Uji Nyali JPU dan Majelis Hakim Hadapi HRS di Ruang Sidang, Oleh M. Kamil Pasha, S.H., M.H.3/18/2021 Oleh : M. Kamil Pasha, S.H., M.H.
(Anggota Tim Penasehat Hukum HRS) Anda jago berkelahi? Anda kuat secara fisik? Ahli beladiri? Cerdas? Pandai berbicara di luar sana? Boleh jadi. Tapi saya yakin anda belum tentu cukup kuat secara mental, jika anda belum pernah menghadapi penahanan berkelanjutan, pemeriksaan di Kepolisian, pelimpahan ke kejaksaan, lalu tetap kuat, tegar, dan berani bersuara lantang dan berteriak tentang kebenaran di ruang persidangan. Ada kisah dari kawan yang juga lawyer, yang punya klien jawara. Kawan saya bercerita bahwa kliennya terlihat pucat pasi ketika menjalani pemeriksaan di Kepolisian, apalagi ketika terhadap yang bersangkutan dilakukan penahanan. Seketika sang jawara terlihat lemas. Sudah menjadi rahasia umum dikalangan Advokat bahwa klien akan melembek, frustasi, atau bahkan sebagian meminta agar tim Penasehat Hukumnya menurunkan ‘tensi’ kepada penyidik, JPU atau Majelis Hakim. Hal ini dikarenakan yang bersangkutan takut mengalami sesuatu yang buruk saat menjalani proses hukum acara pidana. Pada beberapa kasus besar, mantan pejabat yang berkuasa, mantan jaksa penuntut umum senior, terlihat bingung dan plonga-plongo ketika duduk di kursi terdakwa dalam sidang perkara pidana. Habib Rizieq malah membuktikan sebaliknya. Beliau tetap kuat, tegar dan berani serta lantang di persidangan, meskipun telah menjalani rentetan pemeriksaan, penahanan. Proses hukum acara pidana yang dijalani selama berbulan-bulan jelas melelahkan fisik maupun psikis, namun beliau tetap sabar. Sebagai seorang Advokat, saya mengagumi beliau secara tulus, bukan semata karena beliau adalah klien kami. Tapi karena beliau memang hebat di persidangan, bernyali. Saya tak tahu apa isi hati dan pikiran dari JPU, mengenai alasan mereka tidak menghadirkan HRS ke muka persidangan. Padahal, mereka mampu dan hal tersebut mudah saja, karena HRS dan kelima orang eks pengurus FPI dalam kondisi status tahanan pengadilan. Bukan dalam keadaan bebas melancong kesana kemari. Lokasi tempat beliau ditahan pun jelas, di Rutan Bareskrim Polri. Cukup majelis hakim memerintahkan agar HRS beserta terdakwa lainnya didatangkan ke persidangan, pasti JPU dengan mudah menghadirkan beliau ke Pengadilan Negeri Jakarta Timur tanpa kesulitan. Siapa tahu, sekali lagi siapa tahu, keputusan JPU dan Mejelis Hakim berupaya memaksakan sidang daring dikarenakan pernah melihat atau mengetahui track record keberanian HRS di persidangan. Sehingga berdegup jantung mereka, mengeras otak mereka, dan berkeringat kening dan leher mereka. Lebih baik tak usah berhadapan secara langsung dengan HRS di persidangan. Jika pandemi COVID-19 dipakai menjadi alasan agar sidang perkara HRS dilaksanakan secara daring, bukankah selama pandemi perkara Djoko Tjandra, Pinangki, Napoleon Bonaparte, Jrinx SID, dan perkara lainnya juga dilaksanakan dengan menghadirkan terdakwa secara langsung di ruang sidang? Dalam perkara yang sama yakni perkara di RS Ummi, salah seorang yang juga terdakwa yakni dokter Andi Tatat mampu dihadirkan ke muka persidangan PN Jakarta Timur. Padahal dia dalam keadaan tidak ditahan, masih bisa pergi kesana kemari, sedangkan terhadap HRS dan juga Habib Hanif Alatas yang dilakukan penahanan malah tidak mampu dihadirkan. Artinya dalam kekuasaan pengadilan untuk menghadirkan, malah dipaksakan untuk sidang daring. Tentu hal ini menjadi catatan buruk adanya disparitas dalam penerapan hukum acara pidana, khususnya di persidangan. JPU dan Majelis Hakim jangan pula berlindung dibalik Perma No. 4 Tahun 2020 untuk memaksakan sidang daring. Jika dibaca lebih teliti, dalam Perma tersebut tidak ada kata atau kalimat yang mewajibkan sidang daring, artinya sidang perkara pidana secara daring hanyalah opsi. Selain itu secara hukum, Perma tidaklah dapat mengesampingkan ketentuan hukum acara pidana dalam UU dalam hal ini KUHAP meskipun dalam masa pandemi. Pasal 154 ayat (1), Pasal 164 (1), Pasal 189 ayat (1) dan Pasal 230 ayat (1) KUHAP dengan jelas mengatakan bahwa Terdakwa harus dihadirkan langsung di muka persidangan, keterangan Terdakwa hanyalah apa yang disampaikannya di ruang sidang. Dan bahwa sidang pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan dalam ruang sidang, bukan di tempat lain, bukan di ruang Bareskrim Polri, apalagi via daring. Praktik sidang daring selama pandemi di negara maju, dalam hal ini Amerika Serikat, juga didasari dengan UU yang dinamakan CARES act, bukan berupa Peraturan Mahkamah Agung mereka semata. Itupun sidang daring dalam perkara pidana baru dapat terlaksana jika ada persetujuan dari terdakwa. Perma No. 1 Tahun 2019 yang mengatur sidang online atau E-Court dalam kasus perdata pun mensyaratkan adanya persetujuan para pihak baik dari penggugat / pemohon, maupun dari tergugat / termohon. Jika dalam perkara perdata saja pelaksanaan sidang online mensyaratkan adanya persetujuan para pihak. Maka dalam perkara pidana, guna mencari kebenaran materiil dan menyangkut nasib serta hak asasi terdakwa untuk melakukan pembelaan secara maksimal, sepantasnya sidang online harus berdasarkan persetujuan terdakwa. Dalam hal ini HRS menyatakan tidak bersedia sidang online dan hanya bersedia jika sidang dilaksanakan secara offline di ruang sidang dengan kehadiran beliau secara langsung sebagai terdakwa. Patut dimaklumi, meskipun memiliki pengalaman atau jam terbang puluhan tahun dalam beracara di persidangan, tidak mudah bagi siapapun yang menjadi JPU atau Majelis Hakim menghadapi keberanian, kekuatan argumentasi, dan lantangnya suara HRS di muka persidangan. Namun jika masih punya muka, dan nyali serta niat untuk mencari kebenaran materiil, JPU dan Majelis Hakim kami minta untuk menghadirkan Habib Rizieq, Habib Hanif Alatas, KH. Ahmad Sobri Lubis, Ustadz Harris Ubaidillah, Habib Ali bin Alwi, Habib Idrus, dan Ustadz Maman Suryadi ke persidangan secara langsung.
