Sebuah tulisan singkat di sebuah majalah membuat saya terharu membacanya ketika sedang dalam perjalanan dari Babo ke Halim Perdanakusuma beberapa waktu yang lalu. Tulisan itu dari seorang relawan Program Sobat Bumi yang diusung oleh Pertamina Foundation. Berikut penuturannya seperti apa adanya yang saya dapatkan dari Okezone.com. Kiranya sekelumit kisah ini cukup menggugah kesadaran kita untuk berjuang bersama sebagai satu bangsa mewujudkan sila ke lima dari Pancasila yang belum juga mampu kita raih setelah lebih 65 tahun kemerdekaan: "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia". “TUHAN meletakkanmu di tempat sekarang, bukan karena kebetulan. Orang yang hebat tidak dihasilkan melalui kemudahan, kesenangan, dan kenyamanan. Mereka dibentuk melalui kesukaran, tantangan, dan air mata.” Quote ini aku tulis di lembar harianku. Aku meletakkan pena dalam saku. Sekejap saja pandanganku takjub. Tampak tiga orang pembangun sekolah ini, yang hanya menggunakan kaos kemeja, celana training dan sepatu boot segera menghentikan pekerjaan mereka membabat ilalang. Mereka memanggil anak-anak dan mengucapkan selamat datang padaku. Ya, Tuhan, betapa anugerahMu sungguh nikmat. Kala terpuruk, aku segera sampai pada sebuah simpulan bahwa aku adalah manusia paling menderita di dunia ini. Ternyata salah. Penderitaanku tak ada arti apa-apa dibanding mereka yang ada di hadapanku saat ini. Di depan mataku mereka menagih masa depan. Di hadapanku, mereka menagih tanggung jawabku. Tanggung jawab kami, para relawan program Sobat Bumi yang diusung oleh Pertamina Foundation. Aku bersandar pada papan nama sekolah SD Alang-alang Kecil V yang telah usang. Memandangi sekeliling yang penuh ilalang. Teringat pesan Ayahku. “Jadilah seperti ilalang, Nak. Tumbuhan ini bisa hidup di tempat seperti apapun. Hutan tandus. Tanah kering. Pasir berbatu. Seperti itulah hidup dan ilmumu. Laksana ilalang yang bisa hidup di manapun.” Aku berjalan mendekati mereka. Memainkan jemari di antara ilalang hutan yang tampak lembut itu. Awww, ilalang ini sangat tajam rupanya. Ia mampu menembus kulit ari terdalam hingga membekaskan luka. Aku semakin percaya bahwa ilalang tajam ini serupa semangat anak-anak sd alang-alang kecil. Rapuh di luar, tajam di dalam. "Bu Guru, jalan ke sekolah banjir. Apakah tetap pergi?”
Pesan singkat dari Pak Hery, guru olahraga Sekolah Alang-lang, muncul secara tiba-tiba. Aku sudah bangun lebih pagi dari biasanya. Rasanya tidak mungkin membunuh semangat ini. “Kita berangkat saja, Pak” Sungai Skanto telah berubah coklat. Airnya mengalir deras. Aku hanya mengamati punggung orang-orang yang berusaha melintasi sungai ini. Tampak juga motor dipikul menggunakan bambu karena tiba-tiba mati di muara sungai. Di atas sungai ada jembatan besar tetapi rapuh. Kini, masih dalam kondisi diperbaiki. Tak tahulah kapan selesai. Menyeberang sungai ini butuh semangat dan kepercayaan. Adakah yang menjualnya untukku? “Jika balik atau memutar, kita akan terlambat sampai di sekolah, Bu Ayu” Perjalanan semacam ini tidak ada dalam surat kontrakku. Tanpa alas aku bersama Pak Hery menyebrangi sungai. Kami hanya tertawa kecil dan segera mempercepat langkah. Pak Hery khwatir jika anak-anak terlalu lama menunggu kedatangan kami, mereka akan pulang lagi. Beginilah tugas kami. Bagaimana membuat mereka percaya bahwa mereka bisa melakukan perubahan positif dalam hidup mereka. Salah satu yang bisa membantu mereka menemukan “hidup” yang sesungguhnya adalah lewat pendidikan. Masih ada hari-hari berikutnya yang akan kami lalui di tanah pedalaman Papua. Semoga kehadiran kami disini dapat membantu alang-alang kecil ini merajut mimpi. (//wdi)
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|