Berawal dari inisiatif Ketua Alumni Teknik Kimia ITB Angkatan 1977, Hengki yang sejak pertengahan tahun lalu (2013) mengusulkan agar alumni ITB yang telah berkarya di industri LNG puluhan tahun berbagi pengalaman dalam sebuah program studi di kampus ITB. Beliau kemudian menghubungi Bpk RIJ Soetopo (TK66, Mantan Kepala Proyek Pembangunan LNG Arun dan Badak), Bpk Yoga P. Suprapto (TK73, Mantan Kepala Proyek Pembangunan LNG Tangguh Pertamina), Bpk Nanang Untung (TK77, Presdir PT Badak NGL), Bpk Rachmat Hardadi (TK79, GM/Direktur PT Badak NGL), Helfia Nil Chalis (TK77, Mantan Manager Operasi LNG Badak dan LNG Tangguh), Pak Teguh Bakhtiardi (TK77, Manager Pemasaran LNG Tangguh). Alhamdulillah seminar sehari ini dapat terlaksana pada tanggal 28 Maret 2014 yang lalu di Ruang Galeri TK Prodi TK, Kampus ITB. Video lengkapnya bisa dilihat dengan mengklik link ini. Seminar diikuti oleh para mahasiswa tingkat akhir Teknik Kimia ITB Angkatan 2010. Ruang Galeri TK yang cukup besar itu penuh sesak tetapi seminar tetap bisa berlangsung dengan tertib dan penuh antusiasme para peserta. Diantara mereka ada juga para alumni baik yang berdomisili di Bandung maupun di Jakarta. Bpk RIJ Soetopo di awal presentasinya menyampaikan kesimpulannya dari perjalanan karirnya selama lebih 30 tahun di industri LNG mulai dari pengembangannya sampai pengoperasian. Kesimpulannya ini disarikannya hanya dalam lima kalimat singkat:
Bpk Yoga P. Suprapto dalam presentasinya secara kelakar menceritakan pengalamannya ketika pertama kali menginjak bumi Papua di awal Proyek LNG Tangguh yang waktu itu masih dirintis oleh Pertamina (sekarang dioperasikan oleh BP). "Turun dari chopper saya melihat penduduk asli Papua, langsung saya dekati dan di memperkenalkan diri: 'Saya Abdullah'." Beliau mengaku kaget karena tidak pernah menyangka di Papua ada penduduk asli yang beragama Islam. Memang daerah Tanah Merah, Teluk Bintuni penduduknya 50% muslim, 50% non muslim. Beliaupun menyayangkan bahwa undang-undang Migas malah membuat industri migas Indonesia banyak dikuasai perusahaan asing.
Pak Nanang Untung dan Pak Rachmat Hardadi yang mendapat giliran presentasi setelah Bpk Yoga berbagi pengalaman tentang upaya mereka berduet membawa PT Badak NGL yang memang harus berubah dari non profit company menjadi 'profit company' yang mandiri. Dalam kurun waktu yang tidak lama yaitu 2 - 3 tahun ke depan PT Badak NGL akan berubah haluan dari LNG Manufacturing company menjadi service company. Sekarangpun kiprah PT Badak NGL sebagai penyedia jasa training, commissioning dan start-up LNG plant sudah sangat dikenal di dunia internasional meskipun PT Badak NGL sendiri belum bisa menikmati keuntungannya karena status legalnya sebagai perusahaan non-profit. Terakhir saya dan rekan Teguh Bachtiardi menyampaikan pengalaman berkarya di LNG Tangguh di mana saya dalam hal pengalaman start-up dan pengoperasian kilangnya sedangkan rekan Teguh mengenai pemasaran LNG. Anda bisa mendownload file presentasi saya di sini. Video lengkapnya bisa dilihat dengan mengklik link ini.
0 Comments
Tradisi baru telah dirintis oleh Alumni Teknik Kimia ITB Angkatan 77 yang diketuai oleh Hengky yaitu dengan memberi kesempatan menyampaikan pengalaman hidup dan merintis karir kepada adik-adik yang akan menyelesaikan kuliahnya. Begitulah pada tanggal 28 Maret 2014 yang lalu saya menerima undangan seminar itu yang pembicaranya alumni TK ITB dari berbagai angkatan yang berkecimpung di dunia bisnis LNG Indonesia. Lihat postingan terdahulu di link ini. Selamat mengikuti. Helfia Nil Chalis - Seminar Purnabakti Teknik Kimia ITBRIJ Soetopo - Seminar Purnabakti Teknik Kimia ITBTulisan berikut ini disusun oleh Lisminto, teman saya sesama Alumni Teknik Kimia ITB angkatan 1977. Lisminto pernah meraih Penghargaan ASEAN Engineering Award tahun 1998 di Manila, Filipina, dan pemegang paten Pemurnian Aspal Buton dengan Metoda Ekstraksi Terbalik. Lisminto beranggapan Mak Eroh pantas meraih gelar insinyur. Mari kita simak pendapatnya berikut ini. Setelah 25 tahun lebih berkarya sebagai seorang Insinyur. Saya selalu teringat akan karya Mak Eroh. Ia bukan alumni ITB 77, bahkan bukan alumni sekolah apapun, sehingga berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak berhak menyandang predikat Insinyur. Tetapi karena karyanya dalam bidang Engineering yang begitu spektakuler, ia menjadi layak bergelar Insinyur berdasarkan Colins- Dictionary. Sekedar mengingatkaan (bagi yang lupa), Mak Eroh adalah peraih penghargaan Kalpataru tahun 1990, atas karyanya membuat saluran air bawah tanah yang menembus bukit sepanjang lebih dari 5 km, untuk mengalirkan air kehidupan di daerah Tasikmalaya. Berkah dari saluran tersebut, beberapa desa yang sebelumnya dikenal daerah tandus berubah menjadi daerah subur yang berkecukupan air. Eloknya, dia mengerjakan proyek raksasa tersebut seorang diri, hanya sedikit mendapat bantuan suka rela dari anak cucunya. Tanpa sekolah insinyur, Mak Eroh telah mendemostrasikan dirinya sebagai insinyur paripurna melalui karyanya. Beberapa disiplin yang telah dicakupnya dalam karya tersebut antara lain Civil Engineering, Geologi, Hdrologi, Geodesi dll. Ia bertindak sebagai desainer dan kontraktor sekaligus. Didasari rasa kagum dan sekaligus ingin menjadikannya tauladan bagi sesama, pada kongres Persatuan Insinyur Indonesia (PII) 1989 di Hotel Indonesia Jakarta, saya mengusulkan kepada dewan penilai PII agar Mak Eroh diberikan Gelar Insinyur Kehormatan. Usul tentu ditolak oleh panitia, dan kemudian PII menetapkan Prof. Selo Sumardjan, Dr. Ibnu Sutowo dan pengusaha terkenal Sudwikatmono sebagai penerima gelar kehormatan. Kebesaran Mak Eroh terutama terletak pada keikhlasannya yang paripurna untuk berbuat demi kemaslahatan umat. Ia tidak membutuhkan prasyarat apapun untuk merealisasikan keyakinannya. Agak mengherankan, meski ia tidak pernah pakai sepatu, jejak langkahnya sama dengan iklan pabrik sepatu terkenal, “Just do it”. Keikhlasan dan Ibadah Menutup tulisan ini, saya teringat akan diskusi dua orang senior alumni yang membahas tentang berkarya di dunia dan mempersiapkan kehidupan setelah meninggal. Mereka sepertinya sedang bergiat di dua tempat yang berbeda, di satu sisi mendirikan yayasan sosial untuk mempersiapkan kehidupan di akhirat dan melakukan bisnis untuk kelangsungan hidup di dunia. Saya teringat akan pesan Emha Ainun Nadjib, yang intinya menyatakan bahwa “Pekerjaanku adalah ibadahku”. Dikutip dari Buku Kisah-kisah Sebuah Angkatan Ayo kita lanjutkan serial kisah alumni ITB angkatan 77 di sini. Kali ini mari kita ikuti perjalanan karir Direktur Utama Pacific Link, Wahyoe Prawoto sorang alumnus ITB Jurusan Teknik Industri angkatan 77. Simak tulisannya berikut ini. Sulit untuk mengarang Walaupun saya asli orang Jawa, tapi saya sekolah SD, SMP dan SMA di Medan. Saya ingat bahwa pelajaran mengarang adalah pelajaran yang paling saya benci, karena terasa selalu tidak punya bahan untuk dijadikan karangan. Sewaktu ada tugas mengarang di kelas 4 SD di Medan, saya buat judulnya “Mengarang” dan di situ saya tuangkan “uneg-uneg” saya betapa sulitnya pelajaran mengarang. Kenapa? Karena sulit mencari bahan untuk dituangkan dalam karangan. Awal SMP, entah dari mana datangnya, saya mulai menulis puisi, dan hobi ini berlanjut sampai kuliah. Tapi puisi-puisi itu hanya untuk digunakan sendiri, atau oleh orang lain seperti adik saya waktu ada peringatan Hari Kartini di sekolahnya. Sesekali saya berikan puisi tersebut ke seseorang yang saya sukai. Pernah saya coba kirimkan ke sebuah harian di Medan, tapi tidak pernah dimuat. Ternyata keinginan untuk mengarang justru akan melatar-belakangi kehidupan dan jalan karier saya di masa depan. Mengarang dan menulis, rupanya juga nantinya akan menjadikan salah satu kebahagiaan kami sekeluarga. Judul asli tulisan ini adalah “Kisah orang Indonesia pertama yang mencapai kutub selatan” yang ditulis oleh Agus Supangat dalam Buku "Kisah-kisah Sebuah Angkatan" dari Alumni ITB 77. Sangat menarik mengikuti pengalaman Agus Supangat, yang pernah dianugrahi penghargaan Satyalencana Wira Karya di bidang Kelautan oleh Pemerintah SBY ini, ketika mengawal Prasasti ke Antartika. Ikuti kisahnya di sini. Menuju Perancis Latar belakang pendidikanku berawal dari Sarjana Geofisika dan Meteorologi ITB yang aku peroleh pada bulan Maret tahun 1983. Kemudian melanjutkan dosen di ITB yang secara resmi dimulai di tahun 1985. Pada tahun 1987, aku mendapatkan beasiswa dari pemerintah Perancis untuk melanjutkan program DEA (S2) di bidang Meteorologi di Universite de Blaise Pascal dan DEA (S2) di bidang Geomorfologi dan Coastal Manajemen di Universite de Bretagne Occidentale tahun 1989. Pada tahun 1993 aku balik lagi ke Perancis untuk meneruskan program Doktor di bidang Marine Environmental di Universite de Montpellier II hingga selesai pada tahun 1996. Menjadi teman dan fasilitator di kampus ITB Sepulang sekolah dari Perancis, aku mulai lagi berkecimpung di dunia pendidikan di ITB seperti mengajar, sebagai dosen wali mahasiswa, membimbing mahasiswa, administrasi, organisasi, penelitian dan juga proyek. Cukup mengasyikkan kalau ketemu para mahasiswa apalagi yang masih baru (TPB), ada rasa haru setiap tahun kalau ikut menerima mereka, ketemu orangtuanya sampai akhirnya mereka diwisuda. Aku selalu, dan mungkin hampir rata-rata gaya dosen ITB, memposisikan diri sebagai teman dan fasilitator baik kuliah maupun di luar jam kuliah, dan ini cukup bagus menurutku karena mereka lebih terbuka kalau ada masalah baik akademis maupun pribadi. Dalam pengajaran aku lebih memilih Learning Base bukan Teaching Base. Untuk itu ya harus mempersiapkan dengan bagus semua materi yang diberikan, konsekuensi ya harus banyak nulis sebagai bahan bacaan para mahasiswa, bahkan dibudayakan untuk on-line alias dimanapun dan kapanpun dosen dan mahasiswa bisa diskusi. Dan satu hal yang menurutku penting adalah bahwa seringkali para mahasiswa memperhatikan sepak terjang dosennya, kadang malah ada yang dijadikan panutan. Diminta memberi “warna” Departemen Kelautan dan Perikanan yang baru Sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan, sekitar tahun 1999, aku ditugaskan oleh ITB untuk ikut memberi warna Departemen baru ini terutama dibidang kelautannya karena memang departemen ini lebih dominan di sisi perikanannya. Dan kami mulai dari nol bahkan kantor saja harus “nebeng”, meja dan kursi gantian. Pada waktu aku diminta menghadap