Prof. Dr.-Ing. Fahmi Amhar, Anggota Ikatan Alumni Program Habibie (IABIE)
Ada 5 jenis reaksi di dunia terhadap berita di Afghanistan. Yang pertama adalah “traumatik”, menganggap kemenangan Taliban adalah “bencana”, karena selama ini Taliban dicap teroris. Terbayang era 1996 - 2001, ketika Taliban melarang perempuan sekolah, bahkan menembak pelanggarnya. Komite Nobel bahkan menganugerahi Malala (lahir 1997), seorang remaja putri Afghanistan, dengan Nobel Perdamaian 2014 karena berjuang demi pendidikan di sana. Taliban juga merusak situs purbakala, dan mudah memvonis “anti Islam” (dan mempidana mati) ketika seseorang bersikap keberatan terhadap kebijakan mereka. Video ribuan orang yang berkumpul di bandara Kabul menunggu diungsikan dari Afghanistan umumnya diviralkan kelompok traumatik ini. Namun stereotip ini justru dibantah jurnalis perempuan BBC, Yvonne Ridley, yang pernah ditahan di penjara Taliban. Namun setelah pulang ke Inggris, ia menjadi muallaf, dan kini menjadi pembela Islam di Barat. Yang kedua sekedar “negatif”. Bahwa Taliban kini berkuasa itu sebuah realitas. Usaha Amerika Serikat selama 20 tahun dan menguras US$ 2,26 Trilyun untuk membangun Afghanistan ternyata sia-sia. Sudahlah, antisipasi saja agar “radikalisme ala Taliban” tak menyebar ke negeri kita, kata mereka. Yang ketiga adalah “apatis”. Dulu saat Israel menghancurkan puluhan bangunan dan mengusir ratusan warga Palestina, mereka berkomentar “Biarin, itu masalah politik negara lain!”. Kalau konsisten, mereka tak sebaiknya berkomentar apapun dengan perkembangan Afghanistan saat ini. Yang keempat adalah “empati”. Biarkan Afghanistan diurus mereka sendiri, tak usah dicampuri bangsa lain, baik Rusia maupun Amerika. Tentang Taliban, mereka bersangka baik, “Taliban sudah berubah”. Perjanjian Doha 2020, hubungan dengan Tiongkok, amnesti umum, serta janji Taliban menjamin hak-hak asasi perempuan dianggap sebagai buktinya. Yang kelima adalah “euphoria”. Mereka meyakini keberhasilan Taliban merebut Kabul adalah batu pertama sebelum merebut Palestina dan menegakkan kembali Khilafah. Mereka yakin Taliban adalah barisan berpanji Tauhid dari Khurasan yang diprediksi Rasulullah. Juga yakin bahwa Khilafah harus tegak dengan jihad, bukan dengan sekedar dakwah politik. Tulisan ini tidak hendak mengadili mana dari lima reaksi tadi yang paling benar. Tulisan ini justru ingin menunjukkan bahwa Afghanistan adalah bumi Islam yang diberkati. Afghanistan berada di area bergunung-gunung. Sebagian kecil wilayahnya adalah lembah yang subur nan indah. Sebagian besarnya gersang, namun menyimpan material langka, seperti Lithium, yang kini diincar untuk bahan baterei kendaraan listrik. Tentu saja sumber daya seperti ini tak bisa diperbarui. Wilayah barat laut Afghanistan disebut Khurasan. Herat adalah salah satu ibu kotanya, sedang Kandahar, Ghazni, dan Kabul, membentuk perbatasan antara Khurasan dan Hindustan (India dan Pakistan kini). Hingga abad ke-19 istilah Khurasan biasa digunakan oleh penduduk asli. Sebelum Islam masuk, masyarakat wilayah tersebut sebagian besar beragama Buddha dan Zoroaster, tetapi ada juga penganut Hindu, Yahudi, dan lain-lain. Muslim Arab membawa Islam ke Herat dan Zaranj pada 642 M dan mulai menyebar