Rasa kehilangan yang panjang dan tak pernah bisa terobati, kembali menyeruak dalam lubuk hatiku. Itu aku rasakan saat melihat posting adinda Haswanda di wall FB nya, yaitu sebuah lukisan foto ibunda dan ayahanda. Memang adikku ini sejak kecil dulu sudah suka sekali menggambar. Bakat melukisnya sudah nampak waktu itu. Dia sangat suka melukis cerita bergambar alias komik. Tidak heran kalau sekarang dia bisa menghasilkan lukisan foto kedua orangtua kami yang begitu mirip dengan foto aslinya. Foto ibu itu mungkin diambil oleh ayah ketika ibu sedang asyik menulis menyiapkan bahan untuk mengajar. Ibu seorang guru bahasa inggris di SMP Muhammadiyah III Plaju. Beliau juga pernah mengajar di SMP Yayasan Bhakti Prabumulih, Sumatera Selatan sebelum pensiun. Sebagai guru, ibu pensiun dari mengajar usia 60 tahun. Adapun ayah seorang karyawan Pertamina dengan jabatan terakhir sebelum pensiun sebagai kepala seksi di bagian teknik perancang proyek Prabumulih tahun 1986. Sebelumnya beliau berkarya di Pertamina Plaju sebagai juru gambar. Sejak kecil saya sering mendengar cerita ibu mengenai murid-muridnya di dalam kelas. Suatu hari kami pernah dikumpulkannya dan beliau memeluk kami erat-erat satu persatu. Kami heran waktu itu ada apa? Ibu menjelaskan bahwa perahu yang ditumpanginya terbalik. Untung ibu selamat. Maklum waktu itu Jembatan Ampera belum dibangun. Ibu pergi dan pulang mengajar naik ferri dari Plaju ke Palembang. Hari itu ibu tidak kebagian naik ferri sehingga pulang dengan menumpang perahu yang kemudian terbalik di tengah Sungai Musi karena ombak dari sebuah kapal besar yang lewat. Ibu aktif sekali semasa mudanya. Selain mengajar, ibu juga menenun baju. Saya sempat kebagian baju hasil tenunannya, sebuah rompi warna coklat. Saya sangat bangga memakainya ke sekolah (masih TK waktu itu). Ibu juga menjahit sendiri pakaian kami. Saya masih ingat sering tidur-tiduran di lantai sambil menunggu ibu menjahit. Ibu selalu menjawab pertanyaan-pertanyaan saya dengan sabar. Saya pernah bertanya Tuhan itu di mana dan ibu menunjuk ke arah sejadah tempat bersujud. Sebuah jawaban yang praktis untuk memuaskan keingintahuan seorang anak, karena pada akhirnya saya juga mengerti tentang sifat-sifat Tuhan setelah beranjak SD. Hobi ibu berkebun. Bukan hanya kebun bunga tetapi juga berbagai keperluan dapur tumbuh subur di halaman rumah kami di kompleks Pertamina Plaju. Saya yang waktu itu masih SD sangat senang memetik buah tomat dan membuatnya menjadi minuman segar setelah dipotong-potong dan diberi gula. Kacang panjang tinggal memetik dan kami makan mentah-mentah, rasanya manis. Begitu juga timun, ada juga cabe, cung kediro (tomat kecil) dan masih banyak lagi. Kami juga sempat punya puluhan ternak ayam kampung dan ayam negeri, bahkan bebek jawa dan bebek serati. Burung merpati kami puluhan ekor. Pernah juga kelinci sampai berjumlah 30 ekor. Asyik betul merawat bayi kelinci sejak belum tumbuh bulu. Kami harus rajin menjaganya dan membantu menyusukan ke induknya. Kalau lengah pernah beberapa ekor bayi kelinci dimangsa kucing. Luar biasa semuanya itu kalau saya pikir-pikir sekarang. Ibu tak kenal lelah membantu adik-adiknya sejak masuk sekolah sampai selesai dan menikah. Hampir semua dari adik-adiknya yang berjumlah 8 orang, beliau yang membantu biaya pendidikan mereka sampai mereka bisa mandiri. Sebagai seorang guru, ibu sangat menyadari pentingnya pendidikan dalam meningkatkan kesejahteraan. Beliau berjuang dengan segenap upaya yang bisa dilakukannya agar adik-adiknya bisa sekolah. Beberapa ada yang mengikuti jejaknya menjadi guru. Pada masa-masa sulit ketika pengaruh PKI masih kuat sampai saat terjadinya percobaan kudeta G30S tahun 1965, kami sempat harus makan bulgur. Saya baru tahu setelah dewasa bahwa bulgur itu adalah makanan ternak kuda. Itulah makanan pengganti nasi waktu itu. Ibu memasaknya sedemikian rupa sehingga kami tetap merasakan nikmat saja makan bulgur waktu itu. Ibu membuat es bungkus untuk dijual ke sekolah-sekolah. Saya bahkan pernah ikut berjualan es bungkus. Tetapi tidak lama karena ibu akhirnya meminta saya hanya mengantarkan es bungkus saja ke warung-warung dan mengambil uang hasil penjualannya. Sayapun