Pak Sarwono dan Pak Indroyono, beliau hanya berpesan bahwa tidak ada fasilitas mobil maupun rumah dinas dan aku harus tetap mengajar !. “Siap Pak...!” jawabku. Teman-teman di ITB juga tahu bahwa istri dan kedua anakku memang tinggal di Jakarta. Alhamdulillah akhirnya semua berjalan, dimulai dari riset yang sifatnya lokal, nasional maupun internasional sudah berhasil kami lakukan. Dari mulai Arus Lintas Indonesia, Submarine Hydrothermal sampai Antartika. Kami benar-benar berusaha menunjukkan “bendera” kelautan Indonesia. Dan dampak dari itu semua, aku pernah jadi selebriti kelas proletar, profilku sempat dimuat dari mulai majalah Bobo, Harian Republika, Gatra, d’Maestro bahkan sempat diminta ikutan kuis Dang Dut-nya Jaja Miharja dan di era pemerintahan SBY ini aku dianugrahi penghargaan Satyalancana Wira Karya di bidang Kelautan. Pada awal September 2001 ada tawaran dari AAD (Australian Antarctic Division) kepada Indonesia melalui BRKP untuk melakukan riset di Antartika. AAD mengajak Indonesia untuk bergabung menjadi anggota tim Ekspedisi Antartika untuk tahun 2002. Ada 12 (dua belas) orang kandidat dari Indonesia, aku termasuk di antara nama-nama calon anggota Tim Ekspedisi Antartika tersebut. Ternyata akulah satu-satunya yang memasukkan proposal di bidang oseanografi. Akhir kata, setelah melalui berbagai seleksi yang lumayan berat dan ketat, seperti menjalani test kesehatan di Indonesia dan di Hobart, Australia, aku diterima sebagai anggota team ekspedisi. Memulai perjalanan ke Antartika Pulau Tasmania, selatan Australia, Sabtu 26 Januari 2002. jam menunjukkan pukul 19.00 waktu setempat. Matahari masih bersinar. Cahaya emasnya tampak benderang. Angin tak kencang, hanya berembus sepoi. Beberapa burung camar terlihat asyik melayang sambil sesekali menukik ke air, mencari ikan. Di dermaga, puluhan pasang mata tak lepas mengamati Aurora Australis. Sore itu, kapal riset milik Australia ini baru saja berangkat meninggalkan Pelabuhan Hobart. Perlahan namun pasti, Aurora Australis meninggalkan pulau seukuran Pulau Madura itu. Kami, rombongan peneliti dan sebagian awak berjajar di geladak paling atas ketika kapal beringsut perlahan meninggalkan pelabuhan. Peristiwa sore itu, tampaknya, tak akan pernah lepas dari ingatan. Dari atas geladak Aurora Australis saya melambaikan tangan ke teman-teman yang melepas di dermaga. Beberapa teman dari Indonesia memang hadir di sana. Mereka mahasiswa Indonesia yang tengah melanjutkan studi di negara itu. Saya terharu melihat mereka ikut mengantar kepergian kami. Dalam perjalanan riset yang kali ini diberi nama Voyage 7, Aurora Australis membawa tim peneliti gabungan. Ada 25 peneliti dari berbagai negara dalam misi ini. Ada peneliti dari Selandia Baru, Kanada, Brasil, Prancis, Amerika, Afrika Selatan, Belanda, Irlandia dan, tentu saja, Australia. Aurora Australis, dengan bobot mati 6.500 ton, dinakhodai Kapten Les Morrow. Pria berkebangsaan Australia ini telah berulang kali melakukan misi ke Antartika. Ia ramah, selalu enak diajak bercakap-cakap. Padahal, tanggung jawabnya besar. Kapal Aurora Australis ini besarnya hampir lima kali kapal Baruna Jaya VIII, kapal riset milik LIPI. Hari pertama di atas Aurora Australis berlalu dengan lancar. Laut sangat bersahabat. Hari pertama itu dihabiskan para peneliti dengan melakukan persiapan penelitian. Perbincangan di antara para peneliti pun makin akrab. Maklum, sebelumnya kami memang telah bertemu di darat. Kami telah bergabung sejak 21 Januari di pangkalan darat dekat Hobart. Pada 21 Januari itu, saya mendarat di Hobart, kota pulau dengan penduduk 40.000 jiwa, yang menjadi base camp penelitian Antartika. Di kota inilah terletak Australian Antarctic Division (AAD) - Lembaga Penelitian Antartika Australia. Di AAD ini, kami mendapat penjelasan awal sebelum melangsungkan penelitian. Saya merasa sangat beruntung bisa bergabung dengan peneliti dari berbagai negara untuk melakukan riset di Antartika. Melakukan penelitian di Kutub Selatan jelas sebuah peluang langka. Saya jelas bersyukur, sebab kesempatan ini belum tentu bisa terulang lagi. Mengambil air di 21 lokasi Tak perlu waktu lama bagi kami untuk menyesuaikan diri. Sebab, sebelum berangkat, segala hal telah direncanakan dengan baik dari Hobart. Semua peneliti boleh dikata telah mengingat di luar kepala segala hal mengenai kapal, posisi dalam tim, teman kerja, serta peralatan yang ada. Bagi saya, perjalanan ke Antartika ini merupakan suatu berkah karena berkesempatan melakukan penelitian mengenai air laut langsung di Kutub Selatan. Kesempatan semacam ini jelas hal langka bagi peneliti di Tanah Air. “Saya akan gunakan kesempatan ini sebaik mungkin,” begitu berulang saya tekadkan dalam hati. Dalam pelayaran Voyage 7, saya termasuk dalam tim AMISOR – Amery Ice Shelf Ocean Research – tim yang meneliti kaitan antara pemanasan global dengan pelelehan es di antartika. Disamping itu saya juga bertugas meneliti keberagaman klorofil di air laut. Sepanjang perjalanan, tim kami berulang kali menghentikan pelayaran untuk mengambil contoh air. Ada 21 titik berbeda harus diambil airnya. Semua contoh air itu bervariasi pada kondisi arus, kedalaman, juga dedahan cahaya mataharinya. Paling dalam mencapai titik 200 meter. Pada titik inilah cahaya matahari masih bisa mempengaruhi plankton. Untuk penelitian ini, saya bekerja pada laboratorium basah dan laboratorium kering. Setiap mengambil contoh air, Aurora Australis harus lego jangkar, berhenti berjam-jam. Sampel air diambil dengan menggunakan peralatan CTD, atau Conductivity -Temperature -Depth, sebuah perangkat seharga sekitar AUS$700.000. Peralatan ini dilengkapi dengan sistem komputer untuk analisis data, pengoperasian alat ini sepenuhnya dilakukan lewat komputer. CTD dioperasikan dari geladak D Aurora Australis, tempat laboratorium kering dan basah terletak. Pada saat akan mengambil contoh air, pintu di dinding kanan kapal akan terbuka. Kemudian sebuah belalai dikeluarkan. Di ujung belalai ini ada semacam alat yang bisa membuka-menutup. Fungsinya mengambil air. Contoh air inilah yang akan digunakan sebagai bahan penelitian. Sebelum Aurora Australis berangkat, semua titik pengambilan air sudah ditentukan. Pada lintang-bujur berapa, demikian juga variasi kedalamannya. Karena itu saya tak perlu lagi repot harus berkoordinasi dengan nakhoda untuk menghentikan kapal. Begitulah, pada penelitian ini, semua kru dan peneliti tahu persis tugas masing-masing. Dilibas Badai Samudra Selatan Di Aurora Australis, semua kontrol dilakukan di layar komputer. Pintu untuk keluar-masuk belalai penelitian, misalnya, diatur otomatis. Saya pun bisa dengan mudah dan akurat menentukan kedalaman air yang bakal diambil. Setelah kedalaman sesuai dengan yang direncanakan, tombol panel pun ditekan, dan sampel air segera “terciduk”. Pada saat mengambil air, peneliti di atas kapal juga sudah tahu persis berapa besar kekuatan arus, suhu air, dan parameter lainnya di titik pengambilan itu. Sebuah sensor yang duhubungkan ke komputer kapal langsung membaca situasi umum itu dengan otomatis. Untuk mengubah ukuran kedalaman pengambilan air, saya hanya perlu menekan sebuah tombol panel di keyboard komputer. Semua memang serba computerized. Pada 31 Januari, pelayaran memasuki area Samudra Selatan. Suasana laut berubah tak bersahabat. Keganasan Samudra Selatan mulai terasa. Hari ini tak ada peneliti yang berani berjalan di areal terbuka geladak F. Di geladak paling atas Aurora Australis itu, air laut riuh menyerbu. Angin melibas kencang, dan badai menyemburatkan ombak yanng tingginya tak kurang dari 17 meter. Di samudra yang terkenal keganasan arusnya itu. Aurora Australis harus berjuang untuk terus melaju. Ternyata badai tak segera lewat. Tiga hari penuh kapal kami diombang-ambingkan badai dengan ombak yang lebih tinggi dari pohon kelapa. Beberapa teman peneliti sudah dilanda mabuk laut, mual-mual dan muntah-muntah. Rob Easther, lelaki 47 tahun yang menjadi komandan tim peneliti, tampak tegar berbeda dengan wakilnya Garry Nash, cewek ahli mikrobiologi ini mabuk laut. Ia tak tahan melawan hempasan ombak. Padahal, ini bukan kali pertama Garry Nash berlayar ke Kutub. Hempasan gelombang ke lambung kapal memang benar-benar tak sistematis, dan tak menerpa hanya dari satu arah. Kadang ombak tinggi menyapu dari buritan, kadang dari lambung kanan atau kiri. Hari pun rasanya penuh perjuangan. Saya sendiri hanya bisa tinggal di kamar. Kami semua memang hanya menghabiskan waktu untuk makam dan minum. Tak ada yang bisa kami lakukan kecuali berdoa. Saya yakin, badai kali ini memang amat kuat. Serangan paling hebat datang pada hari kedua. Dua kontainer di buritan kapal hilang, terbawa arus dan mencebur ke laut. Bagi saya, laporan kehilangan dua kontainer ini awalnya cukup menciutkan hati. Sebab, satu kontainer berisi peralatan penelitian seperti, peralatan mekanik, dan peralatan lain yang bakal digunakan di stasiun peneliti di Antartika. Sedangkan kontainer satunya penuh berisi bahan makanan. Tapi, kehilangan ini tak membuat kru dan awak kapal khawatir. Begitu juga para peneliti lain. Ternyata, semua barang yang hilang tadi sudah dibuatkan asuransi. Alat-alat pendukung penelitian yang tenggelam di laut itu sudah ada cadangannya. Semua ternyata telah diperhitungkan segala kemungkinannya... “Luar biasa”, saya membatin. Laporan mengenai hilangnya perbekalan ini juga langsung dikabarkan ke stasiun tujuan di Antartika yaitu Davis dan Mowson, serta base station di Hobart. Mengunjungi Benua Beribu Gunung Es Kapal, dan juga semua kru, termasuk para peneliti, memang sudah dipersiapkan untuk menghadapi semua kondisi terburuk. Untuk menghadapi risiko itu, latihan penyelamatan diri dari berbagai bahaya kontinu dilakukan dalam periode tertentu. Jadwal latihannya pun tercantum jelas. Semua harus ikut berlatih untuk menghadapi situasi riil di atas kapal, bila terjadi keadaan darurat. Termasuk latihan evakuasi, mengenakan baju pengaman, pelampung, serta masuk sekoci penyelamat. Semua latihan dilakukan dalam kondisi riil. Semua harus segera berada dalam posisi masing- masing, dan diabsen satu per satu. Kalau satu ketika ada peneliti yang tidak muncul, ia bakal kena marah. Toh akhirnya, badai pun mereda, dan perjalanan bisa dilanjutkan. Memasuki kawasan Antartika, tepatnya ketika melewati lintang 60 derajat, mulai terlihat gunung-gunung es. Cedric adalah gunung es pertama yang saya lihat. Sambutannya pun lumayan