DULU DEMI BUNGKAM HTI, KELUARKAN PERPU. SEKARANG DEMI BELA REKTOR UI, REVISI PP. L'ÉTAT C'EST MOI !7/20/2021 Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik Jokowi telah mengubah PP No. 68 Tahun 2013 menjadi PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta Universitas Indonesia (UI). Dalam PP Nomor 75 Tahun 2021 itu terdapat revisi soal rangkap jabatan bagi rektor, wakil rektor, sekretaris, dan kepala badan. Jika dalam PP 58 Tahun 2013 soal rangkap jabatan diatur dalam Pasal 35, kini dalam PP 75 Tahun 2021 soal rangkap jabatan diatur dalam Pasal 39. Dalam PP 58 Tahun 2012 pasal 35 (c) berbunyi rektor dan wakil rektor UI dilarang merangkap sebagai pejabat pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta. Sementara, dalam PP 75 Tahun 2021 pasal 39 (c) berbunyi rektor, wakil rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan dilarang merangkap sebagai direksi pada badan usaha milik negara/daerah maupun swasta. Artinya, dalam PP 75 Tahun 2021 Pasal 39 c hanya melarang rektor, wakil rektor, sekretaris universitas, dan kepala badan untuk menduduki jabatan direksi di sebuah perusahaan. Tak ada pelarangan menjabat sebagai komisaris. Wow ! itu artinya, Rektor UI, pemilik gelar dan nama lengkap Prof. Ari Kuncoro, S.E., M.A., Ph.D, yang menjabat Wakil Komisaris Utama sekaligus merangkap Komisaris Independen di PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk atau BRI, lancar jiwa. Rektor UI tak perlu mundur dari komisaris BUMN dengan meninggalkan gaji miliaran rupiah, dan tetap berada di puncak jubah kesombongan sebagai brahmana pendidikan di Universitas Indonesia. Sayangnya, Brahmana yang seperti itu tidak asli, layaknya brahmana yang memelihara gundik. Tak ada kehormatan atas maqom dan gengsi atas ketinggian ilmu, semua telah ternestapakan oleh nafsu dan keserakahan dunia. Lagi-lagi, Jokowi menerapkan asas 'HUKUM SUKA-SUKA. Apa yang dilakukan Jokowi dengan mengubah PP agar rangkap jabatan rektor UI tidak bertentangan dengan hukum, adalah cara Jokowi untuk melindungi Rektor UI yang sebelumnya telah berjibaku membela Jokowi dari rongrongan mahasiswa UI yang memberinya gelar 'The King Of Lip Service'. Cara Jokowi ini mengingatkan kita bagaimana rezim dahulu membungkam HTI. Saat rezim tak punya landasan hukum untuk membungkam HTI, Jokowi terbitkan Perppu Ormas. Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto sering menganalogikan, rezim gagal membobol gawang pertahanan HTI. Bukannya bermain cantik, tapi rezim menerbitkan aturan baru sehingga seluruh area permainan menjadi gawang, lebih longgar, sehingga dengan narasi Khilafah anti Pancasila, akhirnya rezim menjebol gawang HTI dan membungkamnya. Kelakuan rezim hari ini, mengingatkan kita pada seorang Tiran dari Perancis. Dia adalah Louis XIV yang memerintah Prancis selama 72 tahun masa kekuasaan terlama monarki di Prancis dan Eropa. Louis XIV terkenal dengan ungkapannya : "L'État c'est moi" ("Negara adalah saya"). Sang Tiran ini sesuka hati memperlakukan hukum, hukum bahkan negara adalah dirinya. Pagi yang dingin dan basah, pada 21 Januari 1793 pukul 05.00, Louis XVI dieksekusi oleh rakyatnya yang marah melihatnya sebagai pengkhianat. Itulah, akhir tragis dari seorang penganut "L'État c'est moi". Bagaimana dengan Jokowi ? Kita ikuti saja, bagaimana kisah akhirnya. Apakah juga akan berakhir tragis seperti Raja Louis XVI ? Wallahu A'lam.
0 Comments
Wacana bahkan desakan agar Jokowi mundur terdengar semakin nyaring. Opsi beratnya adalah dimundurkan. Tentu semua dalam kerangka konstitusi bukan makar atau kudeta. Baik Presiden mundur ataupun dimundurkan memiliki akar sejarah dalam ketatanegaraan kita. Soekarno dan Soeharto mundur, sementara Gus Dur dimundurkan.
