Ayo kita lanjutkan serial kisah alumni ITB angkatan 77 di sini. Kali ini mari kita ikuti perjalanan karir Direktur Utama Pacific Link, Wahyoe Prawoto sorang alumnus ITB Jurusan Teknik Industri angkatan 77. Simak tulisannya berikut ini. Sulit untuk mengarang Walaupun saya asli orang Jawa, tapi saya sekolah SD, SMP dan SMA di Medan. Saya ingat bahwa pelajaran mengarang adalah pelajaran yang paling saya benci, karena terasa selalu tidak punya bahan untuk dijadikan karangan. Sewaktu ada tugas mengarang di kelas 4 SD di Medan, saya buat judulnya “Mengarang” dan di situ saya tuangkan “uneg-uneg” saya betapa sulitnya pelajaran mengarang. Kenapa? Karena sulit mencari bahan untuk dituangkan dalam karangan. Awal SMP, entah dari mana datangnya, saya mulai menulis puisi, dan hobi ini berlanjut sampai kuliah. Tapi puisi-puisi itu hanya untuk digunakan sendiri, atau oleh orang lain seperti adik saya waktu ada peringatan Hari Kartini di sekolahnya. Sesekali saya berikan puisi tersebut ke seseorang yang saya sukai. Pernah saya coba kirimkan ke sebuah harian di Medan, tapi tidak pernah dimuat. Ternyata keinginan untuk mengarang justru akan melatar-belakangi kehidupan dan jalan karier saya di masa depan. Mengarang dan menulis, rupanya juga nantinya akan menjadikan salah satu kebahagiaan kami sekeluarga. Berkuliah sambil menjadi wartawan majalah Tempo Saya masuk ITB sebagai salah satu mahasiswa angkatan 1977. Saat itu, Dewan Mahasiswa ITB menerima kami dengan membentangkan spanduk kosong kain putih (tanpa tulisan apapun) di depan kampus. Pada tahun-tahun sebelumnya, spanduk tersebut selalu bertuliskan “Selamat datang putra-putri terbaik Indonesia”. Mungkin karena kakak-kakak kelas kami menyangsikan kemampuan kami, dengan adanya penerapan sistem ujian masuk SKALU yang dilaksanakan oleh pemerintah secara bersamaan untuk 5 (lima) Perguruan tinggi. Keinginan saya untuk menulis terus tak terbendung, pada tahun 1980 saya mulai menulis untuk harian “Waspada” Medan di rubrik Universitaria. Saya tulis artikel-artikel mengenai geliat kegiatan kampus. Lalu untuk majalah “Berkala ITB”, majalah “Psikologi Anda”, Jurnal Puslitbang Jalan, dan pernah juga di koran Kompas (memakai nama samaran). Untuk memuaskan nafsu dan menyalurkan gairah menulis, saya rintis buletin Asrama “C Family”, sebuah buletin Rumah C Asrama Mahasiswa ITB tempat saya tinggal. Edisi perdananya terbit pada hari Hak Azasi Manusia 10 Desember1980. Saya banyak menulis di situ, baik artikel maupun berita, juga membuat rubrikasi. Buletin “C Family” juga bertahan sampai beberapa tahun dan diikuti oleh berbagai asrama mahasiswa di Bandung karena kami mengedarkannya ke alumni dan ke seluruh asrama se-nusantara yang kami punyai alamatnya. Sejak saat itu, banyak buletin yang telah saya terbitkan seperti Buletin RW 06 Ganesha, Buletin alumni PPM angkatan XIV “COMINEX MT-14”, dan newsletter kantor “Info Soedarpo” di tempat saya bekerja. Mungkin karena penasaran dan kepalang basah bermain di dunia tulis-menulis, maka pada tahun 1984 saya melamar ke Majalah Tempo untuk menjadi wartawan. Ternyata lamaran saya diterima bersama 7 carep (calon reporter) lainnya untuk dipekerjakan di Jakarta. Waktu itu Majalah Tempo menjadi salah satu media yang diidamkan calon wartawan. Apa lacur, setelah mencoba beberapa minggu, rupanya jadi wartawan cukup berat bagi saya. Bisa jadi karena saya tidak berbakat. Lebih berabe lagi, kuliah saya di Bandung