Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar, Anggota Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)
Ada 5 jenis reaksi di dunia terhadap berita di Afghanistan. Yang pertama adalah “traumatik”, menganggap kemenangan Taliban adalah “bencana”, karena selama ini Taliban dicap teroris. Terbayang era 1996 - 2001, ketika Taliban melarang perempuan sekolah, bahkan menembak pelanggarnya. Komite Nobel bahkan menganugerahi Malala (lahir 1997), seorang remaja putri Afghanistan, dengan Nobel Perdamaian 2014 karena berjuang demi pendidikan di sana. Taliban juga merusak situs purbakala, dan mudah memvonis “anti Islam” (dan mempidana mati) ketika seseorang bersikap keberatan terhadap kebijakan mereka. Video ribuan orang yang berkumpul di bandara Kabul menunggu diungsikan dari Afghanistan umumnya diviralkan kelompok traumatik ini. Namun stereotip ini justru dibantah jurnalis perempuan BBC, Yvonne Ridley, yang pernah ditahan di penjara Taliban. Namun setelah pulang ke Inggris, ia menjadi muallaf, dan kini menjadi pembela Islam di Barat. Yang kedua sekedar “negatif”. Bahwa Taliban kini berkuasa itu sebuah realitas. Usaha Amerika Serikat selama 20 tahun dan menguras US$ 2,26 Trilyun untuk membangun Afghanistan ternyata sia-sia. Sudahlah, antisipasi saja agar “radikalisme ala Taliban” tak menyebar ke negeri kita, kata mereka. Yang ketiga adalah “apatis”. Dulu saat Israel menghancurkan puluhan bangunan dan mengusir ratusan warga Palestina, mereka berkomentar “Biarin, itu masalah politik negara lain!”. Kalau konsisten, mereka tak sebaiknya berkomentar apapun dengan perkembangan Afghanistan saat ini. Yang keempat adalah “empati”. Biarkan Afghanistan diurus mereka sendiri, tak usah dicampuri bangsa lain, baik Rusia maupun Amerika. Tentang Taliban, mereka bersangka baik, “Taliban sudah berubah”. Perjanjian Doha 2020, hubungan dengan Tiongkok, amnesti umum, serta janji Taliban menjamin hak-hak asasi perempuan dianggap sebagai buktinya. Yang kelima adalah “euphoria”. Mereka meyakini keberhasilan Taliban merebut Kabul adalah batu pertama sebelum merebut Palestina dan menegakkan kembali Khilafah. Mereka yakin Taliban adalah barisan berpanji Tauhid dari Khurasan yang diprediksi Rasulullah. Juga yakin bahwa Khilafah harus tegak dengan jihad, bukan dengan sekedar dakwah politik. Tulisan ini tidak hendak mengadili mana dari lima reaksi tadi yang paling benar. Tulisan ini justru ingin menunjukkan bahwa Afghanistan adalah bumi Islam yang diberkati. Afghanistan berada di area bergunung-gunung. Sebagian kecil wilayahnya adalah lembah yang subur nan indah. Sebagian besarnya gersang, namun menyimpan material langka, seperti Lithium, yang kini diincar untuk bahan baterei kendaraan listrik. Tentu saja sumber daya seperti ini tak bisa diperbarui. Wilayah barat laut Afghanistan disebut Khurasan. Herat adalah salah satu ibu kotanya, sedang Kandahar, Ghazni, dan Kabul, membentuk perbatasan antara Khurasan dan Hindustan (India dan Pakistan kini). Hingga abad ke-19 istilah Khurasan biasa digunakan oleh penduduk asli. Sebelum Islam masuk, masyarakat wilayah tersebut sebagian besar beragama Buddha dan Zoroaster, tetapi ada juga penganut Hindu, Yahudi, dan lain-lain. Muslim Arab membawa Islam ke Herat dan Zaranj pada 642 M dan mulai menyebar ke timur. Beberapa penduduk asli menerimanya, sementara yang lain menolak. Kabul pertama kali ditaklukkan 870 M. Dilaporkan bahwa Muslim dan non-Muslim hidup berdampingan di Kabul sebelum Ghaznawi naik tahta pada abad ke-10. Pada abad ke-11, Mahmud dari Ghazni (971 – 1030 M) mengalahkan penguasa Hindu yang tersisa dan mengislamkan wilayah yang lebih luas. Mahmud membuat Ghazni menjadi kota penting dan melindungi para intelektual seperti Al-Biruni dan Ferdowsi. Abu Rayhan al-Biruni (973 –1050) adalah polymath selama Zaman Keemasan Islam. Ia disebut “Antropolog pertama”, "Pendiri Indologi", "Bapak geodesi modern" dan "Bapak Perbandingan Agama". Al-Biruni fasih dalam fisika, astronomi, dan juga menonjol sebagai sejarawan, sosiolog dan ahli bahasa. Dia mempelajari hampir semua ilmu pada zamannya dan mendapat penghargaan yang melimpah atas penelitiannya di berbagai bidang. Dia fasih berbahasa Persia, Arab, Sansekerta, Yunani, Ibrani, dan Syria. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Ghazni, Afghanistan modern. Pada 1017 ia melakukan perjalanan ke India dan menulis salah satu epicnya berjudul Tārīkh al-Hind. Sedang Ferdowsi (940 – 1025 M) adalah pujangga. Dia menulis Syahnameh (Kitab Para Raja) untuk Sultan Mahmud Ghaznawi. Menurut legenda, Sultan menawarkan sekeping emas untuk tiap bait yang ditulis. Ferdowsi menyelesaikan epiknya sebanyak 60.000 bait selama hampir 30 tahun. Namun sayang, Ferdowsi terkena fitnah. Ketika beberapa tahun kemudian Sultan tahu yang sebenarnya, dia mensusulkan hadiah itu. Sayang sesampainya, mereka mendapati jenazah Ferdowsi sedang diantar ke makam. Pada 1219 M, Jenghis Khan dan pasukannya menyerbu wilayah tersebut. Banyak penduduk setempat kembali ke pedesaan. Pada awal abad ke-16, Babur dari Ferghana merebut Kabul. Antara abad ke-16 dan 18, Khanat Uzbekistan di Bukhara, Safawi Iran, dan Mughal India menguasai sebagian wilayah tersebut. Di era Daulah Abbasiyah mereka adalah provinsi Khilafah, namun pasca runtuhnya Baghdad, mereka memerdekaan diri dan saling bersaing. Luas Afghanistan modern 652.864 km2 atau hampir seluas Kalimantan. Penduduknya sekitar 33 juta orang. Namun pendapatan perkapitanya hanya separuh Indonesia. Perang sipil dan campur tangan asing yang berkepanjangan membuat negeri ini nyaris tidak membangun. Padahal di masa lalu mereka memiliki ilmuwan hebat seperti Al-Biruni. Banyak talenta sains Afghanistan yang memilih menjauh dari perang, menjadi diaspora di negara-negara yang damai dan kaya. Taliban harus membuktikan, bahwa mereka sungguh-sungguh menerapkan syariat Islam, termasuk terkait pendidikan bagi setiap muslim dan muslimat, dan mentolerir perbedaan pendapat dalam fiqh dan sains, sehingga berkah Allah akan keluar dari langit dan bumi, sehingga di masa depan bumi Khurasan ini kembali menjadi teladan bagi dunia. Kalau itu tidak terbukti, maka ini membenarnya teori, bahwa perginya AS ini sekedar alih strategi dari hardpower ke softpower (intelijen, diplomasi, teknologi, bisnis). Sebagaimana tahun 1975, AS “kalah” secara militer dari komunis di Vietnam, namun 25 tahun setelahnya “menang” secara ekonomi. Ekonomi Vietnam kini full kapitalis. Republika 27 Agustus 2021
