagang, tentunya sepanjang yang saya ketahui. Nabi Muhammad berdagang sesuai dengan hati nuraninya, tidak mau menipu, mencelakakan atau menganiaya orang. Ini saya coba terapkan. Bagi saya kalau sudah cukup untung 2 sampai 3 % jangan mengambil 5 atau 10 %. Setahu saya prinsip dalam Islam itu, carilah pendapatan secukupnya untuk dirimu. Jadi walaupun barangnya halal, tapi kalau harganya mahal, bagi saya tidak baik, dan tidak Islami juga jadinya. Ternyata dasar Islami ini mendapat respon positif dari masyarakat. Tip Top mendapat sambutan di luar dugaan saya. Perkembangannya demikian cepat, bagaikan air bah saja. Lahan seluas 400 M2 itu tidak mencukupi. Tiap tahun saya harus memperluas , dengan membongkar bagian rumah saya di samping mini market. Tahun 1985, Tip Top sudah berubah jadi Pasar Swalayan, dengan luas 3000 M2 dan kenaikan penjualan 20 hingga 30 kali lipat. Berdasarkan pemantauan kami, pelanggannya tidak hanya yang tinggal di Rawamangun saja, tapi meluas hampir di seluruh Jakarta Timur. Saya merasa ini tak lain karena ridlo Allah. Dengan kesadaran ini, saya semakin takut untuk keluar dari jalur Islami. Tawaran dari supplier barang yang tidak Islami, misalnya minuman keras, bukannya tidak ada. Bahkan fasilitasnya mudah dan keuntungannya besar. Saya tetap menolak semuanya. Hingga pada Juni 1991, Allah menguji saya. Kebakaran besar tiba-tiba menimpa Tip Top.Semuanya habis terbakar. Inventaris, stok-stok barang, gedung, ludes terbakar semuanya. Tak ada lagi yang tersisa. Hingga menjelang shubuh, api yang mengamuk sejak jam satu malam masih berkobar. Pemadam kebakaran boleh dibilang minim bantuannya, karena sedang terjadi kebakaran juga di Jatinegara. Sewaktu melihat api yang menjilat-jilat itu, saya sempat berfikir, apakah ini hukuman atau cobaan dari Allah. Bagi saya, kalaupun ini hukuman, saya tetap bersyukur. Berarti Allah masih berkenan memperingatkan saya dan masih memberi kesempatan saya memperbaiki diri. Sewaktu api masih mengganas, saya pulang untuk sholat shubuh. Setelah sholat, rasanya muncul cahaya, bahwa ternyata itu bukan hukuman. Tapi cobaan dari Allah. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa pada waktu itu saya dicoba. Pagi hari para karyawan berdatangan. Tak pelak lagi mereka terkejut, sedih, bahkan menangis. Saya hadapi mereka, saya sampaikan apa yang saya yakini. Bahwa kita sedang dicoba oleh Allah, apakah mampu atau tidak kita melewatinya. Kalau mampu, kita akan “naik kelas”. Kalau tidak, malah akan ditutup segala pintu rizki oleh Allah. Sayapun sudah bertekad, harus bangkit kembali. Setelah musibah itu, tanpa saya duga sama sekali, pihak Pemda meminta Tip Top harus berdiri kembali. Jam sepuluh pagi sesudah kebakaran itu, mereka bilang,”Kalau perlu buka saja disini(areal Pemda-red). Kalau pun mau membangun kembali di tempat lama, apa kesulitannya, kami yang akan urus.” Saya sangat terharu. Rasaya mereka kok lebih berkepentingan daripada kami. Wakil Gubernur saat itu menanyakan, berapa karyawan yang teraniaya akibat kebakaran itu. Saat itu ada sekitar 200 karyawan yang menggantungkan hidupnya pada Tip Top. Ternyata ia menyampaikan, mereka akan disantuni Pemerintah DKI. “Kalau soal ijin dan lainnya, saudara tidak usah khawatirkan. Pemerintah DKI akan berada di belakang saudara.” ujarnya pada saya. Itu suatu support luar biasa yang sama sekali tidak saya duga sebelumnya. Tambah kuat keyakinan saya bahwa ini cobaan dari Allah. Masalah-masalah setelah kebakaran rasanya dimudahkan saja oleh-Nya. Hal lain yang juga di luar dugaan saya, adalah mudahnya saya memperoleh pinjaman dalam jumlah sangat besar, buat membangun kembali Tip Top. Pertolongan-pertolongan yang tidak disangka sama sekali, ternyata saya dapatkan dengan mudah. Saya pikir itulah kehendak Allah. Sebagai manusia, saya dengan sendirinya sangat terharu dengan karunia Allah ini. Sekitar