ikut membuat es bungkus mulai dari membuat adonannya, memasukkannya dalam kantong plastik kecil-kecil dan diikat pakai karet gelang. Ibu juga membuat kacang goreng untuk dititip ke warung. Saya juga ikut membungkusnya dalam kantong plastik yang mulutnya ditutup dengan cara membakar menggunakan lilin. Kasih ibu memang tak pernah putus. Ketika ibu tinggal bersama kami di Jakarta kadang saya merasa canggung kalau ibu mengungkapkan rasa sayangnya persis seperti waktu saya masih kecil dulu. Ibu masih sering menyesali mengapa dulu tidak mematuhi saran dokter untuk meminum obat yang mengandung kalsium. Beliau merasa saya dulu ketika bayi sering jatuh gara-gara kekurangan kalsium. Ayah seorang yang sangat jarang bicara kecuali kalau dipancing bicara atau kalau ada hal penting sehingga kami kalau berbicara dengan beliau sangat sungkan. Beliau suka membaca dan dikenal teman-temannya sebagai seorang yang berpengetahuan luas. Ayah tempat teman-temannya bertanya segala sesuatu terutama mengenai ilmu pengetahuan. Ayah selalu mendorong saya untuk mengambil inisiatip melakukan sesuatu. Persis seperti seorang atasan saya dulu yang tidak suka menunggu tetapi terus mendorong kami untuk "menjemput bola". Bahasa kerennya adalah berperilaku "proaktif" dan menjauhi perilaku yang "reaktif". Ibu dan ayah begitu bangga ketika saya berhasil menyelesaikan S1 di Teknik Kimia ITB tahun 1983. Saya juga sangat gembira bisa membuat mereka bangga waktu itu. Saya seolah melanjutkan cita-cita ayah yang pernah terhambat untuk menjadi seorang insinyur. Menurut cerita salah seorang teman ayah, memang dulu ketika Pertamina ada program mengirimkan karyawannya yang masih muda-muda untuk mengambil gelar insinyur di ITB, ayah saya termasuk yang dicalonkan. Namun rencana itu batal gara-gara keterlibatan ayah di Gasbiindo, sebuah organisasi karyawan yang dibentuk oleh karyawan muslim untuk menyeimbangkan kekuatan organisasi karyawan sempalan PKI, Perbum (Persatuan Buruh Minyak). Sesudah wisuda, ayah mengajak saya berwisata ke Bengkulu. Ibu tidak bisa ikut karena tugas mengajar. Kami berdua berkunjung menemui saudara ayah di Bengkulu. Sayangnya saya sudah tidak ingat lagi di mana dan siapa yang kami temui waktu itu. Dari sana kami ke Bukittinggi dengan bis antar kota. Terus terang saya tidak mengerti mengapa ke Bukittinggi. Saya juga tidak bertanya waktu itu. Ayah begitu pendiamnya sehingga mungkin sebenarnya banyak hal yang ingin disampaikannya tetapi tidak terucapkan. Hal yang saya tahu, ayah memang punya kenangan masa kecil yang mungkin dia ingin agar saya merasakannya juga melalui perjalanan napak tilas bersama saya ketika itu. Sebuah perjalanan yang sangat berkesan. Begitulah semua ingatan itu terlintas kembali membuat saya terharu sambil menuangkannya dalam tulisan ini. Betapa besar kasih sayang ibu dan ayah kepada kami anak-anaknya. Namun betapa sedikit kami mampu memberikan kasih sayang kami kepada mereka berdua semasa hidupnya. Pantaslah kalau Allah mengingatkan kita semua melalui firman Nya: "Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu-bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia", Al-Isra - 17:23. Beruntunglah teman-teman yang ibu bapaknya masih bersama mereka karena masih mendapat kesempatan menjalankan perintah Allah ini. Sesulit apapun dalam menyantuni mereka berdua, percayalah itu semua tidak akan berlangsung lama dan sangat tidak sebanding dengan apa yang telah ibu-bapak kita korbankan untuk kita dengan tanpa mengharapkan balasan apapun. Mereka cukup merasa senang dan bangga ketika kita bahagia dan sukses dalam hidup kita. Sebaliknya, mereka selalu siap berkorban, menghibur dan menenangkan hati kita manakala kita mendapat kesulitan dan tantangan dalam hidup kita. Yaa Allah..., ampunilah segala dosa dan kesalahan ibu dan ayah kami. Ijinkanlah kelak kami bertemu mereka kembali di surga Mu nan abadi. Yaa Allah, kabulkanlah doa kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Mengabulkan Doa. Aamiin, yaa robbal 'aalamiin. Helfia Nil Chalis.
1 Comment
tien tresniati
6/18/2014 11:04:09 pm
Love your Parents and treat Them with Loving Care...
Reply
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|