Nah kita mulai dengan Jokowi yang memilih untuk mengundurkan diri karena tidak mampu lagi untuk memimpin pemerintahan. Akibat pula dari kepercayaan rakyat yang hilang. Jika mundur sukarela dengan meminta maaf secara serius, mungkin tidak membawa konsekuensi hukum. Rakyat rela atau terpaksa memaafkan. Menurut Pasal 8 ayat (1) UUD 1945 kedudukan Presiden yang mundur akan digantikan oleh Wakil Presiden. Kyai Ma'ruf Amin menjadi Presiden. Ayat (2) mengatur bahwa selambatnya 2 bulan setelahnya MPR memilih Wapres dari dua calon yang diajukan Presiden. Disini tentu terjadi lobi, kesepakatan, dan mungkin tekanan politik. Melihat kemampuan Wakil Presiden "the king of silent" bukan hal mustahil Wapres mundur berbarengan dengan Presiden karena solidaritas dan merasa senasib sepenanggungan. Berlakulah Pasal 8 ayat (3) Menlu, Mendagri, dan Menhan mengisi kekosongan hingga 30 hari ke depan. MPR melakukan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Andai Presiden Jokowi tidak mundur tetapi dimundurkan atas dasar tekanan politik rakyat, maka akan berat bagi Jokowi untuk menanggung konsekuensi politik dan hukumnya. Pertama, ketika dua Menteri telah melakukan korupsi, maka wajar ada dugaan bahwa dana mengalir kemana mana. Upeti ke atasan pun patut dicurigai. Korupsi tersendiri atas berbagai komisi juga sangat mungkin. Ada bongkar-bongkaran rekening gendut mantan Presiden baik di dalam maupun luar negeri. Tuduhan korupsi bakal menanti. Kedua, kasus pelanggaran HAM mesti diusut dan diminta pertanggungjawaban Jokowi. Pembiaran tewasnya 700 an petugas Pemilu 2019, pembunuhan oleh aparat sekurangnya sembilan pengunjuk rasa pada 21-22 Mei 2019, serta pembantaian enam pengawal HRS 7 Desember 2020 adalah "daging empuk" dakwaan. Ketiga, mismanajemen pengelolaan ekonomi sehingga kondisi perekonomian morat marit. Gagal menjadi rezim investasi dan hutang luar negeri yang terus menumpuk. Negara gagal bayar. Untuk menutupi bunga saja Menkeu sudah pontang -panting. Meminjam besar tanpa persetujuan Dewan dipastikan menjadi beban dan tudingan kemudian hari. Keempat, kebijakan membangun poros Jakarta-Beijing dengan menjebol kran imigrasi untuk mengelontorkan kedatangan TKA Cina sangat bermasalah. Ikutan ideologi menjadi pertanyaan. Bisa saja Jokowi bukan komunis, tetapi kebijakan yang membuka pintu komunisme tidak dapat diterima oleh rakyat Indonesia yang sangat anti PKI dan Neo-PKI. Kelima, memperalat pandemi Covid 19 untuk membungkam demokrasi dan membangun oligarkhi, korporatokrasi, dan kleptokrasi. Kejahatan politik seperti ini wajib untuk dipertanggungjawabkan dan harus menjadi pemberat hukuman. Aparat telah dikerahkan untuk memenuhi hasrat kekuasaan dengan menunggangi pandemi bukan sebaliknya, menanggulangi. Tentu berisiko tinggi dan membawa kerugian besar bagi Jokowi jika sampai dimundurkan. Dosa politiknya lebih besar dibandingkan Presiden pendahulunya. Kerusakan negara dilakukan dengan cepat dalam masa kekuasaan yang masih pendek. Ditambah lagi dengan ilusi jabatan tiga periode. Ketika kini tokoh kritis diborgol dan dipaksa memakai rompi oranye, maka esok mungkin giliran Jokowi yang berbaju oranye. Semoga hidayah dan akal sehat masih melekat pada Presiden Jokowi yang saat ini memiliki banyak gelar dari rakyat. Gelar yang bernuansa olok-olok. Kita tunggu pilihan terbaiknya. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 10 Juli 2021 Sepertinya tak ada yang salah dari pidato ucapan selamat 100 tahun Partai Komunis Cina (PKC) karena itu hak pribadi bahkan hak sebagai Ketum Partai. Masalahnya adalah bangsa Indonesia memiliki trauma dengan rencana kudeta PKI tahun 1965 yang mendapat dukungan dari Partai Komunis Cina (PKC). Kejahatan penghianatan PKI hampir saja menghancurkan NKRI yang berdasarkan Pancasila.
Mudah untuk kenyimpulkan bahwa hubungan PKC dengan PKI sangat erat. Bulan Agustus 1965 DN Aidit, Jusuf Adjitorop, dan tokoh PKI lain datang ke Beijing konsultasi dengan Ketua PKC Mao Ze Dong, PM Zhou En Lay dan Menlu Chen Yi. Menerangkan rencana dan agenda PKI menghadapi Presiden Soekarno yang sakit berat. Ze Dong mengarahkan strategi perundingan dan angkat senjata. Selama 1964 dan 1965 hubungan erat diwujudkan dengan pertukaran budaya, pendidikan, ekonomi antara RRC dan RI. Soekarno pun membuat poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Peking-Pyong Yang. PKI merasa tidak sendiri untuk bergerak. Menurut Taomo Zhou China mendukung PKI untuk melanjutkan persatuan dengan Soekarno yang sedang berkonfrontasi dengan Malaysia. Angkatan kelima dicanangkan, rakyat dipersenjatai yang tak lain adalah anggota PKI bersenjata. Pasukan Cakrabirawa di bawah pimpinan Kol. Untung melakukan pembunuhan Jenderal, DN Aidit menghianati Soekarno, PKI dengan sepengetahuan dan dukungan PKC Mao ZeDong membuat