Vanny El Rahman
26 September 2020 Judul buku: *Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia Pengarang: Ben Bland Penerbit: Penguin Random House Tahun terbit: 2020 Harga buku: Paperback US$12,95 (Amazon) Paperback US$12.99 (penguin.com.au) Jakarta, IDN Times - “Jokowi adalah seorang demokrat yang terjebak dalam otoritarianisme. Orientasi ekonominya liberal tapi praktiknya adalah proteksionisme. Dia mencitrakan diri sebagai rakyat, tapi dikelilingi elite. Jokowi terlihat menjunjung keberagaman, tapi dia berlindung di balik kelompok konservatif.” Paragraf di atas adalah kompilasi kalimat yang ditulis Ben Bland dalam bukunya berjudul “Man of Contradictions: Joko Widodo and The Struggle to Remake Indonesia”. Bland merupakan Direktur Program Asia Tenggara di Lowy Institute, Australia. Sebelumnya, dia adalah koresponden untuk Financial Times di Indonesia. Buku ini ditulis setelah perjumpaan panjang Bland dengan Jokowi sejak 2012. Pertama kali menginjakkan kaki di DKI Jakarta, Bland menyaksikan hiruk-pikuk Ibu Kota menyambut Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Pengalamannya sebagai jurnalis menjadikan Bland saksi karier politik Jokowi, dari Balai Kota menuju Istana. Kuda hitam asal Solo itu satu per satu menaklukkan elite politik papan atas, mulai dari Fauzi Bowo hingga Prabowo Subianto. Tidak heran, semua mata tertuju kepadanya. Jokowi adalah sosok yang dianggap lumayan bersih. Pengusaha kayu dan mebel. Sempat dicitrakan sebagai lelaki desa sederhana tanpa hasrat politik. Jokowi adalah sosok yang dalam majalah Time disebut sebagai “A New Hope”. Memasuki masa jabatan yang kedua, enam tahun berkuasa, dukungan kepada Jokowi mulai melemah. Dalam berbagai kebijakannya, mulai dari penegakan korupsi dan hak asasi manusia (HAM), pembangunan tol laut, rencana pemindahan Ibu Kota Negara, hingga penanganan pandemik COVID-19, keputusan yang diambil Jokowi tidak seperti janji yang dia ucapkan. Melalui buku ini, Bland ingin mengatakan bahwa Indonesia dipimpin oleh presiden yang bahkan tidak bisa konsisten dengan kata-katanya sendiri. Di mata Bland, Jokowi adalah sosok yang unik. Dia bertindak tanpa visi yang jelas. Keras kepala tapi enggan mendengar analisis. Namun tetap “dicintai” rakyat. Setelah mewawancarai salah seorang menteri Jokowi, Bland mendapati istilah yang tepat bagi Jokowi, yaitu “bundle of contradictions”. Buku setebal 120 halaman ini menjadi cara Bland untuk memaparkan anomali kebijakan Jokowi. Buku ini terbagi menjadi 7 bagian. Bland mengaku telah mewawancarai ratusan orang, dari dukun, mantan teroris, hingga menteri, hanya untuk memahami Jokowi. Buku ini menjadi saksi bisu perjuangannya. “Hanya dengan memahami kontradiksinya, barulah kita bisa memahami tujuan dia sebenarnya,” tulis Bland pada bagian pendahuluan buku. Bagian Pertama: The furniture maker who captured a nation’s imagination Bagian ini dimulai dengan pernyataan tegas, yaitu “Anda harus mengetahui cara berpikir seorang pengusaha untuk memahami Jokowi.” Bland merujuk kalimat di atas ke percakapan antara seorang penasihat bersama Jokowi terkait Laut Cina Selatan (LCS). Jokowi bertanya, kenapa harus menyiapkan sumber daya yang besar untuk konflik yang tidak berdampak langsung terhadap Indonesia? Menandakan sikap Jokowi untuk menghindari konflik internasional. Jokowi baru mau bergerak setelah diberi analogi sederhana mengenai pentingnya stabilitas dalam mendongkrak ekonomi. Seandainya terjadi eskalasi situasi LCS, maka biaya asuransi untuk kapal kargo akan meningkat, dan itu akan buruk bagi