0 Comments
Syeikh Khalid Yasin dalam ceramahnya menanggapi tentang kemenangan Taliban di Afghanistan lewat tayangan di Youtube, sbb:
Saudara kita Taliban, kita tidak mengomentari mereka dalam perspektif politik, karena itu bukan hal yang akan kita bicarakan hari ini, tetapi mari kita komentari mereka atas sebuah keberhasilan dimana mereka dan hanya mereka yang mampu melawan dunia modern. Dalam dunia modern di antara Amerika, Inggris, Cina, Rusia, Jerman, Perancis, Jepang, Itali, di antara negara-negara besar di dunia, penyelundupan narkoba sudah menjadi bisnis dan industri yang bernilai lebih dari 78 trilyun dolar Amerika setahun. Bisa anda bayangkan betapa luarbiasanya industri ini. Dan bisa anda bayangkan tragedi kemanusiaan, penyakit, yang telah dibawa ke dalam dunia modern hasil dari industri narkoba ini? Namun, semua negara-negara canggih ini tidak menemukan solusi dalam masalah narkoba ini. Bahkan mereka telah memilih untuk mengambil keuntungan dan mengatur peredaran narkoba, karena mereka tidak mampu menghentikannya. Namun, coba pertimbangkan hal ini, Taliban di Afghanistan, menjadi pemerintahan resmi setelah kekalahan Rusia. Dan pada masa itu Afghanistan merupakan tempat lalu lintas utama peredaran narkoba di dunia. Koridor dunia untuk narkoba. 61% dari semua heroin di dunia diproduksi di wilayah antara Afghanistan dan Cina. Dan gangster Rusia adalah penguasa yang mengendalikan industri ini. Perang di Afghanistan sebagiannya berkaitan dengan narkoba. Bukan minyak, bukan gas, tetapi narkoba. Ketika kerajaan Rusia dikalahkan dan diusir keluar Afghanistan, Afghanistan terjebak dalam perang sipil. Kita semua tahu, kan? Perang sipil, perang saudara. Perang saudara antara para ateis, sosialis, komunis, di kalangan penduduk Afghanistan, melawan orang-orang Islam yang ingin mengikuti Quran dan Sunnah. Pihak bagian Utara yang memang terkait dengan gangster Rusia, yaitu orang-orang Islam yang mengamalkan paham sosialisme, ateisme, dan mereka sendiri adalah para kriminal, mereka ingin melanjutkan kejayaan perniagaan narkoba setelah Rusia hengkang. Mereka ingin melanjutkan industri pelacuran, judi dan sebagainya. Sedangkan orang-orang Islam yang ingin mengikuti Quran dan Sunnah mengatakan TIDAK. Kita tidak akan melanjutkan itu. Kita akan menegakkan Islam. Dan mereka mulai perang saudara. Salah satu kelompok yang berpegang teguh pada Quran dan Sunnah digelari masyarakat sebagai “PELAJAR/ SANTRI”. Dalam Bahasa Arab penuntut ilmu disebut TALIB atau TALIBAN. Dalam sisi lain, kelompok penduduk Afghanistan yang menganut paham ateis, sosialis, komunis, para kriminal Afghanistan, mereka memasuki perkampungan-perkampungan dan memperkosa para wanita. Beberapa dari wanita-wanita ini berhasil lolos dan mereka berlari mencari perlindungan kepada para “PELAJAR/ SANTRI” itu. Para PELAJAR/ SANTRI itu kemudian berusaha untuk mendapatkan fatwa dari guru-guru mereka. Apa yang harus kita lakukan terhadap muslim yang melakukan perbuatan seperti itu? Guru-guru tersebut mengatakan bahwa mereka harus dihukum. Mereka adalah pelaku kriminal, mereka harus dikejar dan dihukum bunuh atas perbuatan mereka. Lalu para PELAJAR/ SANTRI itu mengangkat senjata mereka dan berkumpul serta mengumumkan diri mereka sebagai kelompok TALIBAN. Dan mereka mulai mengembalikan martabat para wanita yg telah diperkosa. Mereka memasuki kampung demi kampung, kota demi kota, dalam waktu 2 tahun mereka menguasai seluruh Afghanistan. Hanya dalam 2 tahun mereka bisa menguasai seluruh Afgahnistan kecuali hanya 19% saja. 80% wilayah Afghanistan telah mereka kuasai dalam dua tahun. Siapa mereka? Mereka tidak memiliki kecanggihan apapun. Mereka hanya berjalan kaki. Menunggangi keledai dan kuda. Bertempur hanya dengan berjalan kaki. Bertempur demi kehormatan para wanita, demi kehormatan negeri nya, demi marwah Islam. Dan dalam dua tahun mereka berhasil menguasai seluruh wilayah Afghanistan. Tentu mereka tidak canggih dalam bidang ilmu pengetahuan. Mereka tidak mengalami pendidikan di universitas. Mereka tidak memiliki institusi. Bahkan sebagian besar Afghanistan tidak memiliki rumah sakit. Tetapi mereka berhasil membentuk Emirat Islam Afghanistan. Satu-satunya Emirat Islam di dunia yang kokoh berdiri pada waktu itu. Memang benar mereka dihina, karena ketidakcangihan mereka. Tetapi mereka memilik kehormatan dan kecintaan kepada Allah Swt di dalam hati mereka. Sebagai seorang muslim kita tidak tahu keterkaitan apapun antara Taliban dan Serangan 11 September. Kita harus jelas tentang hal ini. Tidak ada sedikitpun bukti bahwa mereka ada kaitannya dengan Serangan 11 September. Kecuali bahwa mereka tidak bersedia menyerahkan saudara mereka Osama Bin Laden. Kita tidak memberi komentar tentang apa yang sesungguhnya terjadi, karena kita tidak tahu. Tetapi kita tidak menuduh orang tanpa bukti. Dan sudah tentu kita tidak menghukum sebuah negara karena seseorang tinggal di sana yang menurut pihak lain perlu didakwa. Ijinkan saya kembali kepada isunya. Afghanistan berada di bawah kekuasaan Taliban dan mereka menghadapi tantangan. Apa yang akan mereka lakukan terhadap industri narkoba yang mereka temukan di Afghanistan. Taliban membuat keputusan. Demi kehormatan, demi moralitas, demi marwah dan kesopanan, dari sudut pandang syariah mereka tidak boleh mendukung