Sebuah sistem yang baik akan menghasilkan budaya yang baik. Sebaliknya, sebuah sistem yang buruk akan menghasilkan budaya yang buruk pula. Budaya buruk akibat dari sistem penegakan hukum masalah pajak kendaraan bermotor di negara kita nampaknya sudah semakin memprihatinkan dan seperti bom waktu sosial yang bisa meledak setiap saat. Semoga pasangan presiden kali ini mampu melihat isu ini dan mampu mengatasinya. Simak saja sebuah posting dari teman media social Google Plus yang memposting kegusarannya sebagai berikut: Polisi BABADAN SEMARANG Motor saya mati pajak .. motor di tahan ... Setelah tawar menawar aku tetap tidak mau bayar ... eh motor di ambil .. malah kena pasal CURANMOR. Stnk ada... sim ada ... aneh Jalan Semarang-Yogyakarta Postingan teman ini langsung mendapat tanggapan yang bermacam-macam dari teman-temannya di Google Plus seperti berikut ini: "Cepat dihubungi kekantorx klau emang p plisiitu pux kantor" "Akhirnya si hitam jelek bisa di masukan kandang....hadeeecchh...." "Nanti sampean dapat mengajukan keberatan waktu sidang kawan..." "Aku juga pernah ngalami hal serupa tp beda pelanggaran, yaitu masalah rambu2 yg kurang jelas alias agak tersembunyi..." "Wuahahahahahahaha..." "Mesakke rek., eh #bang dulu pas aq di kampung pas musim mau lebaran., gk pakai helm di tahan hei,, kena denda lagi., gk banyak sich cm lumayan buat beli rokok., yg aneh pas di tilang bkn di jalan #highroud melainkan di perkampungan tuch jalan2 kecil., busyet.. " "Kikikikik...si hitam pake helm dunk mas ... jd kan gaa akan kena tilang..." "Waduuuhh... Polisi gk bener tuh" "Hrs cpt diurus mase,, Mungkin skrg msh komplit,,, Kelamaan dlapangan bs hbs dmakan rayap lho.... Scara skrg byk rayap doyan onderdil...." "Rayapnya bisa lari juga kaannn...hehehe" "Ga cm lari bose tp jg bs canibal makan sesama..." "Iyo ...., aku juga pernah mau dimakan...yaa kumakan balik...hehehe...lumayan enak." "Hleh... Lentho kui sing enak hhhhhhhhh..." "Beginilah keadaan negara kita skrng, dah sakit parah...ibarat sakit kanker dah stadium 3, semuanya kajol alias kagak jolas....." "Di tolak aja pasal yg di kenakan...adakan pembelaan atau skalian di somasi aja itu polisi..pencemaran nama baik di dalam menerapkan pasal" "polisi, ya..... polisi pol polan leh ngeles, titip genep rangkepe mas .... dia tu minta duwit.dg alasan apapun di kasih duwit udah beres.wes poko'e klu bahas polisi mngkel tok." "sudah minta 1,5 juta ..." "seneng tuh... weeee" "hem ...... anggap ja sedekah." "asyik naik bis sayang ...wee" "rasa sayang,iso tkn bali" "berapa thn matinya, kau g pnya ya..." "Udah pernah cek fisik mas.." "Ironis kali +mas ,,,turut prihatin...kalau salah yang dicari...emang pasti ketemu...apalagi kalau maksudnya mau ngerampok...harus ada yang berani dan mau menghentikan kegilaan ini...." "loh di stnk kan dah komplit pak... alamat sim ..ktp .. semua dah di periksa.. mereka minta uang saya nda mau saya paksa minta slip biru dan pasal tentang mati pajak 4 bulan .. eh malah di suruh masuk pos dan di kroyok 5 polisi ... mau ngomong apa saya..." "ni persis dgn yg pernah ak almi,nah solusnya aku pnya knlan plsi yg baik nah inilah yg kumintai bantuan, alhmdllah aku g smpai byar pjak dn sgla mcam cman dia mnta uang rkok dn srpan demikian al mga berhasil..." "met rehat istriku" "Opo sich.,,?" "met siang" "di manà tuh pak .. mungkin bisa bantu aku juga" "malah ngetawain ih" "pasti seneng tuh ... weeee" "kangkung masalahnya polisi pasti bener mas... hadew" "sudah ilang mas .. karburatornya dah ngga ada pagi ini .. cepet ya..." "ditilang kapan tuh... Kmren kenapa balik lagi???" "iya mba .. ko gini ya cuma gara gara minta slip biru dan tanya pasal mati pajak .. jadi di tuduh pencuri" "caranya bagaimana mas... tadi aku dah coba .. tapi malah semakin kaya penjahat aku... pada neken aku semua" "Nach bnr to mas ramalanku... Rayap sakniki doyan karburator... "Rayape doyan tmpt bensin to" "iya apa gaji polisi .. di bawah UMR ya... ko pada cari omprengan sih..." "siapa yang berani mba.. nih aku mau protes malah di tekan sono sini stnk aku malah di bawa sekalian .. ilang lagi tuh polisi .. cape deh... kenapa lembaga kepolisian sama kaya kumpulan mafia di casino ya..." "Cah' kangkung kata temanku musti rajin liatin ntar motornya dipretelin eh keduluan.. karburator dan sayapnya dah hilang" "diesolo bener mas .. ko gitu ya .." "Possi aku di lmjang" "Gaaa lah Mas ...masa seneng di atas kesusahan orang...hehehe...... Musibah Mas...smoga ada hikmahnya yaa...aamiin..." "ngga ada chanel di semarang pak" "iya aku di rampok penjahat kebal hukum" "Datanglah ke LBH..critakan yg sebenarnya....ykin akan dibantu sama LBH... Dalam hukum...tuntutan akan gugur atau batal demi hukum dalam hal terjdi kesalahan penerapan passal yg dituntutkan... Itu slh dan batal demi hukum...motor mati pajak atau ga pkai helm atau tdk ada sim tpi di tuntut dgn passal pencurian atau curanmor...gimana polisi mau buktiin itu tuntutan...kcuali dgn rekayasa BAP dan menekan tersangka" "sulit ngga mas prosesnya" "Temenku dalam minggu ini juga pernah ngalami hal yg sama persis seperti mas. Tapi waktu kendaraan akan dibawa sama polisi/4 orang yg nilang temenku berteriak; maling_maling_maling....dst, akhirnya semua orang pada datang & berkerumun. Surat tilang tetep diterima, tapi kendaraan ga jadi dibawa. Eemmm...kacauuu" "Ya itu lah bose,,, Justru pelanggaran hukum itu yg byk melanggar mlh penegak hukum... " "nah aku cuma sendiri .. di kroyok di dalam pos polisi piye jal...." "nyesal kenapa ngga jadi polisi ya dulu... malah pengen jadi preman... padahal jadi polisi lebih enak... komplotan dah terorganisir rapih.. penjahat yg punya sertifikat dan di lindungi hukum..." "Ora faham aku..." "Bos besarku kie polisi lho mase... Tp yen ak djalan dstop polisi tetep ae rogoh saku.... Mulane wingi ak coment rayape kanibal suka makan sejenis... Ga perlu dtutupi mase yen polisi kie jgnkan temen sodara ae dmakan palagi org laen..." "yo wes ra popo... seeng penting melu bingung ae yoo" "Adduuhhh... cobaan mu Mas... cobaaan tuk orang baik sm ganteng, aneh kadang...hehehe... sabar ae yo Mas..." "bahaya tuh ... musti kita jadikan bahaya laten... sekelas pki" "Mas itu ada lagu pas buat jenengan brusan ak posting"