makin terlantar. Puluhan text book yang saya boyong ke Jakarta, karena niat mau bekerja sambil menyusun Tugas Akhir, ikut terlantar dan tidak tersentuh sama sekali. Akhirnya saya putuskan kembali ke Bandung untuk mentuntaskan kuliah. Untunglah saya mengambil keputusan ini dan akhirnya bisa lulus sebagai Insinyur ITB setahun kemudian. Jadi insinyur dan ingin cepat menikah Pada hari wisuda sarjana saya merasakan sebuah kebahagiaan dan kebanggaan, namun pada saat yang bersamaan saya merasa berdebar-debar karena setelah wisuda berarti saya harus menghadapi kehidupan nyata yang belum bisa ditebak seperti apa. Apalagi secara “tidak sengaja” saya termasuk yang paling lama kuliah di ITB, mencapai 8 tahun dihitung sejak disambut spanduk putih di tahun 1977. Jadi masa kuliah saya terhitung dari Februari 1977 sampai dengan ikut wisuda pada bulan Maret 1985. Terus terang, jika saya diberi kesempatan untuk muda lagi dan mengulang menjadi mahasiswa ITB, saya tidak akan mau berlama-lama di kampus sampai jauh melebihi waktu kuliah yang normal. Tapi tentunya dengan tidak meninggalkan aktivitas kampus di luar kuliah. Setelah saya lulus, entah kenapa, saya ingin sekali segera menikah. Bahkan waktu tinggal beberapa bulan lagi sebelum menyelesaikan tugas akhir dan sidang sarjana, saya minta pacar saya untuk bersedia saya nikahi. Untung saja dia keberatan waktu itu dan meminta saya untuk membereskan dulu sekolah saya. Jadi begitu wisuda bulan Maret 1985, langsung tanggal 27 Aprilnya saya menikah. Kalau dipikir-pikir sekarang rasanya lucu juga, kenapa sampai begitu, mungkin karena merasa sudah sangat tertinggal dalam menyelesaikan kuliah sehingga tidak mau tertinggal lagi untuk hal lainnya yaitu berkeluarga. Memilih LPPM sebagai langkah untuk memulai karier Waktu itu saya belum bekerja atau tepatnya belum mempunyai penghasilan. Sebagai manusia normal, saya harus bertanggung jawab atas keputusan berumah-tangga yang telah saya ambil dengan mencari jalan supaya ada penghasilan. Ternyata tidak mudah dan rasa berdebar yang pernah muncul waktu wisuda saat itu muncul lagi, bagaimana kalau terus-terusan tanpa pegangan dan pendapatan ?. Semangat saya mulai turun waktu itu. Hanya doa saja yang rasanya bisa memperkuat diri. Akhirnya saya ikut tes dan lulus di LPPM (Lembaga Pendidikan dan Pembinaan Manajemen, lalu berubah menjadi IPPM atau Institut PPM, dan sekarang STM PPM – Sekolah Tinggi Manajemen PPM) Jakarta untuk mengikuti pendidikan Wijawiyata Manajemen selama 10 bulan. Pendidikan di sana dibiayai sponsor untuk biaya pendidikan dan uang saku. Di tempat itu saya bertemu dengan kawan-kawan satu kampus Ganesha seperti Amar Rasyad (TK 77), Retno Tuti (EL 77), Gunawan Badarulzaman (TI 78), dan Amir Sambodo (MS 78). Begitu juga kawan-kawan baru dari kampus lainnya se Indonesia. Semangat saya timbul, apalagi melihat kawan-kawan yang tampaknya begitu antusias mengikuti pendidikan tersebut. Saya banyak belajar juga dari mereka, rajin belajar dalam grup meskipun tidak pernah mengurangi kegiatan main dan bercanda setiap ada kesempatan. Memulai karier di Soedarpo Corporation Setelah 10 bulan digodok di LPPM, saya diterima dan mulai bekerja di NV PD Soedarpo Corporation, Jakarta pada Divisi Komputer diawal Juli 1985, sebagai perusahaan yang mensponsori saya di LPPM. Di situ saya ditempatkan sebagai Marketing Officer yang terlibat dalam mendevelop bisnis baru mendistribusikan perangkat Computer