(Disadur dari Acara Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI di Yogyakarta)
Oleh Kanjeng Senopati PERNYATAAN Menteri Agama Lukmanul Hakim dan presiden Jokowi dibantah mentah-mentah oleh Ketua Umum Yayasan Raja Sultan Nusantara (Yarasutra) Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin. Saat itu tampak Sultan Iskandar sebagai sang primadona acara kongres tersebut. Ada peristiwa langka, setelah acara kongres selesai presiden Jokowi berusaha untuk mendekati kepada Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin yang tetap menampakkan izzah (kewibawaannya) sebagai seorang Sultan Palembang ex. Kerajaan Sriwijaya walaupun dihadapan presiden. Di hadapan sekitar 800 peserta Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) VI dan perwakilan dari beberapa raja dan sultan kerajaan Nusantara di Yogyakarta. Menteri Agama menyatakan bahwa Islam Indonesia yang moderat adalah versi Islam yang diharapkan dunia katanya. Yaitu “Islam Nusantara" adalah "Islam ala Indonesia". Yang katanya dinilai oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan," ujarnya. Entah ini benar atau tidak. Yang disampaikan Ahad (8/2/2015) di di pagelaran Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat, DIY. Namun pernyataan terkait "Islam ala Indonesia" ini ditolak oleh Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin yang juga sebagai Sultan Palembang pada sambutan di kesempatan yang sama. Menurutnya sebelum Indonesia berdiri, berbagai kesultanan di Nusantara sudah memeluk Islam yang tidak dapat dibedakan antara satu sama lainnya. Tidak bisa dikotak-kotak berdasarkan suku masing-masing. "Kalau Bapak Menteri tadi bilang ada Islam ini dan itu. Karena ada Islam Arab maka di Indonesia ada Islam Jawa, Islam Sunda, Islam Bugis, Islam Batak, Islam Madura dll.. saya tidak sepakat ! Sebab Islam adalah agama universal, agama yang satu dan menyatukan oleh karena itu Islam adalah rahmatan lil alamin dan Islam hanya satu," tegas Sultan. Sultan Iskandar juga menanggapi pernyataan Wakil Ketua MUI Ma’ruf Amin, yang sebelumnya mengatakan Indonesia saat ini tengah terjadi darurat pornografi, mengalami darurat narkoba, korupsi dan lainnya. Menurut Sultan, situasi tersebut terjadi karena produk hukum di Indonesia merupakan produk kafir buatan kolonial Belanda. “Produk hukum yang saat ini ada, kenapa Indonesia ini darurat, karena Indonesia hanya meneruskan produk hukum kafir Belanda. Adalah produk hukum daripada kolonial Belanda yang ditranslate ke dalam bahasa Indonesia. Cuman begitu saja..” Di akhir sesi acara, pernyataan tegas Sultan Iskandar terlihat menuai sambutan dukungan yang luar biasa dari beberapa hadirin yang menyambutnya. Keesokannya, tepatnya pada Senin pagi, terjadi hal yang lebih mengejutkan lagi. Pasalnya Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuono X mengomfirmasi hubungan Kesultanan Yogyakarta (sebelumnya bernama Kesultanan Demak) dengan Khilafah Utsmani. Yaitu kata beliau Sri Sultan.. Pada tahun 1479, Sultan Turki mengukuhkan Raden Patah, Sultan Demak pertama, sebagai Khalifatullah ing Tanah Jawa, Kesultanan Demak Bintoro sebagai perwakilan Kekhalifahan Islam (Turki) untuk Tanah Jawa di bumi nusantara, lalu dengan penyerahan bendera bertuliskan kalimat.. Laa ilaaha illa Allah berwarna ungu kehitaman terbuat dari kain Kiswah Ka'bah, dan bendera bertuliskan Muhammadurrasulullah berwarna hijau,’ ujar Sri Sultan di hadapan sekira 800 peserta kongres Umat Islam dan Kerajaan nusantara, pada hari Senin, 9 Februari 2015 di pelataran