fitnah besar di negara Republik Indonesia. Percobaan kudeta dilakukan. Rakyat dan bangsa Indonesia disakiti. Kini Mega mengucapkan selamat ulang tahun ke 100 Partai Komunis Cina (PKC) berpidato memuji-muji RRC di bawah Xi Jinping yang telah memajukan bangsa Tiongkok dan keberhasilan di dunia. Berharap persahabatan Indonesia dengan Cina dapat lebih baik dari sekarang. Persahabatan dengan 271 juta rakyat Indonesia dapat abadi. Pidato Mega ini dapat dinilai menyakitkan bangsa Indonesia, seperti melupakan sejarah. Ada tiga kesalahan utama, yaitu : Pertama, semestinya bila dianggap penting bagi diri dan partai, Mega mengucapkan selamat cukup dengan berkirim surat kepada PKC atau Xi Jinping. Dengan mempublikasikan melalui video maka ini membuka luka lama dan "menantang" bangsa Indonesia sendiri. Kedua, Mega tidak memiliki kepekaan perasaan bahwa sebagian rakyat Indonesia sedang mengkhawatirkan "serbuan TKA Cina" yang bukan saja yang telah menciptakan kesenjangan lapangan kerja tetapi juga membangun misteri kualifikasi TKA dan Tentara Merah. Neo PKI dengan Ideologi komunis yang diwaspadai bangkitnya. Ketiga, klaim harapan adanya persahabatan abadi 271 Juta rakyat Indonesia dengan Cina pimpinan atau kendali PKC adalah berlebihan. Jika berharap persahabatan abadi dengan partainya bolehlah dan wajar, tetapi klaim harapan menarik seluruh rakyat Indonesia sungguh menjadi tidak wajar. Megawati bukan Presiden RI kini. Sangat disayangkan sebenarnya pidato terbuka Mega yang dinilai telah menyakitkan bangsa Indonesia. PKC bukan sahabat yang baik. Sejarah telah membuktikan. Kita teringat pidato Bung Karno terakhir tanggal 17 Agustus 1966 yang menggetarkan "Djangan Sekali-kali Meninggalkan Sedjarah !" *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 3 Juli 2021 Do'a: Semoga ALLOH swt melindungi agama bangsa negara & anak cucu indonesia dari kejahatan zionis teroris yahudi, komunis cina, pki gy baru, perampok uang rakyat/apbn, konglomerat taipan2 hitam, po an tui, jongos2 penjajah aseng asing, partai2/orang2 licik, penghianat, zolimun, aamiin. Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik Saat Negara terbebani utang hingga Rp. 6.500 Triliun, Rakyat marah karena sembako mau dipajaki, sesama anak bangsa bertengkar gegara TWK KPK, korupsi kian merajalela, dan setumpuk persoalan lainnya, tiba-tiba Presiden dengan sigap mengumumkan langkah yang mencengangkan. Ya, Presiden menelpon Kapolri untuk memberikan perintah langsung, sayangnya hanya untuk memburu pungli di pelabuhan. Kapolri pun, sibuk menjalankan perintah dengan gegap gempita, langsung lakukan aksi tangkap-tangkapan. Hanya tidak pake dor doran seperti dalam penangkapan terduga teroris. Rakyat kira, Presiden perintahkan tangkap Harun Masiku, perintahkan bersihkan korupsi, tangkap semua yang terlibat dalam korupsi Asabri, Jiwasraya, dll. Eh, ga taunya cuma ngurusi pungli. Begitu juga Ahok. Saat Pertamina sebagaimana BUMN lainnya mengalami banyak masalah, tak terlihat peran Ahok. Tiba-tiba Ahok turun bak pahlawan bertopeng, mencari panggung dengan jurus kartu-kartuan. Ahok ingin memperkenalkan dirinya yang bersih, dan menuding semua yang ada di BUMN brengsek semua, terakhir menantang siapapun yang menolak adanya fasilitas kartu kredit bagi komisaris Pertamina (BUMN). Saya tidak menganggap itu bukan masalah, tapi kalau kelasnya Presiden ngurusi pungli, Komisaris Pertamina ributnya cuma urusan kartu kredit, terus bangsa ini mau jadi apa ? Dangkal sekali kemampuan 'problem solving' para pejabat di negeri ini ? Ini tak beda dengan kelakuan Risma pada awal datang ke Jakarta yang ngurusi gelandangan. Hanya bermain citra. Capek melihat kelakuan pejabat di negeri ini, tingkahnya kayak anak kecil yang carper. Bukan sebagai penguasa yang melayani rakyatnya. Kerjanya sibuk cari citra, lupa bahkan mengabaikan tugas utama. Ahok di Pertamina, apa mahakarya yang dihasilkan ? Layanan antar BBM saat pandemi ? atau BBM tidak turun saat harga minyak dunia tertekan akibat pandemi ? Apa Prestasi Jokowi, menambah saldo utang negara ? melakukan pembubaran ormas Islam ? mengkriminalisasi tokoh dan ulama ? Tidak jelas kapasitas dan peran mereka bagi perbaikan negeri ini. Yang ada makin hari negeri ini kondisinya makin memprihatinkan. Sekarang saya mau tanya, apakah perdebatan tentang kartu kredit komisaris akan memajukan Pertamina dan BUMN pada umumnya ? Apakah, setelah semua preman pungli ditangkap, ekonomi langsung meroket ? Tidak jelas, perkejaan yang dilakukan dengan amanah yang dipertanggungkan. Semua sebenarnya tidak cakap, tapi mau menyulap diri seolah-olah sudah menjadi orang hebat di negeri ini. Hari ini, Sabtu 19 Juni 2021, diresmikan Komunitas Jokowi-Prabowo 2024. Jokpro 2024. Diberitakan, peresmian ini akan berlangsung besar-besaran di Jakarta Selatan.
