Lagi, bahkan ini sudah yang ke tiga kali dalam Minggu ini. Sejak di luar rumah aku memang telah mencium bau tak sedap yang mengusik indra penciumanku.
Benar saja, sama seperti kemarin dan kemarin, selalu seperti ini. Ibu, lebih tepatnya ibu mertuaku buang air besar di ruang tamu. Aku menatap suami tajam, rasanya ingin mengeluh, namun kutahan ketika kedua netranya berkaca dan menatapku seolah memohon maaf. Aku menghela napas panjang. "Mas cari saja ibu dan bersihkan, biar aku yang membersihkan kotoran di sini," ucapku datar. Suami mengangguk dan segera menuju kamar ibu. Aku dan suami adalah pegawai swasta yang bekerja dari pagi hingga sore. Lelah, itu lah yang kurasa setiap pulang ke rumah, namun semua terasa semakin berat ketika enam bulan yang lalu mertua memutuskan ikut tinggal bersama kami. Ingin rasanya aku menolak, bukankah Mas Bayu memiliki dua saudara perempuan yang tidak bekerja, bukankah lebih elok bila mereka yang mengurus ibu mertua. Ketika ibu mertua sehat mereka sangat senang dengan hadirnya dan memberdayakan beliau sekedar untuk mengasuh cucu. Namun kini, ketika usia semakin menanjak senja dan tubuh ringkih beliau tak sekuat dulu lagi, semua malah angkat tangan dan menyerahkan ibu pada Mas Bayu, suamiku. Di rumahku, siapa yang akan mengurus ibu mertua? Aku bekerja, bahkan kedua anakku yang remaja pun sejak SMP telah tinggal di asrama dan hanya pulang ketika weekend saja. "Aku akan mencari pembantu untuk mengurus, Ibu," ucap suamiku. Aku hanya mengangguk saja. Tak mungkin aku berhenti bekerja dan hanya fokus mengurus ibu mertua, aku memiliki tanggungan lain. Dua adikku di desa harus dibiayai sekolahnya, sejak kecil ibuku yang seorang janda telah melakukan segalanya agar aku bisa sekolah tinggi dan bekerja. Aku harus menunjukkan baktiku dengan membiayai sekolah kedua adikku. Kini, kehadiran ibu mertua seolah menjadi beban baru dalam kehidupan rumah tangga kami. "Biar, Mas, saja yang ngepel, kamu mandilah dan siapkan makan malam. Tadi mas sudah beli sate." Mas Bayu menepuk pundakku dan tersenyum. Ah, tahu benar aku rasa yang berkecamuk di hati imamku ini, pastilah akhir-akhir ini rasa tak enak hati selalu menghampirinya. "Kamu yang sabar ya, Dek menghadapi, ibu," ucap Mas Bayu malam itu. Aku hanya mendehem. Baru saja aku mengepel lantai ketika ibu merengek mengatakan bahwa ia telah kencing di atas karpet yang baru saja selesai kulaundry. "Mas, sudah beberapa kali meminta ibu pakai diaper saja tapi ibu baeralasan gatal dan gak nyaman, bila dipaksa ibu suka menangis." Mas Bayu menjelaskan tanpa diminta. Aku bergeming. Bukan tak ikhlas mengurus ibu mertua, namun aku pun sibuk. Seharian bekerja dan ketika pulang harus membersihkan rumah yang luar biasa kotornya. "Mas sudah dapat pembantu yang akan menunggui ibu?" tanyaku masih dengan nada datar. "Belum, sulit, Dek, apalagi ibu sudah tua dan terkadang banyak maunya. Paling ya kayak kemaren baru beberapa hari kerja langsung berhenti karena gak tahan." Aku menghela napas. Pantas lah bila hati kecil ini selalu menghasut bila mertuaku ini hanya menyusahkan. Kedatangannya seakan membawa angin buruk bagi rumah tangga kami. Bukankah sebaiknya dia tahu diri bila sudah tua dan tak dapat mengontrol buang air seharusnya tak terlalu cerewet pada pembantu? Sudah lima orang total pembantu mengundurkan diri tak tahan dengan omelan mertua. "Hidupku ketika kecil tak mudah, Dik. Walau ada ayah tapi ibu lah tulang punggung keluarga, berkat kerja keras dan air mata beliau lah aku bisa sampai ke perguruan tinggi dan mencapai posisi enak seperti sekarang." Aku diam, ingin rasanya membantah bila kewajiban merawat ibu bukan hanya miliknya saja, ada dua saudara perempuan yang seharusnya ikut mengurus ibu di masa tuanya. "Jangan kau tanya sakit hatiku ketika Kak Nina dan Kak Shinta selalu menjelekkan ibu dan menganggap ibu sebagai biang kerok pertengkaran mereka dan suami." Mas Bayu menyeka air matanya. Aku tetap bergeming. "Kupikir sudahlah, tak usah mengandalkan orang lain. Ibu adalah ibuku, terserah anak yang lain mau berbakti atau tidak, yang penting aku anak laki-laki ini ingin mengasihi ibu sama seperti ia dulu memperjuangkanku dengan keringat darah agar aku berhasil." Aku tetap bergeming, namun ada rasa yang bergemuruh, perlahan