Judul asli tulisan ini adalah “Kisah orang Indonesia pertama yang mencapai kutub selatan” yang ditulis oleh Agus Supangat dalam Buku "Kisah-kisah Sebuah Angkatan" dari Alumni ITB 77. Sangat menarik mengikuti pengalaman Agus Supangat, yang pernah dianugrahi penghargaan Satyalencana Wira Karya di bidang Kelautan oleh Pemerintah SBY ini, ketika mengawal Prasasti ke Antartika. Ikuti kisahnya di sini. Menuju Perancis Latar belakang pendidikanku berawal dari Sarjana Geofisika dan Meteorologi ITB yang aku peroleh pada bulan Maret tahun 1983. Kemudian melanjutkan dosen di ITB yang secara resmi dimulai di tahun 1985. Pada tahun 1987, aku mendapatkan beasiswa dari pemerintah Perancis untuk melanjutkan program DEA (S2) di bidang Meteorologi di Universite de Blaise Pascal dan DEA (S2) di bidang Geomorfologi dan Coastal Manajemen di Universite de Bretagne Occidentale tahun 1989. Pada tahun 1993 aku balik lagi ke Perancis untuk meneruskan program Doktor di bidang Marine Environmental di Universite de Montpellier II hingga selesai pada tahun 1996. Menjadi teman dan fasilitator di kampus ITB Sepulang sekolah dari Perancis, aku mulai lagi berkecimpung di dunia pendidikan di ITB seperti mengajar, sebagai dosen wali mahasiswa, membimbing mahasiswa, administrasi, organisasi, penelitian dan juga proyek. Cukup mengasyikkan kalau ketemu para mahasiswa apalagi yang masih baru (TPB), ada rasa haru setiap tahun kalau ikut menerima mereka, ketemu orangtuanya sampai akhirnya mereka diwisuda. Aku selalu, dan mungkin hampir rata-rata gaya dosen ITB, memposisikan diri sebagai teman dan fasilitator baik kuliah maupun di luar jam kuliah, dan ini cukup bagus menurutku karena mereka lebih terbuka kalau ada masalah baik akademis maupun pribadi. Dalam pengajaran aku lebih memilih Learning Base bukan Teaching Base. Untuk itu ya harus mempersiapkan dengan bagus semua materi yang diberikan, konsekuensi ya harus banyak nulis sebagai bahan bacaan para mahasiswa, bahkan dibudayakan untuk on-line alias dimanapun dan kapanpun dosen dan mahasiswa bisa diskusi. Dan satu hal yang menurutku penting adalah bahwa seringkali para mahasiswa memperhatikan sepak terjang dosennya, kadang malah ada yang dijadikan panutan. Diminta memberi “warna” Departemen Kelautan dan Perikanan yang baru Sejak berdirinya Departemen Kelautan dan Perikanan, sekitar tahun 1999, aku ditugaskan oleh ITB untuk ikut memberi warna Departemen baru ini terutama dibidang kelautannya karena memang departemen ini lebih dominan di sisi perikanannya. Dan kami mulai dari nol bahkan kantor saja harus “nebeng”, meja dan kursi gantian. Pada waktu aku diminta menghadap Pak Sarwono dan Pak Indroyono, beliau hanya berpesan bahwa tidak ada fasilitas mobil maupun rumah dinas dan aku harus tetap mengajar !. “Siap Pak...!” jawabku. Teman-teman di ITB juga tahu bahwa istri dan kedua anakku memang tinggal di Jakarta. Alhamdulillah akhirnya semua berjalan, dimulai dari riset yang sifatnya lokal, nasional maupun internasional sudah berhasil kami lakukan. Dari mulai Arus Lintas Indonesia, Submarine Hydrothermal sampai Antartika. Kami benar-benar berusaha menunjukkan “bendera” kelautan Indonesia. Dan dampak dari itu semua, aku pernah jadi selebriti kelas proletar, profilku sempat dimuat dari mulai majalah Bobo, Harian Republika, Gatra, d’Maestro bahkan sempat diminta ikutan kuis Dang Dut-nya Jaja Miharja dan di era pemerintahan SBY ini aku dianugrahi penghargaan Satyalancana Wira Karya di bidang Kelautan. Pada awal September 2001 ada tawaran dari AAD (Australian Antarctic Division) kepada Indonesia melalui BRKP untuk melakukan riset di Antartika. AAD mengajak Indonesia untuk bergabung menjadi anggota