dan membiarkan peredaran narkoba ada di wilayah Afghanistan. Jadi apa yang mereka lakukan? Mereka mulai menghukum siapapun yang menyimpan narkoba, mereka yang menjual narkoba, dan mereka mulai memenjarakan para pengguna narkoba. Kemudian mereka memberikan pilihan kepada para petani yang menanam popis di Afghanistan, tanaman utama untuk membuat narkoba. Taliban memberitahu mereka bahwa kami akan memberikan kepada kalian tanah tempat kamu menanam popis. Kamu ambil tanah itu. Tetapi kamu harus menanam tanaman lain. Tetapi jika kamu tidak menanam tanaman lain, kami akan mengubur kamu di tanah itu. Itu pilihan satu-satunya yang mereka berikan. Dalam satu setengah tahun sejak fatwa ini dikeluarkan, pengedaran, penanaman, dan pembuatan narkoba hanya tinggal 3% saja. Bagaimana kelompok PELAJAR/ SANTRI yang tidak canggih itu, tanpa pemerintahan, tanpa institusi canggih, bagaimana mereka mampu melakukan ini, bagaimana mereka menghapus sebuah industri yang mewakili 61% pemasokan narkoba seluruh dunia? Bagaimana mereka melakukannya? Mereka melakukannya dengan IMAN. Mereka melakukannya karena mereka terkesan oleh Quran. Mereka terkesan dengan akhlak Rasulullah Muhammad Sallallahu alaihi wassalam. Itu sebabnya saya katakan sebagai contoh bahwa Islam, dan hanya Islam yang memiliki kakayaan ajaran yang mampu mempengaruhi kesadaran manusia. Untuk merancang dan mengatur moralitas manusia, bahkan untuk mengatur pemerintahan. Sehingga pemerintahan itu sendiri dipaksa untuk patuh kepada prinsip-prinsip kemanusiaan dan marwah. Catatan tentang Syeikh Khalid Yasin dari Wikipedia: Syeikh Khalid Yasin (lahir tahun 1946), adalah seorang pengkhotbah Islam Amerika, seorang mantan Kristen, yang tinggal di Manchester, Inggris dan mengajar di Inggris dan bagian lain dunia. Yasin sering bepergian ke luar negeri untuk menyebarkan imannya dan menyebut dirinya sebagai "media-badui," mengatakan bahwa orang Badui bersedia untuk menetap di mana pun yang ada "air dan tempat berlindung". Yasin lahir di Harlem, New York dan dibesarkan di Brooklyn sebagai seorang Kristen bersama sembilan saudara kandung. Meskipun bukan yatim piatu, ia diadopsi karena keadaan keuangan keluarganya. Dia dibesarkan di panti asuhan sejak usia tiga tahun bersama beberapa saudara kandungnya, sampai dia berusia lima belas tahun. Dia menggambarkan setiap panti asuhan memiliki denominasi Kristen yang berbeda, jadi dia meliput spektrum yang luas dari Kekristenan. Sebelum pindah agama, Yasin adalah anggota geng. Yasin menggambarkan masa mudanya di "ghetto", di mana itu adalah "Saya dan dua saudara laki-laki saya Sam dan Julius, melawan dunia. Kami tidak memiliki apa-apa selain masuk Islam dan menerima Islam, sekarang kami memiliki segalanya". Ketika pertama kali membaca tentang Islam, ia sering menggunakan Encyclopædia Britannica sebagai sumber terpercaya tentang Islam dan konsep-konsepnya. Yasin merasakan kesedihan orang-orang Afrika-Amerika, dan dia sangat terpengaruh oleh gejolak tahun 1960-an dan tokoh-tokoh seperti Malcolm X. Yasin masuk Islam pada tahun 1965. Ia memulai pelayanannya sebagai "Amir" atau pemimpin Jammat Ita'hadul Iqwa di Eastern Parkway di Brooklyn. Yasin dituduh mendukung Islam radikal. Channel Nine di Australia menggambarkannya sebagai "seorang pengkhotbah karismatik yang menangkap hati dan pikiran kaum muda Muslim Australia dengan campuran radikal dari permohonan untuk memahami terorisme, teori konspirasi anti-Barat dan homofobia radikal. Lain halnya di Oman. Tribune menggambarkannya sebagai "cendekiawan terpelajar" yang "secara teratur mengunjungi berbagai negara untuk membongkar kesalahan informasi tentang Islam". Membahas waktu luangnya, Yasin berkata, "Saya seorang penunggang kuda yang cukup rajin, saya berenang, saya tinju, saya membaca sedikit. Mungkin setiap dua tahun sekali saya mengunjungi Mekah dan saya membersihkan diri secara spiritual dengan melakukan Umrah atau Haji, dan kemudian setiap hari saya berdoa lima kali sehari. Sebagai seorang Muslim yang memberi saya kesegaran dan kedamaian dan berkah Muhammad kita, mengatakan bahwa doa itu adalah kesejukan matanya. Jadi saya memiliki kesempatan untuk surut lima kali sehari ke dalam tempat suci itu." Dalam pandangan saya, bangsa kita ini sedang mengalami azab Allah akibat salah pilih pemimpin. Kepemimpinan berbasis kebohongan ini mengundang kemurkaan Allah.
Azab itu berupa : 1. Kezaliman penguasa pada semua level, 2. Memburuk nya kondisi kehidupan masyarakat lapisan bawah, 3. Rusaknya persatuan, 4. Konflik sesama ummat Islam, 5. Terpuruknya daya beli bersamaan dengan nilai rupiah (dobel negatif=sdh daya beli jatuh akibat pengangguran dan phk, nilai uang pun merosot), 6. Rusaknya moralitas penegak hukum. Semua ini adalah akibat kehadiran para pembohong di puncak-puncak kepemimpinan negara dan pemerintahan. Bagaimana mereka akan mampu menghentikan Azab Allah kalau masih terus menumpuk kebohongan? Doa2 para kiai dan ulama yang dikumandangkan pada acara2 kenegaraan dan pemerintahan tdk akan sampai apalagi terkabul. Mereka hanya pelengkap upacara belaka. Maka salah satu jalan perjuangan untuk kembalinya berkah dan rahmat Allah SWT kepada bangsa ini adalah kebangkitan para pejuang melawan kebohongan. Sudah beberapa tahun ini kebohongan menyebar dan beranak pinak. Kita yang sadar akan hakikat realitas politik dan sosial ekonomi yang semakin buruk ini merasakan betapa bangsa Indonesia terkepung dan terkooptasi oleh kebohongan yang sistematis, sehingga telah sampai pada kondisi yang membahayakan eksistensi kebenaran. Kalau semua ini tdk bisa dihentikan, bukan tidak mungkin kebenaran hanya akan tinggal sebagai kenangan belaka, bahkan jadi bahan olok2an. "Kebohongan adalah musuh besar peradaban." !!! Ryaas Rasyid Saat ini, bukan pemerintah yang hebat, bahkan sudah koma dan nyaris mati ! Juga bukan Panglima TNI atau KAPOLRI yang hebat, tapi TNI POLRI !