Siapakah mereka ini? Mereka adalah kelompok relawan yang akan mendukung Jokowi tiga periode dengan Wapres Prabowo. Komunitas Jokpro diketuai oleh Baron Danardono Wibowo dengan Sekjen Timothy Ivan. Yang menarik, mereka diperkuat oleh M Qodari –direktur lembaga penyigi (penyurvei) Indo Barometer. Ide gilakah ini? Tidak sama sekali. Mereka serius. Banyak yang menduga, di belakang Jokpro 2024 ini ada duit besar. Logikanya begini. Para anggota oligarki yakin Jokowi telah terbukti memiliki loyalitas sejati. Figur lain, siapa pun dia, tidak mungkin bisa sesetia dan sehebat Jokowi. Dia sudah menunjukkan keberhasilan dalam memperkuat cengkeraman kekuasaan oligarki itu. Taktik yang digunakan adalah menciptakan perpecahan sosial-politik. Dan itu berhasil “summa cum laude”. Rakyat gontok-gontokan. Ketika energi seluruh anak bangsa terkuras oleh perpecahan sosial-politik itu, oligarki bisa berkonsentrasi menguras kekayaan rakyat. Selama 6-7 tahun ini, mereka berhasil memperkuat kekuasaan finansial dan politik. Tetapi, misi itu belum selesai. Masih banyak target yang belum tercapai. Para anggota oligarki ingin “Mission Accomplished” (Misi Selesai). Untuk menyelesaikan misi itu, diperlukan waktu tambahan. Karena itu, Jokowi tiga periode akan mereka perjuangkan habis-habisan. Tetapi, mengapa Prabowo Subianto (PS) yang mereka dudukkan sebagai Wapres untuk mendampingi Jokowi? Hitung-hitungannya sederhana. Prabowo dianggap bisa menenteramkan oposisi. Meskipun anggapan ini “totally senseless” (tak nyambung sama sekali). Setelah itu, apa yang akan terjadi? Indonesia dalam kondisi berat. Tumpukan utang mulai mencekik. Kalau pun Prabowo yang punya nasionalisme tinggi itu naik menjadi presiden pada 2029 dalam usia 78 tahun, dia tak akan bisa berbuat banyak. Meskipun tidak seluruh utang itu harus dibayar sekaligus, ruang gerak “Presiden” Prabowo sangat sempit. RRC (China) sudah menancapkan kuku di negeri ini. Proyek-proyek dan utang dari mereka akan menyandera Indonesia selama puluhan tahun berikutnya. China akan hadir secara fisik dalam jumlah yang sangat besar. Sejalan dengan itu, konstelasi geopolitik dunia akan berubah drastis karena China akan menjadi superpower Asia. Amerika Serikat (AS) masih tetap sebagai superpower dunia tetapi tidak kuat lagi di Asia. China yang akan menjadi “pemilik” kawasan ini nanti. Inilah “road map” yang sedang diperjuangkan oleh oligarki domestik lewat Jokowi tiga periode. Tidak mudah, tetapi bukan mustahil. Mengubah pasal 7 UUD 1945 agar presiden bisa tiga periode, sangat mungkin dilakukan. Sebab, semua kekuatan politik ,kecuali segelintir, masih bisa dikendalikan oleh Jokowi. Jokowi tahu “cara” menundukkan kekuatan politik di sini. Dan para anggota oligarki yang hampir pasti akan berkolaborasi dengan China, siap menyediakan “cara” itu.[] 19 Juni 2021 (Penulis wartawan senior) Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik Membenci korupsi itu wajib, apalagi koruptornya. Membenci partai pengkhianat itu wajib, termasuk membenci politisinya. Membenci orang yang maksiat itu wajib, termasuk membenci siapapun yang mendukungnya. Membenci pemimpin bohong, itu wajib. Membenci pemimpin ingkar, itu wajib. Membenci pemimpin khianat, itu wajib. Islam tidak pernah mengajarkan mencintai kemaksiatan dan para pelakunya. Islam tidak pernah mengajarkan mencintai kebohongan dan para pendustanya. Islam tidak pernah mengajarkan mencintai pengingkar dan para pelakunya. Islam tidak pernah mengajarkan mencintai pengkhianatan dan para pelakunya. Adalah keliru, jika kita diminta diam atau mengambil sikap netral pada kemaksiatan. Kita wajib bersuara, menampakkan kebencian, ketidakridloan, kepada kemaksiatan dan para pelakunya. Kita diminta mencintai dan berkumpul dengan orang-orang Sholeh. Tombok ati, itu bukan kumpul dengan orang bermaksiat. Kita wajib membenci korupsi bansos, dan seluruh koruptor yang terlibat, juga partai asal koruptor itu. Jangan sampai, dengan narasi partai wong cilik, kita tertipu, diminta mendekat dan merapat pada garong-garong NKRI. Tak ada kompromi dengan pelaku koruptor, partai koruptor, pelaku maksiat, partai penista agama. Kita wajib membenci mereka semua. Jangan hanya karena urusan pilpres, mencari kendaraan politik, kita jadi memberikan permakluman. Bercengkrama dengan partai koruptor, bahkan rela mengikuti sosok yang diusung partai koruptor. Posisi kita harus jelas, tidak boleh abu-abu. Benar jelas, salah jelas. Memberikan kecintaan pada ketaatan, menunjukkan kebencian dan kemarahan pada kemaksiatan. Jangan tertipu, nanti khawatir dituduh menyebar kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA. Agama Islam yang memerintahkan, untuk membenci kezaliman sekaligus melawannya. Agama Islam yang mengajarkan memusuhi kemaksiatan dan berlepas diri darinya. Tidak mungkin tegak kebenaran, kalau masih ada sikap loyal pada kebatilan. Tidak mungkin ada kebaikan dari orang yang mencintai kemaksiatan dan menyayangi kezaliman. Islam telah memerintahkan kita menyandarkan rasa cinta dan benci berdasarkan syariat. Dan Syariat, telah mengajarkan kita untuk membenci kemaksiatan dan kezaliman. by M Rizal Fadillah
