Masih teringat saya ketika masih kelas 1 - 2 SD di sebuah kompleks perumahan Pertamina Plaju sering sekali terdengar sirene jam malam. Setiap kali sirene berbunyi kami anak-anak bergegas disuruh masuk rumah, lampu dimatikan semua. Berkembang desas-desus sesama anak-anak alasan mengapa harus mematikan semua lampu. Katanya supaya lokasi pabrik yang mengolah minyak dalam jumlah sangat besar waktu itu tidak bisa dilihat dari pesawat musuh. Entah siapa yang dikatakan sebagai musuh waktu itu, apakah Belanda atau barangkali kelompok pemberontak PKI. Saya tidak terlalu ingat pada usia berapa atau kelas berapa saya saat itu, tetapi ketika itu kantor ayah saya aktif sekali mengadakan pengajian-pengajian untuk anak-anak. Saya bahkan diikutsertakan dalam perlombaan membaca Al Qur'an anak-anak. Saya sering merasa berat karena pengajiannya dilakukan malam hari di saat teman-teman saya yang lain asyik bermain benteng-bentengan. Apalagi sering ada anjing peliharaan di jalan antara sekolah, tempat kami mengaji, ke rumah. Dengan menahan takut saya biasanya terus berjalan sambil membaca wirid: "shummumbukmun 'umyuum fahum laa yar ji'uun" (ini ternyata adalah kutipan ayat Al Qur'an Surah Al Baqarah yang artinya: "mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (kepada jalan yang benar)", memang ada sedikit relevansinya). Saya kenang kembali masa-masa itu saat di mana kami sekeluarga yang biasanya mendapat ransum berupa beras, roti, gula dan mentega dari Pertamina setiap bulan tetapi jatah beras kami diganti dengan bulgur selama beberapa waktu. Jadilah sarapan pagi kami dengan bubur bulgur. Belakangan ada yang mengatakan bahwa bulgur itu adalah makanan pokok gandum bantuan Amerika. Berdasarkan ingatan-ingatan itu saya memperkirakan peristiwa memprihatinkan itu adalah saat-saat sebelum Gerakan 30 September, selama berlangsung dan sesudahnya. Kita tahu G30S dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ternyata kemudian bahwa di Pertamina ada banyak pekerja yang menjadi anggota Perbum (Persatuan Buruh Minyak). Sebuah organisasi underbow PKI. Sedangkan pekerja muslim dan nasionalis membentuk organisasi tandingan bernama Gasbiindo (Gabungan Serikat Buruh Islam Indonesia). Ayah saya aktif di sini. Ayah saya pernah dikirim oleh Gasbiindo ke Manila untuk training. Tetapi katanya gara-gara itu beliau sempat tersingkirkan beberapa waktu dalam karirnya. Organisasi ini pulalah yang mengaktifkan pengajian-pengajian untuk anak-anak. Mungkin sebagai reaksi atas kampanye komunisme di lingkungan Pertamina waktu itu. Saya bersyukur G30S PKI dapat digagalkan dan PKI beserta seluruh antek-anteknya ditumpas oleh rezim Orde Baru (Suharto) yang menggantikan Orde Lama (Sukarno). Terbayang warisan Sukarno kepada Suharto berupa kemiskinan merata di seluruh wilayah Indonesia saat itu. Bisa dipahami ketika Suharto mengajak bekerjasama negara-negara kapitalis seperti Amerika Serikat dan negara-negara eks penjajah Eropa untuk membangkitkan kembali ekonomi Indonesia. Tetapi di sinilah berawal neo-kolonialisme kapitalis mulai mencengkeramkan kuku-kukunya di Indonesia. Sementara negara-negara kapitalis AS dan Eropa menyetujui pinjaman uang untuk pembangunan dengan syarat-syarat yg tidak bisa ditolak oleh Indonesia menyangkut pengelolaan sumber daya alamnya, Rezim Orba secara sistematis memberantas komunisme di Indonesia. Berbagai aturan dibuat termasuk di antaranya Litsus (Penelitian Khusus). Setiap calon pegawai negeri, pegawai BUMN harus melalui proses screening terlebih dulu. Melalui daftar pertanyaan dan wawancara yang panjang diteliti riwayat keluarga, kecenderungan politik, siapa yang menjadi idola, dst. Pelan tetapi pasti terjadi berbagai peristiwa yang menyudutkan umat Islam seperti KOMANDO JIHAD, PERISTIWA PRIOK, dll. Menteri Ali Murtopo bersama Sudomo ketika itu mendapat kepercayaan besar Suharto dalam rangka untuk