Oleh Alief Bakhtiar Seri tulisan ini adalah cuplikan dari buku Alief Bakhtiar "Mutiara Kehidupan Berbalut Salju" yang bercerita tentang pengalamannya ketika bertugas di Hammerfest - Norwegia sewaktu masih bekerja di Seksi Laboratorium Badak LNG, Bontang, Kalimantan Timur. Bersama Tim Badak LNG ketika itu Alief ditugaskan bersama-sama Tim start-up pabrik LNG di Hammerfest - Norwegia. Berbagai kisah menarik kiranya sangat penting agar kita sebagai satu bangsa bisa belajar dari bangsa lain yang sudah lebih maju budayanya. Saya akan menerbitkan tulisan Alief ini dalam beberapa seri. Semoga bermanfaat. Helfia Nil Chalis. Bisnis Internet. Helfia Store. KISAH - 18, SEBUAH KEMANDIRIAN WANITA Sebuah pertanyaan sederhana, sebagai awal cerita ini. Adakah manusia di dunia ini, yang tidak suka ditolong orang lain ? Jawabannya, pastilah banyak. Dengan berbagai alasan, mereka menolak ditolong oleh orang lain. Kenapa menolak pertolongan orang lain, salah satu alasannya adalah soal kemandirian. Mereka ingin mandiri atau belajar mandiri untuk mengatasi kesulitan dalam kehidupannya. Kita semua akan setuju bahwa kita akan merasa puas bila kita mampu menyelesaikan semua masalah kita sendiri, kalau perlu tanpa bantuan orang lain.
Pengalamanku bekerja di LNG Hammerfest, menolong orang lain dalam bekerja adalah sesuatu, yang kadang sulit buatku. Khususnya menolong atau membantu pekerjaan wanita sebagai rekan kerjaku, yang notabene warga Norwegia. Banyak kejadian yang membuat aku, kadang geleng – geleng kepala, kenapa wanita – wanita rekan kerjaku sulit menerima bantuanku. Mereka sepertinya ingin menunjukkan kemandirian mereka sebagai wanita. Apa yang laki – laki bisa lakukan, maka wanita-pun pasti bisa melakukannya. Ada sebuah cerita saat aku kerja di LNG Hammerfest bersama salah satu temanku dari Indonesia. Sebut saja namanya Amin. Kebetulan waktu itu, kami berdua ingin mengambil sampel di LNG Plant (kilang LNG). Setelah sampai pada unit pengolah LPG, Amin melihat ada seorang insinyur wanita, entah warga negara Norwegia atau Jerman, tengah kesulitan membuka sebuah valve memakai kunci Inggris. Insting Amin segera berkata, wanita ini pasti perlu bantuan. Kemudian didatanginya wanita itu, dengan tanpa basa basi, Amin langsung menawarkan diri untuk membantu wanita itu. Pikirnya, wanita itu pasti dengan senang hati untuk menerima bantuannya. Ternyata, jawaban yang diterima oleh Amin dari wanita itu sangat mengecewakan. Wanita itu mengatakan kepada Amin, ”Apakah kamu lebih mampu dari saya, kok mau membantu saya ?”. Mendengar jawaban itu, sontak Amin kaget dan minta maaf kepada wanita itu. Sambil bersungut – sungut, Amin berkata padaku, ”Bagaimana sih wanita itu, mau dibantu kok malah sepertinya marah alias nggak mau ?”. Kujawab saja komentar Amin itu, ”Ya, mungkin saja, wanita itu tidak ingin dianggap tidak mampu atau lemah, sehingga ia ingin menyelesaikan kesulitannya sendiri”. Aku juga pernah mengalami peristiwa seperti yang dialami oleh Amin. Hanya saja peristiwanya terjadi di dalam Laboratorium. Saat itu, temanku, yang bernama Kristel, akan melakukan pengukuran kandungan air dalam gas alam di kilang LNG dengan alat Cermax IS. Alat ini cukup berat, mungkin hampir 4 kg. Kalau aku yang melakukan pengukuran, biasanya hanya aku bawa satu saja. Karena selain alat itu, aku harus juga membawa banyak peralatan lain seperti kunci – kunci, konektor dll, yang juga cukup berat. Tapi, Kristel, sepertinya tidak cukup membawa satu alat Cermax IS saja, dia akan membawa 2 alat sekaligus. Aku langsung berpikir, apakah Kristel mampu membawa 2 alat tsb ke kilang LNG. Aku tahu, jalan dari Laboratorium ke kilang LNG itu, naik turun dan cukup jauh kalau jalan kaki. Aku secara spontan menawarkan bantuan kepadanya, untuk ikut membawakan alat Cermax IS yang satunya, tetapi dengan halus dia menolaknya. Kristel mencoba meyakinkanku bahwa dia bisa mengerjakannya sendiri, tanpa bantuan dariku. Ada cerita lain yang membuatku tersenyum, kalau mengingatnya lagi. Aku suka bermain sepak bola sejak kecil. Makanya, ketika ada tawaran main bola bersama dengan teman – teman Laboratorium, aku dengan senang hati menerimanya. Temanku, Trine Sommerland, berjanji menjemputku malam nanti untuk main bola di lapangan bola tertutup atau indoor. Kalau aku ingat, model lapangannya seperti lapangan futsal di tanah air. Tepat jam 7 malam, Trine menjemputku dari Dormitori atau asramaku, menuju ke lapangan bola. Sampai di lapangan bola, aku sebenarnya agak terkejut karena ternyata yang akan main bola lebih banyak wanitanya, dibandingkan laki - lakinya. Aku coba bertanya kepada Trine, ”Apakah wanita – wanita ini akan main bola semua ?”