DEMOKRAT KSP MOELDOKO DITOLAK ? SEBAIKNYA PARTAI DEMOKRAT JANGAN TERKECOH, PERJUANGAN MASIH PANJANG3/31/2021 Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik Saya konsisten, kasus sengketa kepemilikan Partai Demokrat adalah kasus politik, bukan kasus hukum. Termasuk, saya konsisten ada kekuatan istana dibalik kudeta partai yang dilakukan oleh KSP Moeldoko. Namun, perlawanan politik yang dilakukan Partai Demokrat terhadap Kubu KSP Moeldoko, cukup menyulitkan istana dan memaksa istana untuk merubah strategi dukungan kepada KSP Moeldoko. Tidak secara telanjang, dengan langsung mengesahkan pendaftaran yang dilakukan oleh KSP Moeldoko. Sikap Kemenkumham yang mengumumkan penolakan pengesahan kubu KSP Moeldoko, tidak lepas dari upaya perlawanan politik yang dilakukan Partai Demokrat dan dukungan publik terhadapnya. Sehingga, istana tak memiliki legitimasi dan terlalu konyol jika tetap mengesahkan kubu KSP Moeldoko ditengah kritik dan penolakan publik yang masif terhadap kubu KSP Moeldoko. Kemungkinan skenario diubah dengan menempuh cara : Pertama, istana mengalihkan legalisasi KSP Moeldoko dari tindakan langsung oleh Kementerian hukum dan HAM, dengan meminjam legitimasi pengadilan. Itu artinya, tindakan yang harus dilakukan adalah dengan melakukan penolakan pengesahan kubu KSP Moeldoko. Cara ini, juga akan membersihkan istana dari tuduhan keterlibatannya dalam sengketa kepemilikan Partai Demokrat. ini merupakan protokol di masa pendemi, yakni cuci tangan, setelah sebelumnya membiarkan KSP Moeldoko melakukan aksi kudeta di Deli Serdang. Kedua, selanjutnya Kubu Moeldoko akan mengambil upaya hukum melalui Pengadilan Tata Usaha Negara, menggugat keputusan penolakan dari Kemenkumham. Agar lebih alami, boleh jadi ditingkat pertama, kubu KSP Moeldoko akan dikalahkan. Namun, terget kubu KSP Moeldoko adalah putusan kasasi yang berkekuatan hukum tetap. Putusan pertama dikalahkan, putusan kedua dikalahkan, barulah ditingkat kasasi dimenangkan. Apakah hal ini mungkin terjadi ? Jawabnya, apa yang sulit bagi penguasa untuk mengkondisikan putusan. Kasus HTI bisa menjadi referensi, dimana HTI dikalahkan hingga tingkat Kasasi meskipun tak ada kesalahan atau kejahatan yang dilakukan HTI. Hanya saja, terlalu mencolok jika ditingkat pertama kubu Moeldoko langsung dimenangkan. Tetapi, tidak menutup kemungkinan sejak tingkat pertama, kedua hingga kasasi kubu KSP Moeldoko dimenangkan. Ketiga, selanjutnya Kemenkumham mengeluarkan SK pengesahan kubu KSP Moeldoko dengan dalih menjalankan putusan Kasasi MA yang dimenangkan KSP Moeldoko. Cara ini, lebih elegan karena seolah istana melalui kemenkumham hanya mematuhi putusan pengadilan. Walaupun, di putusan yang lain, istana justru tak mematuhi putusan pengadilan, malahan mengeluarkan kebijakan yang baru. Misalnya, pada kasus putusan MA terkait iuran BPJS. Keempat, Putusan Kasasi dan pengesahan kemenkumham diprediksi akan terjadi menjelang Pemilu 2024. Anggaplah proses ditingkat pertama 6 bulan, banding 6 bulan, kasasi 6 bulan, satu tahun setengah totalnya. Skenarionya, jika putusan kasasi keluar tahun akhir 2022 atau awal 2023 maka itu sudah mendekati Pemilu. Saat itu, kubu AHY tak dapat berbuat apa-apa. Kemungkinan, akan terjadi bedol deso, migrasi kader partai Demokrat dari kubu AHY ke kubu KSP Moeldoko. Demi kekuasaan, agar bisa nyaleg bersama KSP Moeldoko. Saya kira, analisis ini tidak boleh dikesampingkan oleh Partai Demokrat.
0 Comments
Setelah lama Densus tidak kerja, tak ada dar der dor, tak ada tangkap tangkapan, tak ada barang bukti 'yang terkait dengan Islam' atau setidaknya dengan organisasi atau ormas Islam, hari ini Densus kerja lagi. Itu artinya, anggaran cair lagi, berkah lagi, terserah masyarakat percaya atau tidak.
Bom meletup di Makassar, jelas menjadi 'berkah' bagi densus. Densus 88, bisa pamer aksi 'Gagah' dihadapan rakyat, walaupun letoy melawan Teroris OPM. Densus kembali dikabarkan meringkus terduga teroris di wilayah Condet, Jakarta Timur, Senin (29/3). Penangkapan infonya dilakukan usai Densus melakukan penggerebekan di Condet, tepatnya di Jalan Raya Condet Nomor 1, RT 005/RW 003, Kelurahan Bale Kambang, Kecamatan Kramat Jati, Jaktim. Bukti juga mulai dipamerkan, kali ini bukan al Qur'an yang dijadikan bukti, bukan kitab Jihad. Sekarang, bukti yang dipamerkan kaos FPI, LPI dan 212. Keren ! Untung saja, Celana Dalam Merk Ihing atau Sony tidak ikut dipamerkan sebagai bukti. Kaos Ronaldo atau Manchester City juga luput. Setelah ini, pasti akan ada nyanyian tentang jaringan ini dan itu, sel ini dan itu, ujungnya terkait ormas Islam dan tokohnya. Sidang tak boleh offline, alasan keamanan. Masyarakat tak boleh menyaksikan sidang di pengadilan, alasan keamanan pula. Lalu, narasi sepihak dari Inspektur Vijay Priya Amaraj, opsir pembohong akan menghiasi layar kaca. Pengamat bayaran, akan ngoceh tentang terorisme, bicara teori ini itu, buka jaringan ini itu, bicara motif dendam hingga pendirian negara Islam atau Khilafah. Perburuan 'teroris' dengan aksi tangkap-tangkapan akan meluas di sejumlah daerah, persis seperti film aksi di televisi. Ciri teroris berjenggot, celana cingkrang, jidat hitam, rajin sholat, suka ke masjid, alumni pesantren, praktik bekam dan jualan Habatus Sauda, akan jadi ramai lagi, sepertinya. Buzer rezim akan riuh ramai, sudah diawali dari sejak Bom Meletup di Makasar. Hardikan kepada Kadrun dan mendiskreditkan Islam, akan menjadi menu utama sosial media. Ruang sosial media menjadi riuh, dan secara sadar Islam kembali akan dipersoalkan. Luar biasa, 6 anggota laskar yang dibantai belum ada yang bertanggungjawab, kini akan mungkin berpotensi jatuh korban lagi dari umat Islam sebagai respons atas narasi 'War On Terorism' yang boleh juga meminjam istilah lain baik War On Radicalsm atau memerangi Ektremisme berbasis terorisme. Persis, seperti yang baru saja di tetapkan melalui Perpres No 7 tahun 2020 tentang RAN PE. Ya Allah, berat sekali ujian umat ini. Setelah puas dizalimi, kini dituduh sebagai biang Terorisme. Isu ini telah menjadikan umat Islam sebagai korban sekaligus Tertuduh. Selama ini, korban dari isu terorisme adalah umat Islam. Yang dituduh sebagai pelakunya juga umat Islam. lengkap sudah penderitaan umat ini. Padahal, Umat Islam lah yang paling banyak membayar pajak. Kenapa, uang pajak itu digunakan untuk menzalimi umat Islam ? Bom Panci semakin populer dan pilihan favorite tukang panci, eh tukang bom-boman. Umat atau kelompok Islam selalu jadi tertuduh untuk kasus serupa. Sebelum diumumkan, ketika peristiwa terjadi, sudah diduga arah akan tertuju pada kelompok "teroris Islam". Seperti peliharaan yang telah diatur kapan munculnya.