Seperti terkejut akan pengaruh dan kemampuan Ustad Adi Hidayat yang dapat menghimpun dana 30 Milyar dalam 6 hari maka dicari-carilah kesalahan. Buzzer Istana Eko Kuntadhi (EK) dalam cuitannya memfitnah Ustad Adi Hidayat (UAH) bahwa seolah ia telah menggelapkan dana sumbangan Palestina tersebut karena menyebut donasi 60 Milyar hanya diserahkan kepada MUI sebesar 14 Milyar. UAH siap menjelaskan secara transparan semua donasi yang dihimpun serta alokasinya. Semua pihak siap untuk dihadapi termasuk auditor. UAH menyatakan tak ada sedikitpun yang dipakai atau digelapkan. OJK dan PPATK adalah mitra kerjasamanya. Pertanggungjawaban bukan hanya kepada manusia tetapi kepada Allah SWT. Bahkan secara tegas UAH menyatakan bahwa siapapun yang memfitnah ia akan bawa ke ranah hukum. EK ditantang pula oleh penulis Fahd Pahdepie agar melakukan klarifikasi atas ujaran yang berbau fitnah tersebut. Namun hingga kini EK tidak mengklarifikasi selain menyatakan bahwa cuitannya itu bertujuan positif. Perlu didukung ketegasan UAH terhadap cuitan berbau fitnah buzzer Eko Kuntadhi. Ada tiga hal yang mendasari dukungan tersebut, yaitu : Pertama, sebagai negara hukum maka proses hukum adalah pembuktian apakah ungkapan EK bahwa cuitan yang menurutnya “bertujuan positif” itu benar atau dibenarkan secara hukum ? Atau sebaliknya, hal itu adalah wujud dari suatu kejahatan berupa delik pencemaran atau fitnah. Kedua, EK yang dipandang sebagai buzzer istana harus dibuktikan bahwa ia tidak kebal hukum. Rekan-rekan lain EK seperti Abu Janda, Deny Siregar, ataupun Ade Armando sering dilaporkan oleh aktivis Islam kepada Polisi namun kasusnya selalu saja “mental” tidak berlanjut. Perjuangan UAH diharapkan mampu membobol tembok. Ketiga, demi pembersihan dan nama baik UAH sendiri. Jika tidak tegas atau mendiamkan fitnah ini, maka orang bisa saja menganggap tuduhan EK itu benar dan hal ini akan berpengaruh kepada kepercayaan publik kepada UAH ke depannya. Sinar UAH tidak boleh redup oleh permainan kotor para buzzer. Andai EK meminta maaf atas kesalahannya, maka UAH dapat menempatkan diri sebagai muslim yang secara pribadi selalu mudah memaafkan. Sedangkan sebagai warga negara yang patuh hukum agar tetap meminta penyelesaian secara hukum. Permintaan maaf tidak menghapus pidana. Tetap saja UAH melaporkan ke Kepolisian agar ada efek jera sekaligus “warning” bagi para buzzer lain yang angkuh dan merasa dirinya kebal hukum. UAH diharapkan dapat berperan bukan saja sebagai da’i tenar yang selalu ditunggu pencerahannya, tetapi juga menjadi mujahid penerobos tembok tebal kekuasaan yang selalu melindungi oknum-oknum pemfitnah, penghasut, dan pengganggu perasaan ummat. Semoga saja. Pemerhati Politik dan Keagamaan Bandung, 30 Mei 2021 By Asyari Usman
Presiden Jokowi menghambur-hamburkan jabatan komisaris BUMN untuk pendukungnya. Yang terbaru adalah pengangkatan Abdee Negara Nurdin atau Abdee Slank (personel band Slank) sebagai komisaris PT Telkom. Abdee adalah salah seorang Jokwer berat. Belum lama berselang, anak Gus Dur (Abdurrahman Wahid), Alissa Wahid, diangkat sebagai komisaris independen PT Unilever Indonesia. Pada Januari 2020, putri Gus Dur yang lainnya, Yenny Wahid, diangkat sebagai komisaris PT Garuda Indonesia dengan gaji 200 jutaan per bulan. Banyak pendukung Jokowi yang diberi hadiah komisaris. Belum lama ini, ketum PBNU Prof Said Agil Shirad, didudukkan di PT Kereta Api. Jauh sebelum ini, pada 2015, Fadjroel Rachman, dipasang sebagai komisaris di PT Adhi Karya. Ada sekitar 20 relawan Jokowi yang mendapat hadiah komisaris BUMN. Andi Gani Nena Wea masuk ke PT Pembangunan Perumahan (PP). Viktor Sirait, ketua relawan Barisan Jokowi Presiden (Bara JP) didudukkan sebagai komisaris di PT Waskita Karya. Lukman Edy menjadi komisaris PT Hutama Karya. Dia adalah anggota teras tim pemenangan Jokowi-Ma’ruf. Ada lagi Ulin Ni’am Yusron (relawan Jokowi di