Kisah wartawati Sunday Express Inggris, Yvonne Ridley, peminum yang masuk wilayah Afghanistan tahun 2001 secara illegal (tanpa paspor maupun visa) kemudian ditangkap karena dicurigai sebagai agen spionase negara barat. Dia tertangkap basah di sebelah timur kota Jalalabad. Penyamarannya terungkap ketika ia terjatuh dari seekor keledai persis di depan seorang tentara Taliban dan kameranya jatuh. Saat ditangkap, Ridley terlihat mengenakan burqa, sejenis busana Muslimah tradisional Afghanistan. Rezim Taliban Afghanistan mengatakan akan mengadili jurnalis Inggris Yvonne Ridley karena memasuki negara secara illegal. Taliban telah mengisyaratkan mereka mungkin mengklaim bahwa dia adalah mata-mata pasukan khusus Barat. Berikut kisahnya seperti yang dituturkannya sendiri di Youtube. Ketika aku ditangkap, aku takut karena aku telah terperangkap dalam propaganda barat bahwa mereka ini adalah pria jahat brutal yang membenci Wanita. Jadi, aku sungguh tidak berpikir bahwa aku akan melihat matahari terbenam malam itu. Aku hanya berpikir ini adalah akhir bagiku. Jadi aku terkungkung dengan ketakutan. Lalu aku dibawa ke Markas Intelijen di Jalalabad. Dikarenakan pengetahuan mereka yang terbatas tentang aku, pengetahuan mereka tentang aku sama terbatasnya dengan pengetahuanku tentang mereka, dalam istilah budaya. Dan mereka mengira aku adalah mata-mata Amerika karena mereka tidak mengenali aksen-ku. Mereka pikir dari utara Inggris, di dekat perbatasan Skotlandia. Akupun berusaha memberitahu mereka bahwa tidak semua kita berbicara seperti Ratu. Benturan Budaya Ketika mereka berbicara kepadaku, mereka terus memalingkan muka, mereka melihat ke langit-langit, mereka melihat ke lantai, mereka melihat ke luar jendela, mereka melihat ke mana saja, tapi tidak tertuju padaku. Akupun hanya berpikir mereka tidak dapat menatap mataku karena mereka tahu bahwa mereka akan membunuhku dan mereka merasa terlalu bersalah. Tapi tentu saja aku mengetahui kemudian bahwa mereka menunjukkan rasa hormat kepadaku dengan tidak menatap aku. Jadi itu adalah bentrokan budaya yang sangat nyata. Mereka tidak mengerti aku, akupun tidak mengerti mereka. Aku amat sangat takut. Dan begitu aku menjadi terbiasa dengan gagasan bahwa mereka akan membunuhku, ketakutan terbesar saat itu adalah apakah mereka akan menyiksaku? Akankah mereka memperkosa aku? Apakah mereka akan melecehkan aku? Dan itu adalah ketakutanku berikutnya. Lalu aku hanya berpikir, seandainya aku adalah tahanan yang menyusahkan, mereka tentu akan membawaku keluar dan menembak aku dan kemudian itu akan menjadi terselesaikan, itu semua akan berakhir. Dan aku akan berubah dari tahanan menjadi mayat. Setidaknya aku akan kehilangan semua bagian tubuhku. Jadi itu adalah strategiku. Mereka terus menanggapi aku ketika aku kasar dan agresif. Aku melemparkan barang-barang ke mereka. Aku memukul mereka. Mereka terus mengatakan: Mengapa kamu bersikap seperti ini? Kamu adalah tamu kami. Kami ingin kamu Bahagia. Dan aku berpikir mengapa mereka bertindak seperti ini? Mereka seharusnya jahat dan brutal. Ini jelas merupakan permainan yang mereka mainkan seperti permainan kucing dan tikus. Mereka membiarkan aku berpikir bahwa mereka sungguh baik, dan kemudian pada menit terakhir, cakar akan keluar. Sehingga sepanjang seluruh pengalamanku, aku tidak berpikir bahwa kami sampai pada satu pemahaman satu sama lain. Namun sebenarnya jari mereka tidak pernah menempel aku, mereka tidak pernah menyentuh aku. Mereka tidak merespon secara agresif. Jika mereka marah padaku, mereka hanya bangun, berjalan keluar dan berkata: kami tidak ingin berbicara denganmu.Jadi, itu bukan yang aku harapkan. Aku yakin aku tidak seperti yang mereka harapkan. Dia ditahan atas tuduhan mata-mata dan direncanakan dihukum rajam. Tapi bukannya mengakhiri hidupnya, pengalamannya di tahanan Afghanistan itu malah mengubah hidupnya selamanya.