Disebut negara, karena ada unsur unsur negara (pemerintah, rakyat, wilayah dan pengakuan hukum dari negara lain). Maaf, era Jokowi tak layak disebut pemerintah dan lebih cocok dikatakan penguasa ! Mengapa ? Seharusnya pemerintah sebagai pemimpin, pelopor keeratan dan keharmonisan unsur unsur negara, namun faktanya nyaris membuat kebohongan, kegaduhan dan tidak kenyamanan rakyat. Bahkan Rezim Jokowi telah memberi contoh dan mendidik rakyat untuk hoby berhutang diluar kemampuan dirinya (dalam satu pereode, 5 tahun) untuk memenuhi ambisinya. Ini pangkal kekacauan negara kita, karena akibat dari tidak kemampuan membayar cicilàn hutang dan bunga, pada kelanjutanya berbohong, berbohong dan menekan rakyat. Lahirnya RUU/ UU BBIP / HIP yang menyelingkuhkan Pancasila 18 Agustus 1945, UU OMNIBUS LAW yang tidak pro rakyat, Rencana pindah Ibu Kota Negara yang tidak melalui pemikiran keseimbangan, pengelolaan obyek obyek strategis nasional (ekspor impor, sumberdaya alam, TKA, praktek praktek penegakan hukum yang tebang pilih, diskriminasi, kriminalisasi dan eksekusi ulama) merupakan beberapa fakta yang tidak bisa disembunyikan. Disinilah kehebatan TNI POLRI yang mampu meredam kekacauan atas reaksi rakyat yang memperjuangkan kebenaran dan keadilan. Namun tanpa disadari TNI POLRI telah hanyut pada kekuasaan, diperalat dan dimanfaatkan, yang ditakuti dan dijauhi rakyat serta membuat rakyat tidak berdaya, padahal dalam SISHANKAMRATA kemanunggalan TNI POLRI dengan rakyat sangat diperlukan. Seharusnya pemerintah malu untuk berteriak merdeka, TNI POLRI malu membusungkan dada, karena kekacauan negara dan tersendatnya kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau kita jujur, kita bisa menangkap gestur Jokowi dengan para pendukungnya pada detik detik penghitungan suara, yang sudah kalah dengan pihak Prabowo, namun dengan cara cara yang sulit dipahami dan diterima akal sehat keadaan berubah 180 °, yang berakhir tragis kekalahan Prabowo. Kebohongan Jokowi juga kita lihat saat dengar pendapat Komisi VII DPR dengan Pemerintah baru baru ini, yang esensinya pihak INALUM belum sesenpun membayar kepada PT FREE PORT. Tanpa melihat dari embel embel politik, seharusnya Jokowi beserta para pembantunya malu dan mundur karena tidak ada kepercayaan dari rakyat. Jujur, jika tidak dibacking oleh TNI POLRI, rezim ini sudah gulung tikar sejak awal awal periode kedua. Apa lagi setelah diwacanakan hal hal krusial seperti sistim pilpres dengan mempertahankan ambang batas 20 %, yang akan mempersandingkan dua capres yang berduit saja, jabatan Presiden tiga pereode, diundurnya pilkada serentak dari 2023 ke 2025, diundurnya pilpres dari 2024 menjadi 2026, yang akan sangat merugikan sistim demokrasi yang ideal. Oleh karenanya, perlu kita himbau kepada Panglima TNI dan KAPOLRI kini dan mendatang benar benar berniat, berucap dan bertindak untuk kepentingan agama, bangsa dan negara, bukan sekedar balas jasa kepada presiden yang melantiknya. Kesempatan inilah uji dunia untuk hasil akhirat, hidup mulia atau mati sahid dalam memperjuangkan dan menegakkan kejujuran, kebenaran dan keadilan. Dipundakmulah wahai Panglima TNI dan Kapolri, negara ini akan cerdas, sejahtera dan jaya. Aamiin....!!! ( Bandung, 24 Agustus 2021, Sugengwaras ) BEBERAPA hari yang lalu, beredar di beberapa grup WhatsApp, Wakil Ketua DPR-RI Agus Hermanto dikukuhkan sebagai Profesor kehormatan di Universitas Negeri Semarang. Demikian halnya Menteri Hukum dan Ham Yasonna H Laoly juga dikukuhkan Sebagai Guru Besar pada Sekolah Tinggi Ilmu Kepolisian. Disusul rencana Undip Semarang mengkaji kemungkinan memberi profesor kehormatan pada Mbak Puan Maharni putri Ibu Megawati Soekarnopoetri, sungguh informasi ini membuat saya malu. Malu berprofesi sebagai dosen. Mengapa saya malu? sebab professor itu kan jabatan akademik tertinggi, Bagi kalangan akademis yang sehari harinya berkutat pada pengajaran penelitian, pengabdian dan kegiatan lainnya yang menunjang profesi sebagai akademisi, belum juga menyandang jabatan Profesor kehormatan, maupun professor tanpa kehormatan.
Betapa tidak malu, sehari hari kegiatan saya mengajar, melakukan penelitian, pengabdian sesekali menulis essay di media massa, sesekali menulis di jurnal ilmiah, baik yang terkreditasi maupun jurnal internasioan, dan sesekali juga menjadi pembicara di forum – forum ilmiah, dan mengkritisi fenomena hukum terutama hukum ketatanegaraan di negara ini. Hal ini telah saya lakukan hampir 30 tahun, dan hingga kini belum sampai ke jenjang tertinggi jabatan akademi Guru Besar. Saya malu, sebab Wakil Ketua DPR, Menteri itu merupakan pejabat negara yang begitu syarat dengan pekerjaan yang berat, mengurusi masalah masalah negara, ekonomi sosial, politik hukum, dan lain sebagainya, boleh dikata tidak mengenal libur, tetapi mereka masih sempat mengurusi persyaratan untuk menjadi guru besar, seperti yang dikatakan oleh Menteri Ristekdikti : “Syaratnya sudah doktor, dia mengajar, publikasi riset pada jurnal bereputasi. Kalau tidak pernah menulis karya ilmiah dan publikasi tidak mjungkin menjadi guru besar. (detik.com 24 Juli 2019) Betapa hebatnya, mereka yang mendapatkan gelar guru besar itu, kinerjanya mampu melampuai dosen yang sehari harinya berkutat pada persoalan Pendidikan pengajaran penelitian, pengabdian. Padahal kementrian Ristekdikti siap membiayai penelitian yang dilakukan oleh dosen, sanggup mengajari bagaimana menulis di jurnal terakreditasi maupun jurnal internasional bereputasi, masih diberi insentif bila mampu menulis di jurnal internasioanl teridex scoopus. Betapa saya tidak malu, saat ditanya kolega kapan guru besarnya?, saya selalu beralasan ada persyaratan yang kurang. Seolah menjadi guru besar sangat sulit bagi saya, sedang mereka dengan ringannya mengatakan, mosok mau jadi gurubesar syaratnya menjadi Menteri dulu, kan tidak?” seloroh mereka. Saya malu, sebab yang saya lakukan tidak segera menulis di jurnal berupatasi dan terindex scoopus misalnya, saya malah lebih asyik mengatakan bahwa