Kisah Alumni ITB - Yayung Dua Tahun Berjuang Melawan Leukimia Yang Diderita Anaknya dan Berhasil1/23/2014 Tulisan berikut ini saya kutip dari "Kisah Sebuah Alumni" yang telah dibukukan dengan judul asli dari penulisnya: “Berkarier hingga menjadi Direktris Bank dan berjuang melawan Leukemia yang diderita oleh anak saya” Ditulis oleh Dian A. Soerarso. Saya sempat meneteskan airmata ketika membaca kisah perjuangan Yayung di Belanda merawat anaknya yang menderita leukemia. Simak juga kesaksian Yayung tentang prinsip "Good Corporate Governance" (GCG) yang menyelamatkan Bank Niaga ketika krisis moneter 1998. Selamat mengikuti dan semoga bermanfaat. Ingin bekerja di Surabaya Sewaktu saya lulus dari ITB Jurusan Teknik Industri pada tahun 1982, saya sebenarnya ingin bekerja di industri Telekomunikasi, sesuai dengan tugas akhir saya. Namun karena sebagian besar perusahaan Telekomunikasi berada di Jakarta, sedangkan saya ingin tinggal dekat keluarga di Surabaya, maka akhirnya saya memilih untuk bekerja di pabrik perusahaan Corning Glass, Surabaya. Namun ternyata pekerjaan ini hanya berlangsung selama 3 bulan saja. Hampir pada saat yang bersamaan, saya mendapat panggilan untuk mengikuti “Executives Development Program” (EDP) Bank Niaga. Saya langsung memutuskan untuk mengambil kesempatan tersebut, dengan pemikiran yang sangat sederhana, yaitu bisa bekerja di lingkungan ber-AC yang dingin dan bersih, dan diperbolehkan berpenampilan rapi. Bekerja di Bank terasa lebih cocok untuk seorang wanita, dibandingkan dengan bekerja di pabrik yang panas dan tidak nyaman karena diharuskan memakai celana panjang. Memulai karier di Bank Niaga Bank Niaga adalah sebuah bank swasta yang telah berdiri sejak tahun 1955. Salah satu alasan yang membuat saya tertarik bekerja di Bank ini adalah, karena Bank Niaga dikenal sebagai bank yang mencetak tenaga-tenaga perbankan professional, terutama setelah mereka menjalin kerjasama dengan Citibank baik dari sisi sistem recruitment maupun pengelolaan sumber daya manusianya. Dibawah pimpinan Bapak Robby Djohan, saya merasa Bank Niaga mempunyai visi dan misi yang jelas, baik dari sisi pencapaian target bisnis maupun penanganan manusia sebagai asset utamanya. Salah satu hal yang paling menonjol di Bank Niaga dan menjadi daya tarik saat itu, adalah pemanfaatan sistim komputer pada seluruh cabang-cabang Bank Niaga di Jakarta maupun di Surabaya. Sehingga seorang nasabah di salah satu kantor cabang Surabaya, dapat menyetorkan uang, ataupun mengambil uang tunai, dan juga melakukan kliring dari kantor cabang manapun di kota Surabaya. Walaupun saat ini, hal tersebut sudah sangat biasa, namun di tahun 1982, terobosan Bank Niaga termasuk sangat luar biasa. Mendalami bidang consumer banking Saya mengikuti training EDP selama 10 bulan. Setelah lulus program ini, kemudian saya mendapat tugas menjadi seorang account officer. Tugas account officer adalah memperkenalkan dan menjelaskan produk-produk Bank kepada calon-calon nasabah khususnya tentang produk-produk Commercial Banking yang lebih didominasi oleh pinjaman, baik KIK-KMKP ataupun pinjaman biasa. Setelah 2 tahun saya menjabat sebagai account officer, kemudian saya diberi kesempatan untuk menangani Consumer banking. Saya sangat menyenangi bidang consumer banking yang ternyata nantinya akan menjadi sebagian besar kegiatan dari karier hidup saya. Hanya dalam 2 tahun saya belajar dan mendalami tugas consumer banking, kemudian