ramah. Bongkahan es raksasa itu berjalan tenang tertbawa arus laut. Gunung es sebesar lapangan sepak bola itu memiliki tinggi 10 meter dari permukaan laut. Tentu saja bongkahan yang ada di bawahnya jauh lebih besar. Gununng es memang menyimpan 90% tubuhnya di bawah laut. Saya, Lukman, dan peneliti lain, yang untuk pertama kali datang ke Kutub Selatan, memandangi Cedric dengan rasa takjub. “Umur gunung es ini diperkirakan lebih dari 10.000 tahun,” kata Rob Easther. Saya tentu saja makin tercengang. Mungkin melihat pandangan mata saya yang sangat ingin tahu, akhirnya Rob Easther pun mengulurkan sebagian kliping koran mengenai Cedric. Daerah tempat Cedric muncul ini disebut brink B, atau tepian B. Di sini sudah tampak gunung es bertebaran. Laut pun sangat tenang. Ancaman badai es memang ada, tapi itu hanya muncul di musim dingin. Bagi kapal, tantangan di areal ini adalah membekunya laut. Ternyata Aurora Australis sudah langganan terperangkap es. Hanya berkat kepiawaian Kapten Les Morrow, kapal ini selalu bisa terbebaskan. Sebagai perlengkapan standar Aurora memang dilengkapi dengan alat pemecah es. Pemecah es ini bekerja untuk membuka jalan. Tanpa alat ini, kapal bisa terjebak selamanya di daerah dingin ini. Bila tersangkut es, pemecah es pun mulai digunakan. Dinding kapal akan terasa bergetar bila alat ini bekerja. Caranya memecah es adalah dengan mendorongnya ke depan, dan berputar seperti bor. Gerakan ini dilakukan berulang kali, sampai es yang mengikat kapal pun pecah. Tujuan akhir perjalanan tim peneliti yang diboyong Aurora Australis adalah stasiun Penelitian Davis. Sebenarnya, selain Davis, Australia masih memiliki dua stasiun penelitian lainnya, yakni Mowson dan Casey. Tapi, Davis adalah pusat penelitian yang terbesar dan terlengkap. Letak Davis sangat dekat dengan stasiun penelitian milik Pemerintah Cina. Dalam perjalanan kami, Aurora Australis memang sempat berpapasan dengan kapal milik “Negeri Panda” itu. Waktu Jakarta di Kutub Selatan Dari Asia, hanya Cina, Jepang, Korea Selatan, dan India yang sudah memiliki stasiun penelitian Antartika. Membuka sebuah pusat penelitian di daerah sejauh Kutub Selatan ini tentulah sangatlah mahal. Tapi, saya kira Indonesia tak bisa mengabaikan peluang melakukan riset di daerah dingin ini. Apa manfaat riset-riset di Kutub bagi negara tropis seperti Indonesia? Menurut saya, laut adalah sebuah hamparan yang berhubungan satu dengan lainnya. Kejadian di kutub pasti bakal mempengaruhi laut di kawasan tropis. Maka manfaat penelitian di Kutub pasti sangat besar, sebab negara kita memiliki laut sangat luas. Kali ini, saya bisa berangkat karena Indonesia ingin menjadi anggota Antarctic Treaty. Meskipun, untuk sementara, masih harus bergabung dengan negara yang memiliki fasilitas riset di tempat dingin itu. Australia sudah bersedia mengajak para peneliti Indonesia untuk turut dalam penelitian di sana. Perjalanan saya tahun ini adalah perjalanan bersejarah bagi Indonesia. Saya pantas berbangga karena mungkin adalah manusia Indonesia pertama yang berlayar dan bisa mendarat di benua Antartika. Misi Indonesia ini tak hanya untuk penelitian, karena saya juga punya satu tugas penting lain : membawa sebuah batu prasasti, seberat 35kg. Prasasti yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri itu telah diletakkan di pusat penelitian Davis, yang bunyinya : " With the bless of God, the existence of Indonesian marine scientists with their colleagues from Australia on Antarctic continent brings a close relationship between two neighbouring country, Australia and Indonesia ". Perjalanan prasasti ini ternyata cukup panjang. Sebab baru hari ke-13 kapal Aurora Australis sampai di tujuan. Ternyata tidak semua peneliti diperkenankan turun. Hanya lima peneliti yang boleh merasakan kesempatan langka menjejakkan kaki di daratan es itu. Saya satu di antaranya. Untuk mencapai daratan es, kami dijemput sebuah helikopteer. Perlu waktu 45 menit dengan heli menyebrangi lautan es untuk sampai ke Davis. Yang unik, ternyata longitude atau bujur koordinat stasiun Davis hampir sama dengan bujur koordinat di wilayah barat Indonesia. Saya kaget. Setelah kekagetan itu lenyap, saya pun memutar jarum jam tangan ke posisi awal. Sebab, waktu Davis menggunakan standar waktu Indonesia bagian barat – WIB. Tapi kekagetan ternyata bertambah lagi ketika bertemu dengan para pilot heli di stasiun Davis. Umumnya mereka mengerti bahasa Indonesia. “Mau ke mana ?” mereka bertanya. Saya kaget benar, mereka ternyata sudah diberitahu akan ada peneliti asal Indonesia. Belakangan mereka bercerita, Bahasa Indonesia itu mereka pelajari ketika bekerja di berbagai pertambangan di pedalaman Indonesia Timur. Umumnya pilot-pilot helikopter di Davis memang pernah bekerja di tambang-tambang Indonesia Timur. Prasasti Megawati dan Air Mata Pakaian khusus semacam ini memang harus digunakan setiap turun ke daratan Antartika. Tapi, saya beruntung, Januari suhu di sekitar Davis tak terlalu menggigit. Suhunya berkisar antara 5 derajat hingga minus 5 derajat celcius. Dalam suhu seperti ini, bagian tanah di daratan itu masih terlihat. Sebagian jalan batu yang dibuat menuju stasiun itu juga nampak jelas. Di kiri dan kanan jalan itu terdapat tali penuntun. Pada Januari, tali itu tak terlalu berguna. Tapi, di musim dingin sekitar Juli- Agustus, tali itu menjadi tempat bergantung yang penting. Pada musim itu angin kencang bisa menghajar tubuh siapa pun hingga roboh. Sesampai di Davis, rombongan kami disambut sangat hangat oleh para peneliti yang ada di sana. Saya benar-benar merasa beruntung bisa menjadi orang Indonesia pertama yang sampai ke daerah dingin itu. Sebab, batu prasastii Presiden Megawati akhirnya jadi juga diletakkan di dekat bangunan utama Stasiun Davis. Rabu 13 Februari, pukul 19.00 WIB, ketika saya mengibarkan sang Merah Putih dan meletakkan batu prasasti di Stasiun Davis, adalah hari bersejarah bagi Indonesia. Hingga kini saya masih bisa mengingat deetik-detiknya secara jelas. Sebab, setelah prasasti itu diletakkan, saya mengerek bendera Merah Putih. Bagi saya, adalah momen mengharukan bisa menyaksikan bendera negeri tercinta berkibar untuk pertama kali di Kutub Selatan. Benar-benar sulit rasanya membendung air mata. Usai pengibaran bendera, saya bergegas masuk ke bangunan utama pusat penelitian Davis. Tak sabar saya mengirimkan e-mail ke teman-teman di Tanah Air, mengumumkan keberhasilan itu. Selesai mengirim e-mail, saya langsung mengangkat telepon: “Halo, halo ini Agus dari Antartika…,” ke rekan-rekan di Departemen Kelautan. Saya pun tak lupa menelepon keluarga, istriku Endang Indrawati, serta kedua anakku, Eriyanti Primadani, dan Janviero Demillo. Saya lega, separuh tugas selesai. Kini tinggal berkonsentrasi pada penelitian. Lupa Membawa kaset dangdut Suasana di Aurora Australis sangat menyenangkan. Kapal penelitian ini memiliki enam geladak. Dek A, B dan C, yang terletak paling bawah, digunakan kru kapal. Geladak D menjadi lokasi laboratorium basah dan kering. Di lantai ini pulalah terdapat kamar tidur, ruang makan, bar, dan toko makanan yang dikelola kru kapal. Fasilitas olahraga juga berada di geladak ini. Dek paling atas adalah Dek F. Geladak ini sebagiannya adalah ruang terbuka. Melihat ukurannya, kira-kira empat heli bisa hinggap sekaligus di geladak ini. Tapi yang paling membuat saya dan Lukman betah adalah, hampir seluruh kru dan peneliti Australia bisa berbahasa Indonesia walaupun terbatas. Meski terbata-bata dan dengan kosakata terbatas, mereka berusaha menggunakan bahasa Indonesia. Sapaan “mau makan apa”, “mau ke mana”, sangat sering terdengar. Tak Cuma itu, lagu Satu-satu Aku Sayang Ibu pun sering terlantun di Aurora Australis. Rachael, satu di antara peneliti, paling sering melantunkan lagu itu. Cewek 27 tahun ini sangat hafal lagu Satu-satu Aku Sayang Ibu. Peneliti Australia yang sedang menyelesaikan studi S-3 mengenai kelautan di Universitas Brisbane ini mengaku hafal karena ibunya kerap menyanyikan lagu itu ketika ia kecil. Menurut Rachael, lagu itu dinyanyikan ibunya sebagai pengantar tidur. Saya, yang penasaran, pernah bertanya apakah Rachael mengerti benar arti lagu itu. Dengan senyum, cewek jangkung itu mengatakan: tentu saja. Sepanjang perjalanan, makanan benar-benar berlimpah. Tak mengherankan jika berat badan saya pun melonjak tiga kilo seusai pelayaran. Selain soal makanan, saya juga cukup terkagum dengan sarana komunikasi di Aurora. Fasilitas e-mail tersedia 24 jam. Setiap saat saya bisa berkomunikasi dengan dunia luar, walau penggunaan e-mail di kapal ini adalah tidak diperkenankan penggunaan attachment. Komunikasi dibatasi hanya tulisan, tak boleh mengirim foto atau gambar. Satu hal lain yang harus diceritakan adalah pengalaman hari ketujuh pelayaran Aurora Australis. Hari itu saya benar-benar sial, karena kurang berhati-hati ketika membuka mantel selesai mengambil foto di geladak kapal, kamera yang tergantung di leher itu ikut tertarik, jatuh dan pecah. Saya benar-benar putus asa, dan hampir menangis sebab perjalanan baru dimulai, dan masih ada puluhan hari lagi dalam perjalanan. Beruntung, musibah ini diketahui Debora Glasgow, fotografer asal Selandia Baru, yang turut dalam ekspedisi Voyage 7. Pada akhir perjalanan saya dihadiahi kejutan. Laptop pribadi saya ternyata sudah ia isi dengan dokumentasi foto sepanjang perjalanan ke Antartika. Saya kaget bukan kepalang. Tak kurang dari 500 frame foto dimasukkan Glasgow ke laptop saya. Di seri foto itu tampak seluruh kegiatan saya selama perjalanan. Tengah meneliti, makan, bercanda, tidur, bahkan tengah berolahraga. Mengenang perjalanan di Aurora Australis, ada juga penyesalan. Saya menyesal lupa membawa kaset lagu dangdut. Padahal, fasilitas audio di kapal itu rasanya bisa dimanfaatkan untuk mengenalkan joget dangdut pada para kru dan peneliti. Hiburan memang jadi bagian penting di kapal ini. Setelah menjalani aktivitas yang menjenuhkan, para peneliti bisa menghibur diri dengan bercanda, berolahraga, juga menonton TV. Fasilitas seperti bar dan kafe juga ada di sini. Tapi saya lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain sepak bola. Sebuah lapangan terbuka di geladak F bisa dimanfaatkan untuk berolahraga berebut bola ini. Luas lapangan itu seukuran lapangan basket. Pertandingan sepak bola tiga lawan tiga cukup memadai dilakukan di lapangan seluas itu. Sebenarnya, selain sepak bola, meja dan perlengkapan pingpong juga tersedia. Namun, olahraga satu ini tak terlalu populer. Sebab, gelombang dan angin laut yang kencang kerap membelokkan arah pantulan bola. Maka tak mengherankan jika meja pingpong ini hanya dibuka bila laut amat tenang. Menjelang akhir perjalanan, sebuah ritual pelepas lelah khusus dilakukan di Aurora Australis. Seminggu sebelum mencapai Hobart, ritual itu digelar. Di geladak D, semua peneliti berkumpul. Pada ritual ini, para peneliti yang baru pertama kali pergi ke Antartika “diwisuda”, mirip penggojlokan ala ospek mahasiswa dan harus mengikuti setiap perintah “para senior”. Tentu saja ini dilakukan dengan rasa humor yang tinggi. Selain itu ada juga acara pengorbanan. Siapa saja yang berani boleh melakukan pengorbanan, misalnya menggundulkan rambut. Biasanya kemudian terjadi adu tawar-menawar antar peneliti. Misalnya, kalau saya bersedia dicukur gundul, peneliti lain berani bayar berapa dolar dan hasil pengorbanan ini bakal disumbangkan ke panti sosial. Uang hasil ritual pengorbanan ini dikumpulkan dan disumbangkan ke yayasan untuk pengobatan AIDS dan program sosial lainnya di Australia. Tapi, saya pilih menyumbang tanpa melakukan pengorbanan rambutku digunduli, sebab, sungguh, saya benar-benar tak suka gundul karena emang sudah gundul...... Salah satu pemandangan yang luar biasa adalah terlihatnya bintang Aurora di langit Antartika. Berikut ini adalah foto pemandangan yang sulit untuk dilihat dari belahan dunia lainnya : Tentang penulis (oleh redaksi Buku "Kisah-kisah Sebuah Alumni")