scoopus itu berhala, scoopus itu hantu, yang melahirkan makelar makelar scoopus dan lain sebagainya. Bahkan, sebagai dosen saya tidak hanya malu tapi juga minder, bagaiamana tidak? Saya belum punya penelitian yang dibiayai dikti di atas 100 juta, demikian halnya saya sebagai doktor belum pernah menguji calon doktor di Program S3, sebagai salah satu persyaratan untuk mendapatkan jabatan akademik professor. Sesungguhnya, saya harus berpikir ratusan kali bila ada hasrat mengajukan persyaratan jabatan akademik guru besar, ngeri juga menndengar cerita kolega yang berani mengajukan kepangkatan guru besar yang belum kelar kelar. Ada yang menceritakan, bahwa publikasi di jurnalnya tidak diakui sebagai persyaratan dikarenakan degradasi terindexnya sudah turun, bahkan ditanya tanya proses pengiriman artikel jurnal, direview berapa kali, hal apa saja yang perlu direvisi hingga diterbitkan. Bukan hanya itu saja, khusus bidang penelitian harus dapat ditelusuri secara online, punya link website untuk membukanya. Sebagai pembicara dalam forum ilmiah, seminar . symposium dan konfrensi atau forum forum lainnya, tidak bisa diajukan sebagai point penilaian unsur B, bila makalahnya tidak terpublikasi pada proceeding yang berISBN, plus bersertifikat sebagai pemakalah. Padahal jaman sebelum millennial dulu, bukti surat undangan dari panitia, makalah yang dipresentasikan, dan sertifikat pembicara difoto kopi lanjut legaliser sudah mendapat nilai 10. Oleh sebab itu, jangan heran bila setiap hari beredar informasi diselenggarakannya seminar internasional maupun nasional dalam format Call Papers yang berbayar cukup mahal tetapi diminat oleh para dosen, sebab di acara itu mereka bisa mendapatkan selembar sertifikat, publikasi proceeding yang berISBN, yang sangat bermanfaat bagi kepangkatan para dosen. Bagi perkembangan ilmunya saya tidak tahu, ada manfaatnya atau tidak. Yang jelas kegiatan seperti itu, pasti menguntungkan panitia, dan juga peserta walau tidak secara financial. Sungguh, saya malu, bila suatu saat nanti jumlah guru besar justru lebih banyak berada di gedung dewan, dan lebih banyak disandang oleh pimpinan partai politik, serta para Menteri, dibanding jumlah professor yang ada di perguruan tinggi. Lebih malu lagi sebagai dosen di perguruan tinggi yang dinilai tidak mempunyai leadership yang bagus untuk memajukan kampusnya, sehingga menteri Ristek dikti merencanakan mendatangkan rektor rektor dari mancanegara. Betapa saya tidak malu sebagai dosen, dahulu orang tua saya dipimpin oleh orang orang kolonial, kini saya sebagai dosen dipimpin oleh orang asing. Malu kepada bangsa ini, tidak mampu mempertahankan kemerdekaan, tidak mampu menjaga kemandirian bangsa di bidang akademik. Bagaiamana tidak, untuk menjadi guru besar karya ilmiah saya harus diakui pengelola Scopus, dan Scopus itu dikelola oleh asing, kemudian menjadi dosen dipimpin oleh orang asing juga. Pantaslah saya malu menjadi dosen di Indonesia. *Penulis Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang Oleh : Buyung Tanjung Kamba
Apapun aturan yang menyangkut pilpres yg ditawarkan rezim, seperti ambang batas president treshold 20 %, penundaan pilkada serentak dari 2022 disatukan dgn pilpres 2024, perpanjangan periode jabatan presiden dari 2 menjadi 3 periode -- hingga penundaan pilpres 2024 menjadi 2027 -- kesannya semua itu bermuara pada kepentingan kelompok oligarkis. Kaitannya ialah dalam rangka melanggengkan kendali mereka atas kekuasaan. Terkait dgn itulah posisi pilpres 2024 ini sangat penting dan strategis bagi kelompok oligarkis. Mereka akan mempertaruhkan apa saja utk bisa memenangkan pilpres 2024. Target politik mereka ialah bila mereka berhasil memenangkan pilpres 2024 -- maka pada pilpres 2029 mereka tidak lagi membutuhkan boneka dari kalangan pribumi (Islam). Ongkos politiknya terlalu mahal. Mereka akan mencapreskan sosok dari bangsa mereka sendiri. Dalam kontek inilah upaya menggadang-gadangkan Ahok menjadi relevan. Masalahnya ialah hingga saat ini kelompok oligarkis belum menemukan sosok yg sepadan dengan Jokowi. Sementara beberapa sosok yg memberi isyarat bersedia jd "boneka pengganti", seperti PM, PS, GP -- kualitas, elektabilitas dan popularitas mereka jauh di bawah Anies Baswedan. Nah, inilah yg menjadi sumber kepanikan kelompok oligarkis itu. Kepanikan itu dapat dilihat dari cara mereka menghadang Anies. Langkah pertama ialah " menghabisi" Anies. Tapi tidak berhasil. Masalahnya ialah mereka tdk menemukan celah "memainkan" Anies. Anies bersih. Tidak tersangkut korupsi. Kinerjanya kincrong. Elektabilitas dan popularitasnya meroket. Inilah yang membuat kelompok oligarkis panik dan akhirnya memainkan jurus mabuk. Jurus pertama ialah menunda pelaksanaan pilkada serentak 2022 dan menggabungkannya dengan pilpres 2024. Dengan jurus ini Anies yg akan berakhir masa tugasnya 2022 akan kehilangan panggung politik selama dua tahun. Masa dua tahun itu berpotensi menenggelamkan popularitas dan elektabilitas Anies. Dengan demikian peluang Anies utk memenangkan kursi RI-1 di 2024 sangat kecil. Mungkin juga konsentrasi Anies akan terbagi. Mempertahankan kursi DKI-1 atau ikut mencapres ? Tapi apakah dengan jurus pertama itu kelompok oligarkis sudah merasa "aman" dan yakin "petugas partai" barunya akan memenangkan pilpres 2024 ? Ternyata tidak. Popularitas dan elektabilitas Anies tetap saja menghantui mereka. Ketakutan itu melahirkan jurus kedua. Jurus kedua ialah membangun wacana menambah periode masa jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode. Wacana ini bagi saya menegaskan bahwa kelompok oligarkis belum menemukan sosok kuat pengganti Jokowi. Artinya, kelompok oligarkis masih butuh dan ingin mempertahankan Jokowi. Sekalipun resistensi atas Jokowi sangat kuat dan elektabilitasnya sangat rendah -- akan tetapi posisinya sebagai petahana membuatnya lebih berpeluang menang. Posisi petahana menguntungkan utk beberapa hal. Seperti kesempatan memanfaatkan fasilitas negara, memobilisasi ASN, memanfaatkan kekuasaan