Gereja Katedral Makassar yang jadi sasaran artinya sarat nuansa keagamaan. Tak ada hujan tak ada angin yang dikaitkan dengan konflik Islam-Kristen, ujug-ujug Gereja yang jadi sasaran. Apa salah dan masalah pada Gereja Katedral? Dipastikan tidak ada. Umat Islam tak ada kebencian pada Gereja beserta jamaatnya ini. Situasi normal-normal saja. Artinya pembawa bom itu justru dalam keadaan yang tidak normal. Haedar Nashir Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah menilai ini bukan soal agama tetapi rekayasa adu domba. Banyak kalangan menilai serupa, tak percaya pada spirit terorisme berbasis agama. Jika adapun maka itu artifisial atau buatan. Ini yang perlu dicari siapa pembuatnya. Dari dahulu tidak pernah ketemu si dalang, mungkin si dalang ada di tempat terang. Di depan hidung yang belang belang. Aneh aparat keamanan kita tak mampu menemukan dalang, selalu wayang-wayang yang itupun nyawanya pada melayang. Dapat dipastikan jejak dan operatornya sudah menghilang. Masuk lubang yang berdinding uang. Klasik cerita bom panci...duaar dengan obyek Gereja, cepat sekali teridentifikasi pelaku, beridentitas Islam. Betapa bodoh dan dungu si pelaku yang menunjukkan siapa dirinya. Pakai surat wasiat jihad segala. Teroris sejati semestinya melakukan penyamaran karena berorientasi pada hasil, misalnya korban itu jemaat, bukan satpam atau pejalan kaki. Dungu jika harus bersorban, berpeci, atau berjilbab. Yang dipastikan cerdas adalah koordinator atau pembujuk atau pemegang remote control. Pihak ketiga yang mempunyai sumber daya baik tenaga maupun dana. Ahli strategi yang mahir memotivasi, menggaransi, dan pastinya membohongi. Kalau lagi ruwet..duaaar. Ruwet kasus HRS yang terus ribut, ruwet pembunuhan enam laskar yang bergaung dan bersambung, ruwet pandemi yang menggerus uang hingga harus hutang, ruwet korupsi yang disorot oposisi. Ruwet perlu tidaknya jabatan tiga periode untuk melanggengkan kekuasaan, menggemukkan kroni, dan melindungi dinasti. Ruwet dan ribet. Umat Islam selalu mengerutkan dahi. Benarkah teroris berjuang untuk Islam ? Ketika Islam dihina, dinistakan, dan dimain-mainkan dengan keji oleh para tikus, ular, kelabang, kodok, dan kutu busuk seharusnya teroris pejuang Islam itu hadir berbuat, jika perlu menghabisi tikus, ular, kelabang, kodok dan kutu busuk tersebut. Tapi itu tak terjadi. Tak ada yang muncul. Artinya disadari bahwa memang teroris tersebut bukan berjuang untuk Islam, justru menghancurkan Islam dan mengadu domba umat Islam. Teroris itu tak lain adalah spesies yang satu komunitas dengan tikus, ular, kelabang, kodok, dan kutu busuk itu sendiri. Mereka adalah bagian dari penjahat umat, bangsa, dan negara. Kini kasus bom-boman datang lagi, aparat diharapkan profesional menangani, segera tangkap dan adili dalang, bukan wayang atau tukang gendang. Jangan cepat ditembak atau dibom, mereka yang dianggap terlibat tangkap hidup-hidup dan seret ke ruang pengadilan agar semua bisa mengikuti bahwa benar jaringan itu ada dan sang dalang segera dapat diketahui keberadaannya apakah di luar negeri, di hutan, di perbatasan, atau di markas sendiri. Selamat bekerja, rakyat mendukung kerja keras, kerja tuntas, dan kerja jelas. Bukan kerja bias dan bermain-main dalam kebijakan yang tidak waras. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 30 Maret 2021 Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik Hari ini Ahad (28/3), Bom meledak di Gereja Katedral Makassar. Polisi menyatakan bom yang meledak merupakan bom bunuh diri. Belum diketahui, motif dan tujuan pelaku Bom bunuh diri, soal Bom Bunuh diri juga masih perlu diperinci lagi. Apabila pelaku secara sadar membawa bom, kemudian meledakkan bom bersama dirinya, maka boleh disimpulkan ini peristiwa bom bunuh diri. Namun, jika pelaku membawa barang yang dikira barang umum, ternyata ditempatkan bom pada barang tersebut kemudian diledakkan oleh orang lain dari jarak jauh (misalnya menggunakan remote control), pada peristiwa ini tidak dapat disebut bom bunuh diri, tapi lebih tepat disebut bom yang dikendalikan. Karena itu, menyimpulan peristiwa disebut sebagai bom bunuh diri masih terlalu dini. Apalagi, pelaku ikut mati dalam peristiwa meledaknya bom. Lantas, darimana definisi bom bunuh diri disimpulkan? Kecuali, pelaku mengirim surat kepada polisi dan menjelaskan dirinya sengaja meledakkan diri bersama bom yang dibawanya. Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol E Zulpan, saat menceritakan kronologi ledakan menyebut masih mendalami. Karena itu, penyebutan pelaku bom bunuh diri hanya karena dugaan Polisi menerima keterangan saksi di lokasi pelaku mengendarai sepeda motor lalu terjadi bom meledak, masih sangat sumir. Mengenai Bom Bunuh diri masih sumir, apalagi pernyataan IPW yang tiba-tiba melompat mengaitkan peristiwa ini dengan kelompok-kelompok teror dan kelompok radikal yg belum berhasil diciduk jajaran kepolisian, seperti di Poso atau tempat lainnya, lebih ngawur lagi. Narasi para teroris yg sudah selesai menjalani hukuman, kini bebas melakukan aktivitas tanpa terpantau jejaknya, sebagaimana dikemukakan IPW adalah sebuah penalaran yang melompat dari fakta peristiwa ledakan bom dan cenderung tendensius. Selama ini, narasi teroris dan radikalis apalagi dihubungkan dengan kelompok Poso selalu dilekatkan dengan Islam. Narasi ini, menjadi semacam pra kondisi untuk kembali menyudutkan umat Islam dengan isu Radikalisme dan Terorisme, yang sudah diketahui umum selama ini hanyalah proyek untuk membungkam kebangkitan Islam. Secara logika, pelaku pasti bukan dan tidak terkait dengan Islam. Secara logika pula, pelaku pasti bukan dan tidak terkait dengan Kristen. Jika ada pengkaitan, pastilah itu bagian dari narasi adu domba anak bangsa. Pelaku tak mungkin dapat dikaitkan dengan Islam, karena Islam mencela tindakan membuat teror termasuk bunuh diri. Pelaku tidak mungkin dari Kristen, karena peristiwa tersebut menimbulkan korban di pihak gereja. Karena itu, tidak boleh ada narasi tendensius yang mengaitkan peristiwa ini dengan agama, apapun namanya. Bom meledak, adalah fakta. Ada korban, juga fakta. Namun terkait Bom Bunuh diri, pelaku terkait terorisme dan radikalisme, itu semua hanya opini yang berkedudukan sebagai opini sesat. Penulis khawatir, peristiwa ini hanyalah prakondisi bagi rezim untuk mengaktifkan Perpres No. 7 tahun 2020 tentang RAN PE (Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme). Sebuah Perpres, yang dinilai banyak pihak berpotensi dijadikan alat adu domba ditengah masyarakat. Setelah Densus 88 gagal jualan isu terorisme, gagal menakut nakuti rakyat dengan aksi tembak tembakan, kini negara menjual isu ekstremis dengan melibatkan program 'Perang Semesta' dimana didalamnya segenap elemen anak bangsa dapat terpecah belah karena isu ekstremisme yang diklaim mengarah pada tindakan Terorisme. ini semua harus dilawan dengan akal sehat, agar umat tak terjerumus ke dalam narasi sesat. KIBLAT.NET, Jakarta – Habib Rizieq Syihab (HRS) membantah sepuluh tuduhan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dituangkan dalam dakwaan.
Pertama yaitu tuduhan bahwa Habib Rizieq diperiksa kesehatan di Bandara Cengkareng ketika tiba di Indonesia. “Saya tidak pernah diperiksa kesehatan di Bandara Cengkareng. Semua dakwaan JPU adalah bohong dan dusta, bahkan fitnah dan tuduhan keji,” kata HRS ketika membaca eksepsi pada Jumat (26/03/2021). Kedua, JPU menyatakan bahwa HRS mendapat penjelasan dari pimpinan bandara tentang Covid-19. Faktanya, Habib Rizieq menegaskan tidak mendapat penjelasan dari Pimpinan Bandara Tentang Covid-19. Ketiga, JPU menyebut bahwa HRS diberitahu tentang kewajiban isolasi mandiri selama 14 hari. Padahal, Habib Rizieq tidak pernah diberitahu tentang kewajiban isolasi mandiri. “Keempat saya dinyatakan menolak isolasi mandiri 14 hari. Saya tidak pernah menolak isolasi mandiri, bahkan saya isolasi mandiri lebih dari satu bulan,” jelasnya. Tuduhan kelima, JPU menyebut HRS sengaja menuju kerumunan bandara. Habib Rizieq menekankan bahwa ia tidak pernah dengan sengaja menuju kerumunan Bandara, karena dari pintu pesawat sudah banyak orang dan di dalam Gedung Bandara sudah ada puluhan ribu orang. “Sementara di luar gedung bandara sudah menunggu massa, lalu saya menuju kendaraan saya untuk pulang dan ke rumah. Bukan menuju kerumunan,” jelasnya. Keenam, HRS dianggap tidak mengingatkan kerumunan tentang Prokes. Justru sepanjang jalan, kata HRS, saya terus mengingatkan massa agar patuhi Prokes dan jaga diri serta buka jalan agar saya bisa lancar menuju rumah dan massa bisa bubar kembali ke rumah masing-masing. Ketujuh, JPU menilai HRS sengaja ikut ke kerumunan di sekitar rumahnya pasca dari bandara. HRS membantah bahwa ia tak pernah buat kerumunan di rumah. “Justru sesampai di rumah sudah ada kerumunan,” ulasnya. Kedelapan, Penuntut Umum menuding bahwa HRS tidak membubarkan kerumunan di rumahnya. Faktanya, HRS menekankan bahwa ia sendiri yang membubarkan kerumunan di sekitar rumahnya dan meminta semua untuk pulang. Kesembilan, HRS disebut JPU tidak menyerahkan klirens kesehatan dari bandara Cengkareng ke RT/RW setempat. “Padahal saya baru dapat surat penjelasan Covid-19 dari bandara tanggal 17 November 2020, sehingga saya langsung memulai isolasi mandiri,” tuturnya. Kesepuluh, JPU mengklaim bahwa HRS tidak melakukan isolasi mandiri di rumah. “Siapa bilang saya tidak isolasi mandiri 14 hari? Bahkan saya isolasi mandiri lebih dari sebulan,” pungkasnya. Reporter: Taufiq Ishaq Editor: Izhar Zulfikar Salut terhadap keimanan Anda pada slogan "tidak boleh ada agama apa pun yang mengklaim kepemilikan atas Indonesia." Dalam konteks terkini di Indonesia, tentu "agama" yang dimaksudkan oleh slogan ini adalah Islam. Begitu juga ketika Ibu Megawati Soekarnoputri menyebut keberadaan "ideologi tertutup" (dalam pidato ulang tahun PDIP ke-44), saya yakin sekali telunjuk Bu Mega waktu itu tertuju kepada Islam dan umat Islam.