. Dengan singkat Trine menjawab, ”Iya. Mereka itu teman – teman kita main bola malam ini”. Aku hanya berpikir, apakah mereka mampu main bola bersama – sama kita, yang notabene laki – laki. Baru kemudian aku juga tahu bahwa main bola di Hammerfest ini, antara laki – laki dan perempuannya campur. Aku berpikir, hampir saja aku membatalkan main bola kalau tidak Trine membujukku agar jangan sampai mundur atau tidak jadi main bola malam ini. Terus terang, baru kali ini, aku akan main bola dengan wanita. Aku rasanya jadi kikuk sekali. Sebelum dimulai pertandingan, maka dilakukan pembagian regu. Kita semua yang datang malam itu, dibagi 2 regu, dimana masing – masing regu terdiri dari 6 orang. Tiap regu terdiri dari pemain laki – laki dan wanita. Sayangnya, jumlah pemain wanita dalam regu lawanku, agak lebih banyak atau dengan kata lain, reguku agak lebih banyak laki – lakinya. Kemudian aku menawarkan diri untuk pindah ke regu lawanku agar sedikit berimbang jumlah laki – laki dan wanita dari kedua regu ini. Namun diluar perkiraanku sama sekali, tawaran ini ditolak sama sekali oleh semua wanita di regu lawanku. Tanpa kusadari, bahwa sebenarnya aku sudah meremehkan kemampuan wanita – wanita itu dalam bermain bola. Padahal mereka yakin bisa mengimbangi permainan laki – laki walaupun mereka wanita. Dan terbukti, ketika kita sudah mulai main bola, para wanita itu bisa lari kencang seperti halnya kita lelaki. Para wanita itu juga, mampu menendang bola dengan keras seperti laki – laki. Jujur kukatakan bahwa sebenarnya aku sangat kelelahan melawan para wanita itu, yang sepertinya tidak pernah merasa capai selama 1 jam bermain bola. Hebatnya, regu lawanku, yang notabene lebih banyak wanitanya, malah menang, bisa mengalahkan regu kita, yang lebih banyak laki – lakinya. Sekali lagi, cerita ini membuktikan bahwa kemandirian wanita sangat kuat di Hammerfest, mereka tidak mudah menyerah dengan keadaan atau kesulitan yang dialaminya. Kalau kita bilang, secara fisik, wanita itu lebih lemah dari laki – laki, ternyata pengalamanku main bola malam itu, menunjukkan bahwa wanita Hammerfest tidak kalah kemampuan fisiknya dibandingkan laki – lakinya. Mereka, para wanita, mampu menunjukkan bahwa mereka bukanlah makhluk Allah SWT yang pantas dikasihani. Mereka punya potensi yang sama dengan laki – laki untuk maju dan berkembang, menyelesaikan semua persoalan hidup yang ada di dunia. Kondisi ini memang cukup berbeda di tanah air. Memang banyak wanita tangguh di tanah air, yang prestasi mereka, bisa mengalahkan kemampuan laki – laki pada umumnya. Hanya saja, mungkin jumlahnya masih belum banyak seperti halnya di Norwegia. Wanita di tanah air, lebih dicitrakan sebagai makhluk Allah SWT yang feminim, lemah lembut dan kadang harus selalu dikasihani oleh para laki – laki. Hal ini tentu saja baik namun kadang akan sangat menghambat kemajuan dari para wanita di tanah air. Para wanita menjadi sangat tergantung kepada laki – laki. Kalau tidak, malah kadang jadi obyek penindasan oleh laki – laki. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) oleh suami kepada istrinya, sebenarnya lebih dikarenakan wanita terlalu dianggap lemah oleh suaminya. Kalau para wanita di tanah air mampu membuktikan dirinya bahwa mereka tidak lemah secara mental dan fisik, tentunya tidak banyak suami berani melakukan KDRT terhadap istrinya. Kita tahu bahwa jumlah penduduk laki – laki dan wanita di Indonesia hampir imbang. Karena itu, para wanita ini mempunyai peranan yang besar untuk bisa memajukan keluarganya dan tentu saja, bangsa kita. Para wanita sudah semestinya berusaha mempunyai kemampuan fisik dan ruhani yang kuat seperti halnya laki – laki. Para wanita harus juga punya ilmu yang mumpuni seperti halnya laki – laki. Kalau ini semua bisa terjadi di tanah air, tentunya bangsa kita tidak usah menunggu terlalu lama lagi untuk bisa menjadi bangsa yang maju seperti Norwegia. Para wanita dan laki – laki bisa secara sejajar dan bersama – sama berjuang memajukan keluarganya dan bangsanya. Di Hammerfest, sepertinya tidak ada pekerjaan laki – laki yang tidak bisa dilakukan oleh wanita, baik pekerjaan itu perlu kemampuan fisik yang kuat atau keilmuan yang mumpuni. Tentu saja, ada hal – hal yang sudah menjadi kodrat seorang wanita seperti mengandung dan melahirkan anak, lebih sensitif perasaannya dsb. Namun semuanya itu, janganlah terlalu dijadikan kendala untuk bisa hidup maju seperti halnya kebanyakan laki – laki.
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|