menekan panitia penyelenggara pilpres dll. Syukurnya agenda nyeleneh itu ditolak publik dan beberapa partai politik, seperti PKS, Gerindra, PDIP, Golkar, dll. Tentu saja krn agenda itu akan menutup peluang capres partai2 tsb. Apakah penolakan itu menyurutkan langkah kelompok oligarkis? Oh, no. No way. Upaya lain utk melanggengkan kendali kekuasaan atas negeri ini terus mereka upayakan. Upaya itu ialah melalui politik buying time. Ngulur waktu. Ini jurus mabuk ketiga. Yakni mewacanakan penundaan pilpres dari 2024 ke 2027. Guna menghindari resistensi para politisi yg sedang menjabat jd anggota DPR, MPR dan DPD -- kelompok oligarkis sipit mencoba "menyuap" mereka. Dimana posisi mereka tidak diganggu hingga pilpres 2027. Artinya mereka tetap menduduki jabatan itu lebih lama tanpa harus bertarung melalui mekanisme pemilihan di pemilu 2024. Akan kah para politisi kita termakan suap tersebut ? Wallahualam.... Lalu, apa relasi politik buying time tersebut dengan upaya melanggengkan kekuasaan? Sebagaimana saya utarakan diatas, Pilpres 2024 ini sangat penting dan strategis bagi kelompok oligarkis dalam melanggengkan kendali mereka atas kekuasaan dan dalam rangka mewujudkan agenda2 politik terselubung lainnya. Ini ada kaitannya dengan agenda politik mereka utk mendudukkan, memenangkan calon presiden dari kalangan bangsa mereka sendiri pada pilpres 2029. Ini adalah road map political agenda dari negeri induk. Jalan menuntaskan ambisi teritorial melalui pendekatan demografi--populatif. Jalan untuk itu sudah dimulai dengan mencurahkan investasi gila2an yang diikuti dengan mobilisasi imigrasi secara besar2an. Baik dgn kedok TKA maupun dengan cara masuk mengendap-endap atau melalui visa turistik. Jadi patut diduga, ide buying time atau ngulur waktu ini bisa jadi dalam rangka menunggu terpenuhinya jumlah "supporter" impor dari Cina untuk ikut memilih dan memenangkan capres mereka. Bila itu menjadi kenyataan, maka pilpres 2019 akan jadi pilpres terakhir bagi capres pribumi. Pilpres 2027 dan seterusnya akan menjadi milik mereka. Bila jabatan presiden jatuh ke tangan mereka, tentulah tidak sulit bagi mereka merebut jabatan2 kepala daerah dan mendominasi parlemen. Semoga politisi bangsa ini bisa belajar dari pengalaman Singapura. Selamat merenung. Ketika Muslim di negara lain ditindas, mereka bilang itu urusan dalam negeri masing-masing. Tapi saat Taliban berkuasa, mereka koar-koar: "Hati-hati, kemenangan Taliban bisa menginspirasi radikalisme Islam di Indonesia".
Alhamdulillah! Keberhasilan Taliban menguasai kembali Afghanistan, setelah 20 tahun diinvasi barbarisme asing AS dan sekutunya, disambut gembira kaum mukmin. Namun kemenangan ini sontak menjadi sorotan publik di seantero dunia. Tak sedikit yang nyinyir dengan narasi Islam Radikal. Bahkan mereka menakut-nakuti bahaya bangkitnya Islam Radikal di Indonesia. Sementara mereka tidak merasa risau dengan dominasi ekonomi dan politik Cina yang dapat menginspirasi bangkitnya komunisme alias PKI. Padahal selama ini, bila terkait penindasan yang menimpa Umat Islam di negara lain, mereka menyebutnya sebagai urusan dalam negeri masing-masing. Kita tidak perlu ikut campur. Ketika Myanmar membunuh musim Rohingya, mereka koar-koar itu urusan dalam negeri mereka. Ketika China mengintimidasi dan menyengsarakan muslim Uyghur, mereka berdalih itu urusan dalam negeri mereka. Ketika zionis Yahudi menindas muslim Palestina, mereka bilang bukan urusan kita. Tapi ketika Taliban menguasai Afghanistan, sontak mereka menjerit histeris, "Bahaya Islam radikal harus dilawan." "Taliban menindas perempuan," tuduh mereka. Padahal, apa kepentingannya Taliban menindas perempuan? Mengapa mereka harus menyakiti ibu, anak gadis, atau istri mereka? Melindungi wanita diopinikan menindas, menutup aurat disangka mengekang kebebasan. Kaum Islamofobia menggunakan perspektif JAHILIYAH dalam menilai ajaran Islam dan kemenangan kaum muslimin. Cukuplah informasi Al-Qur'an jadi pelajaran dan petunjuk bagi orang beriman. اِنْ تَمْسَسْكُمْ حَسَنَةٌ تَسُؤْهُمْۖ وَاِنْ تُصِبْكُمْ سَيِّئَةٌ يَّفْرَحُوْا بِهَا ۗ وَاِنْ تَصْبِرُوْا وَتَتَّقُوْا لَا يَضُرُّكُمْ كَيْدُهُمْ شَيْـًٔا ۗ اِنَّ اللّٰهَ بِمَا يَعْمَلُوْنَ مُحِيْطٌ Wahai kaum mukmin, bila kalian memperoleh kebaikan, maka golongan kafir merasa jengkel. Akan tetapi jika kalian ditimpa musibah, mereka bergembira. Jika kalian sabar, rela menerima musibah dan tetap taat kepada Allah, maka tipu daya mereka tidak akan membahayakan kalian sedikit pun. Sungguh Allah mengetahui secara rinci apa yang mereka lakukan. (QS Ali 'Imran (3) : 120) Mujahidin Taliban telah melewati liku-liku perjuangan melelahkan. Kini Allah Swt menganugerahkan kemenangan di bawah naungan Syariat Islam. Allah memenuhi janji-Nya, وَعَدَ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِى الْاَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۖ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِيْنَهُمُ الَّذِى ارْتَضٰى لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُمْ مِّنْۢ بَعْدِ خَوْفِهِمْ اَمْنًاۗ يَعْبُدُوْنَنِيْ لَا يُشْرِكُوْنَ بِيْ شَيْـًٔاۗ وَمَنْ كَفَرَ بَعْدَ ذٰلِكَ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْفٰسِقُوْنَ Wahai kaum mukmin, Allah menjanjikan kepada orang yang beriman dan beramal shalih di antara kalian, bahwa Allah pasti menjadikan mereka berkuasa di muka bumi sebagaimana orang-orang mukmin sebelum mereka telah berkuasa di muka bumi. Allah jadikan mereka menegakkan agama yang diridhai-Nya. Mereka akan menikmati ketenteraman dan keamanan setelah mengalami ketakutan terhadap penindasan kaum kafir. Mereka beribadah kepada-Ku dan meninggalkan perbuatan syirik dalam bentuk apa pun. Setelah itu, siapa saja yang keluar dari Islam, maka mereka itu adalah orang-orang yang sangat durhaka kepada Allah (QS An-Nur (24) : 55). "Are you Moslem?" "Yes" Jawab keempatnya serempak, lalu saling bertatapan dan sontak tertawa. "Well, then, ahlan wa sahlan. Welcome," sahut petugas imigrasi yang bertampang dingin dengan kumis melintang itu.