saya dipromosikan menjadi kepala bagian pemasaran consumer banking di salah satu kantor cabang Bank Niaga pada tahun 1985. Pada tahun itulah Tuhan mengaruniai kami, putra kami yang pertama. Pada tahun 1987, saya ikut mengimplementasi sistem Automated Teller Machine (Anjungan Tunai Mandiri - ATM) di jajaran Bank Niaga sebagai Bank yang pertama memanfaatkan jasa ini di Indonesia. ATM dan Kartu kredit adalah ujung tombak pelayanan jasa consumer banking pada industri perbankan. Mungkin karena saya memang menyenangi bidang ini, maka pada tahun 1988, Bank Niaga menugaskan kepada saya untuk menjadi Kepala cabang Bank Niaga Surabaya Kota. Pada tahun 1988 inilah, kami dikarunai anak kedua yang juga anak bungsu kami, yang kemudian kami beri nama Dias Widya Ramadhan. Tugas sebagai ibu yang harus merawat seorang bayi dan juga memimpin sebuah kantor cabang bank memerlukan keteguhan, kekuatan fisik dan juga commitment yang sangat luar biasa untuk dapat melaksanakan tugas kedua-duanya dengan sempurna. Syukur alhamdulilah saya dapat melaksanakan pekerjaan-pekerjaan sehari-hari sebagai kepala cabang dengan relatif baik. Hal ini saya sadari, setelah mengetahui bahwa management bank Niaga pada tahun 1991, mulai memberikan tugas yang lebih besar lagi kepada saya untuk memperlebar cakupan tanggung jawab hingga lingkup propinsi Jawa timur (bukan terbatas lagi pada kota Surabaya). Bahkan pada tahun 1992 saya kemudian diberi tanggung jawab untuk menjadi pimpinan Bank Niaga untuk Wilayah Jawa Timur, khusus untuk menangani bidang pemberian kredit kepada invididu (bukan korporasi). Karier dan kehidupan keluarga saya nampak berjalan lancar hingga bulan Agustus 1993. Anakku menderita Leukemia Pada bulan Agustus 1993, Dias yang berumur 5 tahun, menderita demam dan sepertinya menderita penyakit flu biasa. Namun, walaupun sudah diberi obat dan nampaknya sembuh, empat hari kemudian Dias kembali sakit. Selain itu muncul bercak kebiruan di daerah kaki dan wajahnya terlihat pucat. Akhirnya karena khawatir, saya bersama suami, Agoes Soerarso, membawa Dias ke dokter spesialis anak, yang kebetulan juga dokter ahli darah. Sang dokter mencurigai adanya kelainan darah dan menyarankan Dias menjalani pemeriksaan laboratorium. Ternyata, Dias menderita penyakit kanker darah atau lebih dikenal dengan Leukemia. Ia di diagnosa menderita penyakit Leukemia jenis “Acute Leukemia Limphoblastic” tingkatan kedua (L-2). Leukemia jenis ini adalah jenis penyakit kanker dimana terjadi produksi sel darah muda yang sangat pesat. Jika tidak ditangani segera, penderita akan meninggal dalam hitungan bulan. Bisa di bayangkan betapa sedih dan kalutnya saya dan suami saat mendengar berita tersebut. Namun hal itu tidak saya biarkan berlarut – larut, saya putuskan untuk berjuang demi kesembuhan anak bungsu saya. Bersama suami, saya bangkit dari kesedihan, berusaha mencari pengobatan yang terbaik. Saya segera mencari informasi tentang segala hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi penyakit Leukemia tersebut. Bahkan, selama satu bulan, walaupun tetap bekerja di siang hari, saya terus-menerus menginap di rumah sakit tanpa pernah pulang ke rumah. Alhamdulilah Ibu saya ikut membantu menjaga Dias di Rumah Sakit kalau saya sedang bekerja. Suatu saat, mungkin karena stress dan juga karena lelah menjaga Dias disiang hari, saat saya bekerja dikantor, ibu saya akhirnya jatuh sakit yang mengharuskan beliau diopname juga. Namun sayang, dokter