![]() Omnibus Law dianggap "mission sacre" oleh Pemerintah. Perlawanan dalam bentuk unjuk rasa menjadi aksi berkelanjutan. Tidak reda dengan penangkapan penangkapan. Kegoncangan bukan saja di tingkat nasional tetapi reaksi internasional. Buruh marah, mahasiswa terbangun, umat Islam siap siaga. Langkah pun sudah dimulai bersama. Ada tiga hal yang menjadi fenomena menarik dari sikap Pemerintah atas penentangan atau unjuk rasa Omnibus Law ini, yaitu : Pertama, ngotot sampai titik darah penghabisan. Taruhannya siap sampai kursi goyang atau rubuh. Kehebatan apa di belakang undang-undang otoriter ini ? Betapa kuat sang pengorder. Sepertinya berapapun "economic and political costs" nya siap untuk dibayar. Kedua, bandel dan nakal alias ngeyel yang menganggap semua sebagai hal yang wajar. Nanti juga rakyat akan diam sendiri. Suruh ke MK kan saja. Paling dijewer-jewer sedikit, namanya juga "Pemerintahan Sinchan". Yang penting ujungnya bus akan jalan terus meski supir mabuk atau ugal-ugalan. Ketiga, planga plongo. Pemerintah yang bingung mundur kena maju kena. Antara misi dan reaksi membuat sikap Pemerintah seperti orang yang "kesambet setan". Linglung berjalan sambil menghitung angka-angka dan tertawa. Pemerintah yang depresi, cemas, dan stress. Negara dalam ketidakpastian. Jokowi sudah sulit dipercaya untuk mampu mengendalikan negara ke arah yang dicita-citakan. Penampilan kalem namun selalu bikin gaduh. Bias antara manajemen konflik dan mis-manajemen. Faktanya mengelola negara secara acak-acakan. Omnibus Law adalah aturan tebal bermakna tipis. Nafsu besar tenaga kecil. Keangkuhan di tengah kelemahan. Orientasi kerakyatan yang gagal. Buruh dilecehkan dan rakyat yang dinistakan. Bagai lempar makanan kepada hewan dari dalam mobil. Jika dasar penolakan itu hoaks karena dianggap buta undang-undang, maka Pemerintah lah yang telah menciptakan hoaks dengan aturan yang membabi buta. Buruh itu tidak bodoh, mahasiswa yang membantu bukan rekayasa, umat teriak karena ikut terinjak. Bus "menabrak sana sini" melesat terburu-buru untuk kejar setoran. Dunia ikut bersuara. ASEAN Parliamentarians for Human Rights (APHR) telah meminta agar Omnibus Law dibatalkan karena melanggar hak-hak demokratis, hak buruh, dan lingkungan hidup. Selanjutnya "UU ini tidak didasarkan atas ilmu ekonomi, melainkan oportunisme semata" kata Charles Santiago, Ketua APHR. Gerakan aksi buruh menentang Omnibus Law didukung pula oleh organisasi serikat buruh internasional seperti Internasional Trade Union Confederation (ITU) yang menurut Said Iqbal Ketua KSPI organisasi ini beranggotakan 59 konfederasi serikat pekerja dari 34 negara Asia dan Pasifik. Kebijakan semestinya diambil dengan mudah untuk memulihkan keadaan yakni tunda atau batalkan. Tapi yang mudah dan simpatik ini nyatanya sangat sulit. Kesannya lebih baik mengorbankan segalanya daripada menarik kembali Omnibus Law. Sungguh rezim telah menutup mata dan telinga untuk melihat dan mendengar aspirasi rakyatnya. Rezim memang tidak aspiratif, ngotot dan bandel. *) Pemerhati Politik dan Kebangsaan Bandung, 26 Oktober 2020 Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiaGoOnline.com
0 Comments
![]() MARI CIPTAKAN KEHIDUPAN NASIONAL YANG TIDAK GADUH DARI DIRI SENDIRI SURAT TERBUKA Dari M. Din Syamsuddin Presidium KAMI/Warga Negara Kepada Yang Mulia Bapak Ir. Joko Widodo Presiden Republik Indonesia Assalamu'alaikum Wr. Wb. Yang Mulia Bapak Presiden Ir. Joko Widodo, Semula kami berpikir tidak ingin mengirim surat ini khawatir akan (dianggap) menciptakan kegaduhan. Namun, lewat Istikharah kami tergerak untuk menulisnya khawatir imbauan Bapak Presiden agar rakyat tidak menciptakan kegaduhan akan menjadi self fullfilling prophecy atau hal yang justeru akan menciptakan kegaduhan itu sendiri. Pada hemat kami, hitam-putih atau baik-buruknya seperti gaduh tidak gaduhnya kehidupan sesuatu bangsa sangat tergantung kepada pemimpin bangsa itu sendiri. Pemimpin, sebagai pemangku amanat, adalah yang paling bertanggung jawab atas kepemimpinannya. (Hadits Nabi: Setiap pemimpin bertanggung jawab atas rakyat yang dipimpinnya). Maka besar harapan kami agar Bapak Presiden melakukan langkah-langkah nyata untuk menciptakan suasana kehidupan yang damai, adem, dan tenteram dalam kehidupan bangsa Indonesia. Untuk itu kiranya perlu dicari faktor-faktor penyebab kegaduhan/sekaligus menjadi faktor-faktor pendorong ketakgaduhan. Para ahli bersepakat faktor-faktor itu terkait