0 Comments
Ketika sedang asyik berinternet ria anda mungkin pernah mengalami halaman yang anda cari tidak muncul meskipun anda telah me"refresh"nya beberapa kali. Hal seperti ini bisa terjadi di komputer, laptop maupun di handphone anda. Kalau ini terjadi mungkin saja hal itu disebabkan terjadinya konflik antara "cache" yang tersimpan di dalam laptop atau komputer anda dengan kandungan 'live' nya dari website yang anda sedang buka. "Cache" dari internet browser anda menyimpan informasi tertentu (snapshot) dari halaman web yang anda kunjungi di komputer atau laptop maupun handphone anda. Gunanya agar halaman web bisa ditampilkan dengan lebih cepat pada saat kunjungan anda berikutnya dan ketika bernavigasi melalui website yang menggunakan gambar-gambar yang sama pada halaman-halaman ganda sehingga anda tidak perlu mengunduh gambar yang sama beberapa kali. Apabila terjadi kasus seperti yang diuraikan di atas, anda bisa memperbaikinya dengan cara menghapus "cache" anda. Bagaimana caranya? Anda bisa menemukan instruksinya di link berikut ini: "Membersihkan 'cache' di laptop atau komputer dan handphone anda". Tentunya tiap versi browser berbeda caranya. Dalam artikel itu anda bisa temukan berbagai versi internet browser. Kalau anda tidak yakin versi dari browser anda silahkan gunakan link berikut: whatbrowser.org Rasa kehilangan yang panjang dan tak pernah bisa terobati, kembali menyeruak dalam lubuk hatiku. Itu aku rasakan saat melihat posting adinda Haswanda di wall FB nya, yaitu sebuah lukisan foto ibunda dan ayahanda. Memang adikku ini sejak kecil dulu sudah suka sekali menggambar. Bakat melukisnya sudah nampak waktu itu. Dia sangat suka melukis cerita bergambar alias komik. Tidak heran kalau sekarang dia bisa menghasilkan lukisan foto kedua orangtua kami yang begitu mirip dengan foto aslinya. Foto ibu itu mungkin diambil oleh ayah ketika ibu sedang asyik menulis menyiapkan bahan untuk mengajar. Ibu seorang guru bahasa inggris di SMP Muhammadiyah III Plaju. Beliau juga pernah mengajar di SMP Yayasan Bhakti Prabumulih, Sumatera Selatan sebelum pensiun. Sebagai guru, ibu pensiun dari mengajar usia 60 tahun. Adapun ayah seorang karyawan Pertamina dengan jabatan terakhir sebelum pensiun sebagai kepala seksi di bagian teknik perancang proyek Prabumulih tahun 1986. Sebelumnya beliau berkarya di Pertamina Plaju sebagai juru gambar. Sejak kecil saya sering mendengar cerita ibu mengenai murid-muridnya di dalam kelas. Suatu hari kami pernah dikumpulkannya dan beliau memeluk kami erat-erat satu persatu. Kami heran waktu itu ada apa? Ibu menjelaskan bahwa perahu yang ditumpanginya terbalik. Untung ibu selamat. Maklum waktu itu Jembatan Ampera belum dibangun. Ibu pergi dan pulang mengajar naik ferri dari Plaju ke Palembang. Hari itu ibu tidak kebagian naik ferri sehingga pulang dengan menumpang perahu yang kemudian terbalik di tengah Sungai Musi karena ombak dari sebuah kapal besar yang lewat. Ibu aktif sekali semasa mudanya. Selain mengajar, ibu juga menenun baju. Saya sempat kebagian baju hasil tenunannya, sebuah rompi warna coklat. Saya sangat bangga memakainya ke sekolah (masih TK waktu itu). Ibu juga menjahit sendiri pakaian kami. Saya masih ingat sering tidur-tiduran di lantai sambil menunggu ibu menjahit. Ibu selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan sabar. Saya pernah bertanya Tuhan itu di mana dan ibu menunjuk ke arah sejadah tempat bersujud. Sebuah jawaban yang praktis untuk memuaskan keingintahuan seorang anak, karena pada akhirnya saya juga mengerti tentang sifat-sifat Tuhan setelah beranjak SD. Hobi ibu berkebun. Bukan hanya kebun bunga tetapi juga berbagai keperluan dapur tumbuh subur di halaman rumah kami di kompleks Pertamina Plaju. Saya yang waktu itu masih SD sangat senang memetik buah tomat dan membuatnya menjadi minuman segar setelah dipotong-potong dan diberi gula. Kacang panjang tinggal memetik dan kami makan mentah-mentah, rasanya manis. Begitu juga timun, ada juga cabe, cung kediro (tomat kecil) dan masih banyak lagi. Kami juga sempat punya puluhan ternak ayam kampung dan ayam negeri, bahkan bebek jawa dan bebek serati. Burung merpati kami puluhan ekor. Pernah juga kelinci sampai berjumlah 30 ekor. Asyik betul merawat bayi kelinci sejak belum tumbuh bulu. Kami harus rajin menjaganya dan membantu menyusukan ke induknya. Kalau lengah pernah beberapa ekor bayi kelinci dimangsa kucing. Luar biasa semuanya itu kalau saya pikir-pikir sekarang. Ibu tak kenal lelah membantu adik-adiknya sejak masuk sekolah sampai selesai dan menikah. Hampir semua dari adik-adiknya yang berjumlah 8 orang, beliau yang membantu biaya pendidikan mereka sampai mereka bisa mandiri. Sebagai seorang guru, ibu sangat menyadari pentingnya pendidikan dalam meningkatkan kesejahteraan. Beliau berjuang dengan segenap upaya yang bisa dilakukannya agar adik-adiknya bisa sekolah. Beberapa ada yang mengikuti jejaknya menjadi guru. Pada masa-masa sulit ketika pengaruh PKI masih kuat sampai saat terjadinya percobaan kudeta G30S tahun 1965, kami sempat harus makan bulgur. Saya baru tahu setelah dewasa bahwa bulgur itu adalah makanan ternak kuda. Itulah makanan pengganti nasi waktu itu. Ibu memasaknya sedemikian rupa sehingga kami tetap merasakan nikmat saja makan bulgur waktu itu. Ibu membuat es bungkus untuk dijual ke sekolah-sekolah. Saya bahkan pernah ikut berjualan es bungkus. Tetapi tidak lama karena ibu akhirnya meminta saya hanya mengantarkan es bungkus saja ke warung-warung dan mengambil uang hasil penjualannya. Sayapun ikut membuat es bungkus mulai dari membuat