Aided Design dan Computer Aided Manufacturing (CAD/CAM). Walaupun tidak terlalu banyak pilihan tempat bekerja yang terbuka bagi saya, namun saya sangat mensyukuri bahwa saya bisa bekerja di NV PD Soedarpo Corporation. Pak Soedarpo Sastrosatomo adalah tokoh pengusaha pribumi yang mengembangkan bisnis di Indonesia secara professional. Ia lebih dikenal sebagai pengusaha kapal dengan perusahaannya yang bernama PT Samudera Indonesia. Perusahaan-perusahaannya terus berkembang dalam berbagai zaman. Saya berterima kasih sekali kepada NV PD Soedarpo Corporation (yang kemudian berubah nama menjadi PT. NVPD Soedarpo Corporation, Tbk, sewaktu go public tahun 1992). Di sana saya banyak belajar dan bisa memasuki ke dunia kerja yang sesungguhnya. Di perusahaan ini, saya harus belajar lagi, namun karena basic saya di Teknik Industri (TI), saya lebih mudah memahami aspek disain dan produksi barang yang dibantu dengan perangkat komputer. TI membekali lulusannya dengan mata kuliah Programa Komputer dan mata kuliah tersebut sangat saya senangi waktu itu, sampai menjadi Asisten Dosen bersama Delima “Kentis” Kiswanti. Ilmu produksi dan lingkungan industri juga lebih terbayang, meskipun lebih karena pernah mendapat kewajiban kerja praktek dan kuliah kerja. Tahun 1988 saya pindah bagian dan ditempatkan sebagai salesman untuk menjual salah satu produk komputer yang dipasarkan oleh Soedarpo Corp. selaku business partner. Di bagian ini lebih banyak lagi saya mendapat pengalaman karena harus berhadapan dengan banyak orang, pengalaman administrasi penjualan, penentuan harga, sedikit tentang pajak, dan betul-betul harus siap menerima sebutan 'salesman', suatu sebutan yang tadinya menurut saya kurang prestisius. Akhirnya memimpin perusahaan penyedia jasa internet Saya terus bekerja di Soedarpo sampai tahun 1997, saat Soedarpo sudah mendirikan anak perusahaan yang bergerak di bidang jasa Internet yaitu Pacific Internet dan sudah mulai beroperasi. Saya bergabung karena memperkirakan bahwa Internet adalah bisnis masa depan. Waktu itu saya dibeti tugas untuk memperkuat content web site Pacific Internet atau sering kami sebut Homepage PInter. Pada penugasan ini saya bisa menuangkan kegemaran saya membuat majalah kecil karena homepage PInter ibarat media massa yang mempunyai rubrik, periodisasi update tiap rubrik, ada nara sumber, jadwal tayang dst dst. Teknis programmingnya sendiri saya tidak paham, dan itu ditangani oleh tim teknis, saya hanya bertindak sebagai Editor in Chief, ataupun pemimpin redaksi (dalam bahasa media cetak). Di Pacific Internet inilah tempat saya bertugas sampai sekarang, dengan nama yang telah berubah menjadi Pacific Link sejak tahun 1999. Posisi saya berubah-ubah terus sampai yang terakhir menjadi President Director sejak Juli 2003. Pernah sebagai Sales & Marketing Manager, pernah sebagai VP Engineering, sebagai Business Development Director, dan Sales & Marketing Director. Kiat-kiat jasa internet provider yang tidak memiliki jaringan Bisnis utama PT Pacific Link (PT Jasa Jejaring Wasantara), sesuai lisensi yang dimilikinya, adalah Internet Service Provider (ISP) dan murni jasa tanpa mempunyai jaringan sendiri. Saat ini ISP di Indonesia seperti Pacific Link yang tidak mempunyai jaringan sendiri memang berada di simpang jalan karena dominasi penyelenggara jaringan begitu besarnya. Semua penyelenggara jaringan memiliki lisensi ISP sehingga secara logika mereka pasti