dengan kejujuran, keadilan, dan kesejahteraan. Jika ketiga hal demikian tersedia, maka kedamaian, ketenangan, dan ketenteraman akan menjelma. Yang Mulia Bapak Presiden. Tentu Bapak memiliki pengalaman kepemimpinan yang panjang, baik sebagai Wali Kota, Gubernur, dan satu periode sebagai Presiden, serta para penasehat yang andal dan mumpuni di sekitar. Maka tanpa bermaksud menggarami lautan atau mengajar Bebek berenang, izinkan saya dengan permohonan maaf, demi menunaikan kewajiban keagamaan untuk bertawashi dengan kebenaran dan kesabaran (tawashaw bi al-haqq wa tawashaw bi al-shabr), mewasiatkan saran-saran untuk mencegah kegaduhan dalam kehidupan bangsa: 1. Hadapi dan sikapilah Pandemi Covid-19 dengan bersungguh-sungguh sebagai wabah dan musibah dari Allah SWT, dengan tidak memandangnya secara remeh. Kami mencatat, sempat ada sikap yang meremehkan pada sebagian elit kekuasaan dan pembantu Bapak Presiden seperti dalam ucapan: "Mana Corona itu, kita tidak akan kena", atau "bulan Mei Corona akan berakhir" dan ucapan lain sebagainya. 2. Kami berbesar hati pada suatu waktu Bapak Presiden menyatakan akan mengutamakan kesehatan dan keselamatan rakyat dari pada stimulus ekonomi. Namun sayang Bapak Presiden, pernyataan itu tidak menjelma dalam kenyataan. (a). Kami mencatat alokasi anggaran untuk kesehatan sangat-sangatlah kecil dibandingkan dengan alokasi anggaran untuk stimulus ekonomi. Akibatnya, rakyat dibiarkan berjuang sendiri mempertahankan hidup, dengan harus membayar Rapid Test dan Swab Test yang mahal harganya dan tidak dapat membeli vitamin yang diperlukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh. (b). Pemerintah bersama DPR justeru bersikukuh untuk melaksanakan Pilkada pada 9 Desember 2020, walaupun banyak organisasi masyarakat seperti PBNU, PP Muhammadiyah, MUI, dan Majelis-majelis Keagamaan, dan organisasi-organisasi lain mengusulkan penundaan. Pemerintah seperti abai terhadap Pilkada yang potensial menciptakan klaster baru persebaran wabah, dan sepertinya menutup mata dan telinga terhadap aspirasi rakyat dan merasa berkuasa untuk memenangkan kepentingannya di atas kepentingan rakyat banyak. Kedua contoh di atas bukanlah masalah kecil. Keduanya sangat potensial untuk menimbulkan kegaduhan. Jika terjadi kegaduhan akibat kebijakan yang tidak bijak itu maka bukanlah rakyat yang salah dan dapat dipersalahkan, tapi Pemerintahlah yang sesungguhnya penyebab kegaduhan itu. 3. Kecenderungan Pemerintah bersama DPR untuk mengesahkan RUU untuk menjadi UU seperti UU Minerba, PERPPU yang dikebut menjadi UU "Keuangan untuk Penanggulangan Covid-19", UU Ciptaker/Omnibus Law Ciptaker, sangat potensial menimbulkan kegaduhan nasional yang besar. Sayangnya Pemerintah tidak menyadari dan bahkan terkesan mendukung DPR untuk bergesa-gesa mengesahkannya pada waktu malam, tanpa membuka ruang bagi aspriasi rakyat. Begitu pula kami menyaksikan arogansi kekuasaan untuk mempertahankan RUU Haluan Ideologi Pancasila, yang walaupun sudah digugat oleh organisasi masyarakat, seperti NU, Muhammadiyah, MUI, dan banyak lagi karena dinilai merendahkan Pancasila, namun masih termaktub dalam Prolegnas. Kami tidak dapat memahami apakah Pemerintah bersungguh-sungguh ingin menciptakan ketakgaduhan atau sebaliknya justeru ingin mendorong kegaduhan itu sendiri? 4. Sikap politik Pemerintah terhadap Kasus Mega Korupsi Jiwasraya yang terkesan ditutup-tutupi (sementara beredar rumor di kalangan masyarakat bahwa pembobolan Jiwasraya melibatkan elit di lingkaran dekat kekuasaan dan dananya patut diduga untuk kepentingan politik Pilpres, hal yang harus diverifikasi). Kasus Mega Korupsi Jiwasraya seharusnya dibawa ke Pansus DPR karena jumlah dananya jauh di atas Kasus Bank Century atau Hambalang. Namun disangsikan tidak ada niat politik sama sekali. Bahkan pilihan Pemerintah untuk mendorong Bailout Jiwasraya dengan menyuntikkan dana 22 Triliyun Rupiah akan menjadi skandal keuangan yang besar. Tiadakah Bapak Presiden berpikir bahwa kasus ini akan menjadi pendorong kegaduhan nasional yang besar? 