Oleh Alief Bakhtiar Seri tulisan ini adalah cuplikan dari buku Alief Bakhtiar "Mutiara Kehidupan Berbalut Salju" yang bercerita tentang pengalamannya ketika bertugas di Hammerfest - Norwegia sewaktu masih bekerja di Seksi Laboratorium Badak LNG, Bontang, Kalimantan Timur. Bersama Tim Badak LNG ketika itu Alief ditugaskan bersama-sama Tim start-up pabrik LNG di Hammerfest - Norwegia. Berbagai kisah menarik kiranya sangat penting agar kita sebagai satu bangsa bisa belajar dari bangsa lain yang sudah lebih maju budayanya. Saya akan menerbitkan tulisan Alief ini dalam beberapa seri. Semoga bermanfaat. Helfia Nil Chalis. Ayo Mencari Uang di Internet. KISAH - 6, SANG SOPIR BIS Salah satu kegiatan yang sangat menyenangkan saat hari libur, Sabtu dan Minggu adalah rekreasi ke tempat wisata di sekitar Hammerfest. Perusahaan menyediakan fasilitas bis eksekutif untuk rekreasi kepada seluruh karyawan beserta keluarganya setiap minggu. Memang tidak gratis, tapi harga tiket bisnya sangat murah dan kita sebagai karyawan, hanya membayar separoh dari harga tiket itu. Pertama kali perjalanan wisata yang aku ikuti adalah pergi ke perkampungan wisata Rumah Sammy (Sammy House). Perkampungan ini terletak di perbatasan antara Norwegia dan Finlandia. Jaraknya kutaksir dari Hammerfest sekitar 120 - 130 km karena akan ditempuh dengan bis selama kurang lebih 2 jam. Sammy adalah nama penduduk asli Norwegia jaman dulu, dan keturunannya terus berkembang sampai sekarang di Norwegia. Karena rekreasi ke Sammy House akan dilakukan pada hari Sabtu, maka hari Jumat, aku membeli tiket bis 2 buah, untukku dan istriku. Selain kami berdua, ketiga teman Indonesiaku juga membeli tiket bis yang sama. Terbayang olehku, besok, hari Sabtu, aku akan melihat seperti apa sebenarnya penduduk asli Norwegia. Aku bertanya dalam hati, ”Apakah mereka juga, secara fisik, sama dengan teman - teman Norwegiaku di Hammerfest?”. Aku juga sangat ingin tahu tentang bagaimana kebudayaan asli Norwegia jaman dulu. Maklumlah, saat ini, Norwegia telah menjadi bangsa yang maju dan mempunyai kehidupan sehari - hari yang sangat modern. Hari Sabtu, tepat jam 7 pagi, bis wisata sudah menjemputku di depan Dormitory, tempat aku dan istriku tinggal di Hammerfest. Aku gembira karena bisnya datang tepat waktu sesuai rencana. Ada hal yang agak lucu, ketika kami semuanya naik bis. Kulihat teman - teman Norwegia-ku, yang sudah naik duluan, mengambil tempat duduk di belakang semua. Sedangkan, aku, istriku, dan ketiga temanku, tanpa pikir panjang, langsung duduk di bangku kosong bagian depan. Hati kecilku bertanya, kenapa teman - teman Norwegia-ku yang naik duluan dari kita, tidak duduk di bangku depan atau bangku tengah. Selidik punya selidik, ternyata mereka merasa nyaman duduk di belakang karena alasan keselamatan. Jelas saja, kalau terjadi kecelakaan, misalnya tabrakan, penumpang yang duduk di depan akan punya resiko yang tinggi, untuk mengalami cidera. Tapi buat kita semua yang dari Indonesia, rasanya lebih nyaman duduk di depan, karena bisa langsung melihat jalanan di depan. Tentang keselamatan, bukanlah jadi prioritas utama, mungkin akan jadi faktor kesekian! Setelah bis mulai berjalan, kunikmati pemandangan yang elok seputaran Hammerfest, laut dan gunung batu yang indah serta beraneka macam model rumah penduduk Norwegia. Rumah mereka, selalu punya warna cat yang cerah, jendela - jendela yang selalu ada bunga dan lampu di sisi dalamnya, termasuk garasi mobil yang unik. Jalannya bis juga cukup pelan, sekitar 60 km/jam, dengan jalanan yang mulus, membuat jadi