Di hari ke 6, sang penerjemah, seorang pria muda bernama Hamid berkata kepadaku: “Kau akan kedatangan pengunjung yang sangat penting hari ini, dan kau harus menghormatinya. Tolong jangan berteriak, tolong jangan melempar sesuatu. Ini adalah orang yang sangat penting yang akan mengunjungimu hari ini”. Akupun bertanya: “Siapa itu?” Dan dia bilang: “Aku tidak bisa mengatakannya”. Akupun bilang: “Apakah itu Mullah Omar (pemimpin Taliban)? Atau apakah itu Osama bin Laden, siapa?”. Diapun bilang: “Aku tidak bisa mengatakan, aku tidak bisa mengatakannya”. Diapun pergi dan sekitar 15 menit kemudian ada ketukan di pintu. Meski aku adalah tahanan, aku memiliki kunci, karena mereka memberi aku kunci. Lalu aku membuka kunci pintu. Dan di sana berdiri di depanku seorang yang membuat darahku menjadi dingin. Dia mengenakan gaun gading yang panjang menyentuh lantai dan sorban gading. Dia memiliki janggut coklat muda mata coklat. Kulit wajahnya adalah sesuatu yang ketika aku menatapnya dan kupikir: Apakah dia memakai riasan? Karena wajahnya bersinar. Cahaya lampu tidak menyinarinya, tetapi cahayanya keluar dari dia. Dan aku belum pernah melihat yang seperti ini sebelumnya dan akupun mengetahui kemudian bahwa apa yang aku lihat adalah “Nur” (cahaya) di wajah orang ini. Lalu aku melihat pria ini… dan jelas bahwa dia adalah seorang ulama. Akupun berpikir aku akan menghindari berbicara tentang agama selama 6 hari dan sekarang, ini dia, ini harus menjadi rintangan terakhir sebelum aku didorong ke dinding dan ditembak. Diapun masuk, kami duduk dan dia duduk di seberangku. Penterjemah duduk di sebelahku. Dan dia bertanya apa agamaku. Akupun berpikir: Ini dia. Akupun menjawab: “Aku seorang Kristen”. Dan dia berkata: “Ya, tapi apakah kamu seorang Katolik Roma atau kamu seorang Protestan?”. Aku bilang: “Aku seorang Protestan dari Gereja Inggris”. Dia bertanya lagi: “Apa pendapatmu tentang Islam?” Sejujurnya aku tidak tahu apa-apa tentang Islam. Hanya sedikit pengetahuan yang aku kumpulkan dan sepenuhnya salah setelah aku tahu kemudian. Jadi aku tidak tahu apa-apa tentang Islam. Dan dia berkata: “Apa pendapatmu tentang Islam?” Aku katakan: “Oh itu luar biasa. Itu benar-benar menakjubkan”. Aku terus memuji agama ini yang aku tidak tahu apa-apa tentangnya. Diapun duduk dan dia tersenyum. Kemudian aku berhenti. Dia berkata: “Islam agama yang Indah”. Aku menatapnya dan kukatakan: “Aku sangat setuju”. Aku juga berkata: “Apakah kau tahu, orang-orang di sekitar sini sangat mencintai iman mereka”. Dia berkata: “Kau tidak akan pernah percaya berapa kali sehari mereka berdoa”. Dan di sinilah aku menunjukkan ketidak-pedulianku selama ini. Aku katakan: “Mereka berdoa 5 kali sehari. Karena ketika berada di penjara aku hanya bisa berhitung. Aku menghitung sholat”. Aku tidak tahu bahwa muslim sholat 5 kali sehari. Dia pasti mengira aku wanita bodoh, tapi dia terlalu sopan untuk mengatakan itu. Kemudian dia berkata: “Apakah kau ingin masuk Islam?”