tim Ekspedisi Antartika untuk tahun 2002. Ada 12 (dua belas) orang kandidat dari Indonesia, aku termasuk di antara nama-nama calon anggota Tim Ekspedisi Antartika tersebut. Ternyata akulah satu-satunya yang memasukkan proposal di bidang oseanografi. Akhir kata, setelah melalui berbagai seleksi yang lumayan berat dan ketat, seperti menjalani test kesehatan di Indonesia dan di Hobart, Australia, aku diterima sebagai anggota team ekspedisi. Memulai perjalanan ke Antartika Pulau Tasmania, selatan Australia, Sabtu 26 Januari 2002. jam menunjukkan pukul 19.00 waktu setempat. Matahari masih bersinar. Cahaya emasnya tampak benderang. Angin tak kencang, hanya berembus sepoi. Beberapa burung camar terlihat asyik melayang sambil sesekali menukik ke air, mencari ikan. Di dermaga, puluhan pasang mata tak lepas mengamati Aurora Australis. Sore itu, kapal riset milik Australia ini baru saja berangkat meninggalkan Pelabuhan Hobart. Perlahan namun pasti, Aurora Australis meninggalkan pulau seukuran Pulau Madura itu. Kami, rombongan peneliti dan sebagian awak berjajar di geladak paling atas ketika kapal beringsut perlahan meninggalkan pelabuhan. Peristiwa sore itu, tampaknya, tak akan pernah lepas dari ingatan. Dari atas geladak Aurora Australis saya melambaikan tangan ke teman-teman yang melepas di dermaga. Beberapa teman dari Indonesia memang hadir di sana. Mereka mahasiswa Indonesia yang tengah melanjutkan studi di negara itu. Saya terharu melihat mereka ikut mengantar kepergian kami. Dalam perjalanan riset yang kali ini diberi nama Voyage 7, Aurora Australis membawa tim peneliti gabungan. Ada 25 peneliti dari berbagai negara dalam misi ini. Ada peneliti dari Selandia Baru, Kanada, Brasil, Prancis, Amerika, Afrika Selatan, Belanda, Irlandia dan, tentu saja, Australia. Aurora Australis, dengan bobot mati 6.500 ton, dinakhodai Kapten Les Morrow. Pria berkebangsaan Australia ini telah berulang kali melakukan misi ke Antartika. Ia ramah, selalu enak diajak bercakap-cakap. Padahal, tanggung jawabnya besar. Kapal Aurora Australis ini besarnya hampir lima kali kapal Baruna Jaya VIII, kapal riset milik LIPI. Hari pertama di atas Aurora Australis berlalu dengan lancar. Laut sangat bersahabat. Hari pertama itu dihabiskan para peneliti dengan melakukan persiapan penelitian. Perbincangan di antara para peneliti pun makin akrab. Maklum, sebelumnya kami memang telah bertemu di darat. Kami telah bergabung sejak 21 Januari di pangkalan darat dekat Hobart. Pada 21 Januari itu, saya mendarat di Hobart, kota pulau dengan penduduk 40.000 jiwa, yang menjadi base camp penelitian Antartika. Di kota inilah terletak Australian Antarctic Division (AAD) - Lembaga Penelitian Antartika Australia. Di AAD ini, kami mendapat penjelasan awal sebelum melangsungkan penelitian. Saya merasa sangat beruntung bisa bergabung dengan peneliti dari berbagai negara untuk melakukan riset di Antartika. Melakukan penelitian di Kutub Selatan jelas sebuah peluang langka. Saya jelas bersyukur, sebab kesempatan ini belum tentu bisa terulang lagi. Mengambil air di 21 lokasi Tak perlu waktu lama bagi kami untuk menyesuaikan diri. Sebab, sebelum berangkat, segala hal telah direncanakan dengan baik dari Hobart. Semua peneliti boleh dikata telah mengingat di luar kepala segala hal mengenai kapal, posisi dalam tim, teman kerja, serta peralatan yang ada. Bagi saya, perjalanan ke Antartika ini merupakan suatu berkah karena berkesempatan melakukan penelitian mengenai air laut langsung di Kutub Selatan. Kesempatan semacam ini jelas hal langka bagi peneliti di Tanah Air. “Saya akan gunakan kesempatan ini sebaik mungkin,” begitu berulang saya tekadkan dalam hati. Dalam pelayaran