Karena itu, mohon maaf, saya akan mendikotomikan PDIP vs Islam sepanjang tulisan saya ini. Anda tidak perlu malu-malu atau ragu bahwa setiap kali saudaraku PDIP menyebutkan lawan Anda, saya yakin 100% yang Anda maksud itu merujuk pada Islam dan umat Islam. Kalau Anda membantah, silakan buat sidang para saksi ahli bahasa, ahli politik, ahli psikologi dan ahli sejarah untuk menilai ke mana "telunjuk permusuhan" itu Anda arahkan. Mungkin saja Anda akan berkilah, "Ah, yang kami maksudkan adalah orang Islam yang radikal, yang tidak toleran, dsb". Kalau yang diam-diam dan tidak mengganggu agenda Anda dan agenda-agenda para sekutu Anda, itu tidak masalah. Anda akan mengatakan, "Orang seperti Habih Rizieq Shihab (HRS) dan gerbong FPI-nya, itulah yang akan kami sikat habis," seperti dikatakan oleh ketua PDIP Surabaya (silakan cari di YuoTube: pidato ketua PDIP Surabaya). Jika Anda berpikiran seperti itu, saya khawatir Anda keliru, wahai saudaraku warga PDIP. Sebab, suka atau tidak suka, HRS dan gerakan FPI yang berkaitan dengan aksi-aksi damai belakangan ini mendapatkan sambutan langsung atau tidak langsung dari semua komponen umat Islam secara luas. Kita hitung saja, seberapa kuatkah FPI dan HRS untuk bisa mempengaruhi 3-4 juta umat Islam yang ikut dalam sejumlah aksi damai? Kalau umat secara luas tidak mendukung, kecil kemungkinan HRS bisa mengerahkan umat Islam sebegitu besar. Dalam kajian psikologi massa dan kajian survei dengan random sampling, jumlah yang sebegitu besar semestinya mencerminkan basis dukungan yang sangat besar pula di kalangan umat Islam. Singkatnya, kalau Anda sekarang membidik HRS dan FPI, dan mengatakan bahwa Anda akan menghancurkan mereka, saya yakin 110% bahwa puluhan juta umat Islam di luar FPI merasa mereka juga adalah sasaran "sikat habis" yang Anda maksudkan. Saudaraku, warga PDIP. Bagus sekali keinginan Anda untuk menjaga keutuhan NKRI. Itu juga yang ditekadkan oleh umat Islam. Tetapi, sebaiknya Anda merenung agak dalam sedikit apakah tidak ada "penumpang gelap" yang berlindung di balik slogan Anda itu? Tidakkah Anda melihat mereka yang berlindung di belakang Banteng PDIP sambil menjalankan agenda mereka sendiri, padahal mereka berpura-pura menjadi bagian dari PDIP dan perjuangan PDIP. Yaitu elemen yang berparasit di balik kekuatan politik PDIP, tetapi sesungguhnya mereka menjadikan Anda sebagai "mitra ecek-ecek" demi memperbesar pengaruh mereka dan memperkuat cengkeraman mereka di Indonesia melalui penguasaan mutlak sektor perekonomian dan keuangan negara ini. Mudah-mudahan saja Anda tahu siapa mereka. Seandainya ada yang tidak tahu, sedih juga. Untuk yang belum tahu karena berbagai alasan, kami bantu untuk mengenali mereka. Mereka adalah orang-orang yang merasa Islam sebagai penghambat ambisi untuk menguasai negara ini. Mereka sangat senang dengan manuver PDIP yang siap menghabisi HRS dan FPI, yang berarti Anda pada akhirnya berhadapan frontal dengan umat Islam secara keseluruhan. Tidak hanya senang, mereka bahkan mungkin siap berkontribusi untuk itu. Tetapi apakah Anda, saudaraku warga PDIP, yakin bahwa mereka adalah sahabat yang bisa Anda percaya? Apakah Anda sangka mereka adalah orang yang senasib-sepenanggungan dengan Anda? Saudaraku, warga PDIP yang saya hormati. Sudah pernahkan Anda uji orang-orang yang berlindung di kandang Banteng untuk mengetahui apakah mereka benar-benar "kawan setia" Anda, teman sehidup-semati, teman yang akan membantu orang-orang kecil yang selama ini Anda perjuangkan? Sudah lupakan Anda, wahai saudaraku warga PDIP, bagaimana tempohari mereka menyalahgunakan dana BLBI semasa krisis moneter 1998? Jangan-jangan sebagian besar Anda tidak mendapatkan informasi yang utuh tentang BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia), yaitu pinjaman dari Dana Moneter Internasional (IMF) yang disalurkan kepada 48 bank swasta di Indonesia, yang para pemiliknya adalah orang-orang yang sekarang mungkin, sekali lagi mungkin, mendukung Anda untuk menghabisi Habib Rizieq Shihab dan FPI. Mereka itu mengantungi dana BLBI sebesar Rp147 triliun untuk mencegah kebangkrutan karena ulah mereka sendiri; walaupun kemudian terbongkar bahwa mereka dengan lihainya menggelapkan dana BLBI itu untuk mereka sendiri. Tetapi, alhamdulillah, pinjaman IMF itu sudah dibayar oleh rakyat Indonesia yang sebagian besar adalah umat Islam. Tahukah Anda berapa banyak orang Indonesia asli sebagai pemilik bank-bank swasta itu? Sudah lupakah Anda ketika mereka membawa lari uang rakyat ke luar negeri, memarkirkannya di Singapura, Hong Kong, Shanghai, dan di surga-surga penyimpanan uang lainnya? Pedulikah mereka dengan rakyat kecil? Pedulikah mereka dengan Anda, saudaraku warga PDIP? Tidakkah Anda saksikan siapa-siapa sajakah yang memiliki konglomerasi dana dan kekayaan property di Indonesia ini? Berapa persenkah orang Indonesia asli yang bisa membeli apartemen supermewah di supercondo yang mereka bangun di kota-kota besar di Indonesia ini? Tidakkah Anda terpanggil untuk memikirkan sejenak dampak buruk dari kepemilikan sebagian besar stasiun televisi swasta oleh mereka; yaitu dampak negatif terhadap pembentukan karakter dan akhlak generasi muda Indonesia? Tahukah Anda bahwa rata-rata pengusa kaya raya itu menyekolahkan anak-anak mereka ke luar negeri dengan biaya mahal? Sudahkah pernah Anda coba melamar pekerjaan senior di perusahaan-perusahaan milik mereka? Berapa banyakkah orang Indonesia asli yang bekerja sebagai staf senior di BCA, Sinarmas, Agung Podomoro, Summarecon, Lippo Group, Salim Group, dll? Supaya tidak semakin panjang, satu lagi pertanyaan: apakah Anda, saudaraku warga PDIP, merasa lebih baik mencaci-maki dan mengancam HRS dan FPI, yang berarti juga mencaci-maki umat Islam pada umumnya, ketimbang ikut menegakkan keadilan hukum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Semoga Indonesia tetap damai dan tenteram. Mohon maaf jika ada yang tidak berkenan. [Asyari Usman, bergabung dengan BBC London sejak Juli 1988] Senin, 22 Maret 2021