Agus Supangat adalah alumni dari Jurusan Meteorologi dan Geofisika. Agus selain menjadi staf Pengajar di Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral ITB, juga dipercaya sebagai Kepala Bidang Pelayanan Teknis di Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Ia saat ini banyak melayani kerjasama riset nasional dan internasional di bidang Oseanografi, Variabilitas Iklim dan Lingkungan Laut. Kisah Alumni ITB - Yayung Dua Tahun Berjuang Melawan Leukimia Yang Diderita Anaknya dan Berhasil1/23/2014 Tulisan berikut ini saya kutip dari "Kisah Sebuah Alumni" yang telah dibukukan dengan judul asli dari penulisnya: “Berkarier hingga menjadi Direktris Bank dan berjuang melawan Leukemia yang diderita oleh anak saya” Ditulis oleh Dian A. Soerarso. Saya sempat meneteskan airmata ketika membaca kisah perjuangan Yayung di Belanda merawat anaknya yang menderita leukemia. Simak juga kesaksian Yayung tentang prinsip "Good Corporate Governance" (GCG) yang menyelamatkan Bank Niaga ketika krisis moneter 1998. Selamat mengikuti dan semoga bermanfaat. Ingin bekerja di Surabaya Sewaktu saya lulus dari ITB Jurusan Teknik Industri pada tahun 1982, saya sebenarnya ingin bekerja di industri Telekomunikasi, sesuai dengan tugas akhir saya. Namun karena sebagian besar perusahaan Telekomunikasi berada di Jakarta, sedangkan saya ingin tinggal dekat keluarga di Surabaya, maka akhirnya saya memilih untuk bekerja di pabrik perusahaan Corning Glass, Surabaya. Namun ternyata pekerjaan ini hanya berlangsung selama 3 bulan saja. Hampir pada saat yang bersamaan, saya mendapat panggilan untuk mengikuti “Executives Development Program” (EDP) Bank Niaga. Saya langsung memutuskan untuk mengambil kesempatan tersebut, dengan pemikiran yang sangat sederhana, yaitu bisa bekerja di lingkungan ber-AC yang dingin dan bersih, dan diperbolehkan berpenampilan rapi. Bekerja di Bank terasa lebih cocok untuk seorang wanita, dibandingkan dengan bekerja di pabrik yang panas dan tidak nyaman karena diharuskan memakai celana panjang. Memulai karier di Bank Niaga Bank Niaga adalah sebuah bank swasta yang telah berdiri sejak tahun 1955. Salah satu alasan yang membuat saya tertarik bekerja di Bank ini adalah, karena Bank Niaga dikenal sebagai bank yang mencetak tenaga-tenaga perbankan professional, terutama setelah mereka menjalin kerjasama dengan Citibank baik dari sisi sistem recruitment maupun pengelolaan sumber daya manusianya. Dibawah pimpinan Bapak Robby Djohan, saya merasa Bank Niaga mempunyai visi dan misi yang jelas, baik dari sisi pencapaian target bisnis maupun penanganan manusia sebagai asset utamanya. Salah satu hal yang paling menonjol di Bank Niaga dan menjadi daya tarik saat itu, adalah pemanfaatan sistim komputer pada seluruh cabang-cabang Bank Niaga di Jakarta maupun di Surabaya. Sehingga seorang nasabah di salah satu kantor cabang Surabaya, dapat menyetorkan uang, ataupun mengambil uang tunai, dan juga melakukan kliring dari kantor cabang manapun di kota Surabaya. Walaupun saat ini, hal tersebut sudah sangat biasa, namun di tahun 1982, terobosan Bank Niaga termasuk sangat luar biasa. Mendalami bidang consumer banking Saya mengikuti training EDP selama 10 bulan. Setelah lulus program ini, kemudian saya mendapat tugas menjadi seorang account officer. Tugas account officer adalah memperkenalkan dan menjelaskan produk-produk Bank kepada calon-calon nasabah khususnya tentang produk-produk Commercial Banking yang lebih didominasi oleh pinjaman, baik KIK-KMKP ataupun pinjaman biasa. Setelah 2 tahun saya menjabat sebagai account officer, kemudian saya diberi kesempatan untuk menangani Consumer banking. Saya sangat menyenangi bidang consumer banking yang ternyata nantinya akan menjadi sebagian besar kegiatan dari karier hidup saya. Hanya dalam 2 tahun saya belajar dan mendalami tugas consumer banking, kemudian saya dipromosikan menjadi kepala bagian pemasaran consumer banking di salah satu kantor cabang Bank Niaga pada tahun 1985. Pada tahun itulah Tuhan mengaruniai kami, putra kami yang pertama. Pada tahun 1987, saya ikut mengimplementasi sistem Automated Teller Machine (Anjungan Tunai Mandiri - ATM) di jajaran Bank Niaga sebagai Bank yang pertama memanfaatkan jasa ini di Indonesia. ATM dan Kartu kredit adalah ujung tombak pelayanan jasa consumer banking pada industri perbankan. Mungkin karena saya memang menyenangi bidang ini, maka pada tahun 1988, Bank Niaga menugaskan kepada saya untuk menjadi Kepala cabang Bank Niaga Surabaya Kota. Pada tahun 1988 inilah, kami dikarunai anak kedua yang juga anak bungsu kami, yang kemudian kami beri nama Dias Widya Ramadhan. Tugas sebagai ibu yang harus merawat seorang bayi dan juga memimpin sebuah kantor cabang bank memerlukan keteguhan, kekuatan fisik dan juga commitment yang sangat luar biasa untuk dapat melaksanakan tugas kedua-duanya dengan sempurna. Syukur alhamdulilah saya dapat melaksanakan pekerjaan-pekerjaan sehari-hari sebagai kepala cabang dengan relatif baik. Hal ini saya sadari, setelah mengetahui bahwa management bank Niaga pada tahun 1991, mulai memberikan tugas yang lebih besar lagi kepada saya untuk memperlebar cakupan tanggung jawab hingga lingkup propinsi Jawa timur (bukan terbatas lagi pada kota Surabaya). Bahkan pada tahun 1992 saya kemudian diberi tanggung jawab untuk menjadi pimpinan Bank Niaga untuk Wilayah Jawa Timur, khusus untuk menangani bidang pemberian kredit kepada invididu (bukan korporasi). Karier dan kehidupan keluarga saya nampak berjalan lancar hingga bulan Agustus 1993. Anakku menderita Leukemia Pada bulan Agustus 1993, Dias yang berumur 5 tahun, menderita demam dan sepertinya menderita penyakit flu biasa. Namun, walaupun sudah diberi obat dan nampaknya sembuh, empat hari kemudian Dias kembali sakit. Selain itu muncul bercak kebiruan di daerah kaki dan wajahnya terlihat pucat. Akhirnya karena khawatir, saya bersama suami, Agoes Soerarso, membawa Dias ke dokter spesialis anak, yang kebetulan juga dokter ahli darah. Sang dokter mencurigai adanya kelainan darah dan menyarankan Dias menjalani pemeriksaan laboratorium. Ternyata, Dias menderita penyakit kanker darah atau lebih dikenal dengan Leukemia. Ia di diagnosa menderita penyakit Leukemia jenis “Acute Leukemia Limphoblastic” tingkatan kedua (L-2). Leukemia jenis ini adalah jenis penyakit kanker dimana terjadi produksi sel darah muda yang sangat pesat. Jika tidak ditangani segera, penderita akan meninggal dalam hitungan bulan. Bisa di bayangkan betapa sedih dan kalutnya saya dan suami saat mendengar berita tersebut. Namun hal itu tidak saya biarkan berlarut – larut, saya putuskan untuk berjuang demi kesembuhan anak bungsu saya. Bersama suami, saya bangkit dari kesedihan, berusaha mencari pengobatan yang terbaik. Saya segera mencari informasi tentang segala hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi penyakit Leukemia tersebut. Bahkan, selama satu bulan, walaupun tetap bekerja di siang hari, saya terus-menerus menginap di rumah sakit tanpa pernah pulang ke rumah. Alhamdulilah Ibu saya ikut membantu menjaga Dias di Rumah Sakit kalau saya sedang bekerja. Suatu saat, mungkin karena stress dan juga karena lelah menjaga Dias disiang hari, saat saya bekerja dikantor, ibu saya akhirnya jatuh sakit yang mengharuskan beliau diopname juga. Namun sayang, dokter yang menangani ibu tidak manangani pasien di Rumah Sakit dimana Dias sedang dirawat. Sehingga, ibu harus diopname di rumah sakit yang berbeda dengan tempat Dias dirawat. Karena keduanya merupakan sosok yang sangat penting bagi kehidupan saya, maka saya membagi bezuk dengan cara : disaat istirahat makan siang saya bezuk ibu di Rumah Sakit Budi Mulia, kembali lagi ke kantor dan sore harinya saya ke Rumah Sakit RKZ dimana Dias dirawat. Saya kemudian menginap di sana sampai keesokan paginya, kembali berangkat ke kantor dari rumah sakit. Demikian berlangsung sampai seminggu lamanya. Jujur saja pada saat itu perhatian saya kepada anak sulung saya sangat minim, saya percayakan kepada suami bersama ibu mertua. Tidak tega melihat suntik melalui Bone Marrow Saya bersyukur, walaupun Dias saat itu masih kecil, tetapi ia mudah untuk diajak bekerja sama. Ia pasrah dan tidak pernah mengeluh walaupun harus minum obat dan disuntik berkali – kali. Padahal untuk menjalani kemoterapinya, Dias harus disuntik di tulang belakangnya dalam posisi badan yang ditekuk. Rasanya saya tidak tega harus berada diruangan tersebut. Hanya karena ingin selalu berada disamping Dias untuk memberikan semangat, saya dan suami secara bersama, saling menguatkan untuk terus berada di dalam ruangan tersebut. Membawa Dias berobat ke Belanda Setelah menjalani pengobatan di Indonesia selama 1 bulan, atas saran Bapak Robby Djohan, atasan saya di Bank Niaga, saat beliau bezoek ke rumah sakit, dan setelah berkonsultasi dengan para dokter, saya dan suami akhirnya memutuskan untuk membawa Dias berobat ke Belanda. Kami berhasil dihubungkan dengan salah satu rumah sakit khusus Leukemia anak di Amsterdam yaitu Vrije Universiteit Ziekenhuis.. Disana, Dias kembali menjalani pemeriksaan dan perawatan seperti yang dilakukan di Indonesia. Selama masa terapi itu, saya mengambil cuti besar dari Bank Niaga. Total masa terapi Dias ternyata memerlukan waktu sekitar 2 tahun. Dimana tahun pertama selama 4 bulan dan tahun kedua selama 6 bulan di Belanda. Bisa dibayangkan betapa sulitnya keadaan saya pada saat itu, berada di tempat yang asing, tanpa sanak saudara. Disaat-saat awal saya hanya ditemani oleh ibu, karena suami saya harus mengurus anak pertama kami yang masih kelas 3 SD. Biaya pengobatan di Belanda juga sangat mahal, belum lagi biaya untuk hidup. Saya saat itu tidak mempunyai penghasilan karena saya mengambil cuti diluar tanggungan perusahaan. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari–hari, yang sangat mahal untuk ukuran orang Indonesia, saya sempat berdagang dengan mengirim barang untuk di jual di Indonesia. Semua dibantu oleh teman dan saudara, mulai saat pengiriman, penjualan sampai penagihan pembayarannya. Saya sempat untuk melamar agar bisa berpindah kerja di Belanda. Saya bahkan sudah sampai tahap interview untuk diterima bekerja di salah satu perusahaan Belanda. Namun niat ini saya urungkan karena Dias memerlukan perhatian penuh. Untungnya semuanya berjalan lancar. Semua seperti sudah diatur oleh Tuhan. Saya selalu dipertemukan dengan orang – orang yang sepertinya dikirim Tuhan untuk bisa membantu saya mengatasi semua masalah di sana, walaupun awalnya saya tidak mengenal orang tersebut. Sampai saat ini, sangat erat pertemanan kami dengan mereka bahkan melebihi saudara sendiri. Belum lagi perhatian pak Julius Tahija (Komisaris Utama Bank Niaga), yang secara rutin menelepon saya setiap 2 minggu dari Australia/Amerika ke Belanda, dan juga pak Idham (Komisaris) yang secara terus-menerus mengirim dana ke Belanda, yang semuanya merupakan support yang tak ternilai bagi saya dan keluarga. Tangan-tangan Tuhan terasa sangat banyak dan membantu. Selama saya harus melakukan perjalanan Surabaya-Jakarta-Belanda dan bila harus menginap di Jakarta, saya sangat dibantu oleh Devi (sahabat saya sejak kuliah di ITB) dengan menyediakan kendaraan antar jemput dari dan ke bandara Jakarta (terimakasih banyak ya Devi). Sewaktu mendengar saya akan membawa anak berobat ke Belanda, sahabat- sahabat saya yang terdiri dari 10 orang (sampai saat ini saya masih sangat ingat satu-per-satu) memberi ”bekal” kepada saya berupa dana cash, yang ternyata dikemudian hari amat sangat berguna. Saya menerimanya dengan sangat terharu, begitu besar perhatian para sahabatku itu. Dias sendiri amat tabah dan selalu kooperatif dalam menjalani terapinya itu. Agar ia tidak tertinggal di sekolah, saya sering membantu mengajarkan pelajaran-pelajaran Dias di rumah sakit. Sedangkan untuk ulangan, guru sekolah Dias datang secara khusus ke Rumah Sakit. Terkadang Dias harus ulangan di dalam ruangan kaca. Karena memang Dias dirawat dalam ruang steril yang tidak semua orang boleh masuk. Sang guru hanya boleh mengawasi dari luar ruangan kaca. Sewaktu perawatan dilaksanakan di Belanda, soal ulangan dikirim dalam amplop tertutup dan Dias harus berangkat ke Denhaag. Saat itu kami tinggal di Amsterdam dan Dias menjalankan ulangan-nya di Sekolah Indonesia Nederland (SIN), Denhaag. Kami perlu menempuh perjalanan Amsterdam ke Denhaag memerlukan waktu kurang-lebih 1 jam. Hasil ulangannya dikirim kembali ke Surabaya dalam amplop tertutup. Pihak sekolah yang penuh pengertian, sangat membantu semangat belajar Dias. Sehingga walaupun terapi penyembuhannya sangat berat dan memerlukan waktu 2 tahun, namun syukur Alhamdulilah Dias tidak pernah tinggal kelas. Kembali ke Indonesia Akhirnya kondisi Dias-pun mulai membaik dan bisa melanjutkan pengobatan secara permanen di Indonesia. Kami kemudian meneruskan terapinya di Surabaya. Akan tetapi, setelah kembali ke tanah air, keadaan Dias kembali memburuk sehingga harus keluar-masuk rumah sakit. Karena daya tahan tubuhnya belum terlalu kuat, maka jika ia terkena penyakit flu, pilek atau batuk biasa maka efeknya bisa sangat parah. Menurut dokter, Dias harus dijaga benar kondisinya agar tidak terserang cacar air dan sakit mata karena bisa berakibat fatal baginya. Karena itu pula, seluruh keluarga dekatpun yang merawat Dias, harus menjaga kesehatannya masing-masing agar tidak menularkan penyakit ke Dias. Pernah pada suatu hari, kerja jantung Dias terganggu, dan sempat di rawat di Intensive Care Unit (ICU). Waktu itu tangannya sampai sebatas siku sudah terasa amat dingin dan ia berada dalam kondisi yang kritis. Alhamdulillah saya selalu diberi pikiran yang tenang dan selalu diberi jalan oleh Tuhan. Disaat kritis seperti itu, tim dokter Indonesia langsung menghubungi dokter Belanda dan langsung mereka diberikan bimbingan apa-apa yg harus dilakukan. Tak henti-hentinya saya bersyukur atas kemurahan Tuhan YME. Pernah pada suatu saat Dias memerlukan segera transfusi darah putih. Rekan-rekan Bank Niaga langsung mendaftar untuk menjadi donor. Dari kurang-lebih 100 orang pendaftar, karena adanya persyaratan tertentu, akhirnya yang dapat diterima sebagai pendonor hanya sekitar +/- 40 orang. Sekali lagi, hanya ucapan syukur Alhamdulillah yang bisa saya panjatkan, karena saya berada di lingkungan yang sangat kekeluargaan dan kondusif seperti itu. Dan, akhirnya, setelah dua tahun menjalani pengobatan, Dias pun dinyatakan sembuh total oleh dokter. Syukur Alhamdulilah, pekerjaan di kantor juga tetap bisa saya jalani dengan baik. Dias pun tidak terganggu sekolahnya, karena ia bisa mengerjakan ulangan serta tugas – tugasnya selama di rumah sakit. Menghadapi krisis moneter Dengan sembuhnya Dias pada tahun 1996, saya dapat terus melanjutkan konsentrasi pada karier saya di Bank Niaga. Namun rupanya setelah melewati krisis Dias, saya menghadapi krisis lain yaitu sebuah krisis perbankan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah perbankan Indonesia. Krisis ini diawali dengan runtuhnya mata uang Baht di Thailand pada bulan Juli 1997. Devaluasi Baht mengakibatkan terjadinya re-evaluasi nilai tukar di negara-negara Asia lainnya termasuk juga nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar di Indonesia. Para investor dan pebisnis di Indonesia menjadi sangat khawatir untuk ”memegang” mata uang Rupiah dan ingin secepatnya menukar ke mata uang US Dollar yang dianggap lebih stabil dan aman. Berbeda dengan negara Malaysia yang mem-pagu (peg) nilai tukar Malaysian Ringgit ke US Dollar serta ”menutup” perdagangan valas, pemerintah Indonesia justru ”mengambangkannya” untuk mengikuti perkembangan pasar dan tetap ”membuka” pertukaran valuta asing secara bebas. Langkah ini mungkin tepat bila devisa Indonesia cukup kuat dan juga hutang negaranya sedikit (seperti yang dilakukan Hongkong). Namun karena ekonomi Indonesia sebenarnya dibiayai oleh hutang maka dampaknya ternyata sangat luar biasa. US Dollar diburu oleh pelaku bisnis dan juga masyarakat, sehingga Rupiah melemah secara drastis. Para pelaku bisnis yang meminjam uang dalam mata uang US Dollar terpaksa harus membayar hutangnya dengan Rupiah dalam jumlah yang berkali-kali lipat. Banyak perusahaan yang kemudian menjadi bangkrut sehingga bank-bank pendukungnya-pun ikut bangkrut karena hutangnya macet. Kondisi politik saat itu juga sangat tidak mendukung terutama dengan adanya demonstrasi-demonstrasi untuk menjatuhkan Presiden Soeharto. Akhirnya untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, Presiden Soeharto terpaksa menanda-tangani perjanjian dengan IMF (Letter of Intent – LOI) untuk menerima bantuan sekitar US $ 40 milyar. Pada Mei 1998, Presiden Soeharto kemudian mengundurkan diri dan digantikan oleh Presiden Habibie. Salah satu kesepakatan dalam Letter of Intent tersebut antara lain harus menjual asset mayoritas kepemilikan saham di Bank Niaga kepada publik atau partner strategis. Disaat-saat tersebut, saya dan jajaran Bank Niaga Jawa timur, justru melihat dan mencari peluang untuk meningkatkan asset bank dengan tetap mengutamakan prinsip prudential banking. Upaya-upaya ini dapat dilihat pada penghargaan-penghargaan yang diterima oleh jajaran Bank Niaga Jawa timur saat itu seperti : • Area with the Highest Asset Growth selama 2 periode berturut-turut yaitu periode 1997 – 1998 dan periode tahun 1998 – 1999. • Selain itu Area Jawa timur juga mendapatkan predikat the Best Quality of Asset pada tahun 1999 Kualitas ekuitas kami baik dari sisi agunan maupun fixed asset memang betul-betul kuat dan baik. Dari kacamata saya, konsep-konsep Good Corporate Governance (GCG) yang diterapkan Bank Niaga jauh sebelum krisis moneter, sangat membantu Bank Niaga melewati krisis moneter sehingga tidak mengalami kehancuran seperti bank-bank lain. Dimana bank-bank lain terpaksa harus ditutup dan dimerger karena akibat hutang macet (”non-performing loan)”, Bank Niaga saat itu justru meningkat kinerjanya. Selain penerapan GCG, Bank Niaga juga sangat memperhatikan sumber daya manusia dan juga teknologi sistem informasi yang diterapkannya. Beberapa fondasi ini antara lain adalah berkat fokus dan tatanan yang dibuat oleh pak Robby Djohan sewaktu beliau menjadi direktur utama Bank Niaga pada tahun 1984 s/d 1994. Sehingga Bank Niaga mampu melewati masa-masa krisis moneter. Menjadi direktris tapi harus berpisah dengan keluarga Pada tahun 1999, saya kemudian diberi tanggung jawab oleh management, menjadi pimpinan consumer banking Bank Niaga untuk seluruh propinsi Jawa timur. Dengan fokus dan komitment yang tinggi, jajaran consumer banking Bank Niaga Jawa timur memperoleh predikat ”Best performance” selama 2 tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 1999 dan 2000. Prestasi-prestasi yang dicapai dan juga promosi menjadi pimpinan tertinggi di Jawa timur, membuat saya merasa kurang mendapat tantangan baru (challenge). Saya sempat berfikir untuk pindah perusahaan mencari tantangan baru, terutama yang memberikan coverage lebih luas. Syukur alhamdulilah, pada bulan Juni tahun 2000, para pemilik Bank Niaga mempercayai saya untuk menjabat sebagai Direktur Individual Banking, tentunya dengan catatan saya harus pindah ke Jakarta. Hal ini sempat menjadi bahan diskusi dengan suami dan akhirnya suami memberikan dukungannya. Akhirnya saya menjalani tugas sebagai salah satu direktris Bank Niaga di Jakarta. Banyak sekali karya-karya inovatif yang sempat saya luncurkan dan laksanakan sehingga Bank Niaga dapat memperoleh nasabah baru dan juga meningkatkan kinerjanya. Pada saat itu kami dapat meningkatkan perputaran uang nasabah dari Rp 300 milyar per bulan ke Rp 1 Triliun. Sehingga Bank Niaga mendapatkan penghargaan sebagai Bank Service Excellent Monitoring Program versi MRI-Infobank Magazine pada tahun 2001 dan 2002. Kami juga menjadi pemanfaat jasa Visa electrron tertinggi dibandingkan bank-bank lain. Beberapa kiat-kiat yang kami lakukan antara lain :