Voyage 7, saya termasuk dalam tim AMISOR – Amery Ice Shelf Ocean Research – tim yang meneliti kaitan antara pemanasan global dengan pelelehan es di antartika. Disamping itu saya juga bertugas meneliti keberagaman klorofil di air laut. Sepanjang perjalanan, tim kami berulang kali menghentikan pelayaran untuk mengambil contoh air. Ada 21 titik berbeda harus diambil airnya. Semua contoh air itu bervariasi pada kondisi arus, kedalaman, juga dedahan cahaya mataharinya. Paling dalam mencapai titik 200 meter. Pada titik inilah cahaya matahari masih bisa mempengaruhi plankton. Untuk penelitian ini, saya bekerja pada laboratorium basah dan laboratorium kering. Setiap mengambil contoh air, Aurora Australis harus lego jangkar, berhenti berjam-jam. Sampel air diambil dengan menggunakan peralatan CTD, atau Conductivity -Temperature -Depth, sebuah perangkat seharga sekitar AUS$700.000. Peralatan ini dilengkapi dengan sistem komputer untuk analisis data, pengoperasian alat ini sepenuhnya dilakukan lewat komputer. CTD dioperasikan dari geladak D Aurora Australis, tempat laboratorium kering dan basah terletak. Pada saat akan mengambil contoh air, pintu di dinding kanan kapal akan terbuka. Kemudian sebuah belalai dikeluarkan. Di ujung belalai ini ada semacam alat yang bisa membuka-menutup. Fungsinya mengambil air. Contoh air inilah yang akan digunakan sebagai bahan penelitian. Sebelum Aurora Australis berangkat, semua titik pengambilan air sudah ditentukan. Pada lintang-bujur berapa, demikian juga variasi kedalamannya. Karena itu saya tak perlu lagi repot harus berkoordinasi dengan nakhoda untuk menghentikan kapal. Begitulah, pada penelitian ini, semua kru dan peneliti tahu persis tugas masing-masing. Dilibas Badai Samudra Selatan Di Aurora Australis, semua kontrol dilakukan di layar komputer. Pintu untuk keluar-masuk belalai penelitian, misalnya, diatur otomatis. Saya pun bisa dengan mudah dan akurat menentukan kedalaman air yang bakal diambil. Setelah kedalaman sesuai dengan yang direncanakan, tombol panel pun ditekan, dan sampel air segera “terciduk”. Pada saat mengambil air, peneliti di atas kapal juga sudah tahu persis berapa besar kekuatan arus, suhu air, dan parameter lainnya di titik pengambilan itu. Sebuah sensor yang duhubungkan ke komputer kapal langsung membaca situasi umum itu dengan otomatis. Untuk mengubah ukuran kedalaman pengambilan air, saya hanya perlu menekan sebuah tombol panel di keyboard komputer. Semua memang serba computerized. Pada 31 Januari, pelayaran memasuki area Samudra Selatan. Suasana laut berubah tak bersahabat. Keganasan Samudra Selatan mulai terasa. Hari ini tak ada peneliti yang berani berjalan di areal terbuka geladak F. Di geladak paling atas Aurora Australis itu, air laut riuh menyerbu. Angin melibas kencang, dan badai menyemburatkan ombak yanng tingginya tak kurang dari 17 meter. Di samudra yang terkenal keganasan arusnya itu. Aurora Australis harus berjuang untuk terus melaju. Ternyata badai tak segera lewat. Tiga hari penuh kapal kami diombang-ambingkan badai dengan ombak yang lebih tinggi dari pohon kelapa. Beberapa teman peneliti sudah dilanda mabuk laut, mual-mual dan muntah-muntah. Rob Easther, lelaki 47 tahun yang menjadi komandan tim peneliti, tampak tegar berbeda dengan wakilnya Garry Nash, cewek ahli mikrobiologi ini mabuk laut. Ia tak tahan melawan hempasan ombak. Padahal, ini bukan kali pertama Garry Nash berlayar ke Kutub. Hempasan gelombang ke lambung kapal memang benar-benar tak sistematis, dan tak menerpa hanya dari satu arah. Kadang ombak tinggi menyapu dari buritan, kadang dari lambung kanan atau kiri. Hari pun rasanya penuh perjuangan. Saya sendiri hanya