0 Comments
Prahara Demokrat merupakan pengejawantahan dari kekuasaan yang korup "corrupt absolutely". Korupsi yang bukan disebabkan kekurangan tetapi berbasis keserakahan. Keserakahan politik Istana. Semua parpol mesti dikuasai dan di bawah kendali.
Istana secara standar membantah keterlibatan apalagi menjadi pengatur agenda. Itu urusan internal partai, katanya. Namun publik menganggap hal itu adalah ngeles politik. Rasanya tidak mungkin Moeldoko bermain sembunyi-sembunyi karena sebagai seorang prajurit ia biasa menjalankan perintah. Bantahan Istana muncul setelah konstelasi politik agak berbalik, misi kudeta nyaris gagal. Moeldoko bukan hanya berhadapan dengan AHY dan SBY tetapi juga opini publik yang mengecam pembegalan politik. Hal ini diperkuat oleh peristiwa sebelumnya dimana Ketum Partai Demokrat AHY pernah membuat surat kepada Presiden Jokowi mempertanyakan gerakan Moeldoko yang terendus. Namun tidak mendapat jawaban apa-apa. Hingga kini Moeldoko pun belum mendapat teguran apalagi dipecat. Istana di duga kuat sangat tahu langkah Moeldoko. Hanya apakah ia sebagai inisiator atau bukan itu persoalan lain. Orang kuat di belakang Moeldoko tentu "inner circle" Istana, kelompok oligarkhis yang bermain di ruang intelijen dengan semangat pecah belah dan kuasai. Taipan adalah elemen strategis yang siap "all out" membiayai. Hanya indikasi kesuksesan terganggu karena rakyat ikut berteriak, akibatnya dana seret keluar. Terbukti peserta KLB menjerit atas ingkar janji pembayaran. Moeldoko hanya alat permainan yang nampaknya juga senang berjudi politik. Berharap menang juga, siapa tahu hoki, bisa ikut nyapres. Tawaran kepada Jenderal Gatot yang terkuak menunjukkan gerakan kudeta memiliki misi dan perencana. Masif dan terstruktur. Perubahan kepemimpinan 2024 adalah keniscayaan. Taipan tetap ingin berkuasa untuk Presiden ke depan Petruk atau Gareng. Single Party System adalah canangan untuk membangun model pemerintahan Orla. Demokrasi Terpimpin, penghancuran kekuatan agama, bersahabat dengan Cina, serta pengendalian Partai Politik. Dahulu dibentuk Front Nasional berbasis Nasakom dukungan PKI, kini "Koalisi Nasional", Partai yang satu arah yaitu mendukung Pemerintahan Jokowi. Disini makna bahwa Demokrat harus dilumpuhkan bahkan direbut. Sebagaimana peristiwa G 30 S PKI, percobaan kudeta melalui KLB abal-abal nampak dibayang-bayang kegagalan. SBY mengambil alih perlawanan perang dan melakukan counter attack. Istana mulai blingsatan. Pasukan Moeldoko kocar-kacir, petinggi mulai membelot, prajurit teriak mengaku dibayar tapi takut dipecat. Moeldoko diam tak mampu bermanuver. Publik tetap keras ikut mendesak Presiden untuk mencopot Moeldoko dari KSP, agar ada efek jera jangan ada lagi model gerakan pembegalan politik yang memalukan bangsa dan negara. Jika partai politik bisa dibegal, ormas dibubarkan, tokoh politik dipenjarakan, maka lampu merah untuk demokrasi telah menyala. Demokrasi Terpimpin mulai merayap dan menguat. Moeldoko tentu semakin berat, harapan sukses menipis. Gerak gerik terpantau dan mudah untuk dihajar lawan. Daripada babak belur tak keruan sebaiknya Moeldoko give up, menyerahlah...! M Rizal Fadillah Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 14 Maret 2021 Media negeri jiran The Australian edisi Senin (8/3) menurunkan sebuah artikel menarik. Judulnya : Jakarta Closer to Rule of One Party.
