Oleh Alief Bakhtiar Seri tulisan ini adalah cuplikan dari buku Alief Bakhtiar "Mutiara Kehidupan Berbalut Salju" yang bercerita tentang pengalamannya ketika bertugas di Hammerfest - Norwegia sewaktu masih bekerja di Seksi Laboratorium Badak LNG, Bontang, Kalimantan Timur. Bersama Tim Badak LNG ketika itu Alief ditugaskan bersama-sama Tim start-up pabrik LNG di Hammerfest - Norwegia. Berbagai kisah menarik kiranya sangat penting agar kita sebagai satu bangsa bisa belajar dari bangsa lain yang sudah lebih maju budayanya. Saya akan menerbitkan tulisan Alief ini dalam beberapa seri. Semoga bermanfaat. Helfia Nil Chalis. Bisnis Internet. Helfia Store. KISAH – 16, TANPA LAMPU MERAH Pernahkah anda berkunjung ke sebuah kota baik di Indonesia atau di luar negeri, dimana tidak ada lampu pengatur lalu lintas sama sekali ? Aku hanya membayangkan bagaimana akan semrawutnya mobil, motor, bis, sepeda, becak atau bahkan pejalan kaki tanpa adanya lampu pengatur lalu lintas. Pastilah di setiap tikungan akan terjadi kemacetan yang parah. Makanya tidak heran, adanya kerusuhan massal, pertengkaran atau perkelahian sering terjadi di jalan raya. Masing – masing pengendara kendaraan ingin saling mendahului satu sama lain, tidak ada yang mau bersabar dan memberikan kesempatan orang lain untuk lewat. Singkatnya, pasti banyak kecelakaan atau kekacauan terjadi di jalan raya, kalau tidak ada lampu pengatur lalu lintas. Masih lumayan kalau polisi lalu lintas mau terus menerus ada di jalan raya, paling tidak kemacetan atau kekacauan di jalan bisa sebagian diatasi. Kalau tidak, bisa dibayangkan sendiri, apa yang akan terjadi di jalan raya, tanpa adanya lampu pengatur lalu lintas.
Kalau kita ngomong, kondisi lalu lintas di Jakarta atau kota – kota metropolitan di tanah air, ada sebuah ironi. Ironinya adalah kadang lampu lalu lintas sudah menyala hijau, berarti kendaraan kita sudah boleh jalan. Tapi faktanya, tidak bisa langsung jalan alias macet. Bagaimana tidak macet, karena banyak kendaraan di perempatan, dimana lampu lalu lintasnya merah, tetap saja menerobos jalan. Sungguh tidak mudah membuat masyarakat untuk tertib dalam berlalu lintas. Aku akui bahwa sejak kecil, tidak pernah diajarkan tentang tertib berlalu lintas baik di rumah atau di sekolah. Begitu dewasa, aku cuma tahu arti lampu lalu lintas, merah, kuning dan hijau serta sedikit simbol – simbol lalu lintas di jalan. Memang sebaiknya, kita sebagai orang tua dan guru di sekolah, secara perlahan – lahan, terus menerus memberikan contoh dan penjelasan tentang tertib berlalu lintas di jalan. Tujuannya, cuma satu, yaitu kita akan terbiasa untuk selalu tertib dalam berlalu lintas di jalan raya, yang sebenarnya bukan jalan milik kita saja, tapi juga milik orang lain. Masalah berlalu lintas sebenarnya adalah masalah budaya. Budaya untuk mau tertib mengikuti aturan yang ditetapkan dan menghormati pengendara kendaraan yang lain termasuk pejalan kaki. Kalau di tanah air, kita harus menambahkan penghormatan kita terhadap pedagang dan pengemis di lampu lalu lintas atau di perempatan jalan. Selama bangsa kita, mayoritas penduduknya tidak mau tertib untuk mengikuti aturan yang ditetapkan, maka kemacetan yang parah pasti akan terjadi dimana – dimana, tidak hanya di kota metropolitan, di kota besar bahkan di kota – kota kecil di Indonesia. Apalagi kota itu adalah salah satu kota tujuan wisata, pasti akan macet terutama hari – hari libur. Karena itu, budaya tertib berlalu lintas tidak serta merta tumbuh dengan sendirinya, harus ada pembinaan secara terus menerus sejak kecil hingga dewasa. Aku sungguh kagum dengan kota Hammerfest, yang ukuran kotanya, kalau di Indonesia, mungkin termasuk kota sedang. Kalau di tanah air, jangankan kota sedang, kota kecilpun pasti punya lampu lalu lintas. Kondisi ini berbeda dengan Hammerfest, sama sekali, aku belum menemui sebuah lampu lalu lintas satu pun. Aku sebenarnya juga heran, kenapa tidak ada lampu lalu lintas di Hammerfest padahal jumlah mobil, bis, sepeda motor dan sepeda termasuk pejalan kaki cukup banyak jumlahnya. Jawabannya baru aku tahu setelah hampir sebulan aku tinggal di Hammerfest. Hampir setiap hari libur, sabtu dan minggu, aku jalan – jalan atau naik bis ke pusat kota Hammerfest. Kuperhatikan, kalau