5. Rententan kejadian yang mengambil bentuk tindak kekerasan, penganiayaan hingga upaya pembunuhan dan pembunuhan terhadap Ulama/Imam/ Da'i/tokoh agama, dan penodaan masjid/mushalla oleh orang yang mengaku/diakui gila atau mengalami gangguan jiwa. Sangat menarik dianalisa bahwa kejadian yg terjadi hampir beruntun itu menjadikan sebagai sasarannya adalah Islam/umat Islam atau lambang-lambang keagamaan Islam. Kejadian serupa pernah terjadi pada saat Pilpres yang lalu namun tidak ada penjelasan sama sekali tentang kemungkinan adanya aktor intelektualis. Kini terjadi lagi dengan modus operandi yang hampir sama. Sungguh Bapak Presiden kejadian-kejadian tersebut dirasakan oleh pihak Ormas-ormas Islam (kebetulan kami berada di dalamnya) sebagai bentuk teror mental terhadap umat Islam. Kejadian pada 2018 belum terjelaskan, kini terulang kembali dengan dugaan tidak akan ada penjelasan dan penyelesaian. Mohon peristiwa demikian tidak diabaikan dan kiranya Bapak Presiden perlu turun tangan sendiri, dengan menjamin keamanan dan keselamatan para Ulama/Dai/Tokoh Islam. Jika dibiarkan, tidak mustahil mereka akan kehilangan kesabaran untuk menegakkan hukum dengan caranya sendiri. 6. Ada penyebab kegaduhan yang agaknya tidak disadari, yaitu kecenderungan Pemerintah untuk memasung hak demokrasi rakyat. 7. Aparat Penegak Hukum dan Keamanan bersikap tidak memberi perlindungan terhadap organisasi atau kelompok masyarakat yang dijamin oleh UUD 1945, khususnya terhadap Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI). Aksi penolakan terhadap kegiatan KAMI di berbagai daerah diyakini bukanlah aspirasi murni, tapi ditengarai/patut diduga (ada beberapa bukti) direkayasa dan didanai oleh pihak tertentu. Dan terhadap aksi mereka itu, Polri tidak menunjukkan profesionalitas dan sikap berkeadilan. Seharusnya Polri melindungi dan mengayomi pihak yang beracara dan mencegah pihak lain untuk mengganggu. Namun, yang terjadi di lapangan sebaliknya. Jika hal ini berlanjut Bapak Presiden, sangat mungkin akan menimbulkan bentrok di antara kelompok masyarakat. Adalah sangat tidak fair kalau ada Pembantu Presiden yang justeru menuduh KAMI menciptakan stabilitas dan mengancam "akan melakukan perhitungan". Sungguh Bapak Presiden, inilah pangkal kegaduhan yang mungkin terjadi, jika sikap dan tindakan demikian tidak diberhentikan. Sikap demikian pada penilaian KAMI adalah bentuk represifitas, anti demokrasi dan intoleransi yang mengganggu proses demokrasi Indonesia. Gangguan terhadap demokrasi Indonesia semakin diperparah oleh pemberlakuan izin bagi kegiatan masyarakat seperti disyaratkan adanya izin untuk berkumpul dan demonstrasi, suatu hal yang sudah dihapus sejak Era Reformasi 1998. Yang Mulia Bapak Presiden. Sebenarnya masih banyak contoh lain yang dapat kami ungkapkan, tetapi dicukupkan pada enam butir di atas. Pada dasarnya, kami menyambut baik perintah atau ajakan Bapak Presiden utk tidak menciptakan suasana gaduh. Namun, pada hemat kami sebagaimana diungkapkan di atas, hal itu harus dimulai dari pusat kekuasaan itu sendiri. Penciptaan kedamaian, ketenangan dan ketenteraman nasional meniscayakan keteladanan. Selama ada Pembantu Presiden yang suka menyalahkan rakyat, menuduh rakyat, mengancam rakyat, merekayasa benturan di antara rakyat, tidak pro rakyat (seperti lebih mengistimewakan Tenaga Kerja Asing dari pada Tenaga Kerja Bangsa sendiri), maka hanya akan menimbulkan kegaduhan di tubuh bangsa. Suatu hal yang perlu disadari bahwa sikap dan tindakan represif, otoriter, abai terhadap aspirasi rakyat, yang berbungkus arogansi kekuasaan adalah tanda kemunduran bagi Indonesia. Adalah kerugian besar bagi bangsa jika arah jarum sejarah kebangsaan dibalikkan ke masa lampau kala otoritarianisme dan pemusatan kekuasan berkuasa, baik dalam bentuk Constitutional Dictatorship (kediktatoran konstitusional) ataupun Democratic Centralism (Demokrasi Terpusat) yang sudah banyak ditinggalkan oleh bangsa-bangsa di dunia. Pada periode terakhir Bapak Presiden Ir. Joko Widodo kiranya dapat dikenang dengan legacy sebagai Bapak Demokrasi Indonesia, bukan sebaliknya. Maka yang terpenting dari semua itu Bapak Presiden, adalah pentingnya satunya ucap dan laku. Kitab Suci mengatakan "mengapa engkau tidak melaksanakan apa yang engkau katakan'. "Kemarahan besar dari Allah jika engkau hanya pandai memperkatakan perbuatan tapi tidak pintar memperbuatkan perkataan itu". Kami semua berdoa ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Kuasa melimpahkan kekuatan lahir dan batin bagi Bapak Presiden untuk mengembang amanat dengan penuh amanah, dan agar bangsa Indonesia terhindar dari marabahaya dan malapetaka. Maka, saatnya hati nurani berbicara, dan saatnya hati nurani membimbing dan memimpin kehidupan bangsa ini. Wallahu al-Musta'an Salam Takzim M. Din Syamsuddin 05-10-2020 