Kekhawatiran Indonesia menjadi negara partai tunggal seperti di Cina dan Korea Utara ini, sesungguhnya sudah sejak lama diingatkan oleh Jenderal Gatot Nurmantyo. Saat masih menjadi Panglima TNI, Gatot membungkus pesannya secara tersamar, melalui bahaya proxy war. Tanda-tanda bahwa pemerintahan Jokowi sedang mendekati sistem pemerintahan partai tunggal itu kini semakin nyata. Sebagaimana dilansir The Australian, aksi KSP Moeldoko mengambil-alih secara paksa Partai Demokrat merupakan langkah nyata mewujudkan hal itu. Saat ini partai-partai pendukung pemerintah disebut oleh The Australian telah menguasai 74 persen kursi di parlemen. Bila sukses mengakuisisi Partai Demokrat pemerintah akan menguasai 83 persen kursi di parlemen. Hanya menyisakan PKS sebagai satu-satunya oposisi di parlemen. Kalkulasi ini menarik, karena tampaknya The Australian telah memasukkan PAN ke dalam partai pendukung pemerintah. Bila dihitung dari total 575 kursi di parlemen, kalkulasi ini kurang akurat. Berdasarkan data KPU, pada Pemilu 2019 PKS memperoleh 50 kursi atau 8, 69 persen. Demokrat 54 kursi atau 9, 39 persen. Bila hanya PKS yang menjadi oposisi, maka total kubu pemerintah menguasai 91, 31 persen kursi di parlemen. Praktis kubu partai pemerintah sudah menguasai sepenuhnya kursi di parlemen. PKS tinggal menjadi partai oposisi pemanis saja. (Parliamentary dan Presidential Threshold) Pertanyaannya sekarang, bagaimana tahapan menuju partai tunggal bisa diwujudkan? Saat ini kendati sudah menguasai sepenuhnya kursi di parlemen, namun belum bisa disebut sebagai partai tunggal. Baru konsorsium partai dengan penguasa tunggal. Namun tahapan menuju partai tunggal itu sudah terbayang. Coba perhatikan beberapa tahapan berikut ini. Pertama, penetapan presidential threshold 20 persen. Dengan aturan semacam itu sudah bisa dipastikan bahwa capres yang akan tampil pada Pemilu 2024 adalah calon tunggal. Kalau toh ada dua calon, maka pasangan calon kedua hanyalah boneka. Model Pilkada Solo 2020 bisa digunakan. Ada calon walikota yang sudah dapat dipastikan menang, yakni Ghibran putra Presiden Jokowi. Lawannya adalah pasangan Ketua RW dan tukang jahit. Kedua, Pemilu serentak tahun 2024. Dengan hanya ada satu capres, maka dapat dipastikan capres yang diusung berasal dari PDIP sebagai pemilik kursi terbanyak (128). Pasangannya bisa dipilih dari salah satu partai pengusung pemerintah. Silakan diperebutkan. Dengan sistem pemilu serentak, maka yang akan memperoleh limpahan elektoral atau biasa dikenal sebagai coattail efect adalah pengusung capres. Dalam hal ini PDIP. Hal ini terbukti pada Pilpres 2019. Hanya ada dua Pasang capres-cawapres. PDIP dan Gerindra yang mengusung capres. Kedua partai ini mendapat limpahan suara terbanyak dan menjadi partai pemenang pertama dan kedua. Ketiga, menaikkan ambang batas parliamentary threshold. Saat ini di DPR berkembang wacana menaikkan ambang batas lolos parlemen, atau dikenal dengan istilah parliamentary threshold (PT). PDIP mengusulkan agar PT dinaikkan dari semula 4 menjadi 5 persen. Sementara Nasdem dan Golkar bahkan call tinggi, menjadi 7 persen. Dengan mempertimbangkan coattail effect pada pemilu serentak 2024, maka PDIP bisa menang besar. Apalagi berdasarkan hasil survei terbaru Litbang Kompas, partai-partai yang berada dalam lima besar bakal berguguran. Elektabilitas Nasdem saat ini tinggal 1.7 Persen. Golkar 3.4 persen. Demokrat 4.6 persen, PKS 5.4 persen, dan PKB tinggal 5.5 persen. Gerindra 9.6 persen. PDIP masih bertengger di puncak dengan elektabilitas 19.7 persen. Bila PT dinaikkan menjadi 7 persen, maka yang tersisa tinggal PDIP dan Gerindra. Itupun kalau Gerindra masih bisa mempertahankan suaranya. Dengan bergabung dalam kubu partai pemerintah, sangat diragukan Gerindra bisa mempertahankan perolehan suaranya seperti pada Pemilu 2019. Semua skenario itu dapat terwujud bila Jokowi dan PDIP bisa mengendalikan sepenuhnya partai-partai pendukung pemerintah. Partai-partai pemerintah mendukung apapun keinginan Presiden Jokowi dan PDIP. Untuk tahap awal Nasdem dan Golkar akhirnya mengalah. Mendukung pelaksanaan pemilu serentak tahun 2024. Padahal sebelumnya mereka menginginkan ada revisi RUU Pilkada. Tahapan berikutnya tinggal menaikkan ambang batas lolos parlemen setinggi mungkin. Skenario partai tunggal bakal terwujud. Apakah kali ini Golkar, Nasdem, Gerindra dan partai-partai lain juga akan kembali mengalah? Sejauh ini dengan pola pecah belah, sandera politik, dan iming-iming kekuasaan, pemerintah berhasil menundukkan parpol-parpol menjadi pendukung yang loyal.
Dijual segera rumah murah di Bintaro Jaya Sektor 2, Jalan Kepodang IV Blok K6 No.22. Harga nego Rp 3,5 M. Luas tanah 170 M2, luas bangunan 120 M2. Tiga kamar dengan 2 kamar mandi dan ruang menyimpan pakaian (wardrobe) serta dapur. Kamar pembantu dan kamar mandinya ada di lantai atas. Juga tempat menjemur pakaian di lantai atas. Hubungi segera WA (text) 08211 4994 599.
Sementara itu selamat menikmati persembahan dari Alip Ba Ta the Best and Famous Indonesian finger style guitarist, "Munajatku" berikut ini. Jumlah muslim di Rusia diperkirakan akan terus meningkat dan menjadi populasi terbesar di benua Eropa, saat ini tercatat ada sekitar 16 juta lebih muslim di Rusia.