pilpres 2014 dan 2019) yang dinobatkan sebagai komisaris di PT Pengembangan Pariwisata Indonesia. Eko Sulistyo (relawan pemenangan Jokowi 2019) diangkat sebagai komisaris PLN Oktober 2020. Kemudian ada Dyah Kartika Rini yang ditunjuk sebagai komisaris di PT Jasa Raharja (asuransi). Dyah adalah pendiri Jokowi Ahok Social Media Volunteer (Jasmev) yang mengaku tanpa bayar ketika Jokowi ikut pilgub DKI 2012 dan pilpres 2014. Kristia Budiyarto dihadiahi komisaris PT Pelni. Dia pendukung Jokowi yang dikenal dengan panggilan Kang Dede dengan platform Twitter. Dwi Ria Latifa (orang PDIP) didudukkan sebagai komisaris Bank BRI pada 2020. Seterusnya ada Rizal Malarangeng (adik Andi Malarangeng) yang dihadiahi kursi komisaris di PT Telkom sejak Juni 2020. Rizal adalah koordinator nasional relawan Golkar Jokowi (Gojo). Zulnahar Usman (politisi Hanura) masuk sebagai komisaris independen Bank BRI pada Februari 2020. Dia juga anggota Komite Ekonomi dan Industri yang memberikan masukan kepada Presiden Jokowi. Kemudian ada Arya Sinulingga yang diberi jabatan komisaris PT Inalum. Arya masuk ke tim Erick Thohir sebagai staf khusus. Dudy Purwagandhi mendapat hadiah komisaris di PLN. Dia ikut dalam tim kampanye nasional Jokowi-Ma’ruf. Jokower kelas berat lainnya, Irma Suryani Chaniago (orang NasDem), mendapat kursi empuk komisaris di PT Pelindo I. Irma adalah jurubicara tim kampanye nasional Jokowi-Ma’ruf (Ko-Ruf). Kemudian, Mustar Bona Ventura mendapat hadiah komisaris di PT Dahana –BUMN yang bergerak di usaha bahan peledak. Mustar adalah pendiri Posko Perjuangan Rakyat (Pospera) sebagai pendukung Jokowi di pilpres 2019. Selanjutnya ada Paiman Raharjo yang ditunjuk sebagai komisaris di PT PGN (Perusahaan Gas Negara). Dia adalah ketua relawan Sedulur Jokowi. Politisi PDIP, Arif Budimanta, mendapat balas jasa sebagai komisaris Bank Mandiri. Dia disebut-sebut sebagai orang kepercayaan Jokowi. Inilah nama-nama komisaris sebagai hadiah atas kerja mereka mendukung Jokowi sejak pilgub DKI hingga pilpres 2014 dan 2019. Yang menjadi pertanyaan: apakah mereka, para pendukung Jokowi itu, berjasa untuk negara atau untuk kepentingan pribadi Jokowi? Sangat jelas mereka mendukung kepentingan pribadi Jokowi. Sebagai relawan Jokowi, mereka bukan bekerja untuk kepentingan negara. Nah, mengapa mereka mendapatkan balas jasa dengan jabatan komisaris di BUMN? Apakah BUMN milik nenek moyang Jokowi? Tentu saja bukan. Artinya, Jokowi membalas jasa para pendukungnya dengan uang rakyat lewat gaji ratusan juta sebagai komisaris BUMN. Jelas ini penyimpangan. Tidak salah kalau balas jasa seperti ini disebut sebagai salah satu bentuk korupsi. Kalau Jokowi mau membalas jasa para pendukungnya, bayarlah dengan uang sendiri. Atau berikanlah kepada mereka jabatan-jabatan yang ada di perusahaan milik Jokowi pribadi atau keluarganya. Jangan bebankan kepada rakyat melalui BUMN. Sekarang, apa yang bisa dilakukan untuk membalikkan kondisi ini? Pertama, DPR sebagai wakil rakyat harus mempersoalkan itu. Jokowi harus didesak agar menghentikan pemberian hadiah komisaris BUMN kepada para pendukungnya. Kembalikan semua jabatan komisaris kepada orang-orang yang memiliki kompetensi untuk kemajuan perusahaan negara. Kedua, para pakar hukum sebaiknya mempelajari kemungkinan adanya pelanggaran peraturan tentang pengangkatan komisaris BUMN. Kalau pelanggaran etika, sudah sangat jelas terjadi. Praktik buruk ini jangan sampai ditradisikan oleh presiden-presiden berikutnya yang merasa perlu memberikan hadiah kepada para pendukung di masa kampanye. Silakan mereka diberi posisi politis sebagai stafsus, wakil menteri, deputi, staf ahli, dsb, yang berada di lingkup pemerintahan. Jokowi berhak mengangkat siapa saja untuk posisi di pemerintahannya. Di negara-negara lain pun lumrah terjadi. 29 Mei 2021 (Penulis wartawan senior) Oleh: Ali Farkhan Tsani, Duta Al-Quds Internasional, Redaktur Senior Kantor Berita MINA