Faktakini.info SULIT mendapatkan keadilan pada model sidang seperti di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Jumat (19/03/202) lalu. Sidang yang seharusnya aman dan tertib justru menjadi ajang teriakan para penegak hukum kepada satu orang terdakwa bernama Habib Rizieq Syihab (HRS). Sontak, medsos melampiaslan kegeramannya pada proses peradilan yang dianggap sesat. Masyarakat menghardik kelakuan polisi, jaksa, dan hakim yang memamerkan arogansi kepada hanya satu terdakwa saja. Mereka menampakkan diri sebagai wakil rezim semata, bukan menjadi aparat negara yang diberi amanah menjaga marwah peradilan yang adil, fair, dan bermartabat. Mereka para pelantang rezim, bukan penegak hukum. Di luar gedung pengadilan, pengacara HRS dibendung oleh barisan polisi yang rapat dan membisu. Onggokan manusia-manusia kekar berwarna coklat begitu istikomah dalam diam. Bagai patung mereka disetel untuk tidak bicara sepatah kata pun. Mereka membisu dan membatu. Padahal pengacara HRS mempertanyakan alasan apa polisi menghalangi-halangi penasihat hukum yang ingin memantau jalannya persidangan. Mereka adalah pengacara sah yang dilindungi oleh undang-undang. Sementara di ruang Bareskrim Polri tempat di mana HRS dihadirkan secara daring mendapat perlakuan yang tidak senonoh. Ia didorong dan dipaksa untuk duduk di kursi pesakitan oleh petugas berbaju kotak-kotak warna hitam. Ketidaksenonohan itu tampak di channel FNN TV, di mana HRS diperlakukan dengan kasar dan tak beradab. Bersamaan dengan itu, dari gedung PN Jaktim dalam sidang online yang dipaksakan, seorang jaksa perempuan menggunakan pelantang yang keras selalu memotong pernyataan HRS yang ingin menjelaskan dalil hukum alasan penolakan sidang melalui daring. HRS mengatakan,”Saya punya hak untuk hadir di ruang sidang. Saya bukan tidak mau hadir…” Belum sempat melanjutkan pernyatannya, langsung dipotong dengan kasar oleh jaksa wanita itu, “Mohon ijin majelis, karena kita masih sesuai dengan penetapan No. 221 di mana persidangan dilakukan secara online, kami mohon untuk agenda sidang ini tetap dilanjutkan untuk membacakan dakwaan.” Lalu HRS kembali menjelaskan bahwa ia bukan menolak hadir di persidangan. “Saya siap hadiri sidang kapan pun, tapi sidang offline. Saya tidak mau menghadiri sidang online, karena saya dilindungi UU. Ada KUHAP pasal 154 bahwa saya harus dihadirkan di ruang sidang. Kedua kalau alasanya Perma, di dalam Perma ada dua pilihan, bisa offline, bisa online. Dan saya tidak mau online. Lagi pula Perma posisinya ada di bawah UU. Pada sidang yang pertama, semua bisa hadir di ruang sidang dengan protokol kesehatan.” Lagi-lagi jaksa perempuan kembali memotong pembicaran dengan arogan, jumawa, dan ketus mengatakan, “Mohon ijin majelis kami rasa kita tidak perlu mendengarkan keterangan dari terdakwa. Kami mohon sidang tetap dilanjutkan. Sidang yang terhormat ini tanpa mendengarkan omongan dari terdakwa.” Jaksa wanita itu tampaknya pikirannya sudah dirasuki virus kebencian. Bagaimana mungkin seorang terdakwa tidak boleh berargumen di ruang sidang? Jaksa itu lupa bahwa saat itu adalah suasana sidang yang terhormat, bukan sidang jalanan, bukan orasi pelaku demonstrasi, bukan mimbar bebas, dan bukan aksi teatrikal. Proses hukum yang diamanatkan untuk menyelesaikan segala persoalan dengan kepala dingin, tak dihargai oleh para penegak hukum itu sendiri. Polisi, jaksa, dan hakim koor manyanyikan lagu yang sama mengobok-obok hati dan perasaan HRS agar emosinya terpancing. Mereka seenaknya melaksanakan sidang, mereka semaunya melecehkan terdakwa. Nyatanya yang emosi bukan HRS, tetapi masyarakat luas yang masih punya nurani, harga diri, dan iman. Mereka melampiaskan kekesalan dan kekecewaannya melalui media sosial. Profil jaksa dan hakim dibedah. Mereka menghardik proses peradilan yang sangat tidak pantas. Jauh dari teladan baik. Proses peradilan yang seharusnya dijunjung tinggi oleh para penegak hukum, justru direbahkan begitu rendah. Proses peradilan yang seharusnya menggunakan otak, pikiran, dan argumen yang tepat, malah dihadapi dengan kekuatan fisik yang penuh intrik. Tak ada kearifan, apalagi kebijaksanaan. Yang tampak hanyalah kebencian yang terus membuncah. Siapapun tak kuasa melawan peradilan sesat seperti ini. HRS hanya didakwa bersalah melakukan kerumunan. Ia harus bertanggung jawab atas kerumunan yang terjadi di acara pernikahan di Petamburan, Maulid Nabi di Tebet, dan sholat Jumat di Megamendung. Hal mana, hari ini hampir semua orang melakukan kerumunan. Lihat saja di pasar, di terminal, di mal, di hotel, di balai-balai pertemuan, tempat ibadah, bahkan Presiden sendiri mengundang kerumunan di NTT. Toh mereka tidak disidik dan dibenci oleh polisi, jaksa, dan hakim. Belakangan, pasca-ketiga acara HRS ternyata tidak meninggalkan jejak kasus Covid19 yang berarti. Hanya ada 23 kasus positif, tetapi tidak tahu sampel dari mana. Panitia pernikahan tidak ada yang positif, panitia maulid tidak ada yang sesak nafas, dan peserta sholat Jumat di Megamendung tidak ada yang mati. Ketiga acara itu dilaksanakan di ruang terbuka yang memungkinkan penularan virus Corona menjadi sulit. Di Petamburan HRS sudah taat membayar denda. Di Megamendung, sholat dilakukan di Pondok Pesantren yang luas. Arealnya mencapai 30 HA, di atas bukit yang sejuk dan terbuka. Pasca sholat Jumat juga tidak ada yang mati. Ada 6 laskar FPI yang sengaja dimatikan oleh polisi di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek. Inilah tumbal yang mahal harganya yang harus dipersembahkan oleh HRS. Meski demikian, 6 nyawa sebagai tumbal itu tampaknya belum bisa memuaskan