Pada bulan Oktober 2001, aset Bank Niaga tumbuh sampai mencapai Rp 21,3 triliun dengan dukungan jaringan 117 kantor cabang dan 154 ATM yang tersebar di 30 kota besar dan 12 provinsi di seluruh Indonesia. Berdasarkan laporan keuangan per 30 Juni 2001, bank ini memiliki rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio atau CAR) 20,33 persen walaupun dengan Non-performing Loan-nya (NPL) yang cukup tinggi yaitu sebesar 25,20 persen. Namun kredit yang telah disalurkan nilainya mencapai Rp 7,7 triliun. Di penghujung tahun 2002, Pemerintah tetap melaksanakan ketentuan dalam Letter of Intent dengan IMF dan menjual aset mayoritas Bank Niaga dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada Commerce Asset-Holding Berhad (CAHB). CAHB sebagai perusahaan jasa keuangan kedua terbesar di Malaysia dengan jaringan internasional di Singapore, Hong Kong, Tokyo, London dan Mauritius, akhirnya menjadi pemilik 63.87 % dari Bank Niaga. Berpisah dengan Bank Niaga Dengan adanya pemilik baru dan juga management baru, pada November 2002 saya tidak lagi bergabung di Bank Niaga. Di acara perpisahan Bank Niaga, saya sampaikan secara khusus terima kasih kepada seluruh Board of Commisisoner dan Board of Director, karyawan dan juga para sahabat di Bank Niaga. Secara spesifik saya ceritakan tentang perjuangan saya merawat Dias dan terus tetap berkarier di Bank Niaga. Saya sampaikan bahwa Dias adalah seorang anak Bank Niaga. Maksud saya bukan hanya dalam arti kiasan, bahwa Dias dilahirkan saat saya masih berkarya di Bank Niaga. Namun ditubuhnya juga mengalir darah rekan-rekan Bank Niaga dalam arti yang sebenarnya, sehingga sampai kapanpun juga, keterikatan Dias dan saya sekeluarga tidak terpisahkan dengan Bank Niaga. Sekali lagi, saya ucapan syukur Alhamdulillah dan terima kasih yang bisa saya panjatkan, karena saya pernah berada di lingkungan keluarga besar Bank Niaga. Berkarier di Bank Permata Setelah berkarier di Bank Niaga, saya bergabung dengan Bank Permata yang membawa Service Quality Bank Permata dari ranking 11 ke ranking 7 kemudian ke ranking 2 dan akhirnya sampai ranking pertama (versi MRI). Disamping itu saya juga sempat membidani lahirnya program tabungan ”Permata Ceria” yang saat itu bisa memasukan dana tabungan sebesar Rp. 1,7 Triliun selama 16 bulan. Dengan spesialisasi di bidang consumer banking, saya terus berupaya menghasilkan berbagai karya- karya bagi Bank Permata. Namun pada tanggal 1 April 2007, saya mengundurkan diri dari Bank Permata, untuk mencari tantangan baru yang lebih menarik lagi. Tawaran dari Bank Bumiputra nampak begitu menarik. Kilas balik kehidupan Saat ini tahun 2007, Dias telah bersekolah di ITB jurusan Sekolah Bisnis Manajemen semester 6. Segala puji hanya bagi-Mu, ya Tuhan, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ditengah kesibukan berkarier, saya menganggap pengalaman menemani putra saya hingga sehat kembali sebagai bagian istimewa dalam hidup saya. Banyak hikmah yang saya peroleh dalam menghadapi cobaan itu. Hampir dua tahun, saya bersama Dias Widya Ramadhan berjuang melawan penyakit Leukemia yang dideritanya. Alhamdulilah berkat pertolongan Tuhan serta kasih sayang orang-orang yang terdekat, Dias berhasil bebas dari penyakit yang umumnya sulit disembuhkan itu. Tentang penulis (dari redaksi "Kisah Sebuah Alumni") Dian A Soerarso dengan panggilan akrab “Yayoeng” adalah alumni Jurusan Teknik Industri. Yayoeng saat ini juga sering menjadi narasumber bila ada keluarga yang salah satu anaknya menderita penyakit Leukemia. Banyak keluarga yang menghubungi Yayoeng untuk mencari dan memperoleh informasi. Kepada mereka, Yayoeng selalu membagi- kan semua pengalaman- pengalamannya, mulai dari dokter-dokter ahli yang menangani penyakit Leukemia, cara mendapatkan obat yang mudah, tata-cara merawat anak agar saat menjalani chemotherapy tidak terlalu banyak rambut yang rontok, sampai prosedur pengobatan ke Belanda. Kerap Yayoeng ikut membantu menghubungi pihak rumah sakit dan dokter di Belanda. Juga ikut memperkirakan biaya yang diperlukan keluarga untuk melakukan pengobatan Leukemia di Belanda. Yayoeng melakukan ini semua sebagai amalnya dan juga karena pernah merasakan betapa beratnya orang tua yang mendapatkan vonis dari dokter bahwa anaknya menderita Leukemia. Yayoeng dapat dihubungi via e-mail pada alamat [email protected] Berita mengejutkan mulanya saya terima dari teman saya Nasrul ketika sedang makan di Tangguh LNG Site, Papua. Benar saja ketika saya buka WA, teman-teman Teknik Kimia - Institut Teknologi Bandung Angkatan 1977 sudah ramai memberitakan alm. Djasli yang sempat dilarikan ke RS Halim setelah mendapat serangan pecah pembuluh darah kecil yang ke otak usai jogging. Doapun mengalir tidak putus-putus sampai sekarang. Sosok Djasli memang cukup dikenal di kalangan TK - ITB 77 meskipun beliau berbeda jurusan (Elektro 77), bukan dari Jurusan Teknik Kimia. Ini tentu berkat pergaulannya yang luas dan pertemanan dengan Hengki, ketua alumni TK-ITB 77. Semoga almarhum mendapatkan ampunan dari Allah Swt atas segala dosa dan kesalahannya serta dilipatgandakan segala amal solehnya semasa hidup. Begitu juga doa kami semoga keluarga yang ditinggalkannya sabar, tabah dan tawakkal dalam menerima kepergiannya. Berikut ini adalah kutipan puisi almarhum Djasli yang ditulisnya tahun 2007, saat kami mengadakan reuni ITB Angkatan 77 yang ke 30, yang saya dapat dari rekan Satya Kamayanti lewat WA. Sebuah himbauan untuk kita semua agar memanfaatkan waktu yang tersisa dengan sebaik-baiknya. Puisini diberinya judul "Surat Putih". SURAT PUTIH Sebuah cita-cita mulia dari almarhum Djasli. Semoga pemikiran dan himbauan beliau bisa kita maknai dengan benar dan semoga Allah Swt memberi kemampuan kepada kita untuk melaksanakannya. Insya Allah dengan begitu kesemuanya bisa menjadi amal jariah yang tetap mengalir bagi almarhum Djasli, meski ketika jasadnya dan kita semua kelak telah musnah di telan bumi. Aamiin Yaa Robbal 'Aalamiin.
Helfia Nil Chalis, 11 Januari 2014. Kisah berikut ini adalah lanjutan penuturan rekan Ir. Wihananto Sarosa Alumnus ITB 77 yang sekarang bertugas di Lucent Technologies Abu Dhabi. Ikuti juga kisah sebelumnya. Special Stage-9: Special Stage menyusuri gurun pasir Pada tahun 1998 saya mendapat tawaran dari bekas direktur saya sewaktu di AT&T Network System (yg waktu itu sudah melakukan “spin-off” dan bernama Lucent Technologies), untuk bekerja di Saudi Arabia. Saat itu Lucent mencari seorang project manager yg beragama Islam untuk menangani bagian-bagian project di dearah khusus untuk Muslim yaitu Mekkah, Madinah dan wilayah haji lainnya, dan akan berkantor di Jeddah. Inilah kesempatan yg sangat langka bagi orang timur seperti saya karena kebanyakan Project Manager yang saya ketahui adalah orang “bule” (westerner). Mereka dilarang dan tidak bisa masuk ke tanah suci. Kesempatan ini tidak saya sia-siakan dan langsung saya tangkap, meskipun beban yang harus saya laksanakan ternyata cukup berat. Tugas saya harus membangun 7 sentral telepon baru di areal-areal muslim tadi dalam waktu 4 bulan, dengan team yang terdiri 8 orang engineer dan 40 orang teknisi dari berbagai macam bangsa. Target waktu yg ditetapkan tidak boleh meleset karena semua sentral telepon harus beroperasi 2 (dua) minggu sebelum musim haji. Inilah tugas yang sangat menantang dan membuat hati ber-debar-debar. Saya terus berfikir, bisakah saya melaksanakannya ?. Dengan bekerja 7 hari seminggu dan 5 jam tidur sehari, akhirnya saya bersyukur pada Sang Pencipta karena tugas berat yang dibebankan dapat terselesaikan meskipun terjadi musibah kecil dengan terbakarnya salah satu sentral di daerah Madinah. Sentral ini dapat digantikan dengan sentral sementara. Sehingga akhirnya musim ibadah haji pada tahun itu dapat berjalan lancar tanpa gangguan sistem telekomunikasi yg berarti. Special stage-10: Menjadi bagian dari proyek US $ 5 milyar di Saudi arabia Setelah tugas pertama selesai, saya mendapatkan tugas yg kedua yaitu perluasan wilayah tanggung jawab saya menjadi seluruh wilayah barat dan selatan. Tanggung jawab ini mencakup bagian barat Saudi Arabia sepanjang pantai Laut merah (Red Sea) dari daerah utara yang berbatasan dengan Irak sampai ke selatan yang berbatasan dengan Yaman. Saya harus menyelesaikan pembangunan 47 Sentral Telepon Utama dan 92 Sentral Remote untuk 600 ribu sambungan, dengan team sebesar 48 engineers dan 260 teknisi yg terdiri dari kurang lebih 12 bangsa, termasuk orang Amerika, Belanda, Belgia, Saudi, Indonesia, India, Pakistan, Mesir, Jordan, dsb. Proyek ini harus diselesaikan oleh Lucent dalam waktu kurang dari 2 tahun. Banyak masalah dan tantangan yg saya hadapi, dari masalah teknis yg layaknya diselesaikan dengan ilmu dan pengetahuan sampai masalah human-interaction yg tidak dapat diselesaikan dengan ilmu matematika. Disamping itu, banyak pengalaman berharga yg saya dapat dan juga banyak teman dari berbagai bangsa yg saya temui sehingga memperkaya cerita kehidupan saya. Sebelum proyek tersebut selesai, pada tahun 2000 saya mendapat tugas baru di kantor pusat di Riyadh untuk menangani system engineering dari proyek lainnya, pembangunan 450 ribu sambungan akses internet berbasis ADSL dan ATM core network. Dapat terlibat dan menjadi bagian dari suatu proyek besar yang disebut Telecommunication Expansion Project 6, bernilai US$ 5 milyard, dengan work force sekitar 4000 orang terdiri dari kurang lebih 30-an bangsa, bagi saya sangatlah “exciting”. Ini merupakan special-stage yg membanggakan yg pernah saya jalani. Special Stage-11 : Keep driving on the desert…. Setelah proyek tersebut selesai pada tahun 2003, saya mengucap syukur kepada Sang Pencipta, meskipun Lucent Middle East dan Africa (MEA) mengurangi jumlah personilnya menjadi sekitar 500 orang, saya masih dipercaya menangani Technical Sales Support dengan account Saudi Telecom. Pada tahun 2004, saya dipindahkan