adonannya, memasukkannya dalam kantong plastik kecil-kecil dan diikat pakai karet gelang. Ibu juga membuat kacang goreng untuk dititip ke warung. Saya juga ikut membungkusnya dalam kantong plastik yang mulutnya ditutup dengan cara membakar menggunakan lilin. Kasih ibu memang tak pernah putus. Ketika ibu tinggal bersama kami di Jakarta kadang saya merasa canggung kalau ibu mengungkapkan rasa sayangnya persis seperti waktu saya masih kecil dulu. Ibu masih sering menyesali mengapa dulu tidak mematuhi saran dokter untuk meminum obat yang mengandung kalsium. Beliau merasa saya dulu ketika bayi sering jatuh gara-gara kekurangan kalsium. Ayah seorang yang sangat jarang bicara kecuali kalau dipancing bicara atau kalau ada hal penting sehingga kami kalau berbicara dengan beliau sangat sungkan. Beliau suka membaca dan dikenal teman-temannya sebagai seorang yang berpengetahuan luas. Ayah tempat teman-temannya bertanya segala sesuatu terutama mengenai ilmu pengetahuan. Ayah selalu mendorong saya untuk mengambil inisiatip melakukan sesuatu. Persis seperti seorang atasan saya dulu yang tidak suka menunggu tetapi terus mendorong kami untuk "menjemput bola". Bahasa kerennya adalah berperilaku "proaktif" dan menjauhi perilaku yang "reaktif". Ibu dan ayah begitu bangga ketika saya berhasil menyelesaikan S1 di Teknik Kimia ITB tahun 1983. Saya juga sangat gembira bisa membuat mereka bangga waktu itu. Saya seolah melanjutkan cita-cita ayah yang pernah terhambat untuk menjadi seorang insinyur. Menurut cerita salah seorang teman ayah, memang dulu ketika Pertamina ada program mengirimkan karyawannya yang masih muda-muda untuk mengambil gelar insinyur di ITB, ayah saya termasuk yang dicalonkan. Namun rencana itu batal gara-gara keterlibatan ayah di Gasbiindo, sebuah organisasi karyawan yang dibentuk oleh karyawan muslim untuk menyeimbangkan kekuatan organisasi karyawan sempalan PKI, Perbum (Persatuan Buruh Minyak). Sesudah wisuda, ayah mengajak saya berwisata ke Bengkulu. Ibu tidak bisa ikut karena tugas mengajar. Kami berdua berkunjung menemui saudara ayah di Bengkulu. Sayangnya saya sudah tidak ingat lagi di mana dan siapa yang kami temui waktu itu. Dari sana kami ke Bukittinggi dengan bis antar kota. Terus terang saya tidak mengerti mengapa ke Bukittinggi. Saya juga tidak bertanya waktu itu. Ayah begitu pendiamnya sehingga mungkin sebenarnya banyak hal yang ingin disampaikannya tetapi tidak terucapkan. Hal yang saya tahu, ayah memang punya kenangan masa kecil yang mungkin dia ingin agar saya merasakannya juga melalui perjalanan napak tilas bersama saya ketika itu. Sebuah perjalanan yang sangat berkesan. Begitulah semua ingatan itu terlintas kembali membuat saya terharu sambil menuangkannya dalam tulisan ini. Betapa besar kasih sayang ibu dan ayah kepada kami anak-anaknya. Namun betapa sedikit kami mampu memberikan kasih sayang kami kepada mereka berdua semasa hidupnya. Pantaslah kalau Allah mengingatkan kita semua melalui firman Nya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia", Al-Isra - 17:23. Beruntunglah teman-teman yang ibu bapaknya masih bersama mereka karena masih mendapat kesempatan menjalankan perintah Allah ini. Sesulit apapun dalam menyantuni mereka berdua, percayalah itu semua tidak akan berlangsung lama dan sangat tidak sebanding dengan apa yang telah ibu-bapak kita korbankan untuk kita dengan tanpa mengharapkan balasan apapun. Mereka cukup merasa senang dan bangga ketika kita bahagia dan sukses dalam hidup kita. Sebaliknya, mereka selalu siap berkorban, menghibur dan menenangkan hati kita manakala kita mendapat kesulitan dan tantangan dalam hidup kita. Yaa Allah..., ampunilah segala dosa dan kesalahan ibu dan ayah kami. Ijinkanlah kelak kami bertemu mereka kembali di surga Mu nan abadi. Yaa Allah, kabulkanlah doa kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengabulkan Doa. Aamiin, yaa robbal 'aalamiin. Helfia Nil Chalis. Artikel berikut selain menarik, juga penting buat kita yang pencari kebenaran. Apalagi mengingat putera Sumitro Djojohadikusumo (Prabowo) sekarang ini menjadi Capres yang diperhitungkan bersaing dengan Joko Widodo. Selamat membaca dan menganalisa secara kritis dan pikiran terbuka. Sumber berita: Soedoetpandang.wordpress.com Bulan Mei tahun seribu sembilan ratus delapan puluh tiga, Prabowo Subianto, anak ketiga Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo, menikah dengan Siti Hediyati, putri Presiden Republik Indonesia, Soeharto. Bertindak sebagai saksi Jenderal M. Jusuf. Peristiwa ini berlangsung setelah keduanya hampir dua tahun berpacaran. Banyak cerita beredar mengenai awal perkenalan dua muda-mudi ini. Ada sumber yang mengatakan bahwa perjumpaan diatur oleh Wismoyo (Arismunandar—ed.), yang waktu itu memang menjadi komandannya Prabowo. Tapi, sumber yang berbeda menyebut nama lain, bukan Wismoyo. Orang memang bisa membuat cerita macam-macam, demikian pula dapat menilai rupa-rupa apakah pernikahan dengan anak presiden merupakan berkah atau justru membawa petaka. Sumitro mungkin tidak seekstrim itu, kecuali menyebutnya sebagai peristiwa sejarah yang berkebetulan (historical accident). Yang jelas, kelak Letjen Prabowo, harus mengakhiri kariernya di kemiliteran secara tragis dan niscaya menyimpan trauma akibat “dikhianati”—atau dalam bahasa Prabowo: ditikam dari belakang—oleh keluarga istana sendiri. Pertunangan dengan Siti Hediyati (Titiek Soeharto) bukanlah yang pertama buat Prabowo. Ia sebelumnya sempat membina hubungan cukup serius dengan seorang gadis Yogya, namun putus di jalan lantaran Prabowo sebagai tentara terlalu sibuk tugas ke lapangan. Sebelum dan sesudah itu, Prabowo memiliki beberapa teman wanita yang lain, tapi Sumitro cuma memperhatikannya secara sambil lalu. Sampai suatu waktu Prabowo meminta izin kepada Sumitro bahwa ia hendak membawa seorang teman wanita. Rupanya teman wanita yang satu ini langsung menarik perhatian