Dalam sebuah kesempatan, sutradara asal Amerika Serikat bernama Oliver Stone (OS) pernah bertanya kepada Presiden Rusia, yakni Vladimir Putin mengenai bagaimana cara Vladimir Putin mengatur penduduk muslim di Rusia yang terus meningkat. Oliver bertanya, “Di Rusia banyak muslim, bagaimana pemerintah mengawasi muslim di Rusia?" Putin lantas menjawab “Mengapa muslim harus diawasi? Rakyat Rusia banyak yang muslim. Di Moskow ada 15% muslim. Tidak pernah ada masalah," tegas Putin. Putin menambahkan bahwa kaum muslim bukan sebagai masalah yang harus diawasi. Akan tetapi mereka hanya korban dari politik Amerika dan sekutunya. “Kami tidak pernah menganggap muslim sebagai masalah. Itu hanya politik Amerika dan sekutunya. Terorisme misalnya, kapan Islam mulai diidentikan dengan terorisme? Setelah perang dingin berakhir. Amerika butuh musuh baru agar industrinya berputar,” kata Putin. Pasca Perang Dingin, lanjut Putin, Uni Soviet bubar. Blok Timur dihapuskan. AS dan Rusia berdamai. Kita lucuti hampir 90% kekuatan nuklir. Rusia total keluar dari situasi perang dingin. Tapi AS, coba Anda lihat, sampai hari ini masih mempertahankan NATO, bahkan terus memperluasnya. “Saya bertanya pada Anda, untuk apa NATO tetap dipertahankan bahkan diperluas? Bukankah Rusia tidak lagi musuh AS? Lalu siapa musuh NATO? AS selalu tidak konsisten dengan ucapannya. Berbuat sesuka hati. Itulah bahaya Adikuasa tunggal di dunia," tegas Putin. Putin melanjutkan, “Saya tidak heran ketika Obama ingkar janji. Kepada Rusia dan dunia, Obama mengatakan akan menutup Guantanamo. Faktanya, Obama keluar dari Gedung Putih, Guantanamo masih berdiri dan beroperasi. Rusia dan dunia sudah biasa menyaksikan inkonsistensi AS,” tambah Putin kepada Oliver Stone. Islam dunia hari ini bernasib sama dengan Uni Soviet di masa Perang Dingin. Jadi korban propaganda AS. Setelah meninggalkan, Irak porak poranda, AS menciptakan ISIS untuk memastikan konflik di Irak dan Timur Tengah terus bergolak. “Siapa bisa bantah fakta ini?" tantang Putin. Oliver stone pun terdiam. Dari Jawaban putin ini seolah menjawab siapa dalang selama ini yang membuat Gejolak politik di dunia islam khususnya di Timur Tengah. Hingga munculnya istilah Islamofobia. Sumber :Lingkar Aswaja Djoko Edhi Abdurrahman, Anggota Komisi Hukum DPR (2004 – 2009), Advokat, Wasekjen DPP KAI, Wasek Lembaga Penyuluhan Bantuan Hukum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Nadiem Makarim diangkat Jokowi jadi Mendikbud? Terperanjat saya! Sudah langsung saya lihat di kepala saya, pendidikan menengah ke bawah hancur kayak pengemudi Ojol menanggung cicilan sepeda motor dalam kondisi senin kemis diuber-uber debt collector. Nadiem, berdarah Arab, tidak pernah bersekolah di Indonesia. Ia tak punya ilmu pendidikan atau pedagogi walau sepotong pun. Titel pendidikannya terakhir saya baca MBA, jauh panggang dari api, jauh dari pedagogi. Dengan demikian, Nadiem tak punya empirisnya, sekaligus tak punya ilmunya. Maka ia tak layak, unfeasibilities. Ia tak punya FS. Dari perilaku sosiologis, lebih ironi. Ia dari keluarga non Muslim. Ia, menikah di gereja, isteri dan anak-anaknya semua dibaptis di gereja. Sementara anak sekolah pendidikan, 90% adalah anak-anak Muslim: Nadiem adalah contoh yang paradok, sangat buruk. Sementara, suasana pendidikan kita sangat rigid dan sensi. Bacalah tulisan Dr Chazali Situmorang, Fisip Unas, bagaimana ironi Depdikbud pada tingkat mahasiswa “Mendikbud Mempertaruhkan Masa Depan” tulisnya. Di tingkat SD – SMA, seingat saya, selalu profesor yang jadi penguasa dikbud. Bukan asal profesor, melainkan profesor yang mumpuni. Begitupun, tak lantas sekolah kita boleh revolusioner. Saya meneliti demokratisasi di 184 sekolah SMP dan SMA di Jakarta, dan membimbing riset 34 mahasiswa pasca sarjana FISIP Universitas Indonesia, 2003. Ternyata buku "Democracy In Education", karangan John Doe, tidak masuk ke Indonesia. Sebabnya, kultur yang berbeda dalam pendidikan Barat vs Indonesia. Padahal reformasi sedang gencar-gencarnya tahun 2003. Dan, Nadiem, berkultur Barat, seperti muatan buku itu. Pendidikan ternyata tak boleh revolusioner. Saya kutip petisi para ahli AI (artificial intelligent) dari Silicon Valley di Konferensi Musim Panas di Montreal tahun 1954: “Kami takkan menyerahkan pendidikan kepada komputer”, bunyi petisi itu. Sampai kini, petisi itu tak berubah. Silahkan AI berrevolusi. Nadiem kini akan mengimpor ahli pendidikan ke Indonesia. Sebab, kata Nadiem, Indonesia tak punya ahli pendidikan. Ente bertanya ke Prof Conni Semiawan dong, mantan Rektor IKIP Jakarta. Butuh berapa ente? Tapi barang impor si Nadiem itu, semuanya beragama non muslim. Mengerikan si Nadiem. Pantas resiko itu tak terasa, sebab yang pasang dia adalah Presiden Jokowi, yang sekolahnya insinyur bagian perkayuan. Saya mengimbau para