https://nasional.sindonews.com/read/186784/12/surati-jokowi-din-syamsuddin-tunjukkan-pangkal-kegaduhan-di-indonesia-1601910645?showpage=all Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiaGoOnline.com ![]() Sekali lagi, tegaknya Negara karena tegaknya Hukum, tegaknya Hukum karena tegaknya Aparat hukum (polisi, jaksa, hakim, advokad dan pengelola LP). Hukum yang beresensi aturan yang harus dipatuhi dan larangan yang tidak boleh dilanggar, yang bersifat mengikat, serta sanksi tegas bagi si pelanggar hukum yang bersifat memaksa, harus diterapkan dengan sejujur jujurnya, sebenar benarnya dan seadil adilnya. Apabila semua ini dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen, niscaya tidak terjadi bela yang bayar dan mengabaikan yang benar. Marilah kita runut beberapa peristiwa yang terjadi belakangan ini. Mulai penusukan Syech Ali Jaber yang ditengarai akibat perbuatan orang gila dan tidak terungkap dalangnya. Penanganan kasus koruptor Joko Chandra yang melibatkan beberapa oknum Jendral Polisi, ada pelayanan / jamuan istimewa oleh seorang jaksa terhadap calon terpidana yang tercemooh. Penangkapan terhadap para aktifis KAMI yang disekap hebat dan dipertontonkan dalam keadaan tangan diborgol. Kelalaian dan kecerobohan oknum Intel polisi yang ketahuan menyamar, menyusup, menerobos, memfitnah, membuat gaduh, kacau dan memalukan. Begitu represifnya penanganan dan pengejaran terhadap para pendemo, yang membuat korban penduduk terkena gas air mata. Semua ini bisa memunculkan ketidak percayaan masyarakat terhadap aparat, yang bisa ditafsir membuat cara cara onar dalam mencegah dan memberantas keonaran. Bagaimana tidak ? Ini fakta ! Bahkan dalam kasus pelanggaran pembuatan RUU HIP / BPIP, yang jelas jelas mengubah Pancasila, dasar negara, yang di inisiatori PDIP yang ber AD/ART, serta bervisi-misi menyimpang dari Pancasila 18 Agustus 1945, yang bukan materi delik aduan, ketika ada yang lapor, ditolak dengan alasan harus ada pengaduan masyarakat (padahal ini kewajiban polisi, seandainya tidak ada laporan dari masyarakat), Terus mau dibawa kemana arah polisi kita ? Apakah polisi hanya sebagai alat penguasa ? Atau seharusnya sebagai alat negara ? Benarkah rakyat diam ? Ketakutan terhadap kiprah polisi yang sudah hebat ini ? Salah besar ! Tidak ada yang perlu ditakuti untuk Polisi, apa lagi dibenci ! Jika anda mencintai polisi kita, berkatalah jujur, benar dan obyektif seperti anda menginginkan polisi kita yang jujur, benar dan adil. Polisi punya referensi, polisi punya tolok ukur dan polisi tidak ngawur dalam bertindak! Namun sebagaimana manusia biasa, bisa lalai, ceroboh, khilaf atau terpaksa patuh, tunduk dan taat kepada atasan. Jadi...marilah kita saling evaluasi diri, untuk perbaikan, agar negara ini tidak selalu gaduh, bahkan bisa terjaga dan terpeligara kondusifitasnya Bahkan ada yang sangat urgent, terkait keputusan MA yang mengillegalkan kemenangan Presiden Jokowi sewaktu pilpres 2019. Tak habis pikir, negara yang sudah merdeka 71 tahun ini, masih bungkam terhadap putusan lembaga tinggi negara yang memfonish tidak syahnya seorang presiden yang mengelola negara ini. Tidak satupun menteri termasuk Menkopolhukam dan Menkum HAM, merasa risih atas kasus ini, seakan menganggap semua rakyat bodoh dan akan menerima apa adanya. Saya juga heran terhadap para pakar dan praktisi hukum yang bersikap membiarkan masalah ini. Pertanyaannya... Beranikah para pakar dan praktisi hukum, tak terkecuali para penegak hukum termasuk polisi mengangkat ulang kasus ini? Bagaimana menyikapi keputusan MA yang mengillegalkan kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019, yang lebih belakangan dari keputusan MK yang memenangkan Jokowi dalam pilpres itu? Logikanya lebih diapresiasi dan harus diutamakan demi hukum. Saya tidak yakin jika semuanya acuh tak acuh terkait masalah ini. Bagaimanapun, bangsa Indonesia harus punya rasa malu terhadap bangsa lain, karena dipimpin oleh seorang presiden palsu, presiden bodong... (Jika keputusan MA disikapi sebagai hal yang mengikat menurut hukum). Jadi wajar saja, jika sang palsu atau sang bodong itu tidak bisa mendengar, menampung dan memutuskan suara jeritan rakyatnya. Lebih konyol lagi jika menulis seperti ini akan dikenai UU ITE dengan alasan penghinaan terhadap presiden. Hanya orang gila yang berani menghina presiden, dan hanya orang gila juga yang mau dipimpin presiden palsu / bodong. Jadi silahkan saja kalau mau meng UU ITE kan saya, jika bersiap saya tuntut