sang ayah. Dalam hati Sumitro, bertanya-tanya, “Siapa wanita ini? She looks familiar.” Prabowo cuma menjelaskan bahwa pacarnya itu termasuk salah satu murid Sumitro. [Suatu hari kelak, Sumitro mengetahui pula bahwa Titiek pernah harus mengulang mata kuliah yang diajarkan Sumitro, lantaran tidak lulus! Sumitro memang tak mengenal satu per satu mahasiswanya sebab kuliah-kuliah yang dibawakan Sumitro senantiasa dipenuhi mahasiswa, sehingga ia tak mengetahui bahwa salah satu pesertanya ialah anak presiden. Diketahui pula bahwa Titiek tak pernah berani duduk di depan, sebaliknya lebih senang di bangku belakang]. Sumitro baru belakangan mengetahui bahwa gadis tadi anak Cendana. Ia juga belum tahu persis apakah Prabowo serius entah tidak menjalin hubungan tersebut. Mengingat kali ini pacar Prabowo adalah anak Cendana, maka pikir Sumitro, “If Prabowo is not serius, he’ll be in trouble.” Tak terbayangkan oleh Sumitro kalau Prabowo sampai mempermainkan anak Presiden. Dan, hal ini disampaikannya kepada putranya tersebut, “Kalau kali ini kamu tidak serius, payah deh kamu.” Diperoleh lagi kabar bahwa Prabowo sudah membawa seorang teman wanitanya berkunjung ke kediaman Ibunda Sumitro di kawasan Matraman, Jakarta Timur. Ini berarti Prabowo serius, sebab yang paling disegani oleh anak-anak Sumitro adalah neneknya. Ibunda Sumitro mengemukakan bahwa ia mempunyai kesan yang baik terhadap teman wanita Prabowo tersebut. Pendek kata, sikapnya tampak baik, lemah-lembut dan sopan. Nenek Prabowo belum mengetahui siapa Titiek sebenarnya, hanya mengira ia anak Yogya yang kuliah di Jakarta dan mondok di kawasan sekitar Menteng. Prabowo agaknya masih menyembunyikan identitas Titiek. Dalam kunjungan kedua kali ke Matraman, anak kemenakan Sumitro justru mengenalinya dan ia memberitahu kepada Ibunda Sumitro bahwa teman Prabowo itu putri Presiden. Kontan saja nenek Prabowo terperanjat! Semenjak itu sikapnya justru agak berubah. Bukannya tak setuju, melainkan ia sangat anti feodal. Dia tahu Ibu Tien berasal dari Mangkunegara, alhasil sangat feodal. Ini tentu sangat berbeda dengan latar belakang budaya Ibunda Sumitro yang berasal dari Jawa Timur. (Ibunda Sumitro pernah meminta suaminya, Margono Djojohadikusumo, agar jangan menggunakan gelar kebangsawanan KRT, seraya menolak tinggal di Solo). Namun, baik Sumitro maupun Ibu Sumitro, sesungguhnya cukup tertarik dengan kepribadian Titiek yang dinilai sangat rendah hati dan sopan. Jadinya, muncullah kebimbangan! Pada suatu waktu di sela upacara yang berlangsung di Istana Merdeka, Ibu Tien mendekati Sumitro, setengah berbisik ia bertanya, “Eh, Pak Mitro, bagaimana?” “Baik-baik saja, Bu,” jawab Sumitro, tak mengira bahwa bukan itu sesungguhnya yang dimaksud Ibu Tien. “Bagaimana anak-anak kita?” ulang Bu Tien lebih jelas. Baru Sumitro mengerti arah pertanyaan Ibu Tien, dan Sumitro dengan berlagak pilon menjawab, “Ya, bagaimana Bu, kita serahkan saja pada anak-anak kita.” “Ya, tapi kita diam-diam saja, jangan diumumkan dahulu,” tambah Ibu Tien lagi. Dalam adat Jawa, sebetulnya Ibu Tien tidak patut bertanya demikian, mengingat hubungan Prabowo-Titiek belum pasti benar. Tapi, Sumitro senang juga, berarti Ibu Tien dalam hal ini sudah tidak terlalu kaku dalam memegang adat Jawa. Tak seberapa lama setelahnya datang lagi Tjoa Hok Sui—orang kepercayaan Probosutedjo dalam mengurusi impor cengkeh—dan berkata kepada Sumitro mengenai hal yang sama, bahkan mendorong Sumitro agar meresmikan segera hubungan Prabowo-Titiek. Sumitro masih bingung harus bagaimana, lantas bertanya kepada Prabowo mengenai keseriusannya. Prabowo sendiri belum mengerti adat Jawa, yang dinilainya irasional, dan menganggap aneh banyak orang yang hendak ikut campur dalam hubungannya dia dengan Titiek. Ia menjawab, “Ya, nanti saya lamar.” Prabowo terkejut saat diberitahu bahwa ia tidak boleh melamar sendiri, melainkan harus pihak keluarga yang datang. Agak sulitnya terjalin hubungan yang akrab, menurut analisis Sumitro, bersumber dari perbedaan kultur di antara kedua keluarga. Soeharto dari Yogya dan isterinya berasal dari lingkungan keraton Mangkunegara. “Kombinasi” ini tentu saja membentuk sebuah keluarga yang sangat kental warna Jawanya: amat feodal. Sebaliknya, keluarga Sumitro sangat berbeda dalam tradisi yang terbuka, egaliter, sangat modern, basil pendidikan barat, dan dalam banyak hal justru “tak paham” dengan tradisi Jawa. Isteri Sumitro berasal dari Minahasa yang lama hidup di Eropa, sedangkan Sumitro sendiri dibesarkan keluarganya di daerah Banyumas yang memiliki tradisi “memberontak”. Melalui emisario (utusan khusus)—yang sebenarnya berfungsi semata-mata untuk mencegah kehilangan muka—ada pemberitahuan bahwa keluarga Sumitro Djojohadikusumo sudah dapat datang melamar ke keluarga Soeharto. Sebelumnya Sumitro telah memutuskan bahwa ia akan datang melamar tanpa menggunakan bahasa Jawa priyayi (kromo inggil), melainkan dengan bahasa Indonesia. Pikirnya kala itu, “Isteri saya orang Minahasa, bukan Jawa, jadi nggak mengerti bahasa Jawa. Saya ingin siapa pun, termasuk besan saya, harus menghormati isteri saya. Kalau nggak mau, ya, nggak apa-apa. Kalau mereka menganggap ini kurang sopan, ya, that’s too bad.” Dalam jawaban atas lamaran yang disampaikan Sumitro, maka Soeharto menjawab, “Pak Mitro, tentu kita betul-betul merasa bahagia, tapi saya harus bicara juga sama kedua anak ini terlebih dahulu untuk kasih nasehat. Bagaimanapun juga, pasti masyarakat luas akan menyoroti ini, mengingat saya sebagai kepala negara dan Pak Mitro sebagai cendekiawan terkemuka.” Sumitro memahami “kecemasan” Soeharto mengingat dua anak ini: yang satu seorang perwira tapi tak mengerti adat Jawa, dan yang wanita masih suka disco. Singkat cerita keluarga Soeharto menerima lamaran keluarga Sumitro dengan baik dan dengan penuh sikap hormat. Terlebih-lebih Ibu Tien terlihat amat bahagia. Mungkin sudah lupa olehnya