menjaga stabilitas politik. Dalam upaya ini terjadilah pelabelan kelompok masyarakat seperti Ekstrim Kiri, Ekstrim Kanan dan kelompok Moderat. Ekstrim Kiri biasanya ditujukan kepada penganut paham komunisme. Ekstrim kanan sering dijuluki juga dengan Islam Fundamentalis ditujukan kepada mereka yang sesungguhnya menjaga kemurnian ajaran Islam tetapi mendapatkan persepsi negatip. Adapun kelompok Islam yang mendukung kebijakan Pemerintah mereka juluki dengan Islam Moderat. Umat Islam tentu saja melakukan perlawanan. Kekhawatiran munculnya kembali PKI, kepentingan pembangunan serta upaya melanggengkan kekuasaan membuahkan sebuah kebijakan rezim Orba dengan memaksakan diterimanya azas tunggal Pancasila. Organisasi kemasyarakatan dan Partai Politik semua wajib menerima azas tunggal Pancasila. Siapa yang tidak menyetujui akan dengan mudah dituduh sebagai anti Pancasila. Dengan menerapkan strategi ini Suharto bisa melanggengkan kekuasaannya. DPR dan MPR bisa dibilang hanya menjadi badan pengesah semua kebijakan Pemerintah tanpa banyak diberi kebebasan mengkritik. Suharto merangkul pengusaha-pengusaha keturunan Cina untuk memajukan ekonomi Indonesia. Lim Siu Liong mendapatkan subsidi gandum untuk membuat pabrik mie yang kemudian dikenal masyarakat dengan merek Indomie. Bermunculanlah konglomerat-konglomerat keturunan Cina. Suharto berharap akan ada "trickle-down effect", yakni kekayaan mereka akan membuat rakyat pribumi juga menjadi kaya-kaya. Tetapi kenyataan berkata lain. Ketimpangan sosial membesar sampai terjadi Peristiwa Malari di tahun 1974. Syukurlah Suharto belajar dari Peristiwa Malari ini dan sejak tahun 1980an Suharto menyadari kesalahnnya dan melakukan perubahan dengan merangkul Islam dan perlahan-lahan berhasil menghapuskan stigma buruk tentang Islam Fundamentalis. Dibentuklah ICMI yang dikomandani oleh BJ Habibie. Islam dan umat Islam maju pesat. Mesjid-mesjid dibangun. Pengusaha muslim bermunculan. Pada dekade tahun 1990an Presiden Suharto mencanangkan Indonesia memasuki Era Tinggal Landas. BJ Habibie berhasil meluncurkan pesawat buatan anak negeri yang terbang perdana menggunakan teknologi "fly by wire". Kita tentu masih ingat, kala itu 10 November 1995, bertepatan dengan terbang perdana N-250, Presiden Soeharto mengumumkan proyek N-2130. Pencapaian ini sangat fenomenal dan membuat gempar negara-negara Amerika dan Eropa. Akan tetapi, bulan madu umat Islam dan Pemerintah harus berakhir ketika terjadi krisis moneter yang melanda Asia yang dialami pertama oleh Thailand dan akhirnya merembet juga ke Indonesia. Kondisi ini dimanfaatkan oleh kelompok yang tersingkirkan oleh rezim orba: 1) Dendam PKI, 2) Islamophobia, 3) Konglomerat Cina, 4) Neokolonialis (AS, Inggris, Perancis) untuk menggulingkan Suharto. Mereka berhasil mempengaruhi para pemuda terutama mahasiswa. Mereka menggunakan preman yang mendapat perlindungan dari beberapa tokoh-tokoh ABRI waktu itu. Demi menyelamatkan Indonesia dari pertumpahan darah, Suharto kemudian terpaksa meletakkan jabatannya dengan melantik Wapres (BJ Habibie) menjadi Presiden. Kelompok anti Islam tentu saja tidak menyukai ini karena yang membuat Islam maju dalam berpolitik adalah peran BJ Habibie. Mereka terus menggoyang sampai akhirnya BJ Habibie dengan jiwa patriot menolak mencalonkan diri sebagai Presiden setelah laporan pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR. Episode selanjutnya seperti kita ketahui bahwa REFORMASI ternyata jalan di tempat bahkan hanya menjadi ajang rebutan kue sumber daya alam indonesia oleh penguasa. Mereka sadar bahwa kesempatan ini hanya bisa dinikmati apabila Islam hanya dipraktekkan dalam keseharian perorangan. Islam tidak boleh ikut menentukan kebijakan Pemerintah. Ajaran Islam memang selalu akan menjadi penghalang bagi siapapun yang berkuasa dengan niat tidak tulus apalagi yang berusaha mengumpulkan pundi-pundi kekayaan kelompoknya lewat kekuasaan yang diamanahkan kepadanya. Mereka yang merasa berjasa menjatuhkan Rezim Orde Baru setelah berebut kekuasaan, kini menyadari bahwa mereka harus bersatu menghentikan Islam yang mulai banyak yang maju dalam berpolitik dan berwira-usaha. Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiaGoOnline.com