bisa tinggal di kamar. Kami semua memang hanya menghabiskan waktu untuk makam dan minum. Tak ada yang bisa kami lakukan kecuali berdoa. Saya yakin, badai kali ini memang amat kuat. Serangan paling hebat datang pada hari kedua. Dua kontainer di buritan kapal hilang, terbawa arus dan mencebur ke laut. Bagi saya, laporan kehilangan dua kontainer ini awalnya cukup menciutkan hati. Sebab, satu kontainer berisi peralatan penelitian seperti, peralatan mekanik, dan peralatan lain yang bakal digunakan di stasiun peneliti di Antartika. Sedangkan kontainer satunya penuh berisi bahan makanan. Tapi, kehilangan ini tak membuat kru dan awak kapal khawatir. Begitu juga para peneliti lain. Ternyata, semua barang yang hilang tadi sudah dibuatkan asuransi. Alat-alat pendukung penelitian yang tenggelam di laut itu sudah ada cadangannya. Semua ternyata telah diperhitungkan segala kemungkinannya... “Luar biasa”, saya membatin. Laporan mengenai hilangnya perbekalan ini juga langsung dikabarkan ke stasiun tujuan di Antartika yaitu Davis dan Mowson, serta base station di Hobart. Mengunjungi Benua Beribu Gunung Es Kapal, dan juga semua kru, termasuk para peneliti, memang sudah dipersiapkan untuk menghadapi semua kondisi terburuk. Untuk menghadapi risiko itu, latihan penyelamatan diri dari berbagai bahaya kontinu dilakukan dalam periode tertentu. Jadwal latihannya pun tercantum jelas. Semua harus ikut berlatih untuk menghadapi situasi riil di atas kapal, bila terjadi keadaan darurat. Termasuk latihan evakuasi, mengenakan baju pengaman, pelampung, serta masuk sekoci penyelamat. Semua latihan dilakukan dalam kondisi riil. Semua harus segera berada dalam posisi masing- masing, dan diabsen satu per satu. Kalau satu ketika ada peneliti yang tidak muncul, ia bakal kena marah. Toh akhirnya, badai pun mereda, dan perjalanan bisa dilanjutkan. Memasuki kawasan Antartika, tepatnya ketika melewati lintang 60 derajat, mulai terlihat gunung-gunung es. Cedric adalah gunung es pertama yang saya lihat. Sambutannya pun lumayan ramah. Bongkahan es raksasa itu berjalan tenang tertbawa arus laut. Gunung es sebesar lapangan sepak bola itu memiliki tinggi 10 meter dari permukaan laut. Tentu saja bongkahan yang ada di bawahnya jauh lebih besar. Gununng es memang menyimpan 90% tubuhnya di bawah laut. Saya, Lukman, dan peneliti lain, yang untuk pertama kali datang ke Kutub Selatan, memandangi Cedric dengan rasa takjub. “Umur gunung es ini diperkirakan lebih dari 10.000 tahun,” kata Rob Easther. Saya tentu saja makin tercengang. Mungkin melihat pandangan mata saya yang sangat ingin tahu, akhirnya Rob Easther pun mengulurkan sebagian kliping koran mengenai Cedric. Daerah tempat Cedric muncul ini disebut brink B, atau tepian B. Di sini sudah tampak gunung es bertebaran. Laut pun sangat tenang. Ancaman badai es memang ada, tapi itu hanya muncul di musim dingin. Bagi kapal, tantangan di areal ini adalah membekunya laut. Ternyata Aurora Australis sudah langganan terperangkap es. Hanya berkat kepiawaian Kapten Les Morrow, kapal ini selalu bisa terbebaskan. Sebagai perlengkapan standar Aurora memang dilengkapi dengan alat pemecah es. Pemecah es ini bekerja untuk membuka jalan. Tanpa alat ini, kapal bisa terjebak selamanya di daerah dingin ini. Bila tersangkut es, pemecah es pun mulai digunakan. Dinding kapal akan terasa bergetar bila alat ini bekerja. Caranya memecah es adalah dengan mendorongnya ke depan, dan berputar seperti bor. Gerakan ini dilakukan berulang kali, sampai es yang mengikat kapal pun pecah. Tujuan akhir perjalanan tim peneliti yang diboyong Aurora Australis adalah stasiun Penelitian Davis. Sebenarnya, selain Davis, Australia masih memiliki dua