ke kantor pusat Lucent MEA di Abu Dhabi sebagai Network Solution Consultant dari Core Competence Center – Next Generation Network Solution untuk wilayah Timur-Tengah dan Afrika. Tugas saya adalah memperkenalkan produk-produk Lucent, membantu customer yang ingin merancang dan membangun network barunya atau meng- upgrade networknya yg ada, juga membantu memecahkan masalah networking yg dihadapi oleh para customer, dsb. Saya sangat beruntung bisa memiliki jabatan ini karena saya yg cuma menyandang S1 dari ITB bisa mempunyai kolega satu group yg menyandang gelar Dr atau PhD. Seluruh karyawan di Group saya minimal menyandang gelar S2 (Master degree). Inilah salah satu hal yang saya sukai bekerja di Lucent karena mereka menerapkan “equal opportunity” bagi semua orang. Pandangan dunia tentang orang Indonesia Saya mempunyai cerita yg sangat mengusik pikiran saya; dalam suatu seminar telekomunikasi di Dubai dimana saya mempunyai kesempatan sebagai pembicara dan sekaligus merupakan pengalaman pertama sebagai pembicara. Saya menyebutkan data pribadi saya dan memperkenalkan bahwa saya berasal dari Indonesia, maka pada saat presentasi, banyak peserta yg keluar ruangan melakukan percakapan telpon, ada yg keluar untuk minum kopi dan yg tinggal di dalam ruangan sebagian besar terkantuk-kantuk. Tidak ada yg tertarik dengan pembicaraan saya, apa kesalahan saya? apakah karena saya orang Indonesia ? apakah karena materi pembicaraan kurang menarik ? Pada kesempatan selanjutnya, misalnya dalam Next Generation Network Roadshow–nya Lucent, di Abu Dhabi, Riyadh dan Cairo, saya pasang strategi lain untuk mengantisipasi reaksi peserta. Saya hanya menyebutkan nama, jabatan, pekerjaan di awal presentasi, ternyata para peserta mendengarkan dan mengikuti seminar secara normal dan juga terjadi tanya-jawab seperti layaknya sebuah seminar. Karena penasaran dengan reaksi para peserta, di-tengah-tengah presentasi saya menyebutkan bahwa saya berasal dari Indonesia, selanjutnya para peserta tetap mengikuti seperti biasa tanpa ada perubahan reaksi. Tetapi kemudian pada kesempatan di luar seminar, beberapa peserta mendekati saya dan berkomentar; “O saya kira anda dari Jepang atau Korea”, atau “O saya kira anda adalah orang Chinese yg bermukim di Amerika”. Dalam hati saya, tertipulah mereka!. ”awak ini orang Indonesia”, jawab saya dengan bangga. Kesimpulan saya, orang lain masih melihat dari mana asal saya bukannya siapa saya. Oleh karenanya, sebagai bangsa Indonesia kita masih perlu bersama-sama menciptakan citra baik bangsa Indonesia dimata bangsa manca-negara. Sangatlah perlu menjaga professionalisme dibidang masing-masing (apapun pekerjaannya), dan tidak cepat mengeluh dan putus asa dengan beban pekerjaan yang ditugaskan. Percaya diri dan mampu berkomu- nikasi dengan baik adalah dasar pembentukan citra yang baik dan dihargai oleh bangsa lain. Banyak yg berpandangan bahwa Indonesia hanya mempunyai unskilled human resources. Kenyataan di luar negeri, khususnya Timur Tengah, memang itulah yg terjadi. Bukan mereka para tenaga kerja (nakerwan) yang salah, tapi kesem- patan untuk mendapat pendidikan layak yang tidak mereka peroleh. Banyak cerita memprihatinkan yang saya dengar langsung dari para nakerwan, yang sangat mengganggu pikiran saya. Kejadian memprihatinkan itu terjadi, menurut pendapat saya, karena pendidikan mereka yang kurang memadai. Oleh karenanya, saya meng himbau, marilah secara ber sama- sama kita juga ikut memikirkan bagaimana dapat membantu meningkatkan kemampuan rakyat Indonesia terutama dalam hal pendidikan. Special Stage-11: Akhir kata tentang perjalanan Rally kehidupan Dari pengalaman perjalanan saya di atas, saya tarik benang merah sebagai berikut: usahakanlah tidak melakukan sesuatu dengan setengah-setengah dan kalau tidak bisa melakukan dengan sungguh-sungguh lebih baik jangan diteruskan. Tetapi jalan hidup tidak selalu “black and white” dan harus ada toleransi dimana perlu, koreksi pada beberapa check-points tertentu di perjalanan. Setiap orang mempunyai kapasitas dan kekuatan mesin sendiri-sendiri dan kemampuan bertanding di klas-nya masing-masing. Dengan kapasitasnya masing-masing itu, terdapat pedal akselerasi dimana bisa ditancap habis atau dibiarkan menggelinding saja. Yang “tancap” gas habis bisa sampai di tujuan lebih awal menjadi juara tapi bisa juga lelah (exhausted) dan kalau tidak hati-hati bisa terjadi kecelakaan Bisa juga perjalanannya dinikmati dengan kebahagiaan, tanpa memperdulikan akan menjadi juara atau tidak. Tujuan hidup yang dijalankan hanyalah untuk bisa mencapai garis finish. Yang terpenting bagi saya adalah setiap saat harus diupayakan melihat navigasi dan peta arah perjalanan agar tidak tersesat jalan dan dapat sampai di tempat tujuan dg baik. Sebagai layaknya seorang muslim, minimal 17 kali sehari kita memohon petunjuk pada jalan yg benar dari Yang Maha Kuasa. Kalau dalam perjalanan, kita terpaksa menaburkan debu kepada penonton sekitar, tebarkan-lah debu yang membuat mereka bergembira bukan debu yg membuat mereka menangis. Salam dan semangat kebersamaan ITB 77 !! Tentang penulis (dari redaksi Buku "Kisah Sebuah Angkatan") Wihananto Sarosa adalah alumni jurusan Teknik Elektro. Ia lebih akrab dipanggil dengan nama Anto. Anto menikah dengan Puruhitasari (Ita) yang juga alumni angkatan 1977 dari Teknik Industri. Anto dan Ita saat menulis tulisan ini sedang tinggal di Abu dhabi, UAE. Anto sendiri sedang bekerja di Lucent Technologies Inc. dengan cakupan tanggung jawab negara-negara di Timur Tengah dan Afrika sebagai Network Solution Consultant – Next.Gen Network Solution - Core Competence Center. Ikuti juga pengalaman hidup Budi Prasetyo, alumnus Elektro ITB 77 di posting sebelumnya dengan mengklik di sini. Melanjutkan kisah nyata perjalanan hidup alumni sebuah angkatan yaitu Angkatan 77 ITB, berikut ini penuturan pengalaman dari rekan Wihananto Sarosa yang kami akan sajikan dalam dua seri postingan. Selamat mengikuti dan semoga anda bisa menarik manfaat dari sini. Special Stage-1: Angan-angan dan lamunan Semenjak kecil saya selalu tertarik dengan hal-hal yg bersifat teknikal, terutama dg teknologi- teknologi canggih. Saya kemudian ber-angan-angan untuk bisa menjadi seorang ahli dalam bidang teknik tertentu. Pada tahun 1983, saya diwisuda menjadi seorang “tukang insinyur” lulusan ITB jurusan Teknik elektro. Saya menganggap diri saya adalah seorang montir dan pengendara mobil rally yang memulai perjalanan rally untuk mencapai angan-angan-ku. Kata seseorang, “…alumni ITB itu bukanlah seorang ahli yg siap tempur 100%, tetapi seorang sarjana strata-1 yg siap di- training 200%”. Special Stage-2: Mempelajari peta perjalanan ke depan Dengan anggapan bahwa untuk menjadi seorang ahli, haruslah mempunyai ilmu pengetahuan dan pengalaman yg berkesinambungan, maka saya meniatkan diri untuk dapat selalu berkarier dibidang teknis yang sesuai dengan bidang keilmuan saya. Saya merencanakan pada awal 10 tahun karir saya yang pertama untuk bekerja di perusahaan multi-nasional yang akan memberikan training dan bekal pengalaman yang baik. Karir atau rencana pada tahun-tahun selanjutnya adalah bekerja di perusahaan nasional atau perusahaan milik sendiri. Itulah angan-angan dan idealisme saya saat itu. Special Stage-3: Menghadapi Realita pertama…. Pengalaman kerja pertamaku adalah bekerja di perusahaan asing pembuat integrated circuit (IC), Fairchild Semiconductor sebagai system engineer. Di tempat ini, saya harus bekerja secara “gilir” (shift duty) di pagi, siang dan malam karena pabrik ber-operasi 24 jam. Meskipun banyak pengalaman teknis yg didapat, tetapi saya hanya mungkin bertahan selama 14 bulan saja karena pada awal 1985 pabrik ini bangkrut dan ditutup. Terpaksalah saya mulai mencari pekerjaan lain. Special Stage-4: Keep moving-on Berkat informasi dari rekan Boy Sasongko (terima kasih sekali lagi, Boy!), saya mendapatkan tempat kerja baru di perusahaan engineering kontraktor yg berpartner dengan perusahaan Perancis dan sedang mengerjakan proyek Air Traffic Control Processing System sebagai bagian dari pembangunan Bandara Soekarno-Hatta. Banyak sekali ilmu pengetahuan dan pengalaman yg saya peroleh di tempat kerja ini. Saya sempat bekerja di perusahaan induk di Perancis selama hampir 1 tahun untuk mempersiapkan hardware dan software dari peralatan yg akan dipasang di Bandara Soekarno-Hatta. Dengan bekal pengalaman ini, sepulangnya di tanah air, saya mengusulkan kepada pimpinan perusahaan untuk membuat replika (“cloning”) peralatan flight data processing system dan meteorological message switching system yg dibangun pada Personal Computer (PC), dengan operating system UNIX dan pemrograman bahasa C sehingga dapat diterapkan untuk bandara-bandara kecil di tanah air. Blue print dan mock-up sempat terwujud, tetapi karena kelayakan bisnisnya kurang menguntungkan (…dan juga karena adanya invisible pressure), angan-angan ini kandas dijalan alias “macet”. Special-Stage ini dapat saya lalui selama 6 tahun. Special Stage-5 : … idealisme mulai goyah Karena ter-induksi oleh gaya kehidupan pada saat itu, saya sempat membelot dari angan-angan awal, pindah pekerjaan ke perusahaan konsultan manajemen dan ingin berkarier dibidang manajemen. Pada awalnya cukup menyenangkan tetapi lama-kelamaan terasa hambar karena tidak ada prestasi yg dapat saya capai (….bosan lagi….ingin kembali ke bidang teknis…memang montir!). Special Stage-6 : Kembali ke jalur semula…. Kebetulan pada tahun 1992, Pemerintah sedang meng-evaluasi tender proyek STDI-2 yg akhirnya menunjuk tiga perusahaan multinasional sebagai pemenangnya. Sehingga saya berhasil kembali bekerja di perusahaan berteknologi tinggi AT&T Network System sebagai salah satu pemenang tender untuk membangun sentral telepon digital dengan kapasitas 300.000 sambungan. Banyak training di luar negeri dan banyak pengalaman teknologi tinggi yang saya peroleh. Bersama teman-teman di perusahaan tersebut, kami sempat membentuk semacam center of excellence and technology tranfer. Kegiatan ini cukup membanggakan dan menyenangkan. Kami mencari solusi untuk memperbesar “local-content” (produk dalam negeri), yaitu mengganti komponen impor dengan komponen yg dapat diperoleh secara lokal tetapi tetap menjaga kwalitas yg sama. Upaya- upaya ini sangat menarik tapi ternyata cukup rumit. Special Stage-7: Time is up…! Memasuki tahun 1995, berarti perjalanan kerja saya telah melewati sepuluh tahun