0 Comments
Dikutip dari Faktakini.net yang mengutip kisah ini dari detiknews.com oleh Erwin Dariyanto, Samsudhuha Wildansyah, dikisahkan tentang salah satu korban kebiadaban G30S/PKI yaitu Letnan Jenderal M.T. Haryono. Berikut kisahnya. "Jenderal, keluar Jenderal! Ada perintah dari Istana supaya Jenderal segera datang!". Teriakan itu begitu lantang terdengar memecah kesunyian di sebuah rumah di Jalan Prambanan Nomor 8, Menteng, Jakarta Pusat pada Jumat dini hari, 1 Oktober 1965. Di kamar utama rumah tersebut, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo (MT) Haryono sontak terbangun. Ia lantas memerintahkan sang istri, untuk pindah ke kamar depan dan membawa anak-anaknya. Sementara prajurit Tjakrabirawa terus merangsek ke kamar utama seraya memberondong dengan tembakan. Beberapa prajurit Tjakra berhasil masuk ke dalam kamar. MT Haryono berusaha menghalau dua prajurit Tjakra yang masuk ke kamarnya. Dia berniat keluar kamar menuju kamar mandi. "Saya melihat ayah saya pada waktu pintu terbuka. Jadi pintu ditembak sampai hancur dan terbuka dan ayah saya merebut senjata dari gerombolan itu. Jadi itu gerombolan Tjakrabirawa. Ketika dia (MT Haryono) rebut senjata itu dia ditembak dari belakang kemudian saya lari," kata Rianto Nurhadi putra ke-3 Mayjen MT Haryono yang biasa dipanggil Riri kepada wartawan di Lapangan 1 Kostrad, Cijantung, Jaktim, Kamis (28/9) malam. MT Haryono pun roboh. Untuk memastikan bahwa sang jenderal telah meninggal, prajurit Tjakrabirawa membakar sebuah koran. Mereka kemudian menyeret jenazah Jenderal Haryono ke truk untuk dibawa ke Lubang Buaya di kawasan Halim, Jakarta Timur. Jenazah MT Haryono baru ditemukan 3 Oktober 1965 di sebuah sumur tua bersama lima jenderal lainnya, kemudian dimakamkan di TMP Kalibata. Dalam buku, "Kunang-kunang Kebenaran di Langit Malam" disebutkan bahwa, sebelum kepergian sang jenderal ke alam baka, keluarga merasakan beberapa pertanda. Isyarat itu antara lain, Jenderal Haryono tiba-tiba sering menyendiri dan melamun sambil mendengarkan musik klasik. Padahal biasanya saat mendengarkan musik klasik sambil menata tanaman anggrek di halaman belakang, dia selalu ditemani putri bungsunya, Enda Marina. Namun menjelang 1 Oktober 1965, Haryono justru meminta Enda menjauh saat ingin mendekatinya. "Kami merasakan kejanggalan tersebut dengan perasaan heran yang tertahan," tulis Babab dalam buku tersebut. Pertanda lainnya adalah, Ade Mirja Harjanti yang gelisah dan mengalami mimpi buruk. Beberapa jam sebelum prajurit Tjakrabirawa datang, Ade mimpi ayahya diculik. Walaupun Haryono berusaha melawan, namun sia-sia karena orang yang datang menculiknya banyak sekali. Enda pun terjaga dan ketakutan. Sang Ibu berusaha menenangkan Enda. Beberapa menit kemudian, mimpi Enda menjadi kenyataan. Sang ayah, gugur setelah melawan penculik pimpinan Sersan Bungkus. Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiaGoOnline.com “Pondok Bobrok, Langgar Bubar, Santri Mati,” inilah yel-yel yang diteriakkan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun pada tahun 1948. Sejak 18 September 1948, Muso memproklamirkan negara Soviet Indonesia di Madiun. Otomatis, Magetan, Ponorogo, Pacitan menjadi sasaran berikutnya. Kyai di Pondok Takeran Magetan sudah dihabisi oleh PKI. Sekitar 168 orang tewas dikubur hidup-hidup. Kemudian PKI geser ke Ponorogo. Dengan sasaran Pondok Modern Darussalam Gontor. KH. Imam Zarkasyi (Pak Zar) dan KH Ahmad Sahal (Pak Sahal) dibantu kakak tertua beliau berdua, KH Rahmat Soekarto (yang saat itu menjabat