bisnis internasional. “Ketika saya jelaskan seperti itu, dia baru memahaminya,” ungkap penasihat tersebut. Bland memutuskan untuk mengulik masa lalu Jokowi. Tidak begitu mendalam. Tapi dia mendapat gambaran bagaimana Jokowi di masa muda hingga bagaimana Jokowi sebagai pengusaha mebel. Di mata Bland, Jokowi adalah sosok yang kurang peduli terhadap politik. Dia pernah bertanya kepada Jokowi terkait siapa tokoh politik panutannya. Jokowi selalu gugup dan kebingungan ketika menanggapi pertanyaan itu, menandakan dia tidak memiliki referensi politik. Sebagai pengusaha, aksi lebih penting daripada ide. Cara berpikir inilah yang melandasi Jokowi dalam bersikap. Mulai dari pengingkaran atas janji tidak membangun dinasti politik, janji membangun Jakarta hingga satu periode, ataupun dalam pengambilan keputusan. Sederhananya, Jokowi adalah sosok yang tidak memiliki visi politik. Bagian kedua: Going to the ground to reach the top Bagian ini mengulas bagaimana “blusukan”, pendekatan politik ala Jokowi, adalah jurus utamanya memenangkan hati rakyat. Lagi-lagi Bland menafsirkan blusukan dari perspektif pengusaha atau dia menyebutnya sebagai politik ritel, yaitu semakin banyak bertemu pelanggan, maka semakin mendapat kepercayaan. Ada dua ide besar penting digarisbawahi. Pertama, blusukan adalah bukti lain Jokowi tidak memiliki visi. Alih-alih turun ke lapangan dengan rencana, Jokowi memilih turun ke lapangan tanpa gagasan, mendengar aspirasi dan keluhan, barulah mengambil tindakan. Alhasil, dalam kasus Solo, keberhasilan Jokowi bukan pada pembenahan birokasi, tapi fokus pada penuntasan masalah yang tertunda. Kedua, blusukan merupakan kebijakan populis yang mampu mengalahkan strategi politik para elite. Jokowi juga sadar bahwa turun ke gorong-gorong merupakan santapan hangat bagi kamera media. Ketika Jokowi menjual kesederhanaannya untuk keuntungan elektoral, saat itulah Jokowi telah menjadi seorang politikus. Bland menilai blusukan adalah cara efektif untuk mengaburkan fakta bahwa Jokowi diantarkan oleh elite dan taipan, hingga menjadi gubernur bahkan presiden. Sedekat apa pun Jokowi dengan pengusaha, dia tetap dianggap sebagai representasi rakyat. Wong cilik. Kenapa? Karena blusukan. Sehingga, dalam kontestasi apa pun, Jokowi mengartikan kemenangannya sebagai kemenangan rakyat. Bagian ketiga: From outsider to father of a new political dynasty Bagian ini menjelaskan tentang keputusan Jokowi “menggadaikan” Balai Kota untuk Istana Negara. Kurang dari dua tahun menjabat sebagai gubernur, tentu sulit untuk mengatakan bahwa Jokowi memiliki rekam jejak yang bagus sebagai kepala daerah. Maka pertanyaannya, apa yang membuat Jokowi berhasil memenangkan Pilpres? Bland kemudian menyebut Jokowi sebagai “man in time”. Jokowi adalah orang yang diuntungkan momentum. Pada Pilkada DKI, Jokowi diuntungkan karena periode Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) segera berakhir. Secara tidak langsung, hal itu mempengaruhi peta dukungan kepada Fauzi Bowo, petahana gubernur yang satu partai dengan SBY. Pada Pilpres 2014, Jokowi juga diuntungkan karena pesaingnya menanggung “dosa sejarah”. Apa maksudnya? Wiranto, Prabowo, Aburizal Bakrie adalah calon presiden potensial namun memiliki noktah hitam pada Orde Baru. Mereka memiliki rekam jejak dituding sebagai pelanggar HAM hingga perusak lingkungan. Jokowi menjadi sosok alternatif terbaik. Poin penting yang diulas Bland pada bagian ini adalah bagaimana Jokowi merangkul lawan politiknya. Jokowi menyadari posisinya sebagai kader partai yang tidak mewarisi