balik, saya perkarakan dan saya pidanakan! Jadi... marilah kita semua janganlah menjadi bangsa yang lemah, bangsa yang asal nurut dan bangsa yang tidak punya prinsip. Oleh karenanya, keberanian dalam menyikapi kesewenang wenangan, ketidak adilan dan persekongkelan yang mengkhianati bangsa selayaknya terus kita perjuangkan dengan penuh tanggung jawab sesuai konstitusi dan aturan yang belaku. Jangan hanya teriak keras, Merdeka! Indonesia! Pancasila! Namun tak memiliki nyali keberanian untuk menegakkan kebenaran dan keadilan. Saya ingin memotivasi bangsaku, bukan untuk memprovokasi. Saya hanya ingin mengkritisi bukan untuk menghina. Agar bangsa ini tidak stagnan dan phobia terhadap keadaan yang merugikan bangsa. Agar kita membiasakan satunya kata dengan perbuatan, baik rakyat, abdi negara, pejabat negara maupun kepala negara. Kemajuan dan kemakmuran bangsa, akan berubah dan tercapai, jika kita mau berpikir, berbuat dan berani menegakkan.kebenaran dan keadilan. Bangunlah dan bangkitlah bangsaku, dari mimpi indahmu.... Akankah dan bisakah TNI POLRI kita, sebagai dinamisator dan stabilisator kemajuan? Kerjakan mulai sekarang! (Sugeng waras, 22 oktober 2020) Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiaGoOnline.com ![]() Berikut ini 10 Kesimpulan dari hasil telaah Komnas HAM atas UU Cipta Kerja: 1. Prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tata cara atau mekanisme yang telah diatur Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Aturan ini masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. 2. Terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior. Di mana dalam Pasal 170 Ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja, Peraturan Pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat undang-undang jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta Kerja. 3. RUU Cipta Kerja akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksana yang bertumpu pada kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif. Sehingga berpotensi memicu terjadinya penyalahgunaan wewenang atau abuse of power. Hal itu tidak sesuai dengan prinsip peraturan perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabel. 4. Tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang lainnya. Sehingga, apabila RUU Cipta Kerja disahkan, seakan-akan ada undang-undang superior. Hal ini akan menimbulkan kekacauan tatanan hukum dan ketidakpastian hukum. 5. Pemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak sehingga melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi. 6. Pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yang tercermin dari pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi. Hal ini diantaranya terkait dengan ketentuan yang mengubah Izin Lingkungan menjadi Persetujuan Lingkungan, berkurangnya kewajiban melakukan Amdal bagi kegiatan usaha, hingga berpotensi terjadinya alih tanggung jawab kepada individu. 7. Relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi atau lembaga yang mengawasi kebijakan tata ruang dan wilayah, sehingga membahayakan keserasian dan daya dukung lingkungan hidup. 8. Pemunduran atas upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kepemilikan tanah melalui perubahan UU Nomor 2 Tahun 2012 terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan umum. 9. Pemunduran atas upaya pemenuhan hak atas pangan dan ketimpangan akses dan kepemilikan sumber daya alam terutama tanah antara masyarakat dengan perusahaan (korporasi). Hal ini di antaranya terkait dengan penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk masyarakat minimal 20 persen dari luasan izin HGU, pembentukan Bank Tanah yang akan menjadikan lahan sekadar kepentingan komoditas ekonomi dengan luasan pengelolaan tanah yang tidak dibatasi dan jangka waktu hak yang diberikan selama 90 tahun. 10. Politik penghukuman dalam RUU Cipta Kerja bernuansa diskriminatif, karena lebih menjamin kepentingan sekelompok orang atau kelompok pelaku usaha atau korporasi. Sehingga mencederai hak atas persamaan di depan hukum. https://nasional.kompas.com/read/2020/08/13/22543521/ini-10-kesimpulan-hasil-kajian-komnas-ham-atas-ruu-cipta-kerja?page=all#page2 Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiaGoOnline.com ![]() Dikutip dari Kontan.co.id, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) bakal mendominasi serapan kargo Liquefied Natural Gas (LNG) dari Proyek Tangguh Train-3 yang diproyeksikan onstream pada kuartal IV 2021 nanti. Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto mengungkapkan, penjualan gas Proyek Tangguh Train 3 oleh BP Berau Ltd mencapai 595 juta kaki kubik per hari (mmscfd). Sementara itu, dengan beroperasinya proyek kilang LNG Tangguh Train 3 maka produksi LNG juga diperkirakan bakal mengalami peningkatan sebanyak 40 kargo pada 2022 menjadi sebesar 161 kargo LNG. "Mulai produksi pada tahun pertama sekitar 40 kargo dan naik 60 kargo pada tahun-tahun berikutnya," ujar Dwi, Rabu (30/9). Dwi melanjutkan, dari jumlah produksi tersebut pada 2022 nanti PLN bakal menyerap 60 kargo dari hasil produksi LNG Tangguh. Besaran tersebut mencapai hampir 40% dari total produksi LNG Tangguh. Secara khusus, untuk produksi LNG Tangguh Train 3, PLN dan Kansai Electric menjadi pembeli dengan alokasi masing-masing sebesar 75% dan 25%. Dwi mengakui, kontrak LNG ekspor pun telah mulai dikurangi dari waktu ke waktu. Penurunan kontrak LNG ekspor baru akan mulai terlihat pada 2023 hingga 2030 mendatang. "Kontrak LNG ekspor mulai diturunkan, diharapkan serapan domestik mulai meningkat," terang Dwi. Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiaGoOnline.com ![]() Dibalik PKI tidak Menculik Jenderal H.M. Soeharto Sebelum meneliti siapa Soeharto saat itu, kita musti lihat literatur dan kenali dulu siapa-siapa Jenderal yang menjadi korban PKI, literatur yang akurat berdasarkan fakta bisa dilihat di ANRI. Semua yang diculik PKI adalah satu gerbong dengan Nasution dan Yani. Kesemuanya Deputy dan Assisten Menpangad plus satu (1) Brigjen pimpinan Oditur Militer (Mayjen Anm Sutoyo). Rombongan inilah yang sering berhadapan dengan PKI, saat pertemuan satu meja di kabinet ataupun pada pertemuan/rapat kenegaraan lainnya. Bisa dibayangkan betapa benci dan dendamnya PKI kepada kelompok petinggi militer ini. Bersama Pak Nas, pak Yani dan para Deputy serta asisten ini secara kompak sering bersitegang dan menentang apa-apa yang diusulkan PKI. Hingga kadang PKI tidak berkutik dibuatnya. PKI terlihat akrab bersama Bung Karno (BK) dalam Nasakom, punya klaim pengikut hingga 10 juta massa, memiliki puluhan Underbow binaan. Dari yang namanya CGMI, SOBSI, PR, BTI, Fadjar Harapan, Pemuda sosialis Indonesia, Lekra, hingga Gerwani, namun saat itu ABRI tidak gentar menghadapi segala manuver-manuver PKI. mereka dengan tegas selalu melawan usulan-usulan PKI yang dinilai membahayakan Pancasila. Negara saat itu mempunyai lebih dari 10 Menteri yang mendukung PKI, dan juga punya banyak anggota Parlemen karena menduduki peringkat ke-4 di Parlemen sebagai Legislator alias Anggota DPR RI. PKI tinggal berhadapan dengan ABRI agar bisa memuluskan rencananya menguasai Pemerintahan Negara ini bila Bung Karno Wafat. Namun berulang kali usaha-usaha mereka patah, saat berhadapan dengan orang yang mereka sebut dalam fitnahan Dewan Jenderal. Dewan Jenderal merupakan sebutan untuk sebuah kumpulan khayalan PKI, dengan maksud agar dipropaganda-kan sebagai grup Jenderal penentang Bung Karno. Sebenarnya tidak ada istilah Dewan Jenderal dalam negara kita saat itu. Isu Dewan Jenderal sengaja dihembuskan PKI, namun fakta nyata saat itu menunjukkan bahwa para Jenderal yang dituduh PKI tersebut rupanya semuanya adalah Jenderal yang menentang PKI, mereka Jenderal yang sangat Pancasilais dan mencintai Bangsa serta patuh pada pemerintah yang sah. Sejatinya mereka bukan seperti yang dituduhkan PKI, yaitu diam-diam menentang Soekarno. Agar BK dan rakyat membenci mereka, maka PKI mengkondisikan agar fakta sesungguhnya bisa dibalik menjadi fitnahan untuk Dewan Jenderal, hingga ada alasan menyudutkan Pak Nas, pak Yani dan rekan. Bahkan membunuh mereka. Soeharto yang berada di luar gerbong tidak dianggap anggota Dewan Jenderal. Soeharto memang berpangkat Mayjen, namun bertugas menjadi Panglima Kostrad. Beliau berada di tengah pasukan, bukan berada di dalam pemerintahan. Otomatis PKI tidak memandang beliau sebagai sosok militer yang berbahaya. Sekarang renungkan dan baca baik-baik secara logika yang sehat. Inilah contoh nyata sepak terjang Para Jenderal yang membuat PKI naik pitam. Pada awal 60-an, untuk melawan (baca: membendung) agitasi PKI maka ABRI membentuk Partai Politik bernama Golongan Karya, saat itu PKI dengan menggunakan Bung Karno berhasil memfitnah Masyumi dan Murba sampai-sampai BK membubarkan 2 Partai yang menjadi saingan PKI ini. Terbentuknya Golkar membuat PKI kesal, sebab sangatlah sulit untuk dihancurkan