yang menangani ibu tidak manangani pasien di Rumah Sakit dimana Dias sedang dirawat. Sehingga, ibu harus diopname di rumah sakit yang berbeda dengan tempat Dias dirawat. Karena keduanya merupakan sosok yang sangat penting bagi kehidupan saya, maka saya membagi bezuk dengan cara : disaat istirahat makan siang saya bezuk ibu di Rumah Sakit Budi Mulia, kembali lagi ke kantor dan sore harinya saya ke Rumah Sakit RKZ dimana Dias dirawat. Saya kemudian menginap di sana sampai keesokan paginya, kembali berangkat ke kantor dari rumah sakit. Demikian berlangsung sampai seminggu lamanya. Jujur saja pada saat itu perhatian saya kepada anak sulung saya sangat minim, saya percayakan kepada suami bersama ibu mertua. Tidak tega melihat suntik melalui Bone Marrow Saya bersyukur, walaupun Dias saat itu masih kecil, tetapi ia mudah untuk diajak bekerja sama. Ia pasrah dan tidak pernah mengeluh walaupun harus minum obat dan disuntik berkali – kali. Padahal untuk menjalani kemoterapinya, Dias harus disuntik di tulang belakangnya dalam posisi badan yang ditekuk. Rasanya saya tidak tega harus berada diruangan tersebut. Hanya karena ingin selalu berada disamping Dias untuk memberikan semangat, saya dan suami secara bersama, saling menguatkan untuk terus berada di dalam ruangan tersebut. Membawa Dias berobat ke Belanda Setelah menjalani pengobatan di Indonesia selama 1 bulan, atas saran Bapak Robby Djohan, atasan saya di Bank Niaga, saat beliau bezoek ke rumah sakit, dan setelah berkonsultasi dengan para dokter, saya dan suami akhirnya memutuskan untuk membawa Dias berobat ke Belanda. Kami berhasil dihubungkan dengan salah satu rumah sakit khusus Leukemia anak di Amsterdam yaitu Vrije Universiteit Ziekenhuis.. Disana, Dias kembali menjalani pemeriksaan dan perawatan seperti yang dilakukan di Indonesia. Selama masa terapi itu, saya mengambil cuti besar dari Bank Niaga. Total masa terapi Dias ternyata memerlukan waktu sekitar 2 tahun. Dimana tahun pertama selama 4 bulan dan tahun kedua selama 6 bulan di Belanda. Bisa dibayangkan betapa sulitnya keadaan saya pada saat itu, berada di tempat yang asing, tanpa sanak saudara. Disaat-saat awal saya hanya ditemani oleh ibu, karena suami saya harus mengurus anak pertama kami yang masih kelas 3 SD. Biaya pengobatan di Belanda juga sangat mahal, belum lagi biaya untuk hidup. Saya saat itu tidak mempunyai penghasilan karena saya mengambil cuti diluar tanggungan perusahaan. Bahkan, untuk memenuhi kebutuhan sehari–hari, yang sangat mahal untuk ukuran orang Indonesia, saya sempat berdagang dengan mengirim barang untuk di jual di Indonesia. Semua dibantu oleh teman dan saudara, mulai saat pengiriman, penjualan sampai penagihan pembayarannya. Saya sempat untuk melamar agar bisa berpindah kerja di Belanda. Saya bahkan sudah sampai tahap interview untuk diterima bekerja di salah satu perusahaan Belanda. Namun niat ini saya urungkan karena Dias memerlukan perhatian penuh. Untungnya semuanya berjalan lancar. Semua seperti sudah diatur oleh Tuhan. Saya selalu dipertemukan dengan orang – orang yang sepertinya dikirim Tuhan untuk bisa membantu saya mengatasi semua masalah di sana, walaupun awalnya saya tidak mengenal orang tersebut. Sampai saat ini, sangat erat pertemanan kami dengan mereka bahkan melebihi saudara sendiri. Belum lagi perhatian pak Julius Tahija (Komisaris Utama Bank Niaga), yang secara rutin menelepon saya setiap 2 minggu dari Australia/Amerika ke