rezim. Libido kekuasaannya terus ON sampai orgasme dengan cara memburu HRS sampai lumpuh dan tuntas. Tak perlu butuh waktu lama untuk mewujudkan hajat itu. Kurang dari sebulan ritual tumbal 6 nyawa anak muda tak berdosa, Pondok Pesantren dibekukan, santrinya dipulangkan, organisasinya dibubarkan, rekening diblokir, keluarga dan orang dekat HRS dipenjara. Sungguh biadab rezim ini. Kini proses pengadilan untuk para terdakwa sedang dimulai dengan cara dipaksakan, karena dalam kasus yang sama, di luar HRS, tidak ada satu pun yang diproses pengadilan. Proses penzoliman terhadap HRS dilakukan secara berjilid-jilid. Tak hanya polisi, jaksa, dan hakim, kini Komisi Yudisial (KY) juga ambil peran. Mukti Fajar Nur Dewata, Ketua KY mengatakan akan mengambil beberapa langkah hukum terhadap Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Rizieq Shihab karena dianggap telah merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim. Ingat. HRS bukan ISIS, bukan pemberontak bersenjata, bukan penilep APBN, bukan penggerogot subsidi rakyat, bukan koruptor, bukan pemburu rente impor, bukan makelar kasus, bukan begal partai, bukan produsen narkoba, bukan penyeleweng dana desa, bukan penggarong dana bansos, bukan pemicu kemiskinan di Indonesia. Ia cuma melanggar kerumunan di musim pandemi dan atas perbuatan itu ia sudah membayar denda. Ada jutaan manusia melakukan pelanggaran kerumunan, mengapa HRS diperlakukan dengan sangat tidak manusiawi? Sampai kapan umat akan dijejali tontonan sadis seperti itu. Sampai kapan kita dipaksa menyaksikan cucu Nabi Muhammad dilecehkan dan direndahkan? Para pelantang rezim, teruslah beraksi, tetapi ingat, ada deadline. Jangankan cucu Rasulullah yang memohonkan pembalasan dan laknat Allah atas polisi, jaksa, dan hakim yang menzaliminya. Doa orang biasa saja bisa diijabah. Sekadar mengingatkan, dulu ada cerita yang patut dikenang. Ketika Amrozi dan Imam Samudra cs divonis mati pada tahun 2003, mereka tidak terima karena menganggap banyak bukti yang direkayasa. Salah satu dari mereka berujar setelah vonis dibacakan di persidangan, “Sebelum saya dihukum mati maka bapak hakim duluan yang akan mati.” Dan benar. Matilah Ketua Majelis Hakim Made Karna Parna pada tahun 2007, jauh lebih awal dari waktu eksekusi mati Amrozi cs. Begitu juga dengan nasib Urip Tri Gunawan, jaksa penuntut Amrozi. Ketika jaksa Urip akan memberikan sepatu baru agar terdakwa dapat tampil wajar saat hadir di persidangan, terdakwa mengatakan, “Saya tidak mau dibelikan sepatu dari hasil korupsi.” Apa yang terjadi? Pada tahun 2008, jaksa Urip Tri Gunawan yang sangat populer itu, ditangkap atas kasus korupsi. Dia kedapatan menerima suap dalam kasus BLBI dan diganjar hukum 20 tahun penjara. Ada juga orang sepanjang hidupnya benci terhadap Islam. Ia adalah Musakkir Sarira, Ketua DPRD Kolaka Utara, Sulawei Tenggara tewas ditikam istrinya sendiri, pada 2017. Semasa hidup ia sangat aktif membenci umat Islam di media sosial. Yang ini lebih miris lagi. Seorang warga keturunan bernama Kiky Wilisata tewas karena kecelakaan saat mengendarai mobilnya di Jakarta Barat tahun 2017. Semasa hidup, Kiky sering menghina ulama di akun facebooknya. Ia juga mengolok-olok kalimat Takbir dan memplesetkannya menjadi “Take Beer”. Dua bulan setelah pelecehan tersebut, ia tewas mengenaskan dalam mobil yang ia kendarai sendiri. Mobilnya jatuh ke Kali Sekretaris, Jakarta Barat yang airnya keruh kecoklatan, mirip warna minuman beralkohol, bir hitam. Jakarta, 22 Maret 2021
Persidangan atas terdakwa Habib Rizieq Syibab (HRS) di Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang dilaksanakan secara elektronik, teleconference (ONLINE), dimana Terdakwa berada di Rumah Tahanan Bareskrim, POLRI di Jakarta Selatan sementara persidangan itu sendiri diselenggarakan di PN Jakarta Timur, jelas merugikan hak hukum pihak Terdakwa. Secara teknis persidangan ONLINE tersebut ternyata mengalami ganggungan audio secara fatal, dimana suara Terdakwa tidak bisa jelas dimengerti seluruh hadirin persidangan. Sebaliknya bagi Terdakwa, HRS, juga tidak bisa mendengar secara jelas apa yang diucapkan oleh pejabat-pejabat pengadilan di persidangan. Dus, terjadi diskoneksi antara hakim dan jaksa di satu pihak, dan Terdakwa di lain pihak. Secara hukum, persidangan ONLINE seperti itu adalah suatu “CONTRA LEGEM” (Pelanggaran Hukum secara Nyata) oleh lembaga peradilan Indonesia. Suatu pencederaan atas azas “fair trial” pada umumnya, dan secara khusus merupakan pemangkasan hak terdakwa untuk membela diri di depan persidangan. KUHAP adalah aturan main dalam beracara di pengadilan pidana. KUHAP diberlakukan dengan undang-undang (UU No.8/1981), yang kedudukannya dalam hirarkhi perudang-undangan adalah urutan ketiga setelah UUD 1945 dan TAP MPR. Sementara itu persidangan ONLINE, diberlakukan berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No.4/2020, yang kedudukannya bukan saja dibawah UU, tetapi juga menurut UU No.12 /2011, PERMA tidak dikenal dalam hirarkhi perundang-undangan di Indonesia. PERMA hanya mempunyai kekuatan mengikat secara internal yaitu berlaku untuk lingkungan Mahkamah Agung sendiri, tidak mempunyai kekuatan mengikat jika menyangkut kepentingan umum yang melibatkan Terdakwa. Menurut KUHAP, Terdakwa harus dihadapkan ke ruang sidang secara fisik dan dalam keadaan bebas. Berarti perintah KUHAP adalah mengharuskan persidangan dilakukan secara OFFLINE dan tidak dalam keadaan ditahan. Untuk menyimpangi ketentuan ini, maka harus merubah KUHAP dengan instrumen UU juga. Tidak boleh disimpangi dengan perundang-undangan selevel PERMA. Betul bahwa PERMA atau Peraturan Menteri (PERMEN) diakui keberadannya dalam praktek beracara dan bernegara, namun keberlakuannya harus atas perintah UU atau peraturan yang lebih tinggi. Dalam hal persidangan ONLINE ini, tidak