orangtua murid bikin petisi yang meminta Nadiem mengundurkan diri daripada pendidikan anak-anak kita rusak oleh orang yang layak. Atau si Nadiem direshuffle karena permintaan orangtua murid. Nadiem tak lebih dari kapitalis, penghisap darah kaum miskin penarik Ojol. Ia tak lebih dari pemakan rente ekonomi. Sama dengan Jokowi. Saya kutip artikel anonim berjudul “Nadiem, Melepas Tanggungjawab” berikut. Dari kemaren, grup driver online riuh. Nadiem makarim jadi menteri. Ramai sumpah serapah pada Nadiem karena dianggap dia belum berhasil sejahterakan driver online dengan janji yang pernah ia berikan. Awal buka gojek, aplikator memberikan iming-iming pendapatan yang melimpah. Selain itu, aplikator juga memberikan bonus pada mitra yang berhasil membawa teman, kerabat untuk bergabung jadi mitra. Jutaan orang mendaftar jadi driver online (DO). Testimoni ala MLM bertebaran, betapa jadi DO sangat menjajikan penghasilannya. Pendapatan diluar bonus bisa mencapai ratusan ribu/hari. Jika ditambah bonus, bisa 500-700ribu yang diterima. Banjir bonus bagi DO membuat DO menjadi primadona. Gak punya kendaraan, mereka beli secara kredit. Terjadi lonjakan penjualan kendaraan second maupun baru di masa Gojek beroperasi. Cara gojek memanjakan DO dengan bonus melimpah salah satu upaya agar masyarakat segera bergabung dengan kalkulasi pendapatan yang sudah mereka edarkan testimoninya. Minimnya lapangan pekerjaan, membuat masyarakat menaruh harapan menjadi DO. Gak ada uang buat DP kredit kendaraan, mereka upayakan dengan berbagai cara meminjam kerabat atau berhutang. Dalam benak mereka, pendapatan yang sudah dikalkulasikan akan menutupi angsuran kendaraan yang mereka ambil. 1-2 tahun berjalan, mulai ada perubahan. Pendaftaran DO baru ditutup. Bonus diturunkan, mulai ada gejolak di kalangan DO. Pendapatan yang mereka dapatkan di awal, sudah lain ceritanya. Ada penurunan pendapatan, namun tetap bertahan. Memasuki tahun berikutnya, nasib driver seperti kuda pacu. Dipaksa memenuhi target supaya bisa mengambil bonus yang lagi-lagi diturunkan 50% dari bonus awal berdiri. Target dinaikkan, bonus diturunkan. Sedangkan ongkos, tetap. dan potongan fee gojek masih berlaku. DO meradang, namun tidak bisa berbuat banyak ketika segala aksi sudah mereka lakukan, namun tidak mendapatkan jawaban. Pilihannya, tetap bertahan atau cabut. Gojek memegang kartu As. Mereka gak khawatir DO akan berhenti. Jika berenti, mereka akan buka lagi pendaftaran. Keadaan negeri yang menciptakan banyak pengangguran, membuat Gojek leluasa mencari mitra. Sekarang, keadaan sungguh berbalik 180 derajat dari awal berdiri. Bonus sudah bukan pendapatan namanya, melainkan uang yang diberikan, untuk kemudian mereka tarik kembali menjadi potongan. Dan era bonus akan berakhir, esok bonus akan ditiadakan. Dan kutipan fee gojek akan terus ada memotong tarif sebagai biaya atas aplikasi mereka. Cara gojek membanjiri bonus sama dengan istilah Money burning (Membakar uang). Mereka membakar uang di awal untuk menjerat peminat. Siapa yang diimingi, itulah yang mereka incar. Setelah mereka dapatkan, mulai mereka menarik uang dari para driver. DO seperti terjebak, dengan cicilan kendaraan yang terus berjalan, membuat mereka terpaksa mengikuti kebijakan gojek. Mereka sebut mitra, namun aturannya tidak ada perundingan ketika melemparkan kebijakan bagi driver. Seharusnya, ada pertemuan dulu sebelum memutuskan kebijakan. Ketika tidak ada setuju dari DO, kebijakan belum bisa digunakan. Namun gojek, bertindak sewenang-wenang atas mitranya. Mereka memutuskan sendiri, lalu melempar kebijakan itu untuk dipatuhi. Protes silahkan, namun gak wajib didengar dan memberi jawaban. Terima kebijakan silahkan lanjut, gak terima silahkan cabut. Dilema DO, mereka mempunyai beban bulanan. Menolak bisa gak makan, mengikutinya hanya cukup buat bayar angsuran. Gojek diatas angin dengan cara penjajahan yang mereka lakukan. Bagaimana dengan pemerintah? Pemerintah dan gojek ibarat simbiosa mutualisme. Banyaknya pengangguran membuat pemerintah sedikit tenang ketika Gojek mampu menciptakan lapangan pekerjaan. Bertindak tegas pada gojek, akan bahaya bagi pemerintah. Bisa jadi mereka mengambil sikap menutup usaha di sebagian daerah dan dampaknya, pengangguran akan kembali membludak. Ketegasan pemerintah pada perlindungan DO seperti ketegasan semu. Tidak ada sanksi bagi gojek atas perlakuan mereka pada driver. Pemerintah menghadapi gojek seperti menghadapi OPM. Tegas salah, lunak jadi kecaman. Belum ada aturan yang melindungi driver. Sekarang, gojek menjadikan driver seperti sapi perah. DO yang sudah terjebak, seperti mati segan hidup tak mau. Nadiem mungkin berjasa saat membuka aplikasi gojek dengan tujuan mulia, mengentaskan pengangguran dan mengurangi angka kemiskinan. Slogan perusahaan anak negeri menjadi sebutan utama bagi