dua minggu kemudian, Tip Top dibangun kembali. Di areal lama. Bulan September, separoh dari supermarket sudah dapat dibuka kembali. Saat itu hutang saya kepada supplier mencapai dua milyar lebih. Tapi, Alhamdulillaah, mereka tetap percaya kepada kami. Walaupun hutang itu belum bisa dibayar, mereka tetap mensupli kami dengan barang-barang baru. Pada Februari 1992, keadaan kembali seperti semula,. Setelah enam bulan sebelumnya kami bekerja siang dan malam. Dengan sendirinya kami mengalami berbagai pembaharuan. Bergerak dengan semangat, kemampuan, situasi serta keadaan yang baru. Ternyata para pelanggan juga tidak meninggalkan kami. Akhirnya, masih pada tahun 1992 itu, semua hutang saya pada supplier sudah bisa terbayar. Suatu hal yamg tak saya sangka. Saat itu kembali saya disadarkan, kalau Allah berkenan memberi rizki, dengan mudah saja Ia berikan. Pada tahun 1992, seseorang tiba-tiba menawarkan sebidang tanah seluas dua hektar di Bogor. Awalnya, saya sempat pikir-pikir, apa gunanya. Tapi kembali saya merenung, barangkali Allah mau menguji saya, mampukah saya mengambil manfaat dari tawaran tanah itu. Akhirnya tanah itu saya beli. Pada tahun 1993 saya dirikan Panti Yatim Piatu. Pada tahun itu pula saya dapat membuka cabang. Padahal, terus terang, saya juga tidak tahu dari mana uangnya. Saya juga heran, kok bisa. Padahal baru dua tahun saya terkena musibah. Agaknya itu yang Allah janjikan, kalau engkau dekat dengan-Ku, Aku lebih dekat. Ternyata cabang Tip Top itu pesat perkembangannya. Pada tahun 1999 kami membuka cabang di kawasan Tangerang. Insya Allah pada tahun 2001 kami akan membuka satu atau dua cabang lagi. Di setiap cabang itu, kami tetap menegakkan prinsip awal, yaitu supermarket berjiwa Islami. Terhadap suppiler dan pembeli, sikap jujur tetap saya utamakan. Itu merupakan modal pokok usaha. Supplier mensuply barang puluhan milyar. Bagaimana mungkin mereka percaya, kalau saya tidak jujur. Pernah pula datang seorang pembeli yang mengeluhkan harga barang kami. Menurutnya, ternyata di tempat lain, ada barang serupa dengan harga lebih murah. Boleh jadi kami tertipu, “tertidur” atau pedagang lain berusaha men-cut prinsip kami. Setelah kami cek dan benar harga di sana lebih murah, kami kembalikan selisih harganya kepada pembeli itu. Kini, kami mulai mempunyai anak-anak angkat, mereka ingin bergerak di bidang usaha ini tapi tidak tahu caranya. Mereka kami bimbing, tanpa memperhatikan unsur komersialnya. Kalau sudah berkembang, kami lepas. Sekarang sudah ada beberapa yang sudah bisa dilepas. Bahkan sudah membuka cabang-cabang mini marketnya. Kami berusaha tetap eksis di Indoensia ini. Tentunya nanti akan lebih banyak lagi ”serbuan” pesaing yang masuk, setelah AFTA 2003. Tapi, insya Allah kami bisa menghadapi itu. Dan saya yakin seyakin-yakinnya, Allah akan melindungi usaha-usaha yang diridloi-Nya. Ke depannya, cita-cita saya, saya sangat ingin membuka supermarket di dekat Masjidil Haram atau Masjid Nabawi. Sekali lagi, saya sangat bersyukur, orang tua menganut Islam yang baik dan mengupayakan saya demikian juga. Yang saya sayangkan mereka keburu berpulang, dan belum sempat menikmati hasil kerja keras dan rizki Allah pada saya. Saya belum sempat menyenangkan mereka. Tapi Allah sudah memutuskan. Saya hanya bisa berdoa, mudah-mudahkan mereka mendapat tempat layak di sisi-Nya. Kini, saya mempunyai generasi penerus, putra-putri saya. Insya Allah usaha ini akan jatuh ke tangan yang benar. Jangan sampai goyah membawa prinsip Islam dalam perjalanan selanjutnya. Saya optimis, Insya Allah, usaha-usaha apapun, termasuk swalayan yang berada dalam koridor Islam, akan dapat berkembang terus. Seperti dikisahkan Bapak Rusman Maamoer, pendiri Swalayan Tip Top, kepada Tarbawi. sumber : pengusaha muslim.com Dikutip dari Majalah Tarbawi. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|