ada perintah dalam UU atau KUHAP atau peraturan yang lebih tinggi dari PERMA yang memperbolehkan MA membuat PERMA untuk melakukan persidangan secara ONLINE. Fakta bahwa terdakwa HRS berada di Rutan Bareskrim ketika persidangan berlangsung di PN Jakarta Timur sudah jelas menunjukkan pelanggaran nyata bahwa terdakwa disidang tidak dalam keadaan bebas. Fakta lain, kehadiran Terdakwa di ruang ONLINE di Bareskrim, dipaksa dan didorong secara fisik (setengah diseret seolah terdakwa adalah barang) telah menunjukkan bahwa hak Terdakwa untuk hadir secara bebas telah dirampas oleh penyelenggara peradilan dan aparat negara. Hal ini jauh dari sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh aparat negara bahwa Indonesia negara hukum yang berkeadilan terhadap sesama anak bangsa. Selain itu Majelis Hakim juga salah memahami atau malah sengaja memanfaatkan PERMA No.4/2020 untuk kepentingan politis dengan cara mengangkangi hukum. Jika kita perhatikan secara seksama pasal 2 dari PERMA aquo, maka untuk melaksanakan persidangan ONLINE harus atas persetujuan bersama dengan Terdakwa. Dalam hal ini HRS sebagai Terdakwa jelas telah menolak untuk disidang secara ONLINE. Sehingga menurut PERMA sekalipun, Majelis Hakim telah melakukan kezoliman dengan melanggar hak Terdakwa. Kami sudah paham bahwa persidangan ini bersifat politis dari pada yuridis, sehingga kami sudah bisa memperkirakan 99% vonisnya adalah HRS bakal dijatuhi hukuman. Ketidakadilan ini sudah kami perhitungkan, sehingga kami tidak berharap ada vonis yang meringankan. Namun ternyata bukan hanya vonisnya yang akan kita terima sebagai ketidakadilan, malah prosesnya pun merupakan kedholiman nyata. Alhasil ini semua menjadi lengkap sebagai suatu peradilan yang sesat. Lembaga peradilan telah berubah fungsi menjadi hanya sebagai Lembaga Pemidanaan! Atas dasar hal-hal di atas, mengingat kasus HRS ini tak dapat dipisahkan dari peristiwa pembunuhan enam anggota Laskar FPI, maka Tim Pengawal Peristiwa Pembunuhan (TP3) Enam Laskar FPI menyatakan sikap sbb: Pertama, mendesak PN Jakarta Timur yang mengadili kasus HRS agar menjalankan proses peradilan secara konsisten sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dengan senantiasa menghadirkan terdakwa secara OFFLINE di muka persidangan. Kedua, meminta MA agar mengawasi dan memeriksa Jaksa maupun Hakim yang mengadili HRS yang menunjukkan sikap tidak independen, melanggar HAM, serta mengadili dengan tidak berasaskan presumption of innocent. Ketiga, mengingat kasus ini dinilai mengada-ada dan menjadi sebuah peradilan politik, maka transparansi dan makna "terbuka untuk umum" harus benar-benar dijalankan sebaik mungkin. Akses Penasehat Hukum kepada terdakwa dibuka seluas-luasnya demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Keempat, terhadap perilaku tak pantas yang dilakukan oknum Jaksa maupun petugas yang terlibat dalam proses peradilan HRS, merupakan catatan yang harus ditindaklanjuti dengan sanksi hukum yang semestinya. Penghormatan kepada siapapun harus dilakukan, terlebih HRS adalah da'i, ulama, dan salah satu tokoh Islam. Kelima, mendesak agar memberi penangguhan penahanan kepada HRS mengingat yang bersangkutan telah cukup usia, kondisi kesehatan, serta jaminan untuk tidak lari atau menghilangkan bukti. Wibawa hukum dan pengadilan patut untuk dipulihkan kembali setelah dua kali persidangan yang memperlihatkan kegaduhan, invalid secara hukum, dan tidak menunjukkan proses peradilan yang berwibawa. Demikian gugatan TP3 ini disampaikan demi tegaknya kebenaran dan keadilan, sekaligus sebagai wujud tanggungjawab kami demi tegaknya Pancasila, nilai kemanusiaan, kemuliaan umat, kehormatan bangsa, dan martabat negara. Atas Nama Anggota TP3 - M. Amien Rais (Dewan Penasehat). - Abdullah Hehamahua (Ketua) Tuan-tuan yang terhormat, para penguasa Indonesia. Tuan-tuan yang mulia, yang bisa melakukan apa saja sesuka hati.
Kemarin, banyak orang yang meneteskan air mata. Mereka sedih. Terhenyak. Mereka juga marah. Perasaan mereka tertusuk. Karena kalian perlakukan H125 dengan semena-mena. Dengan hina. Dengan angkuh. Dengan sombong. Ingatlah, wahai para penguasa! H125 bukan meminta perlakuan istimewa. Dia tidak meminta apa-apa dari kalian. Dia hanya meminta agar dihadirkan langsung di ruang sidang PN Jakarta Timur untuk mengikuti persidangan atas dirinya. Dia meminta itu bukan karena gagah-gagahan. Bukan karena ingin menghambat. Beliau meminta hadir langsung disebabkan rasa tak nyaman mengikuti sidang online (daring). Mengenai peraturan Mahkamah Agung (MA) yang mengharuskan sidang daring, Habib menyebutkan beberapa contoh terdakwa bisa hadir di ruang sidang langsung. Termasuk Joko Tjandra, Pinangki, dan Irjen Napoleon Bonaparte. H125 tegas menolak sidang daring. Beliau mempersilakan majelis hakim melanjutkan sidang tanpa kehadiran dirinya lewat kamera. Mempersilakan hakim menjatuhkan vonis apa saja. Beliau rela. Belian akan terima. Asalkan dia tidak dipaksa sidang daring. Beliau digiring dengan paksa untuk duduk di depan kamera yang tersambung ke ruang sidang. Proses pemaksaan inilah yang membuat Habib Rizieq merasa dihinakan. Beliau tidak merasa tinggi dari siapa pun. Tapi, cara dia dipaksa ke depan kamera telah menyinggung perasaan beliau. Tuan-tuan yang terhormat. Hati-hatilah kalian. H125 itu bukan penjahat seperti yang kalian persepsikan lewat penangkapan, penahanan, pendakwaan dan penyidangan. Dia hanya berusaha memperjuangkan keadilan. Dia berjuang agar bangsa dan negara ini bebas dari berbagai kejahatan yang terstruktur, sistematis dan masif (TSM). Lihatlah, tuan-tuan yang mulia. H125 tidak melakukan perbuatan yang merugikan rakyat dan negara. Kalian semua tahu itu. Dia hanya didakwa melakukan tindak pidana kerumunan. Tentu kalian masih ingat ketika Presiden Joko Widodo memicu