sesak memenuhi rongga di dada. "DAHULU IBU TAK SEPERTI INI, Dik. Ia WANITA KUAT dan TANGGUH MALAH TERLALU PERKASA BAGIKU. Ia abai dengan rentetan perselingkuhan ayah dan tetap merawatnya ketika ayah terkena stroke hingga menghembuskan napas terakhir. Aku dan kedua kakakku tak pernah mendengar keluh kesahnya. Ia banting tulang bekerja apapun demi kelangsungan hidup kami. Kurasa, ini lah saat Allah berbaik hati MENITIPKAN LADANG PAHALA bagiku." Kali ini suara Mas Bayu terisak. "Kumohon, Dik, maafkan, Mas bila menyusahkanmu, tapi tolonglah, jangan membuat keputusan yang memaksa Mas harus memilih antara engkau dan ibu. Sungguh, KALIAN adalah DUA WANITA YANG SANGAT KUSAYANG. Ia adalah IBUKU dan engkau adalah IBU DARI ANAK-ANAKKU." Rasa sesak itu kian menjalar dan perlahan mulai menemukan muaranya. Tubuhku berguncang menahan tangis yang tak tertahankan lagi. Segera aku memeluk Mas Bayu. Runtuh sudah dinding keegoisan dan rasa marah yang selama ini selalu hadir. Lepas sudah rasanya beban yang setia menggelayut. "Maafkan aku, Mas, maafkan. InsyaAllah aku ikhlas merawat, ibu." Aku menyeka air mata yang mulai membasahi wajah. " TOLONG, jangan bosan INGATKAN diri ini BILA sesekali ALPA dan terbawa EMOSI." "InsyaAllah, Dek, bantu Mas untuk berbakti ya. Tolong BERJALANLAH BERIRING MENJAUHKAN Mas DARI PINTU DURHAKA." Aku mengangguk dan semakin erat memeluk Mas Bayu. Tak ada yang berubah setelah pembicaraan malam itu. Mertuaku tetap sama seperti itu, buang air sembarangan, selalu mengomel bila ada pembantu yang mengurusnya dan terkadang aku pun tak luput dari amarahnya. Sepulang bekerja pun masih saja ada sisa air seni atau kotoran yang berceceran di lantai atau bahkan tempat tidur. Mertuaku pun masih tetap tak dapat dirayu untuk memakai diaper. Namun ada yang berbeda, hati ini tak lagi sekeras dulu. Aku dan suami terkadang bertaruh apakah hari ini ibu buang air sembarangan atau tidak dan terkadang kami tertawa ketika menemukan di depan pintu sudah ada ceceran air seni dengan bau yang sangat menyengat. Rasanya tak lagi lelah, bahkan semua kukerjakan dengan ringan. Suami pun terasa lebih menyayangiku. Anak-anak yang biasanya selalu rewel ketika pulang selepas mondok nampak lebih mandiri dan tak sungkan membantu pekerjaan rumah. Baru saja aku mendengar berita di desa bila kedua adikku mendapatkan beasiswa sehingga aku tak perlu bekerja hingga lembur untuk memenuhi biaya pendidikan mereka. Ibu di desa pun tampak riang dan berkata bila akhir-akhir ini kesehatannya sangat bagus. Terakhir kedua kakak Mas Bayu mengirimiku uang dalam jumlah besar seharga satu buah motor baru. Untuk bantu-bantu beli susu ibu kata mereka. Kini, haruskah kukeluhkan bila hadirnya mertua adalah beban? Ataukah bisa kusimpulkan bila kedatangan beliau lah yang melapangkan rezeki dan hati ini? Ibu mertua bukanlah ibu kandungku, sejak dahulu hingga kini tak ada darah sama yang mengalir di tubuh kami. Hingga nanti pun tak akan pernah rasa ini sama layaknya aku menyayangi ibu kandungku, namun kini kuyakin begitu besar berkah di tangan beliau. Bakti suamiku padanya adalah berkah bagi aku dan keluarga. Hati kecil ini semakin tersentil ketika sulungku, Andi yang berusia enam belas tahun berujar pada teman-temannya. "Aku nanti kalau mau cari istri ya kayak mamaku, dia telaten banget ngurus nenek dari papaku. Gak pernah dia ngeluh atau marah-marah pada nenek. Aku ingin istriku nanti dapat memperlakukan mama layaknya mama memperlakukan nenek." Deg, hati ini meleleh. Bakti itu berbuah, bukan hanya di surga namun di dunia itu pun telah dapat kurasakan manisnya. Muaradua, Ana Yuliana. Berdasarkan kisah nyata dengan perubahan. Semoga kisah ini dapat menjadi bacaan alternatif disaat maraknya kisah mertua jahat menantu teraniaya atau sebaliknya menantu jahat mertua teraniaya yang like nya bisa mencapai puluhan ribu. InsyaAllah tulisan ini menjadi pengingat diri agar lebih pandai melihat sisi positif dari setiap kejadian. Ana Yuliana Semua orang punya ujian Yg terpenting bukan seberapa besar ujiannya tapi... Bagaimana cara menghadapi ujian Suami istri bekerjasama Saling mengingatkan Saling menasihati Sebesar apapun ujian itu akan bisa dilalui dgn mudah Dengan izin Allah
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|