. Dan dia mengundangku memeluk Islam. Dan aku hanya berpikir: Oh, apa yang akan aku katakan sekarang. Jika aku mengatakan ya, dia akan mengatakan kau wanita yang tidak tulus yang berubah-ubah, bawa dia pergi dan rajamlah. Tapi jika aku mengatakan tidak, dia akan mengatakan beraninya kau menghina Islam, bawa dia pergi. Jadi aku berpikir apa yang akan aku katakan. Kemudian aku hanya berkata: “Lihat, aku tidak bisa membuat keputusan yang mengubah hidup saat aku di penjara, tetapi aku akan melakukannya jika kau melepaskan aku. Aku akan membaca kitab sucimu dan aku akan mempelajari Islam”. Dia hanya tersenyum. Dia tidak mengatakan ya atau tidak dan dia beranjak pergi. Di Sunday Express, atasannya menegaskan bahwa dia seorang jurnalis bonafit yang hanya memasuki Afghanistan untuk melaporkan situasi kemanusiaan. Dan setelah 11 hari aku dibebaskan dengan alasan kemanusiaan bahkan setelah perang dimulai. Dan aku tidak tahu siapa yang lebih bahagia ketika aku berjalan kembali ke Pakistan. Apakah mereka senang melihat aku kembali, atau aku lebih bahagia karena bisa menjauh dari mereka. Tetapi hanya pada titik pembebasanku ketika aku berjalan menuju jurnalis Pakistan, akupun mulai memikirkan waktuku di tahanan. Dan para jurnalis berteriak: “Bagaimana Taliban memperlakukanmu?”. Dan aku berjalan menuju rekan-rekanku, dari media Pakistan, dan aku berpikir bahwa orang-orang ini memperlakukan aku dengan sopan dan hormat. Dan kemudian aku berpikir: Bagaimana aku memperlakukan mereka? Dan aku berpikir, aku hampir berhenti dan aku hampir berbalik untuk Kembali untuk mengatakan kepada mereka: Lihat, aku sungguh minta maaf, aku sangat kasar. Tapi kemudian kupikir jika aku berhenti dan berbalik, mereka akan berkata: Oh ya ampun, dia kembali dan kemudian mereka akan menembak aku… he..he..he. Jadi aku pergi dan berkata kepada media Pakistan bahwa aku diperlakukan dengan sopan dan hormat itu benar adanya. Ketika aku Kembali ke London, akan mudah bagiku untuk berpikir, baiklah, aku tidak perlu menepati janjiku. Namun aku juga berpikir sebagai seorang jurnalis, adalah cukup jelas bahwa aku tidak tahu apa-apa tentang Islam. Dan jika aku ingin menulis dengan otoritas apapun tentang orang-orang dari Asia, dari dunia Arab, dari dunia muslim, jika aku ingin menulis dengan otoritas apapun, aku perlu tahu tentang Islam. Karena satu hal yang aku pahami dengan sangat cepat melalui Taliban bahwa Islam bukan hanya sesuatu ketika kau mengangkat tangan dan meletakkan tangan dalam sholat Jum’at. Islam adalah jalan hidup, itu adalah caramu untuk makan, caramu untuk tidur, caramu berpikir, caramu berdoa, caramu berpakaian dan segalanya. Itu adalah keseluruhan sistem pendukung kehidupan. Jadi kewajibanku selaku seorang jurnalis menginformasikan serta memberikan janji kepada orang Taliban, akupun mulai membaca Islam. Memeluk Islam Itu adalah proses yang sangat lambat. Aku tidak memberitahu rekan-rekanku bahwa aku sedang membaca tentang Islam. Butuh waktu sekitar 2 tahun, tapi perjalanan sangat cepat berubah dari pembelajaran menjadi perjalanan spiritual. Karena…. ketika aku mulai membaca Al Qur’an, itu mudah. Terjemahan Bahasa Inggris-ku yaitu dari A. Yusuf Ali. Dan ada beberapa catatan tambahan untuk semua ayat. Aku juga mulai membaca tentang pria ini, Muhammad SAW, dan aku kagum dengan apa yang aku baca. Dan Kembali pada tahun 2001, aku belum pernah mendengar tentang dia. Dan tentu saja sekarang, Nabi tercinta kita Muhammad SAW adalah sebuah contoh teladan kontemporer, dia adalah pria abad 21 sebagaimana dia pada abad ke 7. Seorang yang luar biasa. Setelah 2 tahun aku akhirnya memeluk Islam dan itu bukan lompatan iman yang besar, aku masih berdoa kepada Tuhan yang sama. Aku hanya melakukannya dengan cara yang lebih disiplin
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|