akan mendahulukan ISP miliknya. Kondisi ini membuat kawan-kawan di perusahaan harus berjuang keras untuk survive dan untuk bisa berkembang. Memang terdengar aneh kalau dengan kondisi yang tidak kondusif seperti itu, saya dan kawan-kawan di perusahaan masih tetap bertahan di sana. Kami semua masih memiliki keyakinan bahwa kebutuhan akan Internet dan teknologi informasi sudah tidak dapat ditinggalkan lagi oleh semua bidang, baik bisnis maupun bukan. Teknologi yang makin menyatu dan sekarang sangat populer disebut ICT atau TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) itu makin meluas penggunaannya di segala sendi kehidupan. Dengan begitu, tinggal daya imaginasi dan kreativitas kami yang dituntut terus-menerus agar bukan hanya survive, tapi bisa berkembang dan berkembang terus. Bukan cuma ISP, kami juga dirikan lagi satu perusahaan kelas kecil untuk dapat berpartisipasi memasok perangkat TIK. Saya duduk sebagai Direktur di perusahaan tersebut. Tanggung jawab pribadi terhadap karyawan Suatu sore menjelang akhir tahun 2006 saya berdiri menunggu taksi di pinggir jalan di depan kantor. Sebuah taksi berhenti, saya naik dan sambil membaca majalah perusahaan taxi saya mengobrol dengan si supir. Tiba-tiba Pak Supir bertanya, “Masih kuat kerja, Pak?” Merasa kurang percaya dengan pertanyaannya, saya minta dia mengulangnya. “Masih kuat kerja, Pak?” Saya jawab, “Masih.” Ternyata dia terus menyerocos, “Umur anda sudah 70 ya, Pak? Kemarin juga ada penumpang Ibu-ibu sudah 67 tahun masih kuat kerja, Pak,” katanya. “Saya belum sampai 70, Bang,” sahut saya, “kumis saya saja yang putih.....” Ck, ck, ck, ternyata tampang saya sudah terlihat seperti orang berusia 70-an. Gemas, kesal, geli, campur-baur jadi satu perasaan saya ke si supir. Tapi saya berterima kasih padanya karena dia membuat saya sadar sesadar-sadarnya bahwa umur kita sudah lanjut, dan itu sudah terlihat jelas dari luar. Meski begitu saya tetap nasihatkan ke kawan-kawan lain untuk berhati-hati terhadap taxi yang dibawa oleh supir tadi, sebab rasanya mata pak sopir sudah agak rabun. Bagi saya pribadi, pada posisi yang sekarang, tanggung jawab terbesar tidak hanya pada diri sendiri dan keluarga, tapi terlebih lagi pada sekian puluh karyawan dan sekian ratus kepala di belakangnya yang harus tetap dihidupi dari hari ke hari. Rasa tanggung jawab, harapan, dan keyakinan di ataslah yang masih membuat saya masih menekuni bidang pekerjaan ini. Tentu hal ini tidak bisa selamanya karena tidak ada yang kekal di dunia ini, itu saya sadari sepenuhnya. Sepuluh tahun berjalan sejak 1995, Internet merupakan teknologi masa kini dan masa depan yang telah dan akan terus digunakan di Indonesia, menyusul negara-negara lain di dunia. Teknologi dan bisnisnya digeluti mayoritas anak-anak muda. Dengan terus menggeluti bisnis ini, kita-kita yang berusia tidak muda lagi ikut terimbas menjadi selalu berjiwa dan bersemangat muda. Kontribusi kepada dunia ICT dan pendidikan Hal yang tak putus saya syukuri dan membuat bahagia adalah bahwa dengan segala keterbatasan saya dan perusahaan tempat saya bekerja, kami masih bisa memberikan kontribusi kecil kepada pengembangan dunia ICT (Information and Communication Technology) dan dunia pendidikan di Indonesia. Kantor kami terbuka untuk para mahasiswa yang kerja praktek dan/atau membuat skripsi. Sudah lumayan banyak yang pernah memanfaatkan fasilitas itu diantaranya Universitas Trisakti, Universitas