ada orang mau menyeberang jalan maka mobil yang akan berhenti pada jarak sekitar 10 m dari orang yang mau menyeberang itu, agar memberi kesempatan kepada pejalan kaki untuk bisa menyeberang jalan. Mobil atau motor yang lewat juga sepertinya mengikuti batas kecepatan yang ditentukan oleh rambu – rambu lalu lintas yang ada di jalan. Mobil atau kendaraan yang akan belok di setiap perempatan, pasti akan berhenti dulu. Setelah melihat sebelah kanan dan kirinya aman dari kendaraan lain yang lewat, barulah mobil atau kendaraan itu berjalan lagi untuk membelok. Mobil yang satu dengan mobil yang lain tidak ada yang saling menyalip, kecuali mobil di depannya berhenti atau belok ke jalan lain. Para pengendara mobil atau kendaraan di Hammerfest seperti berlomba – lomba untuk memberikan kesempatan orang lain untuk lewat dengan aman. Selama aku tinggal di Hammerfest lebih dari 6 bulan, belum pernah aku mendapatkan berita ada kecelakaan mobil atau kendaraan disana. Sekali lagi, aku kadang hanya termangu – mangu di pinggir jalan, sambil bertanya dalam hati, kenapa lalu lintas di Hammerfest bisa sedemikian tertib tanpa adanya lampu pengatur lalu lintas, yang merah, hijau dan kuning itu. Satu hal yang aku tidak pernah dengar di jalan raya Hammerfest ketika aku jalan – jalan atau naik bis di kota Hammerfest. Apa itu, yakni bunyi suara klakson mobil atau motor. Bukankah di tanah air, bunyi klakson mobil atau motor hampir selalu ada di jalan – jalan yang kita lalui. Rupanya, orang – orang di Hammerfest sedemikian hati – hatinya, jangan sampai membuat pengendara lain kaget atau merasa terganggu akibat klakson mobil atau motor kita. Kalau kita di tanah air, terlambat sedikit saja jalan, kalau lampu lalu lintas sudah hijau, maka klakson akan bertubi – tubi ditujukan ke kita. Aku tersenyum kalau mengingat hal ini, bisa kita bayangkan, bahwa sebenarnya klakson mobil tidak diperlukan lagi kalau kita tinggal di Hammerfest. Karena itu, wajar saja, berdasarkan survei tahun 2010 di sebuah surat kabar nasional, Norwegia merupakan negara yang paling aman dan nyaman untuk tinggal. Sikap untuk saling menghormati privasi orang lain sangat tinggi termasuk berlaku sopan santun di jalan raya. Saya juga mendengar bahwa memang penegakan hukum lalu lintas di Norwegia sangat kuat. Kalau kita mengendarai mobil atau motor, sampai menabrak orang maka SIM (Surat Ijin Mengemudi) kita akan dicabut oleh polisi dan seumur hidup, kita tidak akan bisa lagi memperoleh SIM. Artinya, seumur hidup, kita tidak bisa lagi mengendarai mobil atau motor kita karena kita tidak punya SIM. Selain itu, kalau kita melakukan banyak pelanggaran lalu lintas, maka dendanya akan dikumpulkan semua di kantor polisi. Denda itu harus dibayar kalau kita harus mengurus penggantian STNK (Surat Tanda Nomor Kendaraan) atau SIM. Bisa saja kita bayangkan, berapa banyak denda yang harus dibayar selama 5 tahun sesuai umur STNK kendaraan kita, kalau misalnya hampir tiap hari kita melanggar peraturan lalu lintas. Kalau kita melanggar peraturan lalu lintas di tanah air, maka masih banyak mendengar cerita bahwa pembayaran dendanya bisa diatur dengan petugas polisi di jalan raya. Benar atau tidak, mungkin hanya kita masing – masing yang tahu. Kemudian apakah uang denda itu, masuk ke kas negara atau tidak, kita juga tidak tahu. Sebenarnya UU (Undang – Undang) Lalu Lintas atau Peraturan Pemerintah tentang Tertib Lalu Lintas sudah bagus isinya. Namun, implementasi UU atau Peraturan Pemerintah itu kadang masih sangat lemah di lapangan. Para sopir bis yang ugal – ugalan di jalan raya, jarang sekali yang ditindak oleh polisi atau kalau perlu, ditangkap dan dijebloskan ke penjara. Karena sopir yang ugal – ugalan itulah, angka kematian di tanah air akibat kecelakan lalu lintas menjadi nomor 2 setelah penyakit jantung. Hukuman atas pelanggaran lalu lintas oleh polisi atau hakim di pengadilan jarang sekali memberikan efek jera buat pengemudi yang nakal. Kalau sudah begini, apakah masyarakat salah kalau kemudian memberikan hukuman atau main hakim sendiri untuk pengemudi bis atau truk yang ugal – ugalan, yang sering menabrak orang lain yang menyeberang jalan atau naik motor misalnya ?
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|