karena pendirinya para Jenderal aktif. Selanjutnya ketika kampanye Dwikora yang mengeluarkan resolusi perang Ganyang Malaysia, inilah momen bagi PKI membentuk sukwan sukwani alias sukarelawan perang, dengan harapan kelak bisa mereka manfaatkan seperti Tentara Rakyat Komunis di China saat melakukan revolusi. Namun sial bagi PKI, kekuatan dan kecerdasan intelejen MT.Haryono, Suprapto, S.Parman, dan Panjaitan membuat ABRI tidak terlalu mendukung perang itu. Kita saja tahu bahwa Perang Ganyang Malaysia itu akibat provokasi PKI terhadap BK, agar mendapat bantuan senjata dan dana dari RRC, apalagi Jenderal intelejen ABRI saat itu begitu ketat memperhatikan segala gerak gerik PKI. Hingga provokasi dan segala giat PKI mampu terbaca oleh ABRI, dan akhirnya konfrontasi dengan Malaysia tidak terlalu serius dijalani dan didukung oleh ABRI Pertentangan terhadap PKI bersambung, Nasution dan Yani serta rekan-rekan kembali kompak dan keras menolak usulan angkatan kelima Buruh Tani. Ini adalah sebuah usulan gila karena PKI meminta pada BK agar buruh tani dipersenjatai oleh Negara. Petinggi ABRI sontak menolak, karena ABRI mencium adanya gerakan persiapan pemberontakan dibalik usulan ini jika Negara menyetujuinya. ABRI juga melihat ada gelagat/niat PKI untuk membentuk pasukan bersenjata yang ilegal untuk memperkuat posisi mereka, gerakan ini tercium, dan serta merta ABRI menolak keras, meski usulan itu dibalut alasan untuk perang menghadapi Malaysia. Belum lagi saat Brigjen Panjaitan menyita 50 ribu pucuk senjata mencurigakan selundupan dari RRC di Tanjung Priuk, senjata itu yang merupakan pesanan PKI, betapa hancurnya hati petualang-petualang Aidit, Syam, Nyoto, Sakirman, Lukman, Nyono, Sudisman, Latief. Hingga saking bencinya Sakirman maka dia memasukkan nama adiknya S.Parman agar turut dihabisi juga, karena S.Parman adalah Asisten Jend Yani. Contoh lain adalah ketika begitu kerasnya statemen Ahmad Yani perihal pembunuhan Pelda Sujono, anggota TNI di Bandar Betsi, Sumatera Utara oleh segerombolan Komunis, Yani dalam pidatonya memerintahkan kepada semua Prajurit angkatan darat untuk “Asah Sangkurmu” dan bersiap menghadapi Komunis dan segala kemungkinan yang akan terjadi. Artinya Yani memproklamirkan persiapan perang terhadap PKI. Puncaknya, PKI yang merasa sudah sangat dekat dengan Bung Karno kaget plus sakit hati, saat BK pun pernah mengatakan bahwa pengganti dia kelak adalah Yani. Aidit dan Syam panik luar biasa, apalagi Tim Dokter RRC mengatakan bahwa umur BK tidaklah lama lagi, antara mati atau lumpuh total. Aidit berkehendak menjadi Presiden. Namun BK berkehendak lain. Di luar dugaan BK berniat menyerahkan Negara Kepada Yani, tidak kepada Aidit. Artinya kalo Yani jadi Presiden maka kecil harapan PKI untuk menguasai atau berkiprah di negara ini. Sangat susah mereka meloloskan niat untuk mengubah Pancasila dan menjadikan Komunis sebagai ideologi Negara. Dan pasti barisan S.Parman cs sebagai Deputy dan Assisten tadi semakin solid menentang PKI. Soeharto walaupun seorang Mayor Jenderal saat itu, namun beliau tidak selalu bersama Nasution dan Yani karena lebih banyak bersama Pasukannya di Kostrad. Dia tidak ada urusan untuk berdebat dan menentang secara frontal seperti Pak Nas dan Yani karena Soeharto bukan memegang jabatan yang mengharuskan dia untuk selalu mendampingi Pak Nas atau Yani. Soeharto tidak termasuk barisan ABRI yang bisa menganulir tiap usulan sesat PKI di pemerintahan. Begitupun Brigjen Oemar Wirahadikusuma dan Kol Sarwo Edhie dan juga para Pangdam teritorial lainnya. Semua rata-rata berpangkat bintang Jenderal. Belum lagi ditambah dengan para Kepala Staf 3 Angkatan lain, kecuali Oemar Dhani yang memang terlibat PKI. Semuanya adalah Laksamana, Komodor dan Jenderal. Namun mereka semua bukan Deputy dan Assisten dari Nasution maupun Yani. PKI bergerak gegabah, dengan menganggap bahwa jika barisan Nasution dan Yani mereka hancurkan lantas, semua pasukan ABRI akan mampu mereka kuasai. Karena gerakan mereka tidak diridhoi Allah SWT, maka rencana gagal total. Rakyatpun tidak mendukung gerakan kudeta ini. Mereka teramat tidak pintar dengan menganggap kalo kepala sudah ditundukkan maka badan dan ekor akan takluk. PKI lupa bahwa ketika menghantam kepala kalajengking maka seketika buntut ekornya balas ganas menyerang dengan sengatan beracun membunuh. Ketika Pasukan gabungan dikerahkan Soeharto merangsek masuk ke wilayah Lubang Buaya, para dedengkot PKI panik. “Kita