Akhir 2021 ini Presiden Jokowi memproyeksikan larangan ekspor dan hilirisasi mineral nikel akan menghasilkan pendapatan mencapai US$20 miliar atau sekitar Rp 284 triliun (US$/Rp 14.200). Pernyataan ini diungkap saat memberi sambutan pada Kompas 100 CEO Forum di Istana Negara bulan lalu (18/11/2021). Sambil menyatakan siap melawan gugatan Uni Eropa ke WTO karena melarang ekspor bijih nikel, Presiden “luput” mengungkap, atau tidak sadar bahwa rakyat hanya memperoleh nilai sangat minimalis dari Rp 284 triliun tsb.
Kata Jokowi: "Jangan tarik-tarik kita ke WTO karena kita setop (ekspor nikel). Dengan cara apa pun kita lawan. Sekarang ini lompatan ekspor kita tinggi ini dari (kebijakan) ini. Di bulan Oktober saja, sudah US$ 16,5 miliar. Sampai akhir tahun perkiraan saya bisa sampai US$ 20 miliar, hanya dari kita setop (ekspor) nikel”. Jika larangan ekspor berlaku pula untuk bauksit dan tembaga, maka Indonesia bisa untung US$ 35 miliar. Kata Jokowi: "Kenapa kita lakukan ini? Kita ingin nilai tambah dan menciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya. Mau tidak mau mereka harus inves di Indonesia atau ber-partner dengan kita” (18/11/2021). Kita jelas mendukung pemerintah melawan gugatan UE ke WTO, sebab larangan ekspor bijih tersebut merupakan hak kita sebagai negara berdaulat agar memperoleh manfaat terbesar dari SDA yang dieksploitasi. Dengan program hilirisasi mineral nikel, seperti diurai Presiden Jokowi, Indonesia akan memperoleh minimal empat manfaat utama yaitu membuka peluang masuknya investasi sektor hilir industri nikel (hilirisasi), memperoleh nilai tambah sekitar 10 kali lipat, meraih keuntungan puluhan miliaran US$, dan menciptakan lapangan kerja. Ternyata hilirisasi mineral nikel tidak memberi manfaat terbesar bagi pemilik SDA, yaitu bagi negara dan rakyat. Jika kita mengira negara akan untung besar dari nilai ekpsor US$ 20 miliar yang diklaim Presiden Jokowi tersebut, maka itu hanya halusinasi. Karena berbagai penyelewengan kebijakan dan aturan, yang memperoleh manfaat terbesar adalah para investor, negara China, TKA China dan oligarki kekuasaan. Sehingga wajar jika rakyat dan wakil rakyat menggugat dan menuntut kebijakan pro oligarki tersebut, termasuk klaim keuntungan US$ 2 miliar oleh Presiden Jokowi. Pertama, Presiden mengatakan hilirisasi bijih nikel menjadi produk ekspor memberi nilai tambah 10 kali lipat. Ternyata mayoritas produk puluhan smelter China di Indonesia hanyalah hasil pemurnian yang menghasilkan barang setengah jadi. Proses hilirisasi belum sampai ke proses forming dan fabrikasi guna menghasilkan produk siap pakai. Hal ini terjadi karena di satu sisi komitmen pemerintah rendah, dan disi lain karena dominannya peran China dan investor China yang menentukan “level” hilirisasi yang dapat diraih Indonesia. China mendikte Indonesia sesuai target produk akhir yang diinginkan, teknologi dan pasar yang dikuasai, serta dana yang dimiliki. Jika oknum-oknum pejabat dan konglomerat Indonesia mengikuti saja kemauan China ini, atau malah ikut berkolaborasi dan memanipulasi peraturan, maka target ideal nilai tambah hilirisasi nikel hingga 19 kali lipat hanya utopia. Karena itu, nilai tambah/pengganda yang diperoleh Indonesia hanyalah sekitar 3-4 kali saja, bukan 10 kali lipat seperti diumbar oleh Presiden Jokowi. Nilai ini telah dikonfirmasi oleh LPEM-UI (2019). Faktanya, mayoritas produk smelter nikel Indonesia adalah berupa Nickel Pig Iron (NPI), Nickel Matte, Ferro Nickel dan Nickel Hidroxite, serta sedikit hasil “forming” berupa stainless still. Karena masih jauh dari siap pakai, produk-produk ini diekpsor ke China untuk proses fabrikasi. Sesuai target yang ingin diraih China, proses hilirisasi maksimal hingga mencapai nilai tambah 19 kali, hanya terjadi di China. Hasil produksi hilirisasi di China ini menyebar ke seluruh dunia, termasuk diimpor kembali ke Indonesia sebagai bahan jadi. Kedua, ternyata nilai tambah tangible 3-4 kali yang sudah rendah ini pun sebagian besar tidak masuk menjadi pajak atau PNBP, tetapi justru lebih banyak dinikmati China, investor China, konglomerat, dan TKA China. Sebab para investor smelter memperoleh berbagai insentif berupa: 1) Bea Masuk 0% (karena mekanisme Master Lists); 2) Royalti 0% (sebagai pemegang IUI, bukan IUP); 3) Tax Holiday selama 7-10 tahun; 4) PPN (VAT) 0%; 5) Pajak Ekspor 0%; 6) dan bebas dari PPH-21, Iuran Izin Tinggal Terbatas (ITAS) dan Dana Kompensasi Penggunaan TKA (DKPTKA) karena TKA China menggunakan visa kunjungan 211 (bukan visa kerja 311). Berbagai insentif pajak dan fiskal terhadap proses “seperempat hilirisasi” pada dasarnya memang telah “didukung” oleh berbagai aturan yang terbit guna “menggalakkan investasi”, sekaligus guna mendukung kepentingan oligarki. Sebagai contoh, untuk ekspor NPI dan Ferro Nickel dari Indonesia ke China, ternyata negara tidak memperoleh pajak karena pajak ekspor 0%, PPh 0% (karena insentif tax holiday) dan pemilik smelter tak perlu membayar PPN (VAT). Sedangkan negara China menikmati VAT sekitar 13%. Karena itu, penerimaan negara dari klaim keuntungan hilirisasi nikel yang oleh Presiden Jokowi disebutkan sebesar Rp 284 triliun (US$ 20 miliar) menjadi sangat minimalis. Negara diperkirakan hanya mendapat pemasukan dari pembayaran royalti, PBB dan iuran tetap, yang yang jumlahnya sebenarnya sama besar dengan pemasukan tanpa program hilirisasi! Sehingga, secara keseluruhan, diperkirakan negara hanya akan memperoleh pemasukan sekitar Rp 10 triliun hingga Rp 15 triliun saja. Keuntungan terbesar justru dinikmati China, investror China, TKA China dan para anggota oligarki. Ketiga, nilai tambah intangible program hilirisasi berupa kesempatan kerja ternyata tidak pula dapat dinikmati rakyat Indonesia secara adil dan berdaulat. Para investor China, taipan dan oknum-oknum pejabat pemerintah justru memilih mempekerjakan TKA China yang hanya lulusan SD, SMP dan SMA untuk menjadi buruh kasar dibanding pribumi. Apalagi jika yang dibutuhkan adalah pekerja terampil/skilled. Maka kesempatan kerja tersebut pasti jatuh kepada TKA China. Kondisi berbeda hanya yang terjadi pada Antam (BUMN), Vale dan segelintir smelter investor domestik yang mayoritas pekerjanya adalah tenaga kerja domestik. IRESS memiliki data tentang smelter China yang mayoritas pekejanya adalah TKA China. Misalnya, Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) mempekerjakan ribuan TKA China yang latar pendidikannya hanyalah SD 8%, SMP 39% dan SMA 44%. Sedangkan smelter Obsidian Stainless Steel (OSS) juga mempekerjakan ribuan TKA China berijazah SD 23%, SMP 31% dan SMA 25%. Hanya 1 dari 608 orang (0,1%) TKA di VDNI dan 23 dari 1167 orang TKA di OSS yang memiliki pengalaman diatas 5 tahun sesuai peraturan pemerintah! Menurut Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), pada akhir 2020 terdapat 25 smelter nikel yang beroperasi di Indonesia. Mayoritas pemilik smelter adalah investor China dan sebagian kecil berkolaborasi dengan konglomerat dan pengusaha lokal. Adapun buruh yang dipekerjakan pada mayoritas smelter tersebut adalah sama seperti yang terjadi pada VDNI dan OSS, yakni mayoritas pekerja adalah TKA China dan kualifikasi pendidikannya pun rendah. Jumlah TKA China yang bekerja di lebih dari 85% smelter nikel di Indonesia lebih besar dibanding pekerja lokal/pribumi. Merujuk pada pernyataan Presiden Jokowi bahwa larangan ekspor bijih nikel dilakukan agar lapangan kerja terbuka luas, ternyata lapangan kerja yang luas tersebut, oleh Pemerintahn Jokowi lebih diprioritaskan untuk TKA China! Ternyata, sudahlah kualifikasi pendidikannya rendah, ternyata para TKA China ini memperoleh gaji lebih besar sekitar 3 hingga 4 kali lipat dibanding gaji yang diterima tenaga kerja bangsa sendiri. Disamping melanggar berbagai peraturan berlaku, kondisi diskriminatif yang sarat manipulasi ini jelas merendahkan kedaulatan dan martabat bangsa sendiri. Hilirisasi merupakan hak kita sebagai negara berdaulat demi kesejahteraan rakyat. Namun, terkait berbagai manfaat yang diklaim Presiden Jokowi, kita pantas menggugat. Hilirisasi yang terjadi masih jauh dari kondisi ideal dan konstitusional. Nilai tambah justru lebih banyak dinikmati China dan investor China. Begitu pula klaim keuntungan sebesar US$ 20 miliar. Negara hanya memperoleh bagian sangat kecil, sebab untung terbesar justru menjadi milik China, investror China, TKA China dan para taipan oligarkis. Adapun klaim lapangan kerja, yang menikmati lebih banyak justru TKA China yang bebas masuk dengan berbagai fasilitas melanggar aturan, termasuk saat pandemi. Kita tidak tahu apakah Presiden Jokowi paham dengan apa yang terjadi dalam pelaksanaan hilirisasi mineral nikel dan juga atas klaim “untung” US$ 20 miliar yang digembar-gemborkan. Minimal tulisan ini ingin memberi pemahaman tentang situasi, kondisi dan informasi yang sebenarnya, serta menjelaskan klaim tersebut sebagian besar tidak valid dan dapat dinilai sarat pencitraan. Tidak seharusnya publik disuguhi halusinasi dan klaim berlebihan, padahal negara hanya mendapat bagian sangat minimalis. Bahkan SDA negara dan hak rakyat untuk bekerja pun telah dirampok atas nama program hilirisasi, investasi dan pembukaan lapangan kerja! Jakarta, 15 Desember 2021.
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|