Kraton Kasultanan Yogyakarta. Duplikatnya, lanjut Sri Sultan, tersimpan di Kraton Yogyakarta sebagai pusaka, penanda keabsahan Kasultanan Yogyakarta Hadiningrat wakil Kekhalifahan Turki. Sri Sultan juga menyebutkan di tahun 1903, saat diselenggarakan Kongres Khilafah di Jakarta oleh Jamiatul Khair, yang berdiri 1903, Sultan Turki mengirim utusan Muhammad Amin Bey. Kongres menetapkan fatwa, haram hukumnya bagi Muslim tunduk pada penguasa Belanda. “Dari kongres inilah benih-benih dan semangat jihad fisabilillah untuk meraih kemerdekaan membara,” tegas Sri Sultan. Mendengar pidato Sri Sultan Jogja tersebut sebagian peserta kongres menyampaikan takbir. Pasalnya, panitia sudah mewanti-wanti agar ada delegasi dari HTI tidak menyinggung kata “khilafah” dalam kongres yang dibuka oleh Wapres Jusuf Kalla waktu itu dan ditutup oleh Presiden Jokowi itu. Meskipun jejak Khilafah pada kerajaan nusantara di bumi pertiwi ini berusaha ditutup-tutupi oleh kelompok liberal dan sekuler. Tapi Allah tetap saja memberikan kesempatan kepada umat Islam Indonesia generasi sekarang untuk mengetahui rekam jejak sejarah yang real dan esensial sesuai fakta yang sebenarnya. TABIR KEJAYAAN KERAJAAN NUSANTARA DIBAWAH KEKHALIFAHAN SEMAKIN TERUNGKAP Catatan sejarah hubungan khilafah dengan Kerajaan Nusantara setidaknya diawali sejak Kerajaan Sriwijaya di Palembang. Kerajaan Budha yang beribu kota di Palembang tersebut pernah dua kali mengirimkan surat kepada Khilafah Islam di era Khilafah Umayah. Pertama pada masa Khalifah Muawiyah I (berkuasa 661-680 Masehi). Dan untuk surat yang kedua dikirimkan kepada Khalifah Umar bin Abdul-Aziz (berkuasa 717– 720 M). Surat kedua didokumentasikan oleh Abdul Rabbih (860-940 M) dalam karyanya Al-Iqdul Farid. Potongan surat tersebut berbunyi: "Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.” Ahli sejarawan SQ Fatimi memperkirakan surat-surat itu diterima Khalifah sekira tahun 100H/717M. Dua surat itu bisa dikatakan sebagai titik awal Islam masuk ke Nusantara meskipun juga Raja Sriwijaya beserta jajaran pemerintahannya sudah berinteraksi dengan para pedagang Islam yang datang ke Nusantara. Bahkan berdasarkan penelitiannya, sejarawan Nicko Pandawa menyakatan sebenarnya ajaran luhur Islam sudah masuk ke Nusantara sejak masa Khulafaur Rasyidin. Ini menunjukkan Islam masuk ke Indonesia awal-awal peradaban Islam (abad ke-7); bukan abad ke-13 seperti yang dinyatakan Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda si Christiaan Snouck Hurgronje yang kadung diadopsi dalam buku pelajaran sejarah di sekolah-sekolah. Perlahan tapi pasti, seiring semakin masifnya dakwah diterima, maka kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan Budha di nusantara berganti menjadi Daulah Islam (pemerintahan Islam) yang berbentuk kerajaan. Dan ini terjadi di seluruh kerajaan nusantara dengan bernama kesultanan Islam. Di Aceh, berdiri kerajaan Islam pertama yang bernama Kerajaan Samudera (kelak menjadi Kesultanan Samudera Pasai) dengan rajanya bernama Meurah Silu. Ia (berkuasa 659-688 H/1261-1289 M) mendapat gelar Sultan Malikush Shalih dari Syarif Makkah semasa era Turki Saljuk (40 tahun sebelum diteruskan Turki Utsmani). Menurut ahli sejarawan Septian AW, para penguasa Muslim di Nusantara mendapatkan gelar sultan dari Syarif Makkah, dalam bahasa sekarang Gubernur Mekkah. Syarif Mekkah mendapatkan mandat dari Khalifah untuk melakukan itu. Catatan sejarah, mengungkap penguasa Banten Abdul Qadir (berkuasa 1625-1651), pada 1638 menerima anugerah gelar