sudah kalah” ujar Brigjen Suparjo pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965. ” Jawa tengah akan berbicara teman-teman” balas Sjam Komaruzaman. Sedang Letkol Untung sepanjang hari hanya diam termenung dan sorenya kabur ke Tegal. Perhitungan PKI sangat buruk. Semakin parah kelakuan mereka dengan alih-alih percaya diri menangkap Jenderal tertinggi ABRI, di rumah Nasution, Tjakrabirawa hanya mampu menembak Balita kecil (Ade Irma gugur 6 Oktober 1965 setelah dirawat intensif), Prajurit Tjakra Kopral Hagiono memuntahkan 5 peluru menembus Balita Kecil itu, di halaman depan, pasukan menembak mati Polisi muda Satsuit Tubun, dia yang hanya piket pengawal di rumah Waperdam J Leimena, kebetulan bersebelahan dengan rumah Pak Nas. Berlanjut Saking gobloknya mereka tidak mampu membedakan mana Panglima ABRI dan mana Ajudannya. Pierre Tendean-pun mereka bawa dan di aniaya hingga gugur di Lubang Buaya. Setelah lolos dari maut, selanjutnya Nasution bergabung dengan Soeharto untuk menyusun strategi melawan PKI. Andai Soeharto terlibat PKI maka tidaklah mungkin Pak Nas mau bergabung ke beliau dan bermarkas di Kostrad, serta bahu membahu menghantam PKI. Dan jika memang Soeharto mendukung atau terlibat dengan PKI lantas apa ada saksi hidup saat itu yang melihat Soeharto bersama PKI, paling tidak apakah ada photo/dokumen yang menunjukkan dia bersama dan berkumpul bersama Aidit atau dengan pimpinan PKI lain? Dari sini saja bisa pelajari lagi. Jika memang Soeharto tidak dibunuh karena terlibat PKI, maka tidak masuk akal kenapa sepanjang perjalanan gemilang PKI sejak 1948 hingga 1965 tidak ada satu photo-pun atau dokumen tentang kebersamaan petinggi-petinggi PKI bersama Soeharto. Hanya fakta yang bisa memastikan fitnahan terhadap Soeharto ini benar atau tidak. Dan tidak ada fakta yang bisa menunjukkan keterlibatan Soeharto meski hanya selembar photo atau secarik dokumen. Kemudian, dalam persidangan Subandrio dan Oemar Dhani serta yang lainnya, apa ada kesaksian mereka yang jelas menyebut Soeharto bagian dari mereka. Karena untuk mengakui hal itu sangatlah dimungkinkan mengingat para terdakwa semuanya tipis harapan untuk lolos dari hukuman mati. Bagi mereka eksekusi mati sudah pasti, lantas mau apa lagi jika tidak mau jujur. Nyatanya tidak ada kesaksian dari mereka tentang keterlibatan Soeharto. Kesimpulan yang didapat, posisi Soeharto dianggap tidak penting, begitupun Pangdam DKI Umar dan Kasal RE Martadinata meski semua mereka adalah Jendral dan Laksamana setingkat Jenderal. Dan PKI bertindak langsung mengumumkan bahwa kekuasaan ABRI sementara diambil alih oleh Letkol Untung. Hal ini disampaikan pada pagi hari 1 Oktober 65 di RRI. PKI memperhitungkan bahwa semua Jenderal lain akan mematuhi pengumuman itu. Tapi perhitungan mereka salah besar. Justru Soeharto dan rekan-rekan yang menghancurkan mereka. Jadi tuduhan yang berkembang bahwa Soeharto tidak diculik karena terlibat PKI adalah omong kosong belaka, tuduhan memutar balik fakta khas komunis, ditambah lagi keturunan dan simpatisan PKI dendam terhadap sikap heroik Soeharto dalam membumi hanguskan semua unsur-unsur yang mengandung Komunis, Marxis dan Leninsme. Asumsi sederhana yang didapat yakni, kasus Soeharto tidak bisa disamakan ketika kejadian pada Marsekal Oemar Dhani dan Brigjen Suparjo. Kedua Jenderal ini terlibat G30S/PKI, jadi memang tidak mungkin diculik dan dibunuh. sangat berbeda dengan Mayjen Soeharto dan Brigjen Umar Wirahadikusuma dan Laksamana RE.Martadinata yang tidak terlibat PKI, mereka tidak dibunuh karena dianggap remeh PKI, dalam teori mereka cukup hanya bunuh semua pimpinan mereka di Mabes ABRI dan otomatis yang lain langsung tabik tunduk. Antara Soeharto dan mereka memang sama-sama berpangkat Jenderal dan sama-sama tidak diculik, namun yang membedakan mereka adalah status ideologi yang dianut. Dan Soeharto tidak berhaluan Komunis. Soeharto Pancasilais dan militer sejati, tidak ke kanan dan ke kiri. Setelah kekalahan telak PKI. Hanya simpatisan dan keturunan PKI yang selalu melontarkan asumsi negatif mengapa Soeharto tidak diculik, mereka juga menghembuskan isu bahwa Soeharto menjadi bagian dari pelaku G30S/PKI. Menekan Negara agar minta maaf pada PKI sekaligus mendogma anak negeri agar menerima faham ini dengan mengubah fakta pada buku pelajaran sejarah sekolah, dengan menghapus sejarah kelam G30S/PKI. Jika memang Soeharto berhaluan Komunis dan juga terlibat G30S/PKI, maka mengapa sepanