Kisah nyata berikut ini saya kutip dari buku "Kisah-Kisah Sebuah Angkatan". Ditulis sendiri oleh pemilik cerita Budi Prasetyo, Alumnus Elektro ITB Angkatan 77. Sarat dengan nilai-nilai yang perlu dimiliki oleh siapapun dalam dunia usaha. Berikut kisahnya. Jenjang pendidikan Strata-1 (S-1) di ITB saya akhiri dengan wisuda pada Oktober 1982, Alhamdulillah saya termasuk kelompok kedua dari angkatan 1977 ITB jurusan Elektro teknik yang berhasil menyelesaikan jenjang pendidikan S-1 ITB. Tadinya yang menjadi angan-angan saya setelah lulus ITB adalah berkeliling Indonesia dulu, menghilangkan penat belajar, baru mencari pekerjaan. Namun rupanya rencana tinggal rencana, karena Allah SWT agaknya menetapkan bahwa setelah lulus saya harus mulai bekerja di sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bernama PT Indosat. Diterima bekerja di Indosat Kisah mulai bekerja di Indosat-pun sebenarnya sangat lucu, karena saya tidak berencana untuk melamar pekerjaan di Indosat, tetapi janjian dengan rekan alumni elektro angkatan 1976 (EL-76). Saya menjemput dia di kantor Indosat, karena ia akan memasukkan lamaran kerja di perusahaan tersebut. Saat menunggu teman saya datang, di resepsionis saya ditanya apa keperluan saya, setelah saya jelaskan, rupanya resepsionis tersebut malah membujuk saya untuk memasukkan lamaran kerja ke PT Indosat. Sang resepsionis menyampaikan bahwa Indosat saat ini sedang memerlukan banyak insinyur. Jadilah saya menulis lamaran pekerjaan diatas kertas yang diberikan oleh petugas resepsionis tersebut. Ternyata surat lamaran kerja saya, langsung dibawa untuk diproses oleh manajer personalia Indosat, lulusan UNPAD yang kebetulan saya kenal. Kemudian saya dipanggil untuk mengikuti psikotest pada tanggal 14 Nopember 1982 dan wawancara dengan Direksi Indosat tanggal 15 Nopember 1982. Alhasil teman EL-76 tidak sempat saya temui pada hari itu, berlibur keliling Indonesia tidak pernah terjadi, yang ada adalah diangkat bekerja di Indosat terhitung mulai tanggal 16 Nopember 1982. Saya diterima sebagai pegawai percobaan dengan gaji Rp. 180.000,- dan tunjangan golongan 9 sebesar Rp. 50.000,-. Saat itu 1 US $ adalah sekitar Rp. 440, jadi gaji saya sekitar US $ 520. Rupanya hidup itu harus mengalir seperti air, ketentuan Allah SWT akan selalu terjadi. Diawali dengan melakukan pekerjaan apa saja di Indosat Di Indosat saya ditempatkan di bagian perencanaan, dan untuk itu saya harus melapor ketempat kerja saya di Wisma Antara Lt. 18. Rupanya manajer saya hari itu sudah berangkat ke Malaysia untuk rapat sehingga kami tidak jadi bertemu. Teman-teman di Indosat sangat terbuka dan kooperatif, sayapun sibuk untuk mencari apa yang harus saya kerjakan, karena tidak ada penugasan sama sekali. Rupanya saat itu teman-teman di bagian perencanaan Indosat sedang sibuk mempersiapkan dokumen tender untuk Tracking, Telemetry, Command and Monitoring (TTC&M ) Intelsat yang harus masuk keesokan harinya. Jadilah saya bergabung dengan mereka mempersiapkan dokumen tender TTC&M Intelsat, menjadi operator fotocopy hingga jam 4 subuh. Hari pertama bekerja, pulang kantor jam 4 pagi, masuk kantor lagi untuk hari kedua adalah jam 7.30 pagi, untung lokasi rumah orang tua hanya 7 menit dari Wisma Antara. Ibu saya sempat berkomentar “….saya kira anak saya masih kuliah di Bandung........” Di bagian Perencanaan saya pertama kali menugaskan diri menjadi seksi sibuk, membantu dimana- mana, mulai TTC&M, perencanaan SGI Jakarta, perencanaan radio gelombang mikro digital single hop Jakarta-Jatiluhur dan lain sebagainya. Saya terima penugasan tersebut dengan senang hati dan bersemangat, salah satunya menjadi orang Indosat pertama yang berani mendebat teknisi Siemens untuk membahas pemograman CCITT High Level Language (ChiLL), hasil membaca referensi CHiLL dua malam. Sehingga akhirnya Indosat mendapatkan piranti lunak SGI Jakarta yang termutakhir. Langkah ini merupakan sebuah upaya penghematan bagi Indosat dimasa-masa mendatang. Ikut mengembangkan Sistem Komunikasi Kabel laut Ternyata benar bahwa hidup itu itu harus mengalir seperti air, hingga akhirnya Indosat menugaskan saya untuk menjadi koordinator proyek Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) yang membawa saya untuk berkeliling dunia, menghadiri rapat- rapat perencanaan kabel laut dunia dengan rekan-rekan dari operator telekomunikasi dunia. Saat itu tugas saya adalah menyelesaikan pembangunan SKKL Medan-Penang, SKKL South East Asia-Middle East-Western Europe (SEA-ME-WE-1) dan merencanakan serta membangun SKKL Australia-Indonesia-Singapore (AIS). SKKL AIS menjadi SKKL analog terakhir yang dibangun oleh konsorsium SKKL dunia, sebelum kemudian memasuki era SKKL digital dengan bahan serat optis. Alhamdulillah saya masih diberikan kesempatan untuk mengikuti persiapan perencanaan SKKL digital tersebut yang ternyata merubah seluruh sistem administrasi dari perencanaan, operasi dan pemeliharaan SKKL dimasa selanjutnya. Salah satu hasil membanggakan yang berhasil diperoleh dari keterlibatan dengan kelompok perencana, pengembangan dan pembangunan SKKL internasional adalah kemampuan untuk merencanakan kebutuhan atas trafik telekomunikasi untuk 10 tahun kedepan. Selain itu juga kemampuan melakukan lobi dengan pihak pendana, yang pada akhirnya memberikan Indosat kesempatan untuk memperoleh hibah dari pemerintah Inggris untuk 70% dari kebutuhan dana bagi membangun SKKL AIS yang sebenarnya menjadi tanggung jawab Indonesia untuk membiayainya. Sisa 30% kebutuhan dana diperoleh melalui pinjaman lunak dengan bunga hanya sekitar 1% dengan tenor selama 8 tahun. Penggemblengan di Indosat Bekerja di Indosat, yang berusaha untuk menjadi terbaik di Indonesia, memang penuh tantangan. Manajemen berusaha untuk selalu mencari tantangan baru dengan masuk wilayah kerja yang belum pernah disentuh oleh perusahaan lain sebelumnya. Salah satunya adalah penyelenggaraan PON VII di Jakarta, dimana Indosat berkomitmen untuk menjadi pengelola Sistem Informasi Manajemen PON VII. Disinilah kita dididik untuk bekerja secara spartan dan selalu memegang komitmen hasil kerja, kerjasama dan kesatuan. Semua ini dikerjakan dengan ketentuan bahwa tugas kantor tetap harus dapat diselesaikan dengan sempurna. Wahana kegiatan adhoc inilah yang menjadi salah satu cara Indosat untuk menggembleng karyawan Indosat menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dan tahan banting. Dipromosi menjadi manager termuda dan menangani “deadwood” (kayu mati) Tiga tahun saya bertugas menjadi koordinator proyek perencanaan dan pembangunan SKKL, sebelum dipromosikan menjadi manajer termuda Indosat saat itu. Alasannya mungkin sederhana, yaitu sebuah penghematan bagi Indosat, karena pendapatan bulanan saya saat itu besarnya dari lembur, bukan gaji. Bahkan mobil pertama saya dibeli dengan sebagian besar uang hasil lembur. Sebagai manajer, gaji memang naik, namun pendapatan bulanan menurun, karena sebagai manajer sudah tidak berhak memperoleh uang lembur lagi. Pada saat itu posisi manajer memang merupakan posisi yang sulit bagi saya, karena dari 4 staf yang diberikan, dua orang mempunyai pengalaman kerja jauh lebih lama dari saya dan gaji yang besarnya lebih dua kali lipat gaji saya. Direksi hanya berkata, “Ini staf kamu. Posisi mereka sudah deadwood (‘kayu mati’). Terserah kamu bagaimana memotivasi mereka agar mereka dapat bekerja dengan penuh semangat lagi”. Saya merasakan bahwa dari kedua staf senior tersebut memang ada penolakan, kenapa manajernya harus saya, kenapa bukan mereka. Akhirnya dengan membuat program kerja, pembagian tugas yang seimbang dan pendekatan pribadi yang tepat, semangat kerja mereka dapat kembali lagi dan bahkan mereka dapat menghilangkan cap “kayu mati” dari Direksi dan menjadi pegawai yang berprestasi lagi. Masih banyak kisah-kisah menarik dari Budi Prasetyo, insya Allah akan kita lanjut dalam posting berikutnya (Lanjutan-1).
2 Comments
Budi Prasetyo
11/19/2013 11:47:40 pm
Pak Helfia,
Reply
Pak Budi, terimakasih atas kesediaannya berbagi kisah dan pengalaman hidup di sini. Mohon maaf salah mencantumkan fotonya. Boy Sasongko tadi mengingatkan saya lewat WA. Sudah saya ganti, ya.
Reply
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|