Pernyataan Jokowi (sebagai pembelaan dirinya atas ijazah palsunya ?) bahwa *ijazah itu bukan sesuatu yang penting, tapi skill lebih penting bukan pernyataan dari seorang pemimpin yang terdidik. Itu pernyataan orang yang putus asa, orang yang tidak mau berjuang untuk menyelesaikan pendidikannya, atau orang yang pertimbangan hati dan berfikirnya sangat dangkal.
Jokowi memang sangat tidak layak jadi pemimpin, apalagi jadi panutan. Konsekuensi dan dampak buruk dari pernyataan Jokowi adalah : Pertama, pendidikan itu tidak penting, yang penting punya skill. Lalu, dari mana seseorang itu punya skill tertentu jika tidak diasah di sekolah ? Seorang anak kadang tidak mengetahui skill keahliannya apa. Setelah dia menempuh beberapa jenjang pendidikan barulah terbentuk skillnya. Jadi, skill itu kadang muncul setelah melalui beberapa jenjang pendidikan. Masalahnya, untuk mencapai jenjang pendidikan yang lebih tinggi, dia harus lulus dan menyelesaikan pendidikan sebelumnya. Bukti bahwa dia sudah lulus dan menyelesaikan pendidikan maka dia punya ijazah dan tanda lulus. Kalau ijazahnya dapat beli atau rekayasa, darimana tahu dia punya skill ? Kedua, ijazah itu bukan sekedar menggambarkan seseorang sudah menyelesaikan tahapan pendidikan jenjang tertentu, tapi juga telah mampu melewati standar kompetensi minimal. Kalau seseorang tidak punya ijazah, berarti standar kompetensi minimalnya pun belum dipenuhi. Lalu skill apa yang bisa dibanggakan ? Ketiga, sebelum seseorang mencapai hasil lulus, maka dia harus menempuh ujian secara berjenjang. Istilah dulu ada tes harian (UH), tengah semester (UTS), akhir semester (UAS), dan akhir tahun (UAT). Semua tahapan ujian itu dimaksudkan supaya perkembangan belajar siswa selalu terpantau. Tanpa mengikuti tahapan-tahapan ujian semacam itu, bagaimana mungkin seorang siswa bisa mengembangkan skillnya ? Keempat, ijazah sebagai sertifikat akhir sebuah jenjang pendidikan, menggambarkan tingkat usaha, perjuangan, pengorbanan, dan kedisiplinan Sebaliknya, siswa yang tidak mendapatkan ijazah adalah siswa yang malas, tidak mau berkorban, ingin jalan pintas, dan tidak disiplin. Siswa semacam itu bagaimana mungkin punya skill yang benar ? Kelima, Ijazah (seharusnya) merepresentasikan kejujuran. Jika siswa yang menempuh pembelajaran secara benar dan normal, dia adalah suswa yang memiliki karakter jujur. Jika selama di SD 6 tahun, di SMP 3 tahun, di SMA 3 tahun, dan untuk jadi sarjana perlu 4-5 tahun, artinya seorang siswa telah belajar kejujuran selama 16-17 tahun, baru dapat ijazah SD, SMP, SMA, dan Sarjana. Lha kalau ijazahnya dapat beli, atau hasil rekayasa, mau jadi orang jujur dari mana ? Katanya Jokowi masuk SD tahun 1973, lulusa sarjana tahun 1985, jadi jenjang pendidikan Jokowi dari SD sampai Sarjana cuma 12 tahun (normalnya 16-17 tahun). Wah, ruar biasa jeniusnya. Mungkin karena Jokowi masa lalunya penuh misteri, teka-teki, dan tanda tanya, wajar jika saat ini di menjadi seorang pembohong, penipu, dan khianat, Maka selama Jokowi masih berkuasa, jangan harap nilai-nilai kebaikan seperti : kejujuran, amanah, dan kebenaran menjadi berharga. Padahal akhlak itu bagian penting dalam Islam. Tanpa akhlak, manusia lebih buruk dari binatang. Sungguh sangat mengerikan jika kepemimpinan Jokowi diteruskan. Kehidupan akan mengarah pada prilaku binatang. Homo homini lupus (Siapa yang berkuasa dia yang akan menindas) Aturan, hukum, norma, etika, dan agama sudah tidak berlaku lagi. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada bangsa Indonesia, khususnya umat Islam dan mengadzab kepada para pemimpin zhalim. Bandung, 30 R. Awwal 1444 Sholihin MS.
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|