Surat kabar Ibrani Haaretz edisi 13 Mei 2021 menerbitkan sebuah artikel oleh penulis Zionis terkenal, Ari Shavit. Shavit yang juga penulis di media New York Times mengatakan, “Sepertinya kita menghadapi masa yang paling sulit dalam sejarah. Tidak ada solusi dengan Palestina kecuali pengakuan hak mereka dan diakhirinya penduduka.” Sebagai penulis kritis, Shavit memulai artikelnya dengan mengatakan bahwa ‘Negara Israel’ sebenarnya sedang melewati titik tidak bisa kembali, dan ada kemungkinan bahwa ‘Negara Israel’ tidak dapat lagi mengakhiri pendudukan, menghentikan permukiman dan mencapai perdamaian. ‘Negara Israel’ juga tampaknya tidak mungkin lagi untuk mereformasi Zionisme, tidak sanggup lagi menyelamatkan demokrasi dan hanya akan memecah belah rakyatnya sendiri di negerinya sendiri saat ini. Jika demikian, tidak ada lagi selera warga negaranya untuk hidup di ‘Negara Israel’. Warga pun harus melakukan apa yang disarankan Rogel Alpher, penulis Haaretz, dua tahun lalu, yaitu meninggalkan negara itu. Jika ‘Negara Israel’ dan Yudaisme bukan merupakan faktor vital dalam identitas, dan jika setiap warga ‘Negara Israel’ memiliki paspor asing, tidak hanya dalam arti teknis, tetapi juga dalam arti psikologis. Maka semuanya sudah berakhir. Ucapkan selamat tinggal kepada teman-teman mereka dan berpindahlah mereka ke San Francisco, Berlin, atau Paris. Dari sanalah, dari negara-negara ultra-nasionalisme baru Jerman, atau negara-negara ultra-nasionalisme Amerika Serikat yang baru itu, mereka akan melihat dengan tenang dan menyaksikan “Negara Israel” menghembuskan nafas terakhirnya. “Kita harus mundur tiga langkah untuk menyaksikan negara demokratis Yahudi tenggelam. Masalahnya mungkin belum ditetapkan,” ujar Ari Shavit, yang pernah ditugaskan dalam wajib militer tentara Israel ke Lebanon. Menurutnya, yang akan mengakhiri Negara Israel bukanlah Netanyahu, Lieberman dan neo-Nazi. Bukan pula Trump, Kushner, Biden, Obama atau Clinton. Bukan pula Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa yang akan menghentikan aktivitas pemukiman. Satu-satunya kekuatan di dunia yang mampu menyelamatkan ‘Negara Israel’ dari dirinya sendiri, adalah ‘Negara Israel’ itu sendiri, dengan menciptakan bahasa politik baru yang mengakui kenyataan bahwa Palestina berakar di tanah ini. ‘Negara Israel’ perlu menemukan cara agar dapat bertahan hidup di sini dan tidak mati. Warga ‘Negara Israel’ sejak mereka datang ke Palestina, telah menyadari bahwa negara mereka adalah hasil dari kebohongan yang ditemukan oleh gerakan Zionis, di mana semua tipu daya digunakan dalam karakter Yahudi sepanjang sejarah. Dengan mengeksploitasi dan memperkuat apa yang disebut Hitler sebagai Holocaust, gerakan tersebut dapat meyakinkan dunia bahwa Palestina adalah “Tanah Perjanjian”, dan bahwa kuil yang dituduhkan berada di bawah Masjid Al-Aqsa. Gerakan Zionis telah mengubah serigala negara-negara kuat di dunia itu menjadi domba pembayar pajak hingga menjadikan ‘Negara Israel’ sebagai monster nuklir. Arkeolog Barat dan Yahudi terkemuka, Israel Felinstein dari Universitas Tel Aviv, menekankan bahwa “kuil itu juga bohong dan dongeng yang tidak ada. Semua penggalian itu juga telah terbukti tidak ada sama sekali bahkan hingga ribuan tahun yang lalu sekalipum.” Ini secara eksplisit dinyatakan dalam sejumlah besar referensi Yahudi itu sendiri. Pada tahun 1968, arkeolog Inggris, Dr Kathleen Cabinos, ketika dia menjadi direktur penggalian di Sekolah Arkeologi Inggris di Yerusalem, dia melakukan penggalian di Yerusalem dan diusir dari Palestina karena dia mengekspos mitos “Israel”, tentang keberadaan jejak Kuil Sulaiman di bawah Masjid Al-Aqsa. “Saya memutuskan berdasarkan penelitian bahwa tidak akan pernah ada jejak dari kuil Sulaiman,” ujar Cabinos. Dia menekankan bahwa kutukan berbohong itulah yang menganiaya orang-orang Israel. Kutukan itu hari demi hari menampar wajah mereka sendiri dalam bentuk pisau di tangan orang-orang Maqdisi, Khalili dan Nabulsi, atau dengan lemparan batu kolektif atau sopir bus dari Jaffa, Haifa dan Acre. Orang-orang “Israel” sebenarnya menyadari bahwa mereka tidak memiliki masa depan di Palestina, karena itu bukan tanah tanpa orang, karena mereka berbohong. Gideon Levy, penulis yang juga seorang Zionis sayap kiri, pun mengakui, problematikanya bukan pada keberadaan rakyat Palestina, tetapi superioritas “Israel”. Ia menyebutkan, orang-orang Palestina berbeda dari umat manusia lainnya. Ketika tanah mereka diduduki, para pemuda mereka dipenjara, wanita-wanitanya juga dinistakan. Lalu dikatakan kepada mereka beberapa puluh tahun lalu agar melupakan tanah airnya. Namun mereka tidak akan pernah melupakan tanah air mereka. Beberapa tahun kemudian yang terjadi justru mereka kembali kepada dengan pemberontakan bersenjata Intifadah pada tahun 2000. Ketika pasukan Israel mengancam akan menghancurkan rumah-rumah mereka dan memblokade mereka selama bertahun-tahun. Mereka orang-orang Palestina justru semakin berani melawan. Mereka bahkan mendatangi pasukan Israel melalui bawah tanah dan melalui terowongan. Ketika pasukan Israel menyerang