Belanda, dan juga pak Idham (Komisaris) yang secara terus-menerus mengirim dana ke Belanda, yang semuanya merupakan support yang tak ternilai bagi saya dan keluarga. Tangan-tangan Tuhan terasa sangat banyak dan membantu. Selama saya harus melakukan perjalanan Surabaya-Jakarta-Belanda dan bila harus menginap di Jakarta, saya sangat dibantu oleh Devi (sahabat saya sejak kuliah di ITB) dengan menyediakan kendaraan antar jemput dari dan ke bandara Jakarta (terimakasih banyak ya Devi). Sewaktu mendengar saya akan membawa anak berobat ke Belanda, sahabat- sahabat saya yang terdiri dari 10 orang (sampai saat ini saya masih sangat ingat satu-per-satu) memberi ”bekal” kepada saya berupa dana cash, yang ternyata dikemudian hari amat sangat berguna. Saya menerimanya dengan sangat terharu, begitu besar perhatian para sahabatku itu. Dias sendiri amat tabah dan selalu kooperatif dalam menjalani terapinya itu. Agar ia tidak tertinggal di sekolah, saya sering membantu mengajarkan pelajaran-pelajaran Dias di rumah sakit. Sedangkan untuk ulangan, guru sekolah Dias datang secara khusus ke Rumah Sakit. Terkadang Dias harus ulangan di dalam ruangan kaca. Karena memang Dias dirawat dalam ruang steril yang tidak semua orang boleh masuk. Sang guru hanya boleh mengawasi dari luar ruangan kaca. Sewaktu perawatan dilaksanakan di Belanda, soal ulangan dikirim dalam amplop tertutup dan Dias harus berangkat ke Denhaag. Saat itu kami tinggal di Amsterdam dan Dias menjalankan ulangan-nya di Sekolah Indonesia Nederland (SIN), Denhaag. Kami perlu menempuh perjalanan Amsterdam ke Denhaag memerlukan waktu kurang-lebih 1 jam. Hasil ulangannya dikirim kembali ke Surabaya dalam amplop tertutup. Pihak sekolah yang penuh pengertian, sangat membantu semangat belajar Dias. Sehingga walaupun terapi penyembuhannya sangat berat dan memerlukan waktu 2 tahun, namun syukur Alhamdulilah Dias tidak pernah tinggal kelas. Kembali ke Indonesia Akhirnya kondisi Dias-pun mulai membaik dan bisa melanjutkan pengobatan secara permanen di Indonesia. Kami kemudian meneruskan terapinya di Surabaya. Akan tetapi, setelah kembali ke tanah air, keadaan Dias kembali memburuk sehingga harus keluar-masuk rumah sakit. Karena daya tahan tubuhnya belum terlalu kuat, maka jika ia terkena penyakit flu, pilek atau batuk biasa maka efeknya bisa sangat parah. Menurut dokter, Dias harus dijaga benar kondisinya agar tidak terserang cacar air dan sakit mata karena bisa berakibat fatal baginya. Karena itu pula, seluruh keluarga dekatpun yang merawat Dias, harus menjaga kesehatannya masing-masing agar tidak menularkan penyakit ke Dias. Pernah pada suatu hari, kerja jantung Dias terganggu, dan sempat di rawat di Intensive Care Unit (ICU). Waktu itu tangannya sampai sebatas siku sudah terasa amat dingin dan ia berada dalam kondisi yang kritis. Alhamdulillah saya selalu diberi pikiran yang tenang dan selalu diberi jalan oleh Tuhan. Disaat kritis seperti itu, tim dokter Indonesia langsung menghubungi dokter Belanda dan langsung mereka diberikan bimbingan apa-apa yg harus dilakukan. Tak henti-hentinya saya bersyukur atas kemurahan Tuhan YME. Pernah pada suatu saat Dias memerlukan segera transfusi darah putih. Rekan-rekan Bank Niaga langsung mendaftar untuk menjadi donor. Dari kurang-lebih 100 orang pendaftar, karena adanya persyaratan tertentu, akhirnya yang dapat diterima sebagai pendonor hanya sekitar +/- 40 orang. Sekali lagi, hanya ucapan syukur