gojek. Seiring perjalanan gojek, mereka harus menerima gelimangan materi dari investor. Gojek, sebuah aplikasi yang membawa jutaan data penggunanya. Perusahaan mana yang tidak mau bermitra dengan gojek? Gojek mulai mendapatkan kucuran dana dari investor, perlahan namum pasti saham gojek telah berpindah tangan ke investor asing. Saat ini, tidak sampai 10% saham anak bangsa di Gojek. Dan slogan perusahaan anak bangsa, masih digunakan untuk menipu masyarakat. Bagi driver online, seorang Nadiem mempunyai cerita sendiri. Nadiem saat ini, bukanlah Nadiem yang dulu berjasa. sebaliknya, ia telah menjadi penghisap anak bangsa. Segala keluhan driver tidak pernah ia jawab. Driver mereka sebut mitra, namun kenyataannya mereka tidak pernah menjadikan driver sebagai mitra sejati. Driver seperti buruh yang dipaksa menerima aturan sepihak. Setelah Nadiem memakai aset mitra untuk Go Publik, sekarang ia berlaku kejam pada mitra yang telah mengangkat namanya. Driver online sudah terjebak dalam permainan Nadiem, dan seorang Nadiem seperti bermain kesenangan atas kesejahteraan driver online yang belum pernah ia perjuangkan. Saya salah satu Driver online, menyebut dirinya tidak layak menjadi menteri. By Asyari Usman
Hari-hari ke depan ini, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko tak akan bisa tidur nyenyak. Bayang-bayang kudeta mulus Partai Demokrat (PD) mulai mengejar Kepala Staf. Dia seharusnya sudah menyadari kalkulasi kudeta yang keliru. Ketua Dewan Pembina PD, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), tidak akan membiarkan Moeldoko. Sebab, perampasan PD itu mengacak-acak harga diri mantan presiden yang keenam itu. Moeldoko mempermalukan SBY dan keluarga besar Cikeas. Ini tidak main-main, tentunya. Pelecehan telak. Setelah “deklarasi perang” yang diucapkan sendiri oleh SBY, penyelesaian kasus kudeta PD tidak menyisakan banyak pilihan bagi Moeldoko. Akhir drama pembegalan ini bisa sangat tragis bagi “the President’s Chief of Staff”. Sebab, per hari ini, SBY di atas angin. Moeldoko mati langkah. Dia terjepit. Jokowi tidak akan berani mensahkan Moeldoko sebagai ketua umum. Risikonya terlalu besar. Massa Demokrat asli kelihatannya siap melancarkan aksi ribut berpanjang-panjang di seluruh basis konstituen mereka. Kemarin, Ketua Umum Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) mengumpulkan 33 ketua DPD. Mereka solid. Hanya 1 ketua DPD yang ikut kudeta. SBY bukan imbang Moeldoko. Pastilah. Bagaimanapun, SBY pernah menjadi presiden sekaligus atasan langsung Pak Moel. Sepuluh tahun SBY duduk sebagai presiden. Elektabilitasnya waktu itu sangat tinggi. Sampai sekarang pun, SBY masih memiliki basis dukungan akar rumput yang cukup kuat. Karena itu, serangan balik teradap gerombolan kudeta PD yang dipimpin Moeldoko, tak bisa dianggap enteng. Pak KSP tentu sudah paham konsekuensi yang akan terjadi. Inilah yang membuat Moeldoko tak bisa tidur. SBY pasti akan memberi pelajaran. Teach him a lesson. Istana membantah keterlibatan. Kalau Jokowi akhirnya lepas tangan, berarti Moeldoko selesai. Dan jalan inilah yang paling aman bagi Pak Jokowi yang sedang dirundung banyak masalah besar. Terlalu mahal waktu, tenaga, dan pikiran yang harus dikerahkan Jokowi untuk menyelamatkan Moeldoko. Jokowi hampir pasti akan menerima masukan dari para senior Istana bahwa kehilangan Moeldoko jauh lebih kecil dibandingkan “perang” SBY. Masyarakat memberikan empati kepada mantan presiden itu meskipun banyak juga yang skeptis. Dalam dua hari ini, opini publik berbalik mengempur Moeldoko. Para pakar tatanegara meminta agar Jokowi memecat KSP. Tindakan Moeldoko dinilai sangat keterlaluan, tidak etis, dan memberikan contoh buruk dalam berpolitik dan berdemokrasi. Sekarang, paling-paling yang sedang diolah Istana adalah “exit strategy” untuk Moeldoko. Digeser atau dikeluarkan. Kepala Staf memang naïf sekali. Terlalu mudah dirayu oleh Jhoni Allen Marbun Cs –pimpinan KLB Sibolangit. To be fair, memang ada masalah dengan manajemen PD di bawah AHY. Entah karena apa, AHY tidak bisa “connect” dengan generasi awal PD. Mungkin karena “generation gap” (jurang generasi) itu sendiri. Atau, bisa jadi karena pembawaan AHY yang cenderung aristokratis. Tetapi, sekali lagi, kudeta oleh Moeldoko tidak punya alasan. Bahkan memperburuk citra perpolitikan Indonesia yang sudah amburadul. Negeri ini sedang dikuasai oleh oligarki taipan. Kendali kekuasaan yang ‘de facto’ ada di tangan mereka. Perbuatan gegabah Moeldoko memperkuat kepercayaan publik bahwa negara ini memang benar milik para taipan itu.[] 9 Maret 2021 (Penulis wartawan senior) Hanura pecah, PAN dipisahkan dari pak Amien Rais, PKS terbelah beberapa kadernya keluar membentuk Partai Gelora, Berkarya diambil dari Mas Tomy Suharto, dan sekarang Demokrat di hostile take over dng terang -terangan.