Bina Nusantara, Perbanas, Universitas Muhammadiyah, Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Institut Bisnis Indonesia. Selain itu saya juga aktif di asosiasi APJII (Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia), yang melalui itu juga kontribusi saya dan perusahaan dapat kami berikan. Dampak internet pada keluargaku Tanpa terasa Internet juga berdampak pada keluarga inti saya. Saya dianugerahi anak-anak yang terlahir sehat baik jasmani maupun rohani, sehingga cukup diberi “sentuhan” sedikit saja mereka saya lihat tetap berjalan pada relnya. Diatas semua itu, saya nilai istri saya adalah orang yang luar biasa. Mudah-mudahan Allah memberi pahala yang besar kepada istri dan anak-anak saya. Kami dikaruniai 3 orang anak yang semakin besar. Anak-anak kami tanpa diajari-pun ternyata sudah mencoba dan menggunakan Internet sebagai bagian dari kehidupannya. Teknologi Informasi yang memang saya sukai sejak kuliah, saya sediakan di rumah, sehingga sejak dini anak-anak telah dekat dengan teknologi ini. Di sekolah mereka, rupanya pelajaran komputer sudah diajarkan dan dipraktekkan, sehingga mereka dapat mengikuti mata pelajaran tersebut jauh lebih mudah. Anak-anakku menjadi penulis buku Yang tidak pernah saya lupakan sejak anak-anak kecil, adalah membawa mereka ke toko buku dan pameran-pameran buku. Hampir setiap pameran buku di Jakarta tidak pernah saya lewatkan. Bahkan kadang-kadang saya pulang lebih cepat dari kantor untuk menjemput anak-anak di rumah dan membawanya ke pameran buku. Alhamdulillah mereka ternyata punya minat lumayan besar terhadap buku, dan 2 dari 3 anak saya saat ini telah berhasil menerbitkan buku novel remaja. Keduanya perempuan; yang sulung, Gianti Pradipta, menulis “Joya vs Andien” (April 2005). Si bungsu, Gisantia Bestari, sudah menghasilkan 3 buku: “Cinta Adisty” (Oktober 2004), “Backstreet Aja!” (April 2005), dan “The Real Us” (Februari 2007). Semuanya diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama di bawah seri Teenlit. Sedangkan anak yang tengah, Gilang Bhaskara (laki-laki), menyenangi disain yang dibuat dengan komputer. Sekarang menekuni modifikasi mobil, dan karyanya sudah dimuat 2 kali di Majalah Motor edisi akhir Januari-Februari 2007 dan edisi awal Maret 2007. Bahkan setelah dimuat di majalah untuk pertama kalinya, langsung ada anak sebayanya (kelas 3 SMA) yang memesan disain karena sedang memodifikasi mobilnya di bengkel. Apa boleh buat, ayahnya belum sanggup membelikan mobil betulan untuk dia modifikasi, terpaksa dia baru bisa menuangkan khayalannya saja di layar komputer. Sebelumnya sudah ada karya disainnya ditabalkan di kaos yang dibuat untuk perkumpulan keluarga. Tentang penulis (redaksi buku Kisah Alumni ITB Angkatan 77)
Wahyoe Prawoto adalah alumni Jurusan Teknik Industri. Saat ia menuliskan kisah ini, ia masih menjabat sebagai Direktur Utama Pacific Link. Walaupun sebagai salah seorang praktisi Information dan Communication Technology (ICT), namun Wahyoe masih menulis, menerbitkan dan menyebarkan buletin konvensional dengan nama “Ikahar'76.News”, sebuah buletin tentang kawan- kawan seangkatan eks sekolah SD-SMP-SMA Wahyoe di Medan. Wahyoe juga sangat aktif mengelola sarana komunikasi surat elektronik (mailing list) para alumni ITB angkatan 1977. Mungkin Wahyoe memang sudah ditakdirkan untuk secara ikhlas menghubungkan orang ke orang.
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|