bekerja di perusahaan multinasional. Sesuai dengan janji awal, saya harus memulai bekerja di perusahaan nasional atau ber-wiraswasta. Saya berdiri di persimpangan jalan antara bekerja di AT&T yang saat itu sangat menyenangkan serta membanggakan atau menjaga konsistensi pada cita-cita awal…..bingung lagi!. Dalam keadaan bingung, sebagai salah satu pemegang saham AT&T Indonesia, keluarga Habibie menawarkan saya bekerja di salah satu perusahaan beliau yang akan tetap berhubungan dengan AT&T. Saya merasa bahwa tawaran ini merupakan suatu kebetulan, karena saya tiba-tiba dapat merealisasikan kedua angan-angan saya secara bersamaan. Saya memutuskan untuk menangkap kesempatan ini. Special Stage-8: Realita berikutnya Berpindah lingkungan dari perusahaan multinasional yg serba teratur dan serba jelas aturan mainnya, ke perusahaaan nasional ini membuat diri saya agak “shock”. Di perusahaan baru ini jabatan saya adalah sebagai Business Development. Saya harus melaksanakan tugas yg sebagian besar saya laksanakan dengan “berkeringat dingin”. Tapi mohon maaf saya tidak dapat menyampaikannya lebih rinci disini karena ada non-disclosure code of conduct. Dalam benak saya terlintas, inikah tugas pengembangan sebuah bisnis ?. Saya mulai bimbang dan gundah lagi karena pekerjaan mulai menjauhi bidang-bidang keteknikan. Memang mental montir saya ini tidak mudah bisa ditinggalkan! Karena tidak tahan dengan tugas sehari-hari yg selalu membuat diriku berkeringat dingin, maka saya berbelok arah lagi dan loncat ke perusahaan nasional lainnya, yang bernama PT Bukaka Teknik Utama, yang saat itu mendapatkan proyek Kerja Sama Operasi (KSO) dari PT Telkom untuk wilayah Indonesia Timur. Tapi sayang pada tahun 1997 terjadi krisis ekonomi yg membuat Bukaka harus mengurangi beban penumpangnya. Meskipun saya tidak termasuk penumpang yg harus diturunkan ditengah jalan, saya menyediakan diri dan bersuka-rela pindah ke mobil lain. Ikuti lanjutan kisah perjalanan karir rekan Ir. Wihananto Sarosa di "Special Stage 8 s.d. 11" dan bagaimana komentarnya tentang "rally kehidupan" serta pandangan orang asing terhadap orang Indonesia di luar negeri (Lanjutan). Bagi yang baru bergabung, jangan lupa ikuti juga kisah rekan Budi Prasetyo sebelum ini. Kemelut di Indosat memaksa Budi Prasetyo untuk mengambil keputusan berani dengan mengambil pensiun dini. Simak kisah beliau berikut ini. Kisah ini adalah lanjutan dari kisah-kisah sebelumnya: Awal, Lanjutan-1, Lanjutan-2, Lanjutan-3, Lanjutan-4, Lanjutan-5. Pensiun dini dan meninggalkan Indosat Bulan Juli 2002, saya memutuskan untuk mengambil pensiun dini dari Indosat karena merasa sudah lelah dengan intrik-intrik yang ada di BUMN. Masa kerja saya di Indosat hampir 20 tahun, karena seharusnya pada tanggal 16 Nopember 2002 masa kerja saya di Indosat akan genap 20 tahun. Hari pertama saya tidak berangkat pagi ke kantor, anak-anak saya langsung heran, mereka mengira saya sedang sakit, tapi koq tenang-tenang saja membaca koran pagi. Putri saya bertanya, memangnya ada apa, kenapa bapak tidak bersiap pergi ke kantor?. Saya hanya tertawa dan membalas bertanya kepada anak sulung saya, lho koq kamu sekarang sudah pakai celana panjang?. Adiknya tertawa dan berkata, bapak sudah pikun, mas kan sudah SMA sekarang, jadi ya pakai celana panjang lah. Anak bungsu saya, agak heran waktu saya saya katakan bahwa saya sudah tidak bekerja di Indosat lagi karena sudah pensiun, tapi reaksinya mengherankan. Dia langsung berkata, yeah...... artinya bapak sekarang punya banyak waktu dong untuk bisa menemani saya belajar. Memang anak bungsu saya agak kesulitan untuk mengejar pelajaran sekolahnya, guru-gurunya sering mengeluh kalau dia sering melamun ketika mengikuti pelajaran sekolah. Sejalan dengan pensiun saya, anak bungsu saya juga langsung memutuskan untuk menghentikan semua les yang diikutinya, kecuali les bahasa Inggris, serta langsung meminta saya untuk menjadi teman belajarnya. Kewajiban saya lainnya adalah setiap pagi saya dimintanya untuk mengantarkan ke sekolah. Sehingga sejak hari itulah saya mengantarkan anak-anak ke sekolah dan setiap kali menurunkan mereka di sekolah saya selalu berkata, yang pinter ya sekolahnya dan biasanya mereka selalu menjawab dengan kalimat, yuup, insyaallah. Alhamdulillah, keputusan anak bungsu saya itu, yang menurut akal sederhana tidak wajar ternyata sangat jitu, nilai-nilai dia secara perlahan tapi pasti makin membaik. Rupanya pada anak ada rasa tenang apabila ditemani belajar, belakangan baru saya tahu bahwa ada juga yang dinamakan the power of repetitive, dimana secara tidak sadar orang dapat merubah attitude apabila pada dirinya diberikan sugesti yang berulang-ulang. Dengan disugesti menjadi anak pintar rupanya berhasil memberikan kepercayaan diri yang kuat bagi anak bungsu saya. Bagi saya mulai saat itu saya berusaha merubah sikap saya kepada mereka, yakni memposisikan diri menjadi sahabat, selain juga menjadi orang tua mereka. Hari itu, resmi saya mulai “ternak teri”-menganter anak dan menganter istri. Mencoba mengembangkan bisnis nirkabel (wireless) Selepas dari Indosat saya berkerja pada grup Infoasia dan ditempatkan di anak perusahaannya PT Napsindo Primatel Internasional. Dalam waktu kurang 2 tahun, saya berhasil melakukan turn over atas Napsindo dari suatu non-operasional company menjadi operasional company. Setelah itu pada bulan Januari 2004, saya mengajukan permintaan berhenti, karena merasa bahwa satu lagi tugas telah diselesaikan dengan baik. Atas permintaan dari Widya Purnama, dirut Indosat saat itu, yang meminta saya agar saya dapat mencarikan investor yang dapat membantu Indosat menggelar jaringan telepon lokal nir-kabel (wireless), saya mencoba untuk kembali terlibat dalam proyek telekomunikasi. Bersama dengan tiga rekan lainnya saya membentuk PT Quad Communication Integration yang mempunyai 3 anak perusahaan, sesuai dengan rencana operasional di tiga wilayah, Sumatera, Kalimantan dan Jawa Tengah. Selama 9 bulan tim saya berhasil membuat suatu rancang bangun sistem operasi CDMA StarOne milik Indosat untuk wilayah kerja Kalimantan, Sumatera dan Jawa Tengah dengan kapasitas total 400.000 sst. Pada saat itu tim saya berhasil membuat suatu disain rancang bangun sistem CDMA yang apabila jadi diimplentasikan biayanya, hanya setengah dari biaya pembangunan Flexi atau StarOne. Proyek ini gagal dilaksanakan, walaupun kontrak-kontrak dengan Ericsson dan ZTE sudah ditandatangani, karena investornya pada saat-saat terakhir mengundurkan diri yang membuat Dirut Indosat marah besar ketika itu. Mengantarkan anak ke gerbang masa depan Sore dimusim gugur di Toronto terlihat pemandangan yang sangat indah. Dua minggu sudah kami sekeluarga berada di Toronto, Kanada untuk mengantar anak sulung saya bersekolah melanjutkan menuntut ilmu di Universitas di Toronto, hari itu pada tengah malam rencananya saya, istri dan anak bungsu kami akan kembali ke Jakarta.. Anak sulung saya ini memilih untuk kuliah di Toronto karena dia sewaktu masih di SMA mencari universitas yang menurut dia dapat memperoleh ilmu yang dapat dipakainya untuk membangun Indonesia dimasa mendatang. Sarana internet dan hubungannya dengan banyak teman-temannya di seluruh dunia membuatnya berkeputusan untuk melanjutkan kuliah di Waterloo, Kanada, mempelajari Mekatronika. Selama SMA, bahkan sejak SD dia telah mencoba mempersiapkan diri untuk bisa bersekolah di luar negeri, kursus-kursus bahasa asing dia ikuti, bahkan TOEFL dia untuk computer-based kalau tidak salah memperoleh skor 270an. Namun demikian karena dia tidak mempunyai sertifikat level A, dia tidak dapat langsung masuk kuliah di universitas di Kanada, tetapi harus melalui tahap persiapan terlebih dahulu. Pada waktu dia mengikuti test potensi akademik di collegenya, nilai yang diperolehnya sangat tinggi sehingga ditawarkan untuk langsung kuliah di universitas, dan pada tahun kedua dia dapat pindah universitas sesuai dengan minat dia. Siang hari itu, kami semua ada disisi Hotel Novotel, diteriknya matahari menjelang sore, kami memandang anak sulung kami melangkah ke taksi, dia sempat tertegun sebentar, ketika ibunya memanggilnya untuk memeluk dia, saya lihat matanya berkaca-kaca, saya lihat dia berusaha untuk memantapkan langkahnya berpisah dengan kami, masuk ke taksi, mulai menapaki sendiri masa depannya. Hari itu satu lagi tugas saya untuk mengantar ke gerbang telah terjadi, saya antar anak sulung kami untuk mulai belajar hidup dinegeri orang, mencari bekal untuk hidup masa depannya. Dengan memeluk anak bungsu saya, memandang taksi yang meluncur meninggalkan kami disisi hotel Novotel, saya menyaksikan satu lagi tugas mengantar ke gerbang masa depan telah saya tuntaskan. Tugas saya masih tersisa satu lagi, mengantar anak bungsu saya ke gerbang masa depan. Saya sadar bahwa tugas itu bukanlah tugas yang mudah, dengan status pensiunan memang mendidik anak bukanlah hal yang mudah, tapi bagi saya ada satu kelebihan, yaitu waktu-waktu saya bersama anak bungsu saya, lebih banyak dari pada ketika dengan anak sulung saya. Semoga ini dapat menjadi bekal untuk lebih mengerti sikap dan kelakuan anak bungsu saya dan membimbingnya memasuki gerbang masa depannya. Kilas balik kehidupan – mengantarkan PT Indosat ke gerbang masa depan Di depan Hotel Novotel itulah, saya mengenang perjalanan hidup saya, yang hampir sebagian besar waktu telah saya persembahkan untuk mengantarkan PT Indosat ke gerbang masa depan. Saya telah berusaha sekuat tenaga untuk ikut mendorong PT Indosat menjadi perusahaan publik pertama dari Indonesia yang listing di New york. Juga saya teringat akan upaya-upaya yang sangat berat untuk mengembangkan bisnis Indosat, melepaskan diri dari ketergantungan pada bisnis Saluran Langsung Internasional (SLI) ke Bisnis Seluler. Saat itu saya sangat khawatir dengan pertumbuhan bisnis SLI yang sangat tergantung kepada PT Telkom. Sedangkan bisnis seluler jauh lebih menguntungkan PT Indosat. Semua ini akhirnya terbukti dengan berjalannya waktu. Tentang penulis (redaksi buku "Kisah-kisah Sebuah Angkatan") Budi prasetyo adalah alumni ITB angkatan 1977 dari Jurusan Elektro. Saat menuliskan kisah ini, ia bekerja secara lepas sebagai ahli telekomunikasi di Indonesia. Secara resmi kalau ditanyakan apa bisnisnya saat ini, dijawabnya adalah TERNAK TERI-mengantar anak mengantar istri dan sekali- sekali menyandang status TURIS-turut istri. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|