sebagai Lurah desa Gontor), pun berembug bagaimana menyelamatkan para santri dan Pondok. “Wis Pak Sahal, penjenengan ae sing Budhal ngungsi karo santri. PKI kuwi sing dingerteni Kyai Gontor yo panjengan. Aku tak jogo Pondok wae, ora-ora lek dkenali PKI aku iki. (Sudah Pak Sahal, Anda saja yang berangkat mengungsi dengan para santri. Yang diketahui Kyai Gontor itu ya Anda. Biar saya yang menjaga Pesantren, tidak akan dikenali saya ini,” kata Pak Zar. Pak Sahal pun menjawab: “Ora, dudu aku sing kudu ngungsi. Tapi kowe Zar, kowe isih enom, ilmu-mu luwih akeh, bakale pondok iki mbutuhne kowe timbangane aku. Aku wis tuwo, wis tak ladenani PKI kuwi. Ayo Zar, njajal awak mendahno lek mati“. (Tidak, bukan saya yang harus mengungsi, tapi kamu Zar. Kamu lebih muda, ilmumu lebih banyak, pesantren ini lebih membutuhkan kamu daripada saya. Saya sudah tua, biar saya hadapi PKI-PKI itu. Ayo Zar, mencoba badan, walau sampai mati”. Akhirnya, diputuskanlah bahwa beliau berdua pergi mengungsi dengan para santri. Penjagaan pesantren di berikan kepada KH Rahmat Soekarto. Berangkatlah rombongan pondok Gontor kearah timur menuju Gua Kusumo, saat ini dikenal dengan Gua Sahal. Mereka menempuh jalur utara melewati gunung Bayangkaki. Pak Sahal pun berujar, “Labuh bondo, labuh bahu, labuh pikir, lek perlu sak nyawane pisan” (Korban harta, korban tenaga, korban pikiran, jika perlu nyawa sekalian akan aku berikan”. Sehari setelah santri-santri mengungsi, akhirnya para PKI betul-betul datang. Mereka langsung bertindak ganas dengan menggeledah seluruh pondok Gontor. Tepat pukul 15.00 WIB, PKI mulai menyerang pondok. Senjata ditembakkan. Mereka sengaja memancing dan menunggu reaksi orang-orang di dalam pondok. Setelah tak ada reaksi, mereka berkesimpulan bahwa pondok Gontor sudah dijadikan markas tentara. Pukul 17.00 WIB, mereka akhirnya menyerbu ke dalam pondok dari arah timur, kemudian disusul rombongan dari arah utara. Tak lama kemudian datang lagi rombongan penyerang dari arah barat. Jumlah waktu itu ditaksir sekitar 400 orang. Dengan mengendarai kuda pimpinan tentara PKI berhenti didepan rumah pendopo lurah KH. Rahmat Soekarto. Mengetahui kedatangan tamu, lurah Rahmat menyambut tamunya dengan ramah, serta menanyakan maksud dan tujuan mereka. Tanpa turun dari kuda, pimpinan PKI ini langsung mencecar lurah Rahmat. Kemudian mereka meninggalkan rumah lurah Rahmat, nekat masuk tempat tinggal santri, lalu berteriak-teriak mencari kyai Gontor. “Endi kyai-ne, endi kyai-ne? Kon ngadepi PKI kene …” (Mana Kyainya, mana kyainya? Suruh menghadapi PKI sini…). Karena tak ada sahutan, mereka pun mulai merusak pesantren. Gubuk-gubuk asrama santri yang terbuat dari gedeg bambu dirusak. Buku-buku santri dibakar habis. Peci, baju-baju santri yang tidak terbawa, mereka bawa ke pelataran asrama. Mereka menginjak-injak dan membakar sarana peribadatan, berbagai kitab dan buku-buku. Termasuk beberapa kitab suci Al-Qur’an mereka injak dan bakar. Akhirnya, PKI pun kembali kerumah lurah Rahmat, lalu berusaha masuk ke rumah untuk membunuh KH. Rahmat Soekarto. Mereka sambil teriak “Endi lurahe? Gelem melu PKI po ra? Lek ra gelem, dibeleh sisan neng kene…!” (Mana lurahnya? Mau ikut PKI apa tidak? Kalau tidak mau masuk anggota PKI, kita sembelih sekalian di sini). Namun, tak berapa lama sebelum mereka bisa masuk kerumah lurah Rahmat. Datanglah laskar Hizbullah dan pasukan Siliwangi. Pasukan itu dipimpin KH. Yusuf Hasyim, (putra bungsu KH. Hasyim Asy’ari). Pasukan PKI itu akhirnya lari tunggang langgang, karena serbuan itu. Membiarkan Pondok Modern Darussalam Gontor dalam keadaan porak poranda. Semoga sejarah ini menjadi pengingat dan pelajaran berharga untuk perjuangan mempertahankan Islam, Pesantren, Bangsa dan Negara. Copas Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiaGoOnline.com |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|