darah Sukarno. Hal itu menyebabkan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) setengah hati mendukung Jokowi, sebab dia melompati Megawati dan Puan Maharani. Namun, mereka sadar elektabilitasnya kalah dari Jokowi. Pada periode pertama, Koalisi Merah Putih (KMP) sebagai oposisi lama-kelamaan keropos. Satu per satu partai politik mulai mendukung Jokowi. Hal yang sama terlihat pada periode kedua. Jokowi membentuk “Kabinet gendut” untuk merangkul semua pendukungnya, bahkan Prabowo yang merupakan rivalnya sekalipun. Bagian terakhir yang Bland ulas adalah ternyata Jokowi tidak beda dari presiden sebelumnya di perkara dinasti politik. Dari Sukarno hingga SBY, kecuali Habibie, semuanya menunjukkan keinginan untuk membangun dinasti politik. Dari sinilah Jokowi perlahan berubah dari “orang luar” menjadi “orang dalam”, selain karena kedekatannya dengan para taipan yang seolah-olah “mengendalikan” politik di balik layar. Bagian keempat: Building the economy: A hard-hat president chases dreams Ada dua bagian penting yang diulas pada bagian ini. Pertama, orientasi kebijakan ekonomi Jokowi. Bland cukup baik dalam menjawab kenapa Jokowi fokus pada pembangunan infrastruktur, pemangkasan izin usaha, dan modal asing. Untuk menjawab pertanyaan itu, Bland memiliki dua alasan. Pertama, pertumbuhan ekonomi era SBY mandek di angka lima persen. Artinya, Jokowi perlu terobosan untuk mengoptimalkan potensi ekonomi. Kedua, sebagai pengusaha mebel, Jokowi pernah mengalami kesulitan memperoleh modal usaha hingga hambatan pengiriman barang ke daerah. Tidak heran, Jokowi bersikeras memotong seluruh anggaran kementerian demi pembangunan. Jokowi yakin, semakin baik infrastruktur, maka meningkat pula kesejahteraan masyarakat. Di sini, dia terlihat sebagai seorang developmentalis. Bland kemudian menjuluki Jokowi sebagai “orang dari partai Sukarno yang berpikir layaknya Suharto”. Lagi-lagi ini adalah bentuk sindiran kepada Jokowi yang tidak memiliki visi politik dan semangat demokrasi. Di tengah retorika Jokowi yang mengharapkan Indonesia menjadi negara ekonomi liberal, yang terbuka bagi investasi asing, *ternyata dia juga menerapkan sejumlah kebijakan proteksionisme. Dari situlah tidak heran jika Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja, yang populer disebut Omnibus Law, belum menjadi daya tarik bagi modal asing untuk masuk ke Indonesia. Kedua, Jokowi adalah “man in actions”. Perjumpaannya dengan elite pemerintahan membuat Bland berkesimpulan bahwa Jokowi adalah orang yang keras kepala, bekerja berdasarkan aksi bukan teori, dan enggan mendengarkan analisis yang berbelit. Jokowi adalah sosok yang lebih suka aksi daripada berdebat pada teori. Hal ini menjadi masalah karena kebijakan yang diputuskan Jokowi sering kali justru merugikan negara. Sebut saja pembangunan pelabuhan dan bandara. Kebijakan ini seakan mempermudah akses ke daerah, tapi Jokowi tidak memperhatikan kajian kebutuhan. Alhasil, banyak dermaga dan bandara yang terbengkalai karena sepi. Contoh lainnya adalah rencana pemindahan Ibu Kota Negara. Ketika banyak ahli yang menolak kebijakan itu karena kurangnya perencanaan, Jokowi dengan gegabah justru mengumumkan rencana pemindahan Ibu Kota ke Kalimantan Timur. Kini, rencana itu ditenggelamkan oleh pandemik COVID-19. Di bagian akhir, Bland melihat Jokowi sebagai “orang dengan niat baik tapi eksekusi yang buruk.” Bagian Kelima: Between democracy and authoritarianism Penekanan pada bagian ini adalah bagaimana Jokowi berpakaian demokrat, tapi bertindak otoriter. Hal pertama yang Bland