Alhamdulillah yang bisa saya panjatkan, karena saya berada di lingkungan yang sangat kekeluargaan dan kondusif seperti itu. Dan, akhirnya, setelah dua tahun menjalani pengobatan, Dias pun dinyatakan sembuh total oleh dokter. Syukur Alhamdulilah, pekerjaan di kantor juga tetap bisa saya jalani dengan baik. Dias pun tidak terganggu sekolahnya, karena ia bisa mengerjakan ulangan serta tugas – tugasnya selama di rumah sakit. Menghadapi krisis moneter Dengan sembuhnya Dias pada tahun 1996, saya dapat terus melanjutkan konsentrasi pada karier saya di Bank Niaga. Namun rupanya setelah melewati krisis Dias, saya menghadapi krisis lain yaitu sebuah krisis perbankan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah perbankan Indonesia. Krisis ini diawali dengan runtuhnya mata uang Baht di Thailand pada bulan Juli 1997. Devaluasi Baht mengakibatkan terjadinya re-evaluasi nilai tukar di negara-negara Asia lainnya termasuk juga nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar di Indonesia. Para investor dan pebisnis di Indonesia menjadi sangat khawatir untuk ”memegang” mata uang Rupiah dan ingin secepatnya menukar ke mata uang US Dollar yang dianggap lebih stabil dan aman. Berbeda dengan negara Malaysia yang mem-pagu (peg) nilai tukar Malaysian Ringgit ke US Dollar serta ”menutup” perdagangan valas, pemerintah Indonesia justru ”mengambangkannya” untuk mengikuti perkembangan pasar dan tetap ”membuka” pertukaran valuta asing secara bebas. Langkah ini mungkin tepat bila devisa Indonesia cukup kuat dan juga hutang negaranya sedikit (seperti yang dilakukan Hongkong). Namun karena ekonomi Indonesia sebenarnya dibiayai oleh hutang maka dampaknya ternyata sangat luar biasa. US Dollar diburu oleh pelaku bisnis dan juga masyarakat, sehingga Rupiah melemah secara drastis. Para pelaku bisnis yang meminjam uang dalam mata uang US Dollar terpaksa harus membayar hutangnya dengan Rupiah dalam jumlah yang berkali-kali lipat. Banyak perusahaan yang kemudian menjadi bangkrut sehingga bank-bank pendukungnya-pun ikut bangkrut karena hutangnya macet. Kondisi politik saat itu juga sangat tidak mendukung terutama dengan adanya demonstrasi-demonstrasi untuk menjatuhkan Presiden Soeharto. Akhirnya untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia, Presiden Soeharto terpaksa menanda-tangani perjanjian dengan IMF (Letter of Intent – LOI) untuk menerima bantuan sekitar US $ 40 milyar. Pada Mei 1998, Presiden Soeharto kemudian mengundurkan diri dan digantikan oleh Presiden Habibie. Salah satu kesepakatan dalam Letter of Intent tersebut antara lain harus menjual asset mayoritas kepemilikan saham di Bank Niaga kepada publik atau partner strategis. Disaat-saat tersebut, saya dan jajaran Bank Niaga Jawa timur, justru melihat dan mencari peluang untuk meningkatkan asset bank dengan tetap mengutamakan prinsip prudential banking. Upaya-upaya ini dapat dilihat pada penghargaan-penghargaan yang diterima oleh jajaran Bank Niaga Jawa timur saat itu seperti : • Area with the Highest Asset Growth selama 2 periode berturut-turut yaitu periode 1997 – 1998 dan periode tahun 1998 – 1999. • Selain itu Area Jawa timur juga mendapatkan predikat the Best Quality of Asset pada tahun 1999 Kualitas ekuitas kami baik dari sisi agunan maupun fixed asset memang betul-betul kuat dan baik. Dari kacamata saya, konsep-konsep Good Corporate Governance (GCG) yang diterapkan Bank Niaga jauh sebelum krisis moneter, sangat membantu Bank Niaga melewati krisis moneter sehingga tidak mengalami kehancuran seperti bank-bank lain. Dimana bank-bank lain terpaksa harus ditutup dan dimerger karena akibat hutang macet (”non-performing loan)”, Bank Niaga saat itu justru meningkat kinerjanya. Selain penerapan GCG, Bank Niaga juga sangat memperhatikan sumber daya manusia dan juga teknologi sistem informasi yang diterapkannya. Beberapa fondasi ini antara lain adalah berkat fokus dan tatanan yang dibuat oleh pak Robby Djohan sewaktu beliau menjadi direktur utama Bank Niaga pada tahun 1984 s/d 1994. Sehingga Bank Niaga mampu melewati masa-masa krisis moneter. Menjadi direktris tapi harus berpisah dengan keluarga Pada tahun 1999, saya kemudian diberi tanggung jawab oleh management, menjadi pimpinan consumer banking Bank Niaga untuk seluruh propinsi Jawa timur. Dengan fokus dan komitment yang tinggi, jajaran consumer banking Bank Niaga Jawa timur memperoleh predikat ”Best performance” selama 2 tahun berturut-turut, yaitu pada tahun 1999 dan 2000. Prestasi-prestasi yang dicapai dan juga promosi menjadi pimpinan tertinggi di Jawa timur, membuat saya merasa kurang mendapat tantangan baru (challenge). Saya sempat berfikir untuk pindah perusahaan mencari tantangan baru, terutama yang memberikan coverage lebih luas. Syukur alhamdulilah, pada bulan Juni tahun 2000, para pemilik Bank Niaga mempercayai saya untuk menjabat sebagai Direktur Individual Banking, tentunya dengan catatan saya harus pindah ke Jakarta. Hal ini sempat menjadi bahan diskusi dengan suami dan akhirnya suami memberikan dukungannya. Akhirnya saya menjalani tugas sebagai salah satu direktris Bank Niaga di Jakarta. Banyak sekali karya-karya inovatif yang sempat saya luncurkan dan laksanakan sehingga Bank Niaga dapat memperoleh nasabah baru dan juga meningkatkan kinerjanya. Pada saat itu kami dapat meningkatkan perputaran uang nasabah dari Rp 300 milyar per bulan ke Rp 1 Triliun. Sehingga Bank Niaga mendapatkan penghargaan sebagai Bank Service Excellent Monitoring Program versi MRI-Infobank Magazine pada tahun 2001 dan 2002. Kami juga menjadi pemanfaat jasa Visa electrron tertinggi dibandingkan bank-bank lain. Beberapa kiat-kiat yang kami lakukan antara lain :
Pada bulan Oktober 2001, aset Bank Niaga tumbuh sampai mencapai Rp 21,3 triliun dengan dukungan jaringan 117 kantor cabang dan 154 ATM yang tersebar di 30 kota besar dan 12 provinsi di seluruh Indonesia. Berdasarkan laporan keuangan per 30 Juni 2001, bank ini memiliki rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio atau CAR) 20,33 persen walaupun dengan Non-performing Loan-nya (NPL) yang cukup tinggi yaitu sebesar 25,20 persen. Namun kredit yang telah disalurkan nilainya mencapai Rp 7,7 triliun. Di penghujung tahun 2002, Pemerintah tetap melaksanakan ketentuan dalam Letter of Intent dengan IMF dan menjual aset mayoritas Bank Niaga dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada Commerce Asset-Holding Berhad (CAHB). CAHB sebagai perusahaan jasa keuangan kedua terbesar di Malaysia dengan jaringan internasional di Singapore, Hong Kong, Tokyo, London dan Mauritius, akhirnya menjadi pemilik 63.87 % dari Bank Niaga. Berpisah dengan Bank Niaga Dengan adanya pemilik baru dan juga management baru, pada November 2002 saya tidak lagi bergabung di Bank Niaga. Di acara perpisahan Bank Niaga, saya sampaikan secara khusus terima kasih kepada seluruh Board of Commisisoner dan Board of Director, karyawan