stasiun penelitian lainnya, yakni Mowson dan Casey. Tapi, Davis adalah pusat penelitian yang terbesar dan terlengkap. Letak Davis sangat dekat dengan stasiun penelitian milik Pemerintah Cina. Dalam perjalanan kami, Aurora Australis memang sempat berpapasan dengan kapal milik “Negeri Panda” itu. Waktu Jakarta di Kutub Selatan Dari Asia, hanya Cina, Jepang, Korea Selatan, dan India yang sudah memiliki stasiun penelitian Antartika. Membuka sebuah pusat penelitian di daerah sejauh Kutub Selatan ini tentulah sangatlah mahal. Tapi, saya kira Indonesia tak bisa mengabaikan peluang melakukan riset di daerah dingin ini. Apa manfaat riset-riset di Kutub bagi negara tropis seperti Indonesia? Menurut saya, laut adalah sebuah hamparan yang berhubungan satu dengan lainnya. Kejadian di kutub pasti bakal mempengaruhi laut di kawasan tropis. Maka manfaat penelitian di Kutub pasti sangat besar, sebab negara kita memiliki laut sangat luas. Kali ini, saya bisa berangkat karena Indonesia ingin menjadi anggota Antarctic Treaty. Meskipun, untuk sementara, masih harus bergabung dengan negara yang memiliki fasilitas riset di tempat dingin itu. Australia sudah bersedia mengajak para peneliti Indonesia untuk turut dalam penelitian di sana. Perjalanan saya tahun ini adalah perjalanan bersejarah bagi Indonesia. Saya pantas berbangga karena mungkin adalah manusia Indonesia pertama yang berlayar dan bisa mendarat di benua Antartika. Misi Indonesia ini tak hanya untuk penelitian, karena saya juga punya satu tugas penting lain : membawa sebuah batu prasasti, seberat 35kg. Prasasti yang ditandatangani Presiden Megawati Soekarnoputri itu telah diletakkan di pusat penelitian Davis, yang bunyinya : " With the bless of God, the existence of Indonesian marine scientists with their colleagues from Australia on Antarctic continent brings a close relationship between two neighbouring country, Australia and Indonesia ". Perjalanan prasasti ini ternyata cukup panjang. Sebab baru hari ke-13 kapal Aurora Australis sampai di tujuan. Ternyata tidak semua peneliti diperkenankan turun. Hanya lima peneliti yang boleh merasakan kesempatan langka menjejakkan kaki di daratan es itu. Saya satu di antaranya. Untuk mencapai daratan es, kami dijemput sebuah helikopteer. Perlu waktu 45 menit dengan heli menyebrangi lautan es untuk sampai ke Davis. Yang unik, ternyata longitude atau bujur koordinat stasiun Davis hampir sama dengan bujur koordinat di wilayah barat Indonesia. Saya kaget. Setelah kekagetan itu lenyap, saya pun memutar jarum jam tangan ke posisi awal. Sebab, waktu Davis menggunakan standar waktu Indonesia bagian barat – WIB. Tapi kekagetan ternyata bertambah lagi ketika bertemu dengan para pilot heli di stasiun Davis. Umumnya mereka mengerti bahasa Indonesia. “Mau ke mana ?” mereka bertanya. Saya kaget benar, mereka ternyata sudah diberitahu akan ada peneliti asal Indonesia. Belakangan mereka bercerita, Bahasa Indonesia itu mereka pelajari ketika bekerja di berbagai pertambangan di pedalaman Indonesia Timur. Umumnya pilot-pilot helikopter di Davis memang pernah bekerja di tambang-tambang Indonesia Timur. Prasasti Megawati dan Air Mata Pakaian khusus semacam ini memang harus digunakan setiap turun ke daratan Antartika. Tapi, saya beruntung, Januari suhu di sekitar Davis tak terlalu menggigit. Suhunya berkisar antara 5 derajat hingga minus 5 derajat celcius. Dalam suhu seperti ini, bagian tanah di daratan itu masih terlihat. Sebagian jalan batu yang dibuat menuju stasiun itu juga nampak jelas. Di kiri dan kanan jalan itu terdapat tali penuntun. Pada Januari, tali itu tak terlalu berguna. Tapi, di musim dingin sekitar Juli- Agustus, tali itu menjadi