ulas adalah kedekatan Jokowi dengan elite militer. Kenapa begitu? Karena Jokowi bukan tokoh dan dia butuh sosok kuat yang mendukungnya dari balik layar. Dari situ, tidak heran bila Jokowi merekrut tokoh militer dan juga tokoh polisi, dalam kabinetnya. Dari sekian tokoh militer, Jokowi memiliki orang kepercayaan, yaitu Luhut Binsar Pandjaitan. Dari Kepala Kantor Staf Kepresidenan hingga Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, menunjukkan betapa percayanya Jokowi pada Luhut. Keengganan mendengar analisis dan kepercayaannya kepada sejumlah tokoh adalah bukti Jokowi lebih mendengar siapa yang menyampaikan daripada apa yang disampaikan. Kehadiran Jokowi di tengah Aksi 212, secara tidak langsung, berarti legitimasi kehadiran kelompok konservatif. Dia bahkan menarik Ma’ruf Amin, dinilai Bland sebagai tokoh Islam konservatif, sebagai pendampingnya. Namun, menariknya, dia juga membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) kelompok yang mendukung berdirinya khilafah. Sekali lagi, ini butki bahwa Jokowi tidak memiliki orientasi politik yang jelas. Di bagian akhir, Bland mengulas betapa Jokowi ingin pemerintahannya berjalan tanpa oposisi. Dalihnya adalah demokrasi Barat tidak selaras dengan nilai-nilai demokrasi Indonesia, yaitu gotong royong. Justru inilah yang mengantarkan Jokowi pada jurang otoritarianisme, karena dia menghilangkan fungsi oposisi sebagai check and balances dalam demokrasi. Bahkan di Parlemen sekalipun, hampir semuanya sepakat mendukung Jokowi. Bagian keenam: Jokowi and the world: From Asia’s new fulcrum to friends with benefits Bagian terakhir fokus pada kebijakan luar negeri Jokowi. Sebagai pengamat, Bland melihat Jokowi kurang peduli pada forum-forum internasional. Dia jarang hadir di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Kenapa? Menurut Bland, karena di PBB Indonesia tidak menghasilkan uang, justru Indonesia malah membayar iuran. Sebaliknya, Jokowi selalu hadir di forum G20 atau KTT ASEAN karena dia berharap bisa kembali membawa modal asing. Jokowi memberikan interpretasi baru pada prinsip luar negeri SBY, menjadi “Thousand friends (with benefits), zero enemy.” Jokowi hanya fokus pada negara-negara yang dirasa bisa memberikan keuntungan domestik. Tidak heran retorika Poros Maritim Dunia mendekatkan Indonesia dengan Tiongkok, yang sedang menggalakkan pembangunan di jalur sutra. Nyatanya, upaya Jokowi mewujudkan Poros Maritim Dunia tidak pernah terlihat. Siapa yang dipusingkan dari sikap Jokowi? Para duta besar dan diplomat. Jokowi membebankan 70-80 persen tugas dari seorang duta besar adalah diplomasi ekonomi. Padahal, mereka tidak diberikan tambahan sumber daya dan pelatihan lebih mendalam. Mereka juga dipusingkan karena Jokowi hanya ingin menghadiri kegiatan internasional sepanjang memberikan “santapan media”. Lawatan Jokowi ke Filipina misalnya, dia menandatangani kerja sama untuk membuka rute pelayaran dari General Santos, Mindanao menuju Bitung, Sulawesi Utara. Namun, kunjungan Bland ke Bitung justru mendapati pelabuhan yang sepi, tanpa aktivitas ekonomi, tidak semeriah apa yang diberitakan. Terakhir, Bland menyoroti tingginya ekspektasi kepada Jokowi di mata internasional. Dia adalah politikus yang mengerti apa yang diinginkan media. Itulah kenapa dia mampu menarik sensasi dengan janji politik dan frasa-frasa sensasional pada pidato internasional. Seolah-olah Jokowi adalah sosok yang bisa mewujudkannya. Padahal, sama seperti di dalam negeri, apa yang dia sampaikan di forum internasional hanya sebagian dari