mereka. Aksi perlawanan justru memasukkan teror ke setiap rumah-rumah di “Israel”. Mereka malah menyebarkan ancaman dan intimidasi, seperti yang terjadi ketika pemuda mereka berhasil merebut saluran media “Israel 2”. “Singkatnya, tampaknya kita menghadapi orang-orang yang paling sulit dalam sejarah, dan satu-satunya solusi dengan mereka adalah pengakuan atas hak-hak mereka dan diakhirinya pendudukan,” ujar Gideon Levy. Sistem pertahanan tercanggih ‘Iron Dome’ pun sudah tak kuasa menahan gempuran roket-roket rakitan dari para pejuang Palestina dari Jalur Gaza. Serangan roket-roket walau dalam jumlah relatif kecil dari Suriah dan Lebanon, semakin memusingkan pasukan Israel. Belum lagi aksi-aksi konfrontasi berani mati warga di Tepi Barat, aksi menabrakkan mobil ke pasukan Israel, hingga perlawanan pilitik dari warga Negara Israel-Arab Muslim di Tel Avivi. Belum lagi demo dari warga Negara Israel sendiri yang menuntut mundurnya Netanyahu. Dunia tinggal menunggu lolongan terakhir mencekik leher para pemimpin ‘Negara Israel’ yang tak berperikemanusiaan itu. Kita tinggal waktu saja, sambil ditimpa dengan doa-doa mustajab kita di penghujung malam. (A/RS2/P1) Sumber: Haaretz, surat kabar Ibrani. Mi’raj News Agency (MINA) by M Rizal Fadillah
Muchammad Nabiel Haroen, S.Pd, M. Hum anggota DPR Fraksi PDIP meminta agar bantuan masyarakat Indonesia untuk Palestina di audit. Usulan yang seperti simpatik tapi dapat diinterprestasi sebaliknya. Prasangka atau antipati. Gerakan bantuan Palestina bersifat insidentil dimana dalam kasus saat ini jelas disebabkan oleh membabi buta serangan Israel ke jalur Gaza yang menewaskan banyak warga Palestina, termasuk anak-anak. Bangunan banyak yang hancur. Awalnya pengusiran sewenang-wenang di Sheikh Jarrah dan serangan ke Masjidi Al Aqsho. Bantuan rakyat Indonesia dipastikan tidak cukup untuk melakukan rekonstruksi. Usulan Nabiel Harun patut disikapi dengan pentingnya dilakukan audit yang transparan untuk kondisi kas partai partai khususnya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP). Hal ini mengingat terbukti bahwa PDIP adalah partai dengan kader yang terbanyak korupsi. Dan korupsi kader khususnya mereka yang memiliki jabatan strategis diduga kuat mengalokasikan dananya untuk kas Partai. Partai di Indonesia cenderung pragmatis dan transaksional. Bukan hanya konteks korupsi tetapi juga alokasi dana dari Cabup/Wakil, Cawalkot/Wakil atau Cagub/Wakil, bahkan Capres/Cawapres untuk maju dari PDIP bukan mustahil harus mengeluarkan biaya "kendaraan" yang artinya ini menjadi pengisi kas atau pundi-pundi Partai. Belum lagi dari setoran wajib anggota legislatif di semua tingkat. Tercatatkan secara formal yang terlaporkan secara resmi ? Audit Partai secara transparan harus dilakukan, jangan sampai juga ada dana Partai yang digunakan untuk suap atau pelicin Jabatan tertentu. Tentu ada timbal balik dari suap tersebut. Kembali ke kas Partai lagi. Perputaran dana-dana misterius begini biasanya tidak terlaporkan. Karenanya harus ada dan dimulai audit terbuka bagi publik mengenai kondisi kas Partai. PDIP sebagai pemenang Pemilu harus memberi contoh. Jangan sok transparan, obyektif, dan mempermasalahkan bantuan sukarela untuk kepedulian kemanusiaan Palestina, padahal kondisi keuangan Partai sendiri tidak teraudit dengan baik. Ayo Nabiel Harun lantanglah berteriak agar kas PDIP diaudit secara transparan. Itu baru hebat dan patut diacungi jempol. Anggota legislatif yang kritis dan peduli. Ingin membersihkan semua. Ada ketidakpercayaan pada Pemerintah yang menyangkut dana-dana umat. Setelah dana haji diragukan penggunaan, dana zakat, wakaf, kini dana Palestina pun dikotak atik. Apakah akan dipajak atau digasak? Rakyat tahu Pemerintah sedang pusing dengan kondisi keuangan negara, hutang terus digali meski harus dengan menjual harga diri, demikian juga dengan penarikan dana masyarakat yang terus meningkat. Rakyat semakin sengsara dan menderita. Mulailah gerakan pembenahan dari pembersihan Partai Politik. PDIP harus membuktikan sebagai partai yang bukan terkorup, terboros, atau terbesar bermain suap menyuap. Jalannya adalah audit kas Partai secara transparan. Rakyat berhak tahu bahwa Partai bukanlah penjahat keuangan negara. Terimakasih Muchammad Nabil Harun yang kritis soal keuangan. Ayo Audit kas Partai dengan memulai dari PDIP sendiri. Kita semua akan mendukung dan bahagia. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan. Bandung, 23 Mei 2021 |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|