Oleh : Buyung Tanjung Kamba
Apapun aturan yang menyangkut pilpres yg ditawarkan rezim, seperti ambang batas president treshold 20 %, penundaan pilkada serentak dari 2022 disatukan dgn pilpres 2024, perpanjangan periode jabatan presiden dari 2 menjadi 3 periode -- hingga penundaan pilpres 2024 menjadi 2027 -- kesannya semua itu bermuara pada kepentingan kelompok oligarkis. Kaitannya ialah dalam rangka melanggengkan kendali mereka atas kekuasaan. Terkait dgn itulah posisi pilpres 2024 ini sangat penting dan strategis bagi kelompok oligarkis. Mereka akan mempertaruhkan apa saja utk bisa memenangkan pilpres 2024. Target politik mereka ialah bila mereka berhasil memenangkan pilpres 2024 -- maka pada pilpres 2029 mereka tidak lagi membutuhkan boneka dari kalangan pribumi (Islam). Ongkos politiknya terlalu mahal. Mereka akan mencapreskan sosok dari bangsa mereka sendiri. Dalam kontek inilah upaya menggadang-gadangkan Ahok menjadi relevan. Masalahnya ialah hingga saat ini kelompok oligarkis belum menemukan sosok yg sepadan dengan Jokowi. Sementara beberapa sosok yg memberi isyarat bersedia jd "boneka pengganti", seperti PM, PS, GP -- kualitas, elektabilitas dan popularitas mereka jauh di bawah Anies Baswedan. Nah, inilah yg menjadi sumber kepanikan kelompok oligarkis itu. Kepanikan itu dapat dilihat dari cara mereka menghadang Anies. Langkah pertama ialah " menghabisi" Anies. Tapi tidak berhasil. Masalahnya ialah mereka tdk menemukan celah "memainkan" Anies. Anies bersih. Tidak tersangkut korupsi. Kinerjanya kincrong. Elektabilitas dan popularitasnya meroket. Inilah yang membuat kelompok oligarkis panik dan akhirnya memainkan jurus mabuk. Jurus pertama ialah menunda pelaksanaan pilkada serentak 2022 dan menggabungkannya dengan pilpres 2024. Dengan jurus ini Anies yg akan berakhir masa tugasnya 2022 akan kehilangan panggung politik selama dua tahun. Masa dua tahun itu berpotensi menenggelamkan popularitas dan elektabilitas Anies. Dengan demikian peluang Anies utk memenangkan kursi RI-1 di 2024 sangat kecil. Mungkin juga konsentrasi Anies akan terbagi. Mempertahankan kursi DKI-1 atau ikut mencapres ? Tapi apakah dengan jurus pertama itu kelompok oligarkis sudah merasa "aman" dan yakin "petugas partai" barunya akan memenangkan pilpres 2024 ? Ternyata tidak. Popularitas dan elektabilitas Anies tetap saja menghantui mereka. Ketakutan itu melahirkan jurus kedua. Jurus kedua ialah membangun wacana menambah periode masa jabatan presiden dari dua menjadi tiga periode. Wacana ini bagi saya menegaskan bahwa kelompok oligarkis belum menemukan sosok kuat pengganti Jokowi. Artinya, kelompok oligarkis masih butuh dan ingin mempertahankan Jokowi. Sekalipun resistensi atas Jokowi sangat kuat dan elektabilitasnya sangat rendah -- akan tetapi posisinya sebagai petahana membuatnya lebih berpeluang menang. Posisi petahana menguntungkan utk beberapa hal. Seperti kesempatan memanfaatkan fasilitas negara, memobilisasi ASN, memanfaatkan kekuasaan menekan panitia penyelenggara pilpres dll. Syukurnya agenda nyeleneh itu ditolak publik dan beberapa partai politik, seperti PKS, Gerindra, PDIP, Golkar, dll. Tentu saja krn agenda itu akan menutup peluang capres partai2 tsb. Apakah penolakan itu menyurutkan langkah kelompok oligarkis? Oh, no. No way. Upaya lain utk melanggengkan kendali kekuasaan atas negeri ini terus mereka upayakan. Upaya itu ialah melalui politik buying time. Ngulur waktu. Ini jurus mabuk ketiga. Yakni mewacanakan penundaan pilpres dari 2024 ke 2027. Guna menghindari resistensi para politisi yg sedang menjabat jd anggota DPR, MPR dan DPD -- kelompok oligarkis sipit mencoba "menyuap" mereka. Dimana posisi mereka tidak diganggu hingga pilpres 2027. Artinya mereka tetap menduduki jabatan itu lebih lama tanpa harus bertarung melalui mekanisme pemilihan di pemilu 2024. Akan kah para politisi kita termakan suap tersebut ? Wallahualam.... Lalu, apa relasi politik buying time tersebut dengan upaya melanggengkan kekuasaan? Sebagaimana saya utarakan diatas, Pilpres 2024 ini sangat penting dan strategis bagi kelompok oligarkis dalam melanggengkan kendali mereka atas kekuasaan dan dalam rangka mewujudkan agenda2 politik terselubung lainnya. Ini ada kaitannya dengan agenda politik mereka utk mendudukkan, memenangkan calon presiden dari kalangan bangsa mereka sendiri pada pilpres 2029. Ini adalah road map political agenda dari negeri induk. Jalan menuntaskan ambisi teritorial melalui pendekatan demografi--populatif. Jalan untuk itu sudah dimulai dengan mencurahkan investasi gila2an yang diikuti dengan mobilisasi imigrasi secara besar2an. Baik dgn kedok TKA maupun dengan cara masuk mengendap-endap atau melalui visa turistik. Jadi patut diduga, ide buying time atau ngulur waktu ini bisa jadi dalam rangka menunggu terpenuhinya jumlah "supporter" impor dari Cina untuk ikut memilih dan memenangkan capres mereka. Bila itu menjadi kenyataan, maka pilpres 2019 akan jadi pilpres terakhir bagi capres pribumi. Pilpres 2027 dan seterusnya akan menjadi milik mereka. Bila jabatan presiden jatuh ke tangan mereka, tentulah tidak sulit bagi mereka merebut jabatan2 kepala daerah dan mendominasi parlemen. Semoga politisi bangsa ini bisa belajar dari pengalaman Singapura. Selamat merenung.
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|