kontradiksinya. Kesimpulan: Why we keep getting Indonesia wrong Pertanyaan ini berusaha untuk menjawab, di tengah kontradiksi kebijakan Jokowi, kenapa dia tetap bertahan bahkan terpilih lagi pada periode keduanya? Padahal, terlihat jelas semakin tinggi jabatan yang diemban Jokowi, semakin ngawur kata-kata yang dia sampaikan. Untuk menjawab hal itu, Bland mengutip ungkapan Niccolo Machiavelli dalam buku The Prience, “it is much to be feared than loved.” Bland mengakui kehebatan Jokowi adalah kemampuannya untuk menjadi orang yang ditakuti, sekaligus dicintai. Jokowi kerap dinilai sebagai orang yang diragukan kemampuannya. Tapi, dari situlah Bland justru melihat keunggulan Jokowi, bahwa ekspektasi yang tidak berlebih menjadi nilai lebihnya. Kadang Jokowi dianggap sebagai “boneka” Megawati, kadang dia “menurunkan sedikit harga diri” demi merangkul Prabowo, oposisi yang kerap menjelek-jelekkannya ketika Pilpres. Di sisi lain, menurut Bland, 75 tahun usia Indonesia membawa negara ini pada persimpangan. Sederetan pemimpin bangsa belum ada yang bisa meletakkan fondasi kuat bagi Indonesia. Jadi, kepemimpinan Jokowi masih dianggap sebagai upaya Indonesia mencari jati dirinya. Catatan terhadap karya Bland Buku Man of Contradctions karya Ben Bland (Twitter Ben Bland/@benjaminbland) Buku ini mendapat sorotan karena dirilis di tengah kegagalan pemerintah menangani pandemik COVID-19. Banyak pihak yang merasa terwakili karena tulisan Bland seakan “menyentil” Jokowi. Frasa “man of contradictions” merupakan plesetan halus bagi ungkapan tidak kompeten. Kendati begitu, buku ini juga menuai kritik dari berbagai pihak. Salah satunya adalah Indonesianis dari Australian National University (ANU), Marcus Mietzner. Penggalan kalimat “the first English-language biography of Jokowi” dalam buku ini adalah klaim yang berlebihan. Muatannya jauh berbeda dari biografi yang ditulis Indonesianis lainnya, seperti biografi Sukarno karya John Legge, biografi Suharto karya Robert Elson, atau biografi Abdurrahman Wahid karya Greg Barton. Kemudian, Mietzner juga menyayangkan Bland yang puas dengan sumber-sumber yang belum jelas rujukannya sebagai referensi utama. Sebagai jurnalis, Mietzner merasa Bland harusnya memahami betul urgensi verifikasi sebelum menulis. Sehingga, tidak menjawab pertanyaan utama yang diajukan, yaitu kenapa Jokowi bersikap kontradiktif? Dia bahkan menulis bahwa semua orang Indonesia sudah tahu apa yang ada di buku ini. Kritik lainnya datang dari Liam Gammon, mahasiswa doktoral ANU. Menurutnya, pembahasan mengenai kontradiksi kebijakan adalah analisis yang dangkal. Sebab, hampir semua pemimpin di berbagai negara pasti bersikap kontradiktif. Kritik serupa juga pernah dilancarkan oleh komedian asal Amerika Serikat, Hassan Minhaj, kepada Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, pada Patriot Act yang dirilis 1 September 2019. Hal ini menandakan kontradiksi yang diambil oleh kepala negara adalah fenomena di negara berkembang hingga negara maju. Terlepas dari kritik, pengajar di Cornell University, Thomas Pepinsky, mengapresiasi cara Bland dalam merangkai tulisannya. Siapa pun yang membaca buku ini akan mendapat gambaran jelas mengenai kontradiksi sosok Jokowi. Di sisi lain, Bland juga mengakui bahwa tulisannya mungkin tidak bisa memuaskan banyak pihak. Tapi, dia berharap dari tulisannya bisa memicu perdebatan lebih jauh mengenai kebijakan yang ditelurkan Jokowi. Dari IDN TIMES Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiaGoOnline.com
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|