mengantuk. Setelah melewati beberapa terowongan, aku tak tahan, akhirnya mulai tertidur. Orang Norwegia memang hebat dalam hal membuat terowongan. Gunung - gunung batu cadas, kemudian dibor dan dibuat terowongan yang nyaman untuk dilewati kendaraan. Bagian dalam terowongannya dibiarkan begitu saja, tanpa dirombak atau dipoles lagi, sehingga nampak alur - alur batuan aslinya. Indah sekali kelihatannya. Entah berapa lama, aku tertidur tapi sepertinya tidak lama, mungkin 15 menit. Kulihat bis memasuki jalan yang lurus, lebar, mulus sekali dan tidak ada kendaraan lainnya. Tanpa sengaja, kulihat plang pembatasan kecepatan mobil yang melewati jalan ini. Kecepatan maksimum mobil yang diperbolehkan adalah 60 km/jam. Aku coba melihat speedometer bis yang aku tumpangi, ternyata bis berjalan dengan kecepatan persis 60 km/jam. Aku mengira mungkin bis ini, akan nambah kecepatannya melebihi 60 km/jam, supaya cepat sampai ke tujuan. Karena kulihat jalannya lebar dan lenggang sekali, tidak ada mobil lainnya, yang lewat. Kuperhatikan hampir 30 menit, sopir bis tetap tenang saja menjalankan bis dengan kecepatan 60 km/jam. Kulihat sekelilingku dalam bis, rupanya teman - temanku juga pada tertidur. Memang enak sekali naik bis, kalau sopirnya bisa mematuhi batas kecepatan yang ditentukan, tidak ugal - ugalan. Kekagumanku akan kepatuhan sopir bis ini untuk mematuhi peraturan lalu lintas, ternyata tak berhenti sampai disini. Selang 10 menit kemudian, di depan bis ada mobil sedan, yang kecepatannya mungkin sekitar 50 km/jam. Rasanya sebagai penumpang, aku jadi nggak sabar agar sopir bis segera menyalip saja sedan itu. Tapi dugaanku, sekali lagi, ternyata salah. Kupikir mobil sedan itu, pasti akan segera disalip oleh bis. Justru bis yang mengurangi kecepatannya, dan mengikuti sedan itu pada jarak yang aman. Walaupun jalan sepi dan tidak ada rambu larangan menyalip kendaraan, sopir bis tidak mau menyalip mobil di depannya. Baru sampai akhirnya, mobil sedan belok ke kiri, bis ini menjadi sendirian lagi di jalan raya. Luar biasa sabarnya, sopir bis ini. Kalau kulihat, sopir bis ini masih muda, tapi emosinya di jalan raya, demikian bagus terkontrol. Kadang kala anak muda, kalau lagi di jalan raya, apalagi seperti jalannya bagus mulus, maunya jadi seperti pembalap. Ujung – ujungnya, kebut - kebutan di jalan raya dan terjadi kecelakaan lalu lintas. Sambil menikmati pemandangan pantai nan biru di sepanjang jalan yang lurus ini, kembali terbayang semrawutnya lalu lintas di tanah air. Kubayangkan kalau separo saja, sopir angkutan umum dan mobil pribadi, mau tertib sesuai aturan lalu lintas, mestinya Jakarta tidak akan semacet seperti sekarang. Pengendara motor juga mau dengan sadar ikut tertib berlalu lintas, rasanya enak sekali naik kendaraan di tanah air. Faktanya di tanah air, sopir yang ugal - ugalan, pengendara motor yang tidak sabaran, jalan tol dijadikan arena balap mobil dan tidak adanya rasa saling menghormati sesama kendaraan. Lebaran tahun ini, 2010 di tanah air, aku baca di running text Metro TV, jumlah kecelakaan sebelum dan sesudah lebaran, lebih dari 1200 kecelakaan. Korban meninggalnya lebih dari 200 orang. Ini sungguh angka fantastis, menyamai rekor korban meninggal pada bom Bali. Kita lebih takut dengan ledakan bom, padahal sebenarnya selalu ada bom di jalan raya, akibat kita tidak pernah mau taat sama peraturan lalu lintas. Kita, sesama bangsa Indonesia, saling bunuh membunuh di tanah air, yaitu di jalan raya !. Helfia Nil Chalis. Bisnis Internet.
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|