Dalam sebuah wawancara di kanal YouTube Gita Wiryawan yang diunggah 10 Desember 2021, Menkeu Sri Mulyani Indrawati (SMI) mengatakan bahwa melonjaknya utang negara,— per 30 September 2021 sudah mencapai Rp6.711,5Triliun,— karena Pemerintah tidak punya pilihan selain menambah utang. Pemerintah harus berutang demi penyelamatan ekonomi di tengah serangan Pandemi Covid-19, kata Menkeu Sri Mulyani.
Meski secara pribadi saya tidak kaget, tetap saja banyak ekonom yang kaget dengan pernyataan SMI itu. Saya tidak kaget karena sudah lama SMI tidak punya gagasan selain menyetak utang baru. Beliau bangga dengan “temuannya” memperkenalkan Indonesia dengan Surat Utang Indonesia (SUN) atau SBN itu, sehingga sudah ketagihan utang dan terbelenggu utang. Pandemi Covid- 19 hanya kambing hitam saja sebab sebelum Pandemi, SMI memang sudah penggemar utang dan menjadikan utang Indonesia lampu kuning kemerah-merahan. Banyak pihak mengingatkan SMI bahwa utang negara menjurus kegagal bayar. Utang itu tidak tabu tapi harus mengukur kemampuan bayarnya. Itulah sebabnya BPK memperingatkan Pemerintah akan bahaya utang dan gagal bayar. Menurut BPK, kenaikan utang telah melampaui kenaikan PDB maupun penerimaan pajak. Situasi ini sebenarnya sudah berlangsung lama dengan tidak ada tanda tanda membaik. Presiden Jokowi mengawali pemerintahannya dengan saldo utang negara Rp2.608Triliun atau 24,7% PDB. Tujuh tahun kemudian, atau akhir September 2021, saldo utang negara Rp6.711,5Triliun atau 41,38% PDB. Artinya telah terjadi kenaikan bersih utang Rp4.103,5Triliun selama 7 tahun atau kenaikan sebesar Rp1,6Triliun perhari termasuk Sabtu, Minggu dan hari libur. Rumah tangga sekalipun akan ambruk bila anggarannya lebih besar pasak dari tiangnya untuk jangka panjang. Secara halus Bank Dunia dan IMF juga acapkali memberikan warningnya lantaran dari berbagai ukuran atau standar utang, Pemerintah memang sudah melampaui batas aman, antara lain International Debt Relief (IDR). Sementara Pemerintah selalu berlindung pada argumentasi bahwa utang negara masih aman terkendali sebab masih dibawah 60% PDB sebagaimana batas maksimal yang diatur dalam UU Keuangan Negara. Sayangnya narasi standar Pemerintah selalu “utang masih aman dan terkendali” tanpa mampu menjelaskan maksudnya, artinya. Kapan mau lunas, bagaimana melunasinya, dari mana sumbernya, tidak ada penjelasannya, tidak ada skemanya. Narasi kosong belaka. Tapi begitulah narasinya selama bertahun tahun, bernada orasi propaganda yang tidak “nyambung” dengan kenyataannya bahkan bertolak belakang. Bila trend utang ini berlangsung terus dan SMI tidak melihat choices lain, sungguh memprihatinkan. Sebab kebijakan yang demikian menggiring keuangan negara ke jurang krisis. So Ibu Sri, yes there are choices. So, don’t worry! Everything will be fine. Pilihan itu adalah mereformasi APBN untuk mengakhiri korupsi dan kebocoran. If you do so, we all are with you. Anggaran kita banyak bocor, boros , mark-up, fiktip, dikorupsi dan belanja yang tidak pada tempatnya. Intinya, tidak efisien, tidak efektif. Jadi sisi belanja harus di reformasi total dan Pemerintah akan mendapatkan penghematan anggaran yang amat besar. Tidak perlu menghentikan pembangunan infrastruktur yang memang penting dan dibutuhkan. Cukup ditertibkan, di review. Perlu nyali sebab reformasi APBN akan mengganggu “rezeki” haram yang sudah biasa mereka nikmati selama bertahun tahun. Kedua, dari sisi penerimaan negara, jangan mengorbankan sumber pendapatan negara untuk yang bersifat konsumtif dan menguntungkan Wajib Pajak/ businessmen besar. Masukan yang ringkas dan sederhana tapi perlu nyali keberanian dan ketegasan untuk melaksanakannya, karena langkah yang diambil akan membuat “mereka” gusar. Siapa “mereka” itu? Mereka adalah yang sedang berkuasa/ bagian dari kekuasaan, maupun yang diluar kekuasaan resmi tapi ikut mengendalikan kekuasaan dan kebijakannya. Dalam bahasa populernya sekarang, mereka adalah oligarki politik dan bisnis yang selama ini sejatinya merongrong. Menkeu SMI harus terbuka melaporkan situasi dan kondisi yang dihadapi kepada Presiden Jokowi. Saya yakin Presiden akan mendukung. Ingatlah bahwa kasus kasus besar yang macet mbulet karena ada kekuatan Mafianya hanya terbongkar atau terselesaikan bila Presiden Jokowi turun tangan memerintahkan jajarannya, terakhir kasus PINJOL. So, reformasi APBN adalah Choice dan dukungan Presiden mutlak di perlukan. Jakarta, 13 Desember 2021 Fuad Bawazier, PhD, mantan Menkeu, pengamat ekonomi.
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|