bagaimana “luka-luka” tempo hari ditolak Sumitro ihwal impor cengkeh. Setelah menjadi besan, hubungan keluarga Sumitro-Soeharto dilukiskan berjalan secara normal, dalam artian tak dapat dikatakan jauh, tapi juga tak bisa dibilang mesra. Beberapa kali bahkan diwarnai perbedaan pendapat. Agak sulitnya terjalin hubungan yang akrab, menurut analisis Sumitro, bersumber dari perbedaan kultur di antara kedua keluarga. Soeharto dari Yogya dan isterinya berasal dari lingkungan keraton Mangkunegara. “Kombinasi” ini tentu saja membentuk sebuah keluarga yang sangat kental warna Jawanya: amat feodal. Sebaliknya, keluarga Sumitro sangat berbeda dalam tradisi yang terbuka, egaliter, sangat modern, basil pendidikan barat, dan dalam banyak hal justru “tak paham” dengan tradisi Jawa. Isteri Sumitro berasal dari Minahasa yang lama hidup di Eropa, sedangkan Sumitro sendiri dibesarkan keluarganya di daerah Banyumas yang memiliki tradisi “memberontak”. Sumitro menjelaskan bahwa silsilah keluarganya sebetulnya juga berasal dari Yogya, namun dari kelompok pemberontaknya, sehingga harus terusir ke Banyumas. Leluhurnya ialah Pangeran Diponegoro dan Pangeran Moerdoningrat. Sumitro mengemukakan bahwa ia tidak mungkin dapat menempatkan diri dalam suasana keluarga yang sangat Jawa seperti di keluarga Soeharto. “I can’t do that, daripada saya harus munafik.” Sumitro menyadari bahwa pribadinya sangat berbeda, dengan kebiasaan untuk senantiasa bersikap terbuka, dalam mengutarakan sesuatu tak ada yang perlu ditutup-tutupi. Semuanya serba terus-terang. Namun, keluarga Soeharto tetap menghormati adanya perbedaan kultur tersebut. Salah satu kritik Sumitro yang membuat merah panas telinga Presiden ialah sinyalemennya mengenai kebocoran 30 persen dana pembangunan. Dari kasus ini, kian tebal kesan yang tertangkap oleh Sumitro bahwa Soeharto semakin memerintah bak seorang raja. Dalam saat-saat berlebaran atau di hari ulang tahun Soeharto dan Bu Tien, keluarga Sumitro tetap diundang ke Cendana. Sebagai akibat akumulasi dari berbagai persoalan, hubungan keluarga Sumitro-Soeharto mulai agak renggang semenjak sekitar tahun 1995. Sumitro sebagaimana diketahui tetap dengan sifatnya yang terbuka dan merdeka. Ia, umpamanya, masih merasa bebas berkunjung dan mengundang H.R. Dharsono, semata-mata didorong oleh perasaan tak bisa melupakan segala kebaikan Dharsono selama Sumitro berada di pembuangan, di London. Perasaan ini nyatanya tetap hidup, dan jauh lebih penting ketimbang “kewajiban” menyenangkan hati Soeharto, yang notabene merupakan musuh politik Dharsono. Kecuali itu, Sumitro juga tak pernah berhenti melancarkan kritik-kritiknya yang tajam terhadap jalannya pembangunan. Sumitro tak mengenal kamus off the record. Bila mengatakan sesuatu memang itulah maksudnya. Ia mengupas berbagai persoalan secara gamblang dan ungkapannya ditujukan pada persoalannya dan bukan kepada orang per orang atau pejabat-pejabatnya. Salah satu kritik Sumitro yang membuat merah panas telinga Presiden ialah sinyalemennya mengenai kebocoran 30 persen dana pembangunan. Dari kasus ini, kian tebal kesan yang tertangkap oleh Sumitro bahwa Soeharto semakin memerintah bak seorang raja. Bila semula Soeharto masih mau memperhatikan kritik-kritik Sumitro, namun dalam sepuluh tahun terakhir sangat terasa bahwa Presiden enggan menggubrisnya lagi, ia terlihat lebih senang memperhatikan ucapan dan kemauan orang-orang semacam Anthony Salim atau Bob Hasan. Dalam tahun-tahun terakhir, advis dari Widjojo cs pun kabarnya sudah tak didengarkan lagi. Sumitro sesungguhnya sangat menghormati Soeharto sebagai seseorang yang memiliki begitu banyak kecerdasan alamiah. Meskipun hanya mengenyam pendidikan formal terbatas, Soeharto mampu menguasai berbagai persoalan pelik, termasuk masalah ekonomi. “Sewaktu pembahasan dalam penyusunan rencana pembangunan lima tahun pertama bersama para menteri, Presiden lebih banyak mendengar dan mencatat. Namun, pada saat penyusunan rencana pembangunan lima tahun kedua, ia sudah menguasai masalah-masalah ekonomi yang serba kompleks, dan justru para menterinya yang banyak mencatat,” ungkap Sumitro. Namun bekal kecerdasan alamiah yang luar biasa ditambah dengan kemampuan naluri yang tajam seakan tak ada artinya ketika di kemudian hari, di saat-saat terakhirnya, ia semakin bersikap keras kepala dan menutup telinganya dari saran orang lain, kecuali memperhatikan kepentingan anak-cucu dan suara segelintir cukong. Banyak sekali persoalan yang telah disampaikan Sumitro kepada Presiden, semata-mata untuk mengingatkan Presiden bahwa tengah terjadi sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni tepatnya sedang berlangsung suatu pengkhianatan terhadap cita-cita kerakyatan! Sumitro, sekitar dua tahun menjelang kejatuhan Soeharto, sudah mengingatkan bahwa diperlukan kearifan dalam kepemimpinan Presiden Soeharto pada tahap sejarah yang begitu penting bagi Indonesia. “Ada berbagai masalah dalam pemerintahan yang tidak pernah saya dengar tatkala saya masih menjadi menteri. Banyak rakyat yang sudah kesal dengan berbagai rupa ketidakadilan. Rakyat kecil yang selama ini selalu mendapat tekanan dan intimidasi dari penguasa, saat ini sudah mulai menggunakan saluran-saluran di luar hukum untuk menuntut penguasa tersebut. Hal ini membuktikan adanya peningkatan keresahan di hampir seluruh wilayah Indonesia. “Saya percaya, Presiden adalah seorang pemimpin yang sangat cerdas dan rasional. Setiap saat ia memutuskan untuk bertindak, kita akan menyaksikan kesungguhan politik. Namun pertanyaannya ialah apakah orang-orang di sekelilingnya memiliki keberanian untuk secara sungguh-sungguh menyampaikan kepada Presiden mengenai keresahan-keresahan ataupun gangguan-gangguan yang terjadi tersebut,” ujarnya.