tempat bergantung yang penting. Pada musim itu angin kencang bisa menghajar tubuh siapa pun hingga roboh. Sesampai di Davis, rombongan kami disambut sangat hangat oleh para peneliti yang ada di sana. Saya benar-benar merasa beruntung bisa menjadi orang Indonesia pertama yang sampai ke daerah dingin itu. Sebab, batu prasastii Presiden Megawati akhirnya jadi juga diletakkan di dekat bangunan utama Stasiun Davis. Rabu 13 Februari, pukul 19.00 WIB, ketika saya mengibarkan sang Merah Putih dan meletakkan batu prasasti di Stasiun Davis, adalah hari bersejarah bagi Indonesia. Hingga kini saya masih bisa mengingat deetik-detiknya secara jelas. Sebab, setelah prasasti itu diletakkan, saya mengerek bendera Merah Putih. Bagi saya, adalah momen mengharukan bisa menyaksikan bendera negeri tercinta berkibar untuk pertama kali di Kutub Selatan. Benar-benar sulit rasanya membendung air mata. Usai pengibaran bendera, saya bergegas masuk ke bangunan utama pusat penelitian Davis. Tak sabar saya mengirimkan e-mail ke teman-teman di Tanah Air, mengumumkan keberhasilan itu. Selesai mengirim e-mail, saya langsung mengangkat telepon: “Halo, halo ini Agus dari Antartika…,” ke rekan-rekan di Departemen Kelautan. Saya pun tak lupa menelepon keluarga, istriku Endang Indrawati, serta kedua anakku, Eriyanti Primadani, dan Janviero Demillo. Saya lega, separuh tugas selesai. Kini tinggal berkonsentrasi pada penelitian. Lupa Membawa kaset dangdut Suasana di Aurora Australis sangat menyenangkan. Kapal penelitian ini memiliki enam geladak. Dek A, B dan C, yang terletak paling bawah, digunakan kru kapal. Geladak D menjadi lokasi laboratorium basah dan kering. Di lantai ini pulalah terdapat kamar tidur, ruang makan, bar, dan toko makanan yang dikelola kru kapal. Fasilitas olahraga juga berada di geladak ini. Dek paling atas adalah Dek F. Geladak ini sebagiannya adalah ruang terbuka. Melihat ukurannya, kira-kira empat heli bisa hinggap sekaligus di geladak ini. Tapi yang paling membuat saya dan Lukman betah adalah, hampir seluruh kru dan peneliti Australia bisa berbahasa Indonesia walaupun terbatas. Meski terbata-bata dan dengan kosakata terbatas, mereka berusaha menggunakan bahasa Indonesia. Sapaan “mau makan apa”, “mau ke mana”, sangat sering terdengar. Tak Cuma itu, lagu Satu-satu Aku Sayang Ibu pun sering terlantun di Aurora Australis. Rachael, satu di antara peneliti, paling sering melantunkan lagu itu. Cewek 27 tahun ini sangat hafal lagu Satu-satu Aku Sayang Ibu. Peneliti Australia yang sedang menyelesaikan studi S-3 mengenai kelautan di Universitas Brisbane ini mengaku hafal karena ibunya kerap menyanyikan lagu itu ketika ia kecil. Menurut Rachael, lagu itu dinyanyikan ibunya sebagai pengantar tidur. Saya, yang penasaran, pernah bertanya apakah Rachael mengerti benar arti lagu itu. Dengan senyum, cewek jangkung itu mengatakan: tentu saja. Sepanjang perjalanan, makanan benar-benar berlimpah. Tak mengherankan jika berat badan saya pun melonjak tiga kilo seusai pelayaran. Selain soal makanan, saya juga cukup terkagum dengan sarana komunikasi di Aurora. Fasilitas e-mail tersedia 24 jam. Setiap saat saya bisa berkomunikasi dengan dunia luar, walau penggunaan e-mail di kapal ini adalah tidak diperkenankan penggunaan attachment. Komunikasi dibatasi hanya tulisan, tak boleh mengirim foto atau gambar. Satu hal lain yang harus diceritakan adalah pengalaman hari ketujuh pelayaran Aurora Australis. Hari itu saya benar-benar sial, karena kurang berhati-hati ketika membuka mantel selesai mengambil foto di geladak kapal, kamera yang tergantung di leher itu ikut tertarik, jatuh dan pecah. Saya benar-benar putus asa, dan hampir menangis sebab