sultan dari Syarif Mekkah. Kemudian Pangeran Rangsang, penguasa Mataram, pada 1641 juga mendapatkan gelar Sultan dari Syarif Makkah atau lebih terkenal sebagai Sultan Agung. Begitu pula Kesultanan Aceh, lalu Kesultanan Palembang dan Makassar, yang juga menjalin hubungan khusus dengan penguasa Makkah. MENGUSIR PENJAJAH PORTUGIS Dalam arsip nomor E-8009 di Museum Arsip Istana Topkapi terdapat surat dari Sultan Kesultanan Aceh Darussalam (penerus Kesultanan Samudera Pasai) ketiga Alauddin Riayat Syah al-Qahhar (berkuasa 1537-1571), yang ditujukan kepada Khalifah Sulaiman al-Qanuni di Istambul pada tahun 1566. Dalam surat itu ia menyatakan baiatnya kepada Khilafah Utsmaniyah dan memohon agar dikirimi bantuan militer ke Aceh untuk melawan Portugis yang bermarkas di Malaka. Pengganti Khalifah Sulaiman al-Qanuni, yakni Salim II, mengabulkan permohonan Sultan al-Qahhar dan mengirimkan bala bantuan militer ke Aceh. Dalam surat balasannya kepada Sultan Aceh itu, Khalifah Salim II menulis bahwa melindungi Islam dan negeri-negeri kerajaan Islam adalah salah satu tugas penting yang diemban oleh Khilafah Utsmaniyah. Khalifah Salim II pun menunjuk kepala provinsi (sancak) Alexandria di Mesir, Kurdoglu Hizir Reis, untuk menjadi panglima perang dan dikirim ke Aceh demi memerangi kaum kafir Portugis dengan pertolongan Allah dan Rasul-Nya. Dengan bantuan yang didapat dari Khilafah Utsmaniyah ini, Sultan al-Qahhar dari Aceh dapat menyerang Portugis di Malaka pada 20 Januari 1568 dengan kekuatan 15.000 tentara Aceh, 400 Jannisaries Utsmaniyah dan 200 meriam perunggu (Amirul Hadi, 2004: 23). Selain Sultan Aceh, para sultan lain di Nusantara selama abad ke-16 juga beraliansi dan menyiratkan kekaguman yang mendalam kepada Khilafah Utsmaniyah. Sultan Babullah bin Khairun di Ternate bekerja sama dengan 20 orang ahli senjata dan tentara Khilafah Utsmaniyah ketika memerangi Portugis di Maluku sepanjang tahun 1570-1575 (Leonard Andaya, 1993: 134, 137). Berkat semangat jihad dan kerja sama yang luar biasa antara kaum Muslim di Maluku dan pasukan Khilafah Utsmaniyah, sepeninggal Sultan Babullah penjajah Portugis pun dapat dihancurkan dari Bumi Maluku untuk selama-lamanya ! Jangan lupakan jejak leluhur khilafah di bumi nusantara melalui Khilafah para raja dan sultan seluruh kerajaan nusantara dapat disatukan dan bersatu untuk bersama mengusir dan memerangi penjajah. Pada masa kerajaan-kerajaan di nusantara belum mengenal ajaran luhur Islam masih Hindu dan Budha mereka antar kerajaan saling berperang dan menguasai tidak bersatu. Jejak para khalifah di bumi nusantara yang telah menyatukan seluruh kerajaan di bumi nusantara ini untuk bersatu didalam satu komando Kekhalifahan. Ingat, pada masanya Nusantara ini akan kembali menjadi kekhalifahan menjadi sebuah Daulah Islam besar yang berbentuk kerajaan / monarki setelah bentuk pemerintahan republik demokrasi yang telah hancur ditinggalkan. Penulis adalah : Pemerhati Spiritual Geostrategi Geopolitik Indonesia & Kerajaan Nusantara
1 Comment
Pangeran Suryo Nato Nandito Muhammad Hanif
6/18/2024 12:41:08 am
Maaf sebelumnya, Kesultanan Palembang Darussalam tidak ada hubungannya dg Sriwijaya, Kesultanan Palembang didirikan oleh Susuhanan Abdurrahman (Kimas Hindi) yang merupakan zuriat Sunan Giri, jadi tidak ada hubungannya dg Kerajaan Sriwijaya. Tolong kata ex. Kerajaan Sriwijaya dalam tulisan diatas dihapus, kalau tidak akan saya laporkan ke Sultan Iskandar Mahmud Badaruddin
Reply
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|