[1] Masa tiga tahun terakhir menjelang kejatuhan Soeharto dengan demikian merupakan saat yang kritis, yang ditandai dengan semakin sukarnya Soeharto menerima kritik. Bila Sumitro kelewat keras mengkritik, maka sang anak menantu akan datang kepada Sumitro sembari menyampaikan pesan Presiden. “Ada apa, Tiek, ada pesan dari Bapak?” begitu biasanya Sumitro langsung menyambut. “Ya, Bapak bilang, ‘Tiek, mertuamu sudah priyayi sepuh kok masih radikal saja!” ujar Siti Hediyati. Sumitro tenang saja menerima pesan tersebut, dan justru ia balik berkata, “Ya, saya memang sudah terlalu tua untuk mengubah diri!” Banyak sekali persoalan yang telah disampaikan Sumitro kepada Presiden, semata-mata untuk mengingatkan Presiden bahwa tengah terjadi sesuatu yang tidak beres dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yakni tepatnya sedang berlangsung suatu pengkhianatan terhadap cita-cita kerakyatan! Dari hari ke hari Soeharto semakin bertambah kurang senang mendengar tajamnya kritik-kritik yang dilontarkan sang besan, tapi ia tak pernah menunjukkan rasa marahnya terhadap Sumitro. Kata-kata Soeharto tetap halus, walaupun mungkin sedang marah. Ia adalah pribadi yang mampu mengendalikan emosinya dengan sangat baik. Sumitro tak sungkan pula mengkritik Soeharto ihwal perilaku anak-anak Presiden. “Pak, yang saya dengar dari mana-mana, putra-putri Bapak menjadi masalah politik.” Mendengar kritik tersebut niscaya panas hati Soeharto, namun ketika hendak berpisah toh Soeharto berkata juga kepada Sumitro, “Ya, Pak Mitro, saya menyadari anak-anak sudah menjadi isu politik.” Bagi orang waras, ucapan Soeharto itu mungkin pertanda bahwa yang bersangkutan sudah menyadari kekhilafannya, dan mungkin bisa berharap akan terjadi perbaikan. Namun, betapa kagetnya Sumitro menyaksikan dua pekan setelah pertemuan itu, Soeharto memberikan lagi proyek- proyek lain kepada anak-anaknya! Hubungan keluarga Sumitro dengan putra-putri Cendana kelak memang tak berjalan mulus. Bahkan Prabowo Subianto telah lama memiliki hubungan yang dingin dan boleh dibilang tegang dengan Bambang, Tutut, Mamiek, dan Tommy. “Semua anak Soeharto mendendam kepada Bowo. Cuma Sigit yang sedikit netral,” ungkap Sumitro. Sumitro dalam saat-saat merenung mencoba berusaha memahami mengapa “cinta” Soeharto kepada anak-anaknya sedemikian besarnya. Sumitro akhirnya menemukan jawabannya. Bahwa itu mungkin pengaruh psikologis dari masa kecil Soeharto yang suram, sebagaimana pernah diceriterakan sendiri oleh Soeharto dalam acara lamaran Prabowo-Titiek. Saat itu Soeharto berkisah tentang masa kecilnya yang niscaya membekaskan luka yang dalam pada dirinya. Di usia tiga bulan di dalam kandungan, ibu kandungnya memutuskan untuk meninggalkan hal-hal duniawi: untuk menempuh jalan hidup spiritual, yakni suatu keputusan yang diambil oleh seorang wanita dalam situasi batin yang sangat rumit, lantaran mungkin dikecewakan oleh lelaki. Soeharto pun lantas dibesarkan oleh familinya di Godean. “Ketika ibu angkatnya itu meninggal, Soeharto berkisah bahwa ia datang ke Godean, seraya berkata, ‘Inilah satu-satunya Ibu yang saya kenal’,” ujar Sumitro. Sewaktu berusia sepuluh tahun, Soeharto jadi rebutan antara orang tua angkatnya dengan ayah kandungnya yang berasal dari lingkungan keraton. Oleh sebab itulah, Soeharto dipindahkan ke Wonosari dan kemudian tinggal bersama keluarga Sudwikatmono. “Wajar kiranya bila Soeharto menganggap Sudwikatmono lebih dari saudara kandung, sehingga semua-semua dikasih ke Sudwikatmono,” tambah Sumitro. Sumitro berusaha menangkap maksud di balik mengapa Soeharto bercerita tentang masa kecilnya yang suram itu di depan segenap anggota keluarga pada acara lamaran Prabowo-Titiek. Bagi Sumitro ini cukup ganjil mengingat sebelumnya Soeharto pernah memarahi Sugiyanto (eksponen Opsus) lantaran yang bersangkutan mengungkapkan silsilah keluarga Soeharto di suatu majalah, di mana disebutkan bahwa Soeharto memiliki darah bangsawan. “Itu artinya, kamu nggak boleh menegur terlalu keras kalau ia banyak memberi fasilitas kepada anak-anaknya. Ia tak ingin anak-anaknya menderita seperti dia. Apa pun anak-anaknya minta, akan diluluskan,” ujar Ibunda Sumitro coba menjelaskan kepada Sumitro. Ibunda Sumitro sangat memahami perangai Sumitro, kalau tidak suka maka langsung menegur, tanpa peduli. Hubungan keluarga Sumitro dengan putra-putri Cendana kelak memang tak berjalan mulus. Bahkan Prabowo Subianto telah lama memiliki hubungan yang dingin dan boleh dibilang tegang dengan Bambang, Tutut, Mamiek, dan Tommy. “Semua anak Soeharto mendendam kepada Bowo. Cuma Sigit yang sedikit netral,” ungkap Sumitro. Hal ini sebenarnya wajar bila mengingat bahwa Prabowo mewarisi sikap ayahnya yang kerap bersikap terbuka, bila tidak senang/tidak setuju terhadap sesuatu hal maka langsung mengemukakan rasa ketidak-senangannya itu. Prabowo terutama amat prihatin menyangkut sepak terjang bisnis anak-anak Presiden. Ia pernah menentang pembelian tank dan pesawat lantaran mark-up nya mencapai empat kali lipat dari harga sebenarnya! Prabowo dengan ketus menyebut perbuatan itu sebagai penjarahan! Komentar-komentar tajam semacam ini pastilah menyakiti hati keluarga Soeharto. Tatkala Tutut sangat mendominasi penyusunan kabinet dan keanggotaan MPR/DPR 1997, Prabowo juga bereaksi keras, “Mengapa orang-orang terbaik disingkirkan?” Cendana marah mengapa Prabowo membiarkan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR, mereka curiga bahwa itu disengaja oleh Prabowo sebagai bagian dari konspirasi untuk menjatuhkan sang raja. Setiap kali berselisih paham dengan Prabowo, anak-anak Soeharto biasanya segera mengadu kepada ayahanda tercinta: Soeharto. Padahal, semula Sumitro mengenal putra-putri Soeharto sebagai anak-anak yang “manis”. Pada tahun-tahun awal di mana hubungan keluarga Sumitro-Soeharto masih lancar, Sumitro-lah yang diminta menjadi saksi perkawinan Mamiek. “She is a very nice girl,” kata Sumitro mengenai kesannya terhadap Mamiek kala itu. Namun, rupanya waktu telah mengubah segalanya. Tindak-tanduk Sumitro dan keluarga