ke timur. Beberapa penduduk asli menerimanya, sementara yang lain menolak. Kabul pertama kali ditaklukkan 870 M. Dilaporkan bahwa Muslim dan non-Muslim hidup berdampingan di Kabul sebelum Ghaznawi naik tahta pada abad ke-10. Pada abad ke-11, Mahmud dari Ghazni (971 – 1030 M) mengalahkan penguasa Hindu yang tersisa dan mengislamkan wilayah yang lebih luas. Mahmud membuat Ghazni menjadi kota penting dan melindungi para intelektual seperti Al-Biruni dan Ferdowsi. Abu Rayhan al-Biruni (973 –1050) adalah polymath selama Zaman Keemasan Islam. Ia disebut “Antropolog pertama”, "Pendiri Indologi", "Bapak geodesi modern" dan "Bapak Perbandingan Agama". Al-Biruni fasih dalam fisika, astronomi, dan juga menonjol sebagai sejarawan, sosiolog dan ahli bahasa. Dia mempelajari hampir semua ilmu pada zamannya dan mendapat penghargaan yang melimpah atas penelitiannya di berbagai bidang. Dia fasih berbahasa Persia, Arab, Sansekerta, Yunani, Ibrani, dan Syria. Dia menghabiskan sebagian besar hidupnya di Ghazni, Afghanistan modern. Pada 1017 ia melakukan perjalanan ke India dan menulis salah satu epicnya berjudul Tārīkh al-Hind. Sedang Ferdowsi (940 – 1025 M) adalah pujangga. Dia menulis Syahnameh (Kitab Para Raja) untuk Sultan Mahmud Ghaznawi. Menurut legenda, Sultan menawarkan sekeping emas untuk tiap bait yang ditulis. Ferdowsi menyelesaikan epiknya sebanyak 60.000 bait selama hampir 30 tahun. Namun sayang, Ferdowsi terkena fitnah. Ketika beberapa tahun kemudian Sultan tahu yang sebenarnya, dia mensusulkan hadiah itu. Sayang sesampainya, mereka mendapati jenazah Ferdowsi sedang diantar ke makam. Pada 1219 M, Jenghis Khan dan pasukannya menyerbu wilayah tersebut. Banyak penduduk setempat kembali ke pedesaan. Pada awal abad ke-16, Babur dari Ferghana merebut Kabul. Antara abad ke-16 dan 18, Khanat Uzbekistan di Bukhara, Safawi Iran, dan Mughal India menguasai sebagian wilayah tersebut. Di era Daulah Abbasiyah mereka adalah provinsi Khilafah, namun pasca runtuhnya Baghdad, mereka memerdekaan diri dan saling bersaing. Luas Afghanistan modern 652.864 km2 atau hampir seluas Kalimantan. Penduduknya sekitar 33 juta orang. Namun pendapatan perkapitanya hanya separuh Indonesia. Perang sipil dan campur tangan asing yang berkepanjangan membuat negeri ini nyaris tidak membangun. Padahal di masa lalu mereka memiliki ilmuwan hebat seperti Al-Biruni. Banyak talenta sains Afghanistan yang memilih menjauh dari perang, menjadi diaspora di negara-negara yang damai dan kaya. Taliban harus membuktikan, bahwa mereka sungguh-sungguh menerapkan syariat Islam, termasuk terkait pendidikan bagi setiap muslim dan muslimat, dan mentolerir perbedaan pendapat dalam fiqh dan sains, sehingga berkah Allah akan keluar dari langit dan bumi, sehingga di masa depan bumi Khurasan ini kembali menjadi teladan bagi dunia. Kalau itu tidak terbukti, maka ini membenarnya teori, bahwa perginya AS ini sekedar alih strategi dari hardpower ke softpower (intelijen, diplomasi, teknologi, bisnis). Sebagaimana tahun 1975, AS “kalah” secara militer dari komunis di Vietnam, namun 25 tahun setelahnya “menang” secara ekonomi. Ekonomi Vietnam kini full kapitalis. Republika 27 Agustus 2021
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|