Cerita sebelumnya Golkar juga terambang pecah, dimana para tokoh di dalamnya membuat partai masing2: Prabowo Subianto membuat Gerindra, Wiranto membuat Hanura, dan Surya Paloh membuat Nasdem. Jangan lupa Gerindra meski di tangan Prabowo juga sempat digoyang hebat oleh orang dekat Prabowo. Demikian juga dng Nasdem hampir oleng saat Hary Tanoe tidak jadi masuk. PPP juga sama entah berapa kali terus terpecah, dari partai besar hingga mengerdil dan pengurusnya terus diguncang isu , bahkan terakhir masih terbelah lagi kepengurusannya. Kemudian PKB juga pecah , dari keluarga Gus Dur sebagai pendiri terambil oleh Cak Imin Cs. Polemik rebutan PKB sejak jaman Presiden Megawati sampai Presiden SBY. Dan sebelumnya lagi di jaman Pak Harto yg paling fenomenal adalah PDI, yg kemudian berbelah menjadi PDI dan PDIP. PDI lama dipimpin oleh Suryadi dan PDIP dipimpin oleh Megawati. PBB, dan partai -partai lain juga terus membelah, hingga seringkali terpisah dari pendirinya. Bicara rebutan partai , atau terpecahnya partai, sebetulnya bukan sekarang saja terjadi, dari jaman dulu juga terjadi. Mengapa? Saya pernah mendengar dulu dari para mahaguru intelejen saat saya mulai menjadi wartawan politik, bahwa di Indonesia sejak awal merdeka, tidak pernah diikhlaskan oleh negara -negara besar termasuk eks penjajah. Utk mengerdilkan Bangsa dan Negara Indonesia itu hanya dengan cara devide it empera. Intinya tidak boleh ada kekuatan utuh baik kekuatan dalam bidang agama atau partai politik ( tidak boleh ada partai politik punya kekuatan di atas 20 persen, jadi diobrak-abrik spy banyak partai). Karena hanya agama dan partai politiklah yg bisa menggerakkan rakyat. Karakter rakyat Indonesia yg mayoritas tidak punya karakter yg kuat, seperti mudah diadu domba, senang hidup borju dan pamer, suka menjilat, gampang disogok, dan tidak malu menghalalkan segala cara utk mencapai tujuan, benar -benar menjadi "alat ampuh", utk terus membelah rakyat Indonesia, dengan menggunakan oknum rakyat sebut saja para komprador ( combe penjual negeri). Rakyat Indonesia tidak boleh bersatu , kalau bersatu akan sangat kuat dan mengancam negara mana pun, karena akan menjadi negara berpenduduk Islam terkuat, dan dengan alam yg luar biasa kaya, kalau rakyatnya kelewat kuat tentu sangat sulit bagi kaum kapitalis global utk terus menjajah Indonesia ( terus mengeksploitasi SDA dan juga market/pasar Indonesia). Saat di jaman Orba, Pak Harto sepertinya memahami teori konspirasi global utk terus mengangkangi negeri ini. Makanya selama 30 tahun memimpin beliau berusaha hanya ada 3 Partai saja. Namun kekuatan 3 partai ini juga terus digerilya hingga PDI misalnya pecah menjadi dua, demikian juga dng PPP, yg agak tangguh partai Golkar karena dikendalikan langsung oleh pak Harto. Kelompok Islam juga hanya dua NU dan Muhamadiyah, meski terus dibentur-benturkan misalnya lewat kesepakatan Hari Raya atau mulai Puasa yg gak pernah sama antara NU dan Muhamadihah, namun Pak Harto sangat cerdik tidak boleh masing2 golongan itu membuat partai jadilah partai orang Islam itu ya hanya satu yaitu PPP saja. Pak Harto yg dinilai mengganggu konspirasi global utk mencekram Indonesia, akhirnya melalui orang2 Indonesia sendiri dilengserkan. Dan setelah Pak Harto lengser makin leluasa asing mengaduk -aduk Indonesia, maka partai pun lahir bak jamur di musim hujan, pernah ratusan partai bermunculan. Tak yanya itu organisasi Islam juga bermunculan. Dalam posisi rakyat makin banyak dalam kelompok-kelompok maka aksi devide et impera makin mudah dijalankan dimana rakyat terus dibelah seperti saat ini, maka kapitalis global makin berpesta pora mengeduk kekayaan alam dan bukan tdk mungkin pada saatnya nama Indonesia tinggal kenangan. Siapa yg membantu konspirasi kapitalis global ini mengacak -acak politik di Indonesia supaya tetap bisa menjajah Indonesia (sekarang dng terus menyudutkan Islam?). Mereka adalah para komprador! Maaf bajingan penjual NKRI ini menyusup di semua lini. Mereka ini sekumpulan binatang berwujud manusia yg melihat dunia tanpa batas yg disebut negara. Mereka serigala berbulu domba! Mereka bisa berwujud pejabat eksekutif, yudikatif maupun oknum legislatif, pengusaha, artis, tokoh, pemimpin agama, LSM, Wartawan dll. by M Rizal Fadillah
Memang paradoks, di satu sisi kran impor dibuka luas hingga banjir impor, di sisi lain membenci produk luar negeri. Ini artinya Pemerintah sudah konslet, terganggu kesehatan fikiran, budaya, ekonomi, dan politiknya. Panik soal kebijakan ekonomi domestik. Ke sana salah ke sini keliru. Sebelumnya soal miras yang diberlakukan lalu dicabut, meskipun hanya lampiran. Juga soal pernyataan Polri status tersangka 6 syuhada, setelah itu segera dihentikan. Plan A yang gagal. Sudah "confuse" dalam segala hal. Pemerintah kehilangan "wisdom", berbicara asal njeplak, dan bergerak menabrak nabrak. Kalimat harus benci produk luar negeri sudah tidak mempan di telinga dan hati rakyat. Hanya jadi bahan cemoohan dan olok olok. Pemerintah sudah sulit berjalan ajeg meski memang belum mau melempar handuk. Masalah terus bertumpuk dan nampak tak mampu mengatasi. Kebijakan yang diambil sepertinya tutup lubang gali lubang. Menyelesaikan masalah dengan masalah. Membangun nasionalisme dengan sekedar mengucapkan kata benci pada produk asing adalah naif bahkan berlebihan. Jika oposisi yang menyatakan hal seperti itu sudah pasti buzzer segera menuduh "hate speech", lalu dilaporkan. Katanya tidak bisa gaul global. Tapi karena sumbernya Presiden, ya sudah tafsirkan saja sedang berapi-api memotivasi nasionalisme. Seperti dibayangi hantu. Hantu Km 50 terus mengganggu. Takut luar biasa hingga TKP pun dihancurleburkan, penanganan dilambat-lambatkan, serta opini coba diputarbalikkan. Hantu turun tahta menjadi mimpi buruk. Oposisi dibungkam dan potensi lawan dilumpuhkan. Setelah HTI, FPI, KAMI, kini Partai Demokrat diobrak-abrik. Kudeta lewat KLB akhirnya jadi juga. Moeldoko sang Brutus terang-terangan membunuh SBY. Hantu krisis ekonomi terus menakut-nakuti. Hutang luar negeri bertumpuk, hutang tambahan sulit setengah mati. Investasi asing tidak kunjung tiba dan terus dinanti. Pandemi melemahkan daya beli. Korupsi pun menjadi-jadi. Akhirnya stress dan caci maki. Produk luar negeri yang tidak bersalah pun harus dibenci. Caci maki yang kehilangan arti, sebab kata tidak sesuai dengan bukti. Pemerintah terlihat bingung, kebijakannya semakin linglung. Meski berjalan terhuyung-huyung di depan rakyat tetap berusaha mencari panggung. Panggung tak bergaung. Aduh biyung...! *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 6 Maret 2021 "Those who cannot remember the past are condemned to repeat it." – George Santayana
Bicara tentang MiRas, saya jadi ingat waktu sekira saya masih SD mendiang Ayahanda رحمه الله تعالى pernah mengisahkan tentang kaum Kulit Merah di Amerika (American Indian) tentang kenapa mereka sekarang "hilang" dan cuma jadi kaum kapiran, padahal kita mendengar kisah-kisah keberanian suku Apache, Sioux, Comanche, Lakota, Cheyenne, Cherokee, Navajo, Iroquois, dlsb, dari mulai Perang Kemerdekaan Amrik melawan Inggris (1775-1783) s/d selepas Perang Saudara (1861-1865). Ke mana mereka? Singkatnya… kita tahu kaum Kulit Putih dalam rangka merampok tanah kaum Kulit Merah, mereka mengalahkan kaum Kulit Merah di dalam banyak pertempuran yang berdarah-darah, yang mana salah satunya adalah MayJen (LetKol) GA Custer dan pasukan 7th Cavalry dibantai oleh para kesatria Lakota-nya Chief Sitting Bull di Little Big Horn (1876). Suatu kekalahan yang sangat menyakitkan bagi Amrik, apalagi itu terjadi menjelang peringatan Centenial (100 tahun) kemerdekaan Amrik. Kaum Kulit Putih sadar bahwa perlawanan bangsa Kulit Merah (Indian) harus dipasivikasi, dan itu tidaklah cukup hanya dengan menggiring dan "memenjarakan" mereka di so-called "Indian Reservation". Sebab, from time to time masih saja ada yang kabur dan melakukan perlawanan seperti kisah Chief Sitting Bull di atas dan Geronimo. Lalu apa akal licik dan keji kaum Kulit Putih? Rusakkan generasi mudanya! Caranya? Apalagi kalau bukan sebarkan MiRas? Kaum Kulit Putih dengan liciknya menyebarkan MiRas ke reservasi-reservasi Indian. Bahkan mereka mensubsidi MiRas itu sampai-sampai saking murahnya MiRas, you buy a beer, you get free lunch! – ini asal idiom "there's no such thing as a free lunch – because you have to buy a pint of beer first". Intinya, MiRas jadi "dirt's cheap" sehingga orang miskin dan belangsak pun bisa membeli MiRas agar bisa mabuk demi sejenak kabur dari kenyataan hidup mereka. Tentunya orang-orang Kulit Merah yang menderita depresi hidup terkungkung di reservasi-reservasi itu akhirnya terjerumus ke dalam MiRas. MiRas pun menjadi pelarian mereka terhadap kenyataan hidup yang menyedihkan. Bayangkan, bangsa Kulit Merah itu adalah bangsa nomaden. Pejuang yang gagah berani yang kehidupannya berburu Bison… mengikuti pergerakan kumpulan Bison… kini terkungkung hidup di reservasi dan menanti jatah belas kasihan dari kaum Kulit Putih. Akhirnya mereka pun jadi pemabuk… dari anak muda sampai orang tua, semua pemabuk… Habislah generasi mereka, dan hilanglah sudah pemilik sah tanah Amerika Utara yang begitu kaya itu menjadi sekedar bangsa pinggiran, pelayan bagi bangsa rampok Kulit Putih. Cara yang sama pun diulang lagi oleh kaum Kulit Putih di Australia terhadap bangsa Aborigine. Well… l'histoire se répète – nothing new under the Sun. Di sinilah letak pentingnya belajar sejarah. Sebab sejarah itu bukanlah tentang tanggal-tanggal dan nama pelaku serta tempat peristiwa semata. Tidak. Itu tidak penting. Tetapi yang penting adalah apa yang melatarbelakangi suatu peristiwa, dan apa dampak dari peristiwa tersebut. Itulah point penting dari belajar sejarah. FYI, itulah kenapa banyak Presiden Amrik itu yang S1-nya adalah Sejarah. Adapun mempelajari sejarah itu adalah Sunnah dari para Salafush-Shōlih. Kata ‘Alī ibn al-Hasan رحمه الله تعالى: كُنَّا نُعَلَّمُ مَغَازِيَ النَّبِيِّ ﷺ وَسَرَايَاهُ كَمَا نُعَلَّمُ السُّورَةَ مِنَ الْقُرْآنِ (arti) “Kami mempelajari (kisah) peperangan Nabī ﷺ dan pemerintahan Beliau sebagaimana kami mempelajari surat-surat al-Qur-ān.” [lihat: al-Jāmi’ lil-Akhlāqir-Rowi wa Adabus-Sami’ lil-Khotīb no 1616]. Alhamdulillāh wasy-syukrilillāh Allōh ﷻ menganugerahkan penulis seorang Ayah sebagai guru sejarah yang sangat luas pengetahuannya. Semoga Allōh ﷻ merahmati dan memberikan balasan kebaikan yang banyak kepada Ayahanda رحمه الله تعالى. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|