rupanya semakin tidak berkenan di hati keluarga Cendana. Puncaknya adalah peristiwa lengsernya Soeharto pada 21 Mei 1998. Cendana marah mengapa Prabowo membiarkan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR, mereka curiga bahwa itu disengaja oleh Prabowo sebagai bagian dari konspirasi untuk menjatuhkan sang raja. Tutut dan Mamiek marah-marah kepada Prabowo, “Kamu ke mana saja dan mengapa membiarkan mahasiswa menduduki gedung MPR/DPR?” Prabowo dengan sengit balik bertanya apakah ia harus menembaki para mahasiswa itu! “Dua kali setelah ia lengser saya coba menelepon, namun ia menolak menjawab. Bagi saya, ah, sudahlah peduli amat! Saya memang punya kebiasaan, kalau ada orang yang turun dari jabatan atau dilanda kesulitan, saya undang makan. Dharsono atau Ibnu Sutowo pun pernah saya undang waktu dia dibebaskan dari kedudukan,” tutur Sumitro. *) Dicuplik dari buku Aristides Katoppo, dkk., Sumitro Djojohadikusumo: Jejak Perlawanan Begawan Pejuang (Jakarta: Sinar Harapan, 2000). Judul asli bagian yang dipetik, “Besanan dan Hubungan dengan Soeharto”. [1] Wawancara Sumitro Djojohadikusumo dengan wartawan The Business Times, Singapura, edisi 15-16 Februari 1997 Pada tanggal 4 - 5 Juni 2014 yang lalu KPK menyelenggarakan workshop dengan topik "Peran Sektor Hulu Migas dalam Mencegah Korupsi". KPK mengundang antara lain SKK Migas, IPA (Indonesian Petroleum Association) dan KKKS (Kontraktor Kontrak Kerjasama) atau yang dulu dikenal dengan KPS (Kontraktor Production Sharing). BP Indonesia yang mengoperasikan Kilang LNG Tangguh di Teluk Bintuni, Papua Barat juga diundang untuk mengikuti workshop ini. Adapun tujuan workshop adalah dalam rangka KPK meminta partisipasi aktif dari industri migas dalam memberantas korupsi dan untuk berbagi dan belajar tentang proses bisnis di segmen hulu migas, termasuk resiko potensi korupsi dari skema "cost recovery". Sebagai informasi skema "cost recovery" yang diterapkan pemerintah melalui SKKMIGAS (dulu melalui Pertamina) memang sangat membantu masalah permodalan di sektor hulu yang sangat padat modal. Dengan skema ini kontraktor akan menggunakan modal mereka sendiri untuk memulai memproduksi sebuah kawasan migas yang pengelolaannya telah diserahkan pemerintah. Apabila sudah berproduksi maka seluruh aset akan menjadi milik pemerintah dan sebagai gantinya pemerintah akan mengganti semua biaya yang telah dikeluarkan oleh kontraktor melalui skema "cost recovery" yang disepakati dalam kerjasama ini. KPK juga mengundang Indonesian Corruption Watch (ICW) dan Indonesia Resources Studies (IRESS) yang menyampaikan analisa mereka tentang potensi korupsi di industri ini. Dalam kesempatan ini BP Indonesia menyampaikan proses bisnis dalam kegiatan pada tahapan pengembangan eksploitasi hulu termasuk standard-standard dan kepatuhan terhadap etika bisnis yang diterapkan oleh perusahaan. BP Indonesia juga menyampaikan pentingnya kolaborasi dari semua pihak untuk memenuhi tantangan energi yang dihadapinya. Mengomentari keterlibatan perusahaannya dalam workshop ini, Dharmawan Samsu dari BP Indonesia mengatakan: "Ini merupakan pertemuan dua hari yang menurut saya telah membuka penghalang komunikasi yang ada antara perusahaan migas dengan KPK." KPK telah menunjukkan niat baiknya dengan berusaha mengetahui industri migas secara lebih baik, khususnya dalam wilayah aturan hukum, kebijakan, sistem, dan operasi sektor hulu migas. "Saya melihat peluang untuk kerjasama yang konstruktif dengan KPK dan saya percaya kita perlu melanjutkan memperkuat momentum dari forum ini." ujar Dharmawan. Tentu saja sangat mengejutkan ketika tersiar berita di Jakarta Post tanggal 12 Juni 2014 yang mengatakan bahwa Proyek Train-3 Tangguh dihentikan oleh KPK. Hal ini langsung diklarifikasi oleh BP Indonesia ke Jakarta Post bahwa berita ini tidak benar. Proyek Train-3 Tangguh tidak dihentikan oleh KPK. BP Indonesia tunduk pada hukum dan aturan negara dan "code of conduct" perusahaan sangat jelas: "Kami dilarang melakukan tindakan suap atau korupsi dalam bentuk apapun". Permintaan LNG global diperkirakan mengalami kenaikan tajam menyusul munculnya pembeli-pembeli baru. Vice President ExxonMobil Gas And Power Marketing, Rob S Franklin, mengatakan pada 2040 kenaikan permintaan tiga kali lebih tinggi dari saat ini. Negara-negara produsen LNG, kata dia, harus menyiapkan pasokan gas hingga 650 juta ton per tahun. "Pada saat itu permintaan naik tiga kali lipat," kata Rob di sela Konferensi dan Pameran Gastech 2014 di Seoul, Korea Selatan, tanggal 25 Maret 2014 yang lalu. Produsen LNG di Asia Pasifik, dia menuturkan, akan menyediakan sedikitnya 75 persen pasokan dari total permintaan global. Kenaikan ini terjadi karena adanya pembeli-pembeli baru sementara pada sisi lain produsen baru belum mampu memberikan kepastian pasokan. Sejumlah negara di Afrika, kata Rob, akan muncul sebagai produsen LNG baru, namun mereka masih terhambat persoalan infrastruktur. Karena itu, Asia dan negara-negara Pasifik lainnya masih menjadi tulang punggung pasokan gas alam sampai beberapa dekade ke depan. Saat ini, permintaan LNG global mencapai 200 juta ton per tahun. Pada 2025, pada tingkat Asia saja, permintaan pasokan LNG pun akan naik menjadi dua kali lipat. Sumber: Republika Menjelang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, nampak semangat untuk ikut menentukan nasib negara ini dalam banyak ajang pertemuan-pertemuan resmi dan sosial termasuk di dunia maya. Selain diskusi-diskusi di media elektronik, yang tak kalah serunya justru percakapan-percakapan 'warung kopi'. Guyonan lepas banyak beredar seperti: "Bagi saya keluarga itu nomor satu tapi kalau calon presiden itu nomor dua", begitu celoteh pendukung Capres Cawapres dengan nomor urut dua Jokowi - JK. Lain lagi pendukung Prabowo - Hatta: "Semua orang maunya nomor satu, ya saya pastilah pilih yang nomor satu". Di LNG Site Tangguh, demam pemilu Presiden