perjalanan baru dimulai, dan masih ada puluhan hari lagi dalam perjalanan. Beruntung, musibah ini diketahui Debora Glasgow, fotografer asal Selandia Baru, yang turut dalam ekspedisi Voyage 7. Pada akhir perjalanan saya dihadiahi kejutan. Laptop pribadi saya ternyata sudah ia isi dengan dokumentasi foto sepanjang perjalanan ke Antartika. Saya kaget bukan kepalang. Tak kurang dari 500 frame foto dimasukkan Glasgow ke laptop saya. Di seri foto itu tampak seluruh kegiatan saya selama perjalanan. Tengah meneliti, makan, bercanda, tidur, bahkan tengah berolahraga. Mengenang perjalanan di Aurora Australis, ada juga penyesalan. Saya menyesal lupa membawa kaset lagu dangdut. Padahal, fasilitas audio di kapal itu rasanya bisa dimanfaatkan untuk mengenalkan joget dangdut pada para kru dan peneliti. Hiburan memang jadi bagian penting di kapal ini. Setelah menjalani aktivitas yang menjenuhkan, para peneliti bisa menghibur diri dengan bercanda, berolahraga, juga menonton TV. Fasilitas seperti bar dan kafe juga ada di sini. Tapi saya lebih suka menghabiskan waktu dengan bermain sepak bola. Sebuah lapangan terbuka di geladak F bisa dimanfaatkan untuk berolahraga berebut bola ini. Luas lapangan itu seukuran lapangan basket. Pertandingan sepak bola tiga lawan tiga cukup memadai dilakukan di lapangan seluas itu. Sebenarnya, selain sepak bola, meja dan perlengkapan pingpong juga tersedia. Namun, olahraga satu ini tak terlalu populer. Sebab, gelombang dan angin laut yang kencang kerap membelokkan arah pantulan bola. Maka tak mengherankan jika meja pingpong ini hanya dibuka bila laut amat tenang. Menjelang akhir perjalanan, sebuah ritual pelepas lelah khusus dilakukan di Aurora Australis. Seminggu sebelum mencapai Hobart, ritual itu digelar. Di geladak D, semua peneliti berkumpul. Pada ritual ini, para peneliti yang baru pertama kali pergi ke Antartika “diwisuda”, mirip penggojlokan ala ospek mahasiswa dan harus mengikuti setiap perintah “para senior”. Tentu saja ini dilakukan dengan rasa humor yang tinggi. Selain itu ada juga acara pengorbanan. Siapa saja yang berani boleh melakukan pengorbanan, misalnya menggundulkan rambut. Biasanya kemudian terjadi adu tawar-menawar antar peneliti. Misalnya, kalau saya bersedia dicukur gundul, peneliti lain berani bayar berapa dolar dan hasil pengorbanan ini bakal disumbangkan ke panti sosial. Uang hasil ritual pengorbanan ini dikumpulkan dan disumbangkan ke yayasan untuk pengobatan AIDS dan program sosial lainnya di Australia. Tapi, saya pilih menyumbang tanpa melakukan pengorbanan rambutku digunduli, sebab, sungguh, saya benar-benar tak suka gundul karena emang sudah gundul...... Salah satu pemandangan yang luar biasa adalah terlihatnya bintang Aurora di langit Antartika. Berikut ini adalah foto pemandangan yang sulit untuk dilihat dari belahan dunia lainnya : Tentang penulis (oleh redaksi Buku "Kisah-kisah Sebuah Alumni")
Agus Supangat adalah alumni dari Jurusan Meteorologi dan Geofisika. Agus selain menjadi staf Pengajar di Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral ITB, juga dipercaya sebagai Kepala Bidang Pelayanan Teknis di Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Ia saat ini banyak melayani kerjasama riset nasional dan internasional di bidang Oseanografi, Variabilitas Iklim dan Lingkungan Laut.
2 Comments
Sekedar info saja, Bpk Dr. Agus Supangat ke Antartika pd Januari 2002 yg katanya org Indonesia pertama ke Antartika beliau tdk sendiri dr Indonesia melainkan berdua bersama Muhammad Lukman seorang Dosen Kelautan di Unhas Makassar. Beliau adalah kakak kandung saya, telah meninggal 1 April 2023.
Reply
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|