Oleh : Ahmad Khozinudin
Sastrawan Politik Hari ini Ahad (28/3), Bom meledak di Gereja Katedral Makassar. Polisi menyatakan bom yang meledak merupakan bom bunuh diri. Belum diketahui, motif dan tujuan pelaku Bom bunuh diri, soal Bom Bunuh diri juga masih perlu diperinci lagi. Apabila pelaku secara sadar membawa bom, kemudian meledakkan bom bersama dirinya, maka boleh disimpulkan ini peristiwa bom bunuh diri. Namun, jika pelaku membawa barang yang dikira barang umum, ternyata ditempatkan bom pada barang tersebut kemudian diledakkan oleh orang lain dari jarak jauh (misalnya menggunakan remote control), pada peristiwa ini tidak dapat disebut bom bunuh diri, tapi lebih tepat disebut bom yang dikendalikan. Karena itu, menyimpulan peristiwa disebut sebagai bom bunuh diri masih terlalu dini. Apalagi, pelaku ikut mati dalam peristiwa meledaknya bom. Lantas, darimana definisi bom bunuh diri disimpulkan? Kecuali, pelaku mengirim surat kepada polisi dan menjelaskan dirinya sengaja meledakkan diri bersama bom yang dibawanya. Kabid Humas Polda Sulsel Kombes Pol E Zulpan, saat menceritakan kronologi ledakan menyebut masih mendalami. Karena itu, penyebutan pelaku bom bunuh diri hanya karena dugaan Polisi menerima keterangan saksi di lokasi pelaku mengendarai sepeda motor lalu terjadi bom meledak, masih sangat sumir. Mengenai Bom Bunuh diri masih sumir, apalagi pernyataan IPW yang tiba-tiba melompat mengaitkan peristiwa ini dengan kelompok-kelompok teror dan kelompok radikal yg belum berhasil diciduk jajaran kepolisian, seperti di Poso atau tempat lainnya, lebih ngawur lagi. Narasi para teroris yg sudah selesai menjalani hukuman, kini bebas melakukan aktivitas tanpa terpantau jejaknya, sebagaimana dikemukakan IPW adalah sebuah penalaran yang melompat dari fakta peristiwa ledakan bom dan cenderung tendensius. Selama ini, narasi teroris dan radikalis apalagi dihubungkan dengan kelompok Poso selalu dilekatkan dengan Islam. Narasi ini, menjadi semacam pra kondisi untuk kembali menyudutkan umat Islam dengan isu Radikalisme dan Terorisme, yang sudah diketahui umum selama ini hanyalah proyek untuk membungkam kebangkitan Islam. Secara logika, pelaku pasti bukan dan tidak terkait dengan Islam. Secara logika pula, pelaku pasti bukan dan tidak terkait dengan Kristen. Jika ada pengkaitan, pastilah itu bagian dari narasi adu domba anak bangsa. Pelaku tak mungkin dapat dikaitkan dengan Islam, karena Islam mencela tindakan membuat teror termasuk bunuh diri. Pelaku tidak mungkin dari Kristen, karena peristiwa tersebut menimbulkan korban di pihak gereja. Karena itu, tidak boleh ada narasi tendensius yang mengaitkan peristiwa ini dengan agama, apapun namanya. Bom meledak, adalah fakta. Ada korban, juga fakta. Namun terkait Bom Bunuh diri, pelaku terkait terorisme dan radikalisme, itu semua hanya opini yang berkedudukan sebagai opini sesat. Penulis khawatir, peristiwa ini hanyalah prakondisi bagi rezim untuk mengaktifkan Perpres No. 7 tahun 2020 tentang RAN PE (Rencana Aksi Nasional Penanggulangan Ekstrimisme). Sebuah Perpres, yang dinilai banyak pihak berpotensi dijadikan alat adu domba ditengah masyarakat. Setelah Densus 88 gagal jualan isu terorisme, gagal menakut nakuti rakyat dengan aksi tembak tembakan, kini negara menjual isu ekstremis dengan melibatkan program 'Perang Semesta' dimana didalamnya segenap elemen anak bangsa dapat terpecah belah karena isu ekstremisme yang diklaim mengarah pada tindakan Terorisme. ini semua harus dilawan dengan akal sehat, agar umat tak terjerumus ke dalam narasi sesat.
0 Comments
Leave a Reply. |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
April 2024
|