dan Wapres ini juga terasa. Hampir setiap duduk di meja makan, ada saja teman yang membuka pembicaraan tentang ini baik yang diskusi ringan, sambil berkelakar atau bahkan yang cukup serius dengan mengemukakan berbagai argumen masing-masing. Bagi yang masih ragu menentukan pilihannya, mereka biasanya memilih diam mendengarkan argumen dari masing-masing pendukung. Tidak cukup hanya di meja makan, ternyata ketika sedang melakukan 'management walkdown' untuk memeriksa kesiapan start-up Train-1 nuansa kampanye juga ada terasa. Bagaimana tidak, sewaktu kami membagi kelompok manajemen menjadi dua, tanpa dikomando pendukung Prabowo - Hatta memilih masuk kelompok satu dan pendukung Jokowi - JK memilih kelompok dua. Tapi semuanya berlangsung penuh humor dan sikap menerima serta menghargai pendapat masing-masing. Nampaknya meskipun demokrasi bukanlah solusi yang paling pas untuk kemajuan negara kita tetapi pemahaman kita tentang demokrasi sudah jauh lebih baik dibandingkan beberapa tahun yang lalu ketika reformasi baru digulirkan. Satu hal yang patut kita syukuri adalah kebebasan berpendapat dan berekspresi. Sekarang kita merasa bebas untuk mengemukakan jati diri masing-masing, baik sebagai muslim dengan simbol-simbolnya atau sebagai keturunan tionghoa sekalipun. Kiranya bersatu dalam keberagaman ini bisa terus dibina untuk kekuatan dan kemajuan bangsa kita, Indonesia yang kita cintai...Bineka Tunggal Ika...Bravo Indonesiaku...Selamat memilih Presiden dan Wapres. Ayo pilih yang manapun, asalkan jangan tidak memilih yang manapun alias golput. Lha, katanya mau Indonesia maju kok disuruh memilih pemimpin saja tidak mau?!! Bisnis Independent Power Plant (IPP) di Indonesia mendapat angin segar dengan adanya kesepakatan kerjasama (MOU) antara PT Pertamina (Persero) dan Marubeni Corporation dalam pengembangan bisnis IPP dan infrastruktur gas di Indonesia. Kerja sama tersebut mencakup pengembangan IPP berbahan bakar gas, jaringan transmisi gas, LNG receiving terminal dan Kilang mini LNG. MOU ditandatangani pada tanggal 19 Februari 2014 di Kantor Pusat Pertamina, Jakarta. Direktur Gas Pertamina, Hari Karyuliarto mengungkapkan, Pertamina berkomitmen untuk mendukung program pemerintah dalam diversifikasi energi serta pemenuhan kebutuhan energi nasional. Sebagai Direktorat yang ditugaskan untuk pengembangan bisnis gas, Direktorat Gas memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan nilai tambah bisnis gas serta menjamin ketahanan energi dan pemenuhan kebutuhan listrik di tanah air. Kunci utama dalam ketahanan energi ini adalah pengembangan infrastruktur gas dan pembangkit listrik tenaga gas yang terintegrasi. Sementara Ginanjar menegaskan, Direktorat Gas memiliki target pembangunan IPP sebesar 750 MW pada tahun 2017 yang sebagian besar berbasis gas. Program ini merupakan upaya Pertamina untuk meningkatkan nilai tambah pada bisnis gas serta mengurangi defisit listrik, khususnya di Pulau Jawa dan mendukung program Pemerintah dalam meningkatkan rasio elektrifikasi di Indonesia. Terkait lingkup kerja sama ini Hiroshi Nakagawa, mengatakan bentuknya mencakup pengembangan IPP, pipa transmisi gas, FSRU dan kilang LNG mini. Adapun poin objektif dari kerja sama ini, di antaranya menentukan peluang dalam pengembangan IPP di Indonesia, menaksir skema awal bisnis, desain teknis dasar dan penerimaan pasar terhadap pembangkit listrik berbasis LNG, termasuk menentukan peluang bisnis infrastruktur gas di Indonesia dan mencari daerah potensi kolaborasi antara dua perusahaan. Marubeni merupakan salah satu pemain besar dalam bisnis IPP dan infrastruktur gas di dunia. Dengan demikian sinergi kedua perusahaan diharapkan dapat mempercepat pengembangan infrastruktur gas dan IPP di tanah air. Dalam bisnis IPP di Indonesia, Marubeni memiliki rekam jejak pada lebih dari 7.500 MW dalam bidang engineering, procurement dan construction. Di samping itu, Marubeni melakukan investasi pada 3 independent power producer (IPP), yaitu PLTU Cirebon 660 MW, PLTU Paiton-2 1.220 MW, dan PLTG Rantau Dedap 220 MW. Sumber: Pertamina.com Perusahaan manufaktur pesawat milik BJ Habibie, PT Regio Aviasi Industri (RAI) telah mengantongi pesanan 125 unit pesawat R80 dan siap memproduksinya pada 2018 setelah memperoleh sertifikat layak terbang. "Pesanan 125 unit itu yakni 100 unit dari NAM Air, anak perusahaan Sriwijaya dan 25 unit dari Kalstar Aviation. Siap diproduksi pada 2018," kata Dirut PT RAI Agung Nugroho di sela "Monthly Talk Show Series 2014" yang digelar Ikatan Alumni Program Habibie (Iabie) di Jakarta, Sabtu. Saat ini, lanjut dia, masih pada tahap desain awal dan feasibility study yang pada akhir tahun 2014 ditargetkan selesai, setelah itu baru memasuki tahap pengembangan prototipenya. Pesawat sejenis ATR dengan sekitar 80 kursi ini, menurut dia, memiliki sejumlah keunggulan, yakni lebih ekonomis, baik murah dari segi harga, biaya pemeliharaan, juga irit bahan bakar karena merupakan pesawat terbang berbaling-baling (turboprop). "Selain itu pesawat ini juga lebih nyaman, karena dari sisi noise dan getaran rendah, sesuai standar internasional. R80 ini juga lebih aman karena sistem kontrolnya canggih, mudah dioperasikan, serta ramah lingkungan," katanya. Menurut dia, ditahap awal ini sudah ada 50 ahli yang mengerjakan desainnya, termasuk para ahli dari PT Dirgantara Indonesia. SDM ini akan ditingkatkan menjadi 500 hingga 1.000 orang ketika masuk dalam tahap pengembangan. R80 merupakan pengembangan dari pesawat N-250 yang dibidani BJ Habibie, tapi dihentikan proyeknya oleh International Monetary Fund (IMF) karena krisis ekonomi 1998, namun demikian telah dimodifikasi, seperti badan yang lebih besar. R80 juga didesain untuk digunakan pada rute pendek dengan jarak tempuh kurang dari 600 km dan mampu diakomodasi oleh bandara dengan landasan pendek. Sumber: Republika |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|