dan juga para sahabat di Bank Niaga. Secara spesifik saya ceritakan tentang perjuangan saya merawat Dias dan terus tetap berkarier di Bank Niaga. Saya sampaikan bahwa Dias adalah seorang anak Bank Niaga. Maksud saya bukan hanya dalam arti kiasan, bahwa Dias dilahirkan saat saya masih berkarya di Bank Niaga. Namun ditubuhnya juga mengalir darah rekan-rekan Bank Niaga dalam arti yang sebenarnya, sehingga sampai kapanpun juga, keterikatan Dias dan saya sekeluarga tidak terpisahkan dengan Bank Niaga. Sekali lagi, saya ucapan syukur Alhamdulillah dan terima kasih yang bisa saya panjatkan, karena saya pernah berada di lingkungan keluarga besar Bank Niaga. Berkarier di Bank Permata Setelah berkarier di Bank Niaga, saya bergabung dengan Bank Permata yang membawa Service Quality Bank Permata dari ranking 11 ke ranking 7 kemudian ke ranking 2 dan akhirnya sampai ranking pertama (versi MRI). Disamping itu saya juga sempat membidani lahirnya program tabungan ”Permata Ceria” yang saat itu bisa memasukan dana tabungan sebesar Rp. 1,7 Triliun selama 16 bulan. Dengan spesialisasi di bidang consumer banking, saya terus berupaya menghasilkan berbagai karya- karya bagi Bank Permata. Namun pada tanggal 1 April 2007, saya mengundurkan diri dari Bank Permata, untuk mencari tantangan baru yang lebih menarik lagi. Tawaran dari Bank Bumiputra nampak begitu menarik. Kilas balik kehidupan Saat ini tahun 2007, Dias telah bersekolah di ITB jurusan Sekolah Bisnis Manajemen semester 6. Segala puji hanya bagi-Mu, ya Tuhan, yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ditengah kesibukan berkarier, saya menganggap pengalaman menemani putra saya hingga sehat kembali sebagai bagian istimewa dalam hidup saya. Banyak hikmah yang saya peroleh dalam menghadapi cobaan itu. Hampir dua tahun, saya bersama Dias Widya Ramadhan berjuang melawan penyakit Leukemia yang dideritanya. Alhamdulilah berkat pertolongan Tuhan serta kasih sayang orang-orang yang terdekat, Dias berhasil bebas dari penyakit yang umumnya sulit disembuhkan itu. Tentang penulis (dari redaksi "Kisah Sebuah Alumni") Dian A Soerarso dengan panggilan akrab “Yayoeng” adalah alumni Jurusan Teknik Industri. Yayoeng saat ini juga sering menjadi narasumber bila ada keluarga yang salah satu anaknya menderita penyakit Leukemia. Banyak keluarga yang menghubungi Yayoeng untuk mencari dan memperoleh informasi. Kepada mereka, Yayoeng selalu membagi- kan semua pengalaman- pengalamannya, mulai dari dokter-dokter ahli yang menangani penyakit Leukemia, cara mendapatkan obat yang mudah, tata-cara merawat anak agar saat menjalani chemotherapy tidak terlalu banyak rambut yang rontok, sampai prosedur pengobatan ke Belanda. Kerap Yayoeng ikut membantu menghubungi pihak rumah sakit dan dokter di Belanda. Juga ikut memperkirakan biaya yang diperlukan keluarga untuk melakukan pengobatan Leukemia di Belanda. Yayoeng melakukan ini semua sebagai amalnya dan juga karena pernah merasakan betapa beratnya orang tua yang mendapatkan vonis dari dokter bahwa anaknya menderita Leukemia. Yayoeng dapat dihubungi via e-mail pada alamat [email protected]
1 Comment
ikmaludin Husnah
7/1/2015 05:51:21 pm
Aku harus bersaksi tentang perbuatan baik dari Ibu Amanda Amanda Badan Kredit. Saya Husnah dan saya mengambil waktu saya keluar untuk bersaksi Ibu Amanda karena dia akhirnya menawarkan apa yang tidak ada orang lain bisa.
Reply
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|