kerumunan di Maumere, NTT, sewaktu dia melakukan kunjungan pencitraan di sana pada 23 Februari 2021. Dia tidak disentuh hukum. Ada saja alasan yang kalian kemukakan. Padahal, jelas-jelas Jokowi dikerumuni ratusan atau mungkin ribuan orang tanpa protokol kesehatan. Ingat, tuan-tuan yang terhormat! H4b1b tidak melakukan kejahatan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara. Yang melakukan kejahatan di Indonesia ini adalah mereka yang rakus, sadis, bengis. Bukan H125. Merekalah yang menggarong kekayaan rakyat di Kalimantan, Sulawesi, Papua, dlsb. Bukan H125. Mereka yang menilap dana Covid-19 sampai triliunan rupiah. Bukan H125. Mereka pula yang melakukan korupsi lobster, Jiwasraya, Asabri, Bumiputra, Pertamina, BLBI, Century, dll. Bukan H125. Mereka yang membangkrutkan maskapai Garuda Indonesia. Bukan H125. Mereka yang membuat PLN tumpur-lebur. Bukan H125. Mereka yang mencuri uang e-KTP. Bukan H125. Mereka yang melindungi Tuan Joko Tjandra (JK). Bukan H125. Mereka yang membuatkan surat jalan untuk JT ketika dia menyeludup masuk dari pelarian di luar negeri. Bukan H125. Mereka yang mengusahakan penghapusan “red notice” Interpol Joko Tjandra dengan cara menyogok. Bukan H125. Mereka yang mau membuatkan fatwa bebas Mahkamah Agung (MA) untuk JT dengan proposal 150 miliar. Bukan HR125. Mereka yang menerima sogok Buku Merah. Bukan H125. Mereka yang sedang menumpuk kakayaan ilegal. Bukan H125. Mereka yang mejerumuskan negara ini ke jurang utang besar. Bukan H125. Mereka juga yang menggerogoti uang pinjaman ribuan triliun itu. Bukan H125. Mereka pula yang merusak lingkungan dan hutan di mana-mana. Bukan H125. Tapi, mengapa H125 yang dizalimi? Yang dikejar-kejar sampai ke lubang cacing? Yang, konon, diskenariokan akan mendekam di penjara sampai usai Pilpres 2024? Hati-hatilah, kawan. Jangan kalian hinakan H125. Dia bukan penjahat. Ingat, dunia ini berputar. Semua orang memperhatikan kezaliman kalian. 20 Maret 2021 Asyari Usman (Penulis, wartawan senior) Sumber: facebook asyari usman Laporan: Agus Dwi
Jumat, 19 Maret 2021, 15:43 WIB REPUBLIKMERDEKA Persidangan ke-10 bagi terdakwa Jumhur Hidayat pada Kamis kemarin (18/3), mengungkap sebuah fakta yang cukup mengejutkan. Saksi yang turut melaporkan Jumhur ke pihak kepolisian, Adintho Prabayu, mengakui bahwa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang ditandatanganinya sudah dibuatkan oleh penyidik. Hal itu diakuinya setelah dicecar oleh terdakwa Jumhur. "Apakah saudara saksi pernah belajar ilmu telepati?" tanya Jumhur. Saksi menjawab tidak pernah. Lalu Jumhur melanjutkan mengapa ada 3 orang saksi dengan waktu pelaporan yang berbeda tapi hasil BAP-nya persis sama? Saksi menjawab, tidak tahu. "Kalau begitu, saat saksi melapor, sudah ada BAP yang dibuat penyidik?" Cecar Jumhur. "Ya" jawab saksi. Jumhur melanjutkan, "Setelah membacanya, saksi setuju dengan isi di BAP tersebut?". Agak sedikit berpikir, kemudian saksi menjawab "Iya". Tidak henti sampai di situ, Jumhur kembali mengkonfirmasi, "Setelah setuju barulah saksi menandatangani BAP tersebut? Saksi pun menjawab, “Iya”. "Yang Mulia, jelaslah sekarang bahwa para saksi pelapor tidaklah independen. Mereka melaporkan bukan karena kesadarannya melainkan karena digiring oleh kekuatan besar untuk memasukan saya ke dalam sini," tegas Jumhur sambil mengucapkan terimakasih kepada Majelis Hakim PN Jakarta Selatan. Dari fakta persidangan dan pengakuan saksi pelapor secara langsung, Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) menegaskan bahwa saksi pelapor diragukan independensinya. "Oleh sebab itu KAMI menduga bahwa sejak awal, peradilan yang menimpa Jumhur Hidayat dan para aktivis KAMI lainnya, telah direkayasa. Terdapat kekuatan besar yang mengaturnya, serta mengabaikan asas keadilan dan kebenaran," ucap Komite Eksekutif KAMI, Gde Siriana Yusuf, Jumat (19/3). Jumhur Hidayat didakwa telah menyebarkan berita bohong dan membuat keonaran lewat cuitan di akun Twitter pribadinya tentang omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja. Menurut Jaksa Penuntut Umum, cuitan Jumhur ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA), dalam hal ini golongan pengusaha dan buruh. Akibat cuitannya itu, timbul polemik di tengah masyarakat terhadap produk hukum pemerintah. Sehingga berdampak pada terjadinya rangkaian aksi unjuk rasa yang dimulai pada 8 Oktober 2020 yang berakhir rusuh. Melalui akun Twitter @jumhurhidayat, ia mengunggah kalimat "Buruh bersatu tolak Omnibus Law yang akan jadikan Indonesia menjadi bangsa kuli dan terjajah". Kemudian, pada 7 Oktober 2020, Jumhur kembali mengunggah cuitan senada, "UU ini memang untuk Primitive Investors dari RRC dan pengusaha rakus. Kalau investor beradab ya seperti di bawah ini". Dalam cuitan tersebut Jumhur juga mencantumkan link berita dari Kompas.com berjudul "35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja" Atas cuitannya itu, Jumhur didakwa dengan dua dakwaan alternatif. Pertama, Pasal 14 ayat (1) jo Pasal 15 Undang-undang RI Nomor 1 Tahun 1946 KUHP, atau Pasal 45A ayat (2) jo pasal 28 ayat (2) Undang-undang RI nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan dari Undang-Undang RI nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE. "Karena itu KAMI secara serius akan terus mengawal persidangan selanjutnya, dan berharap para hakim memberi perhatian khusus terhadap terjadinya kejanggalan-kejanggalan dalam persidangan, khususnya pengakuan para pelapor tersebut," tambah Gde Siriana. "Hakim yang setiap keputusannya didasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, diharapkan dapat bertindak independen, nonparsial dan seadil-adilnya. Sehingga tidak saja dapat dipertangungjawabkan di dunia, tetapi juga di akhirat kelak," demikian Gde Siriana. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|