Kairo, 10 April 1947. Peristiwa itu begitu membekas dalam kenangan AR Baswedan, kakek Gubernur DKI Anies Baswedan, saat mendampingi The Grand Old Man, Haji Agus Salim, melakukan lawatan ke Mesir, setelah sebelumnya menghadiri Inter-Asian Relation Conference di New Delhi, India, dalam misi diplomatik memperkenalkan negara yang baru lahir, Republik Indonesia. Kenangan itu ia tuliskan secara rinci dalam buku “Seratus Tahun Agus Salim”. Bagaimana mereka tertahan oleh petugas imigrasi di bandara Kairo tersebab paspor yang dibawa hanya berupa selembar kertas kecil yang telah lecek, bukan buku paspor seperti umumnya yang berlaku di dunia internasional. Jawaban "Mision dipomatique dari sebuah negara baru di Asia bernama Republik Indonesia," yang disampaikan sebelumnya tak mempan meloloskan mereka. Namun identitas sebagai Muslim yang tercirikan dari pakaian dan penampilan mereka membuat petugas imigrasi membukakan pintunya, sekaligus menjadi awal terbukanya pengakuan kedaulatan atas negeri yang berjihad selama 350 tahun untuk mengusir penjajah Belanda. Keempat tokoh yang tercatat dalam sejarah itu adalah Haji Agus Salim yang menjabat sebagai Menteri Muda Luar Negeri sekaligus ketua delegasi, AR Baswedan, Mr Nazir Pamoentjak, dan Prof DR HM Rasjidi (yang pada waktu itu belum bergelar Prof DR). Surat-surat serta naskah proklamasi yang disertakan adalah hasil terjemahan ke dalam bahasa Arab oleh Prof DR HM Rasjidi. Perjalanan itu merupakan kunjungan balasan setelah sebelumnya Muhammad Abdul Mun'im, Konsul Jendral Mesir di Bombay (Mumbay), India, datang ke Yogyakarta pada 13-16 Maret 1947. Sebuah pesan penting dibawanya: Liga Arab berdasar hasil sidang 18 November 1946 mengakui kedaulatan sebuah negeri dengan mayoritas penduduknya Muslim sebagai sebuah negara yang baru berdiri berdasar ikatan keagamaan, persaudaraan dan kekeluargaan. Rupanya ukhuwah sebagai sesama Muslim tak hanya meloloskan dari petugas imigrasi di bandara, namun juga menjadi bagian dari keberhasilan misi diplomatik itu. Tiga puluh menit sebelum delegasi itu ditemui Mahmoud Fahmy El Nokrashy Pasha, Perdana Menteri Mesir kala itu lebih dahulu bertemu dengan Duta Besar Belanda untuk Mesir. Dubes Belanda berpropaganda bahwa Republik yang baru berdiri merupakan hasil kolaborasi para ekstrimis dan fasis Jepang. Bung Karno dan Bung Hatta dalam proses akan diadili sebagai penjahat perang oleh sekutu. Lagi-lagi persaudaraan sesama Muslim yang menyelamatkan republik yang baru berdiri ini, melalui jawaban yang diberikan PM El Nokrashy. "Menyesal sekali kami harus menolak protes Tuan. Mesir adalah negara berdaulat dan sebagai negara yang berdasarkan Islam tidak bisa tidak mendukung perjuangan bangsa Indonesia yang juga beragama Islam. Ini adalah ukhuwah dan tradisi bangsa Mesir yang tak dapat kami abaikan," tegasnya. Dubes Belanda itu lalu meninggalkan ruangan dengan muka kecut, tulis AR Baswedan. Dan selanjutnya surat pengakuan kedaulatan itu ditandatangi. Mesir menjadi negara pertama yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Diikuti negara-negara Muslim lainnya, yakni Suriah, Lebanon, Yaman, Arab Saudi. Yang kesemuanya merupakan keberhasilan dari delegasi Agus Salim ke Timur Tengah. Sejarah mencatat, kemerdekaan negeri ini diperoleh dengan darah dan air mata para syuhada. Pengakuan kedaulatan pertama didapat dari negeri-negeri Islam tersebab ikatan persaudaraan sesama Muslim. Mengutib perkataan Prof DR Hamid Fahmi Zarkasyi, M. PHIL., dari Gontor, “Kita harus mempunyai kesadaran tinggi bahwa negeri ini dibangun oleh umat Islam. Kesadaran ini mulai hilang atau dihilang-hilangkan.” Dirgahayu negeriku! Jakarta, 16/8/2021 Uttiek Follow me on IG @uttiek.herlambang | FB @uttiek_mpanjiastuti | www.uttiek.blogspot.com | channel Youtube: uttiek.herlambang 17 August 2021 Ada fenomena menarik di beberapa hari belakangan ini. Sikap kritis Puan Maharani terhadap kebijakan politik Jokowi cukup membingungkan. Petinggi partai pendukung Pemerintah ini bersuara agak keras. Ada dua dugaan kuat penyebabnya. Pertama, sikap kurang bersahabat Jokowi atas kader PDIP yang diproses hukum seperti Juliari Batubara. Kedua, dukungan politik Jokowi kepada Ganjar Pranowo pesaing Puan di PDIP.
Di samping itu semangat Jokowi untuk memperpanjang masa jabatan tiga periode menjadi ganjalan PDIP yang ingin memunculkan kader untuk manggung di tahun 2024. Lalu pilihan keakraban Jokowi dengan Partai Golkar yang membuat PDIP kesal. Ketum Golkar Airlangga menjadi salah satu Koordinator penanggulangan pandemi covid 19. Ditambah dengan Luhut Panjaitan yang terkesan sukses merebut kendali PDIP atas diri Jokowi. Perenggangan jarak politik PDIP dengan Jokowi tidak bisa dianggap biasa. Bila jarak semakin jauh bukan mustahil Jokowi jatuh. PDIP bisa memulai langkah dengan menarik Menteri-Menteri dari Kabinet Jokowi. Orang masih ragu tetapi politik adalah kumpulan dari peristiwa perubahan baik dekat maupun jauh. Dan hubungan politik itu ditentukan atas dasar kepentingan dan kalkulasi dari partai politik itu sendiri. Serangan politikus PDIP Effendi Simbolon dan Masinton Pasaribu kepada kabinet Jokowi dan secara khusus terhadap kinerja Luhut Panjaitan adalah "warming up" dari munculnya gejala politik baru di sekitar Istana. Yang menjadi masalah utama sebenarnya adalah akibat dari tingkat kepercayaan rakyat kepada Jokowi yang terus merosot. Hampir tidak ada kebijakan yang mendapat dukungan publik. Apalagi dalam kaitan penanganan pandemi Covid 19. PPKM yang diperpanjang secara eceran sebagai gambaran dari ketidakmatangan dan kebohongan berulang Pemerintah. Buzzer ikut membuka peta pertarungan. Ada perang proxy antara kubu Teuku Umar dengan Istana. Tagar "NKRI bukan milik PDIP" adalah serangan kepada kubu Megawati, sedangkan tagar "Daya rusak Jokowi luar biasa " diduga serangan balik buzzer Teuku Umar. Netizen pun ikut meramaikan. Lalu Twitter men-deactive bahkan men-suspend akun buzzer Denny Siregar, Chusnul, Eko Kuntadhi, dan Ade Armando. Kerusakan demokrasi, hukum, dan penanganan pandemi sudah sangat parah. Istana sulit mengkonsolidasikan pasukan yang berjalan sendiri dan cari aman demi kepentingan politiknya. Usia kekuasaan Jokowi nampaknya semakin pendek bahkan sudah sesak nafas dan membutuhkan oksigen. Memang belum sampai menggunakan ventilator, namun arahnya semakin jelas. Kelompok pentalqin harus sudah bersiap-siap. Cebong peliharaan Jokowi di kolam Istana yang dimakan biawak adalah pertanda bakal berantakannya cebong-cebong pendukung. Luhut pengendali Jokowi bakal menjadi musuh bersama. Ia sedang memegang komando penanganan pandemi. Teranyar ditunjuk menjadi Ketua Dewan Pengarah Penyelamatan Danau Prioritas berdasar Peraturan Presiden No 60 tahun 2021. Dari samudra yang luas, danau, hingga virus berada di bawah genggamannya. Arus awal adalah kompaknya Istana baik koalisi partai maupun koalisi buzzer dalam menghadapi oposisi maupun masyarakat kritis. Kini arus balik sedang terjadi. Jokowi dipusingkan oleh koalisi partai yang jalan sendiri dan buzzer yang bertengkar serta memojokkan dirinya. RRC sebagai back up kekuatan global Pemerintahan Jokowi gelisah berhadapan dengan AS yang terus merangsek ke basis-basis strategis penentu perubahan. Oposisi dan masyarakat kritis mendapat momentum untuk memperkuat arus balik politik yang terjadi tersebut. Arus ini akan terus menguat. Pembangkangan dapat mengisi banyak sektor yang melibatkan berbagai elemen. Tindakan represif menjadi jalan saja untuk mempercepat perubahan. Arus balik politik sulit untuk dihalangi. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 11 Agustus 2021 Lama tak terdengar komentarnya, akhirnya Prof Yusril Ihza Mahendra kembali bersuara. Ketua Umum DPP Partai Bulan Bintang (PBB) ini menyoroti kebijakan pemerintah terkait penanganan kasus COVID-19 di Tanah Air.
Yusril mempersoalkan perubahan kebijakan penanganan pandemi, rumusan hukumnya yang tidak jelas. Tidak ada jaminan kesehatan bagi masyarakat. Bahkan, Yusril menyebut salah kebijakan dapat menyebabkan kematian massal, dan kalau terjadi kematian massal berarti terjadi genosida karena pembunuhan yang bersifat massal. Sontak saja ungkapan 'Genosidan' ini menyentak ruang opini publik. Pernyataan ini, dapat ditafsirkan sebagai terbukanya pintu pelanggaran konstitusi sebagai syarat untuk memakzulkan Presiden. Implisit, pernyataan Yusril ini membantah statement Mahfud MD yang mengatakan Jokowi tidak dapat dimakzulkan karena kegagalan penanganan pandemi, sebab tidak ada pelanggaran hukumnya. Atas statement Yusril ini, Rizal Ramli langsung bereaksi. Ekonom senior sekaligus mantan menteri Jokowi ini memuji Yusril yang mengkritik kebijakan Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) dalam menangani pandemi Covid-19. Bahkan, Rizal Ramli menyebut Yusril 'Sudah lama ngilang begitu nongol, Yusril langsung mau nendang penalti'. Statement ini dapat dikaitkan dengan ucapan Yusril yang memberikan assessment adanya Genosida dalam penanganan pandemi, yang itu bisa menjadi dasar aktifasi ketentuan pasal 7A UUD 1945. Itu artinya, yang dimaksud tendangan pinalti adalah upaya untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden Jokowi sudah pada level yang tinggal eksekusi. Publik tidak bisa menganggap remeh statement Yusril Ihza Mahendra. Ahli hukum tata negara ini paham betul seluk-beluk konstitusi, sehingga secara ketatanegaraan Yusril juga paham unsur-unsur hukum yang terdapat dalam pasal 7A UUD 1945. Ungkapan 'Genosida' pada kasus kematian massal akibat penanganan pandemi Covid-19 dapat dijadikan sandaran legitimasi untuk memberhentikan jabatan Presiden Jokowi. Dus, sekali lagi statement Yusril ini mementahkan omongan Mahfud MD yang menyebut Jokowi tak dapat dijatuhkan karena kegagalan penanganan pandemi. Dengan demikian, soalnya bukan lagi sandaran legitimasi untuk memakzulkan Jokowi, tetapi tinggal kehendak politik DPR - MPR. Jika DPR dan MPR memiliki kerisauan terhadap kasus kematian yang masif selama penanganan pandemi, bukan hanya memikirkan nasib rakyat tetapi juga memikirkan masa depan generasi bangsa Indonesia, kelestarian ras rakyat Indonesia, tentu tidak ada alasan untuk tidak segera melakukan aktivasi pasal 7A UUD 1945. Penulis kira sangat relevan, ungkapan yang menyatakan : LEBIH BAIK KEHILANGAN JOKOWI DARIPADA KEHILANGAN BANGSA INI. Nantinya, pemimpin pengganti dapat lebih dipercaya rakyat, memiliki modal sosial dan politik, diharapkan lebih profesional dan amanah menangani pandemi. Selanjutnya, penanganan pandemi benar-benar harus dibangun di atas asas melindungi kesehatan dan nyawa masyarakat, bukan untuk melindungi kepentingan ekonomi oligarki. Untuk mewujudkan hal itu, rasanya segenap rakyat tidak cukup hanya berharap kepada DPR dan MPR. Rakyat harus terus bersuara, agar wakilnya tidak tuli dan mengikuti kehendak rakyat sebagai majikan dari DPR dan MPR. Seluruh akademisi, praktisi, Ulama, mahasiswa, buruh tani dan nelayan, pemuda dan mahasiswa wajib bersuara sesuai dengan kapasitasnya demi tanggung jawab menyelamatkan bangsa dan negara. Kita semua tak ingin, Indonesia punah dan hanya menjadi fosil sejarah, hilang karena diterjang badai pandemi. Kepada Prof Yusril, selamat Prof telah kembali bersama umat. Penulis masih ingat, pada tempo yang terdahulu pernah diskusi intensif di Kantor Ihza & Ihza Law Office di Menara 88 Kota Casablanca. Saat itu, Prof Yusril memimpin advokasi untuk membela HTI. Bahkan, pengumuman terbitnya Perppu juga penulis simak bersama di kantor Pror Yusril. Terus terang, penulis juga kangen momen bersama Prof Yusril dan Prof Suteki saat makan bersama Soto di warung pinggir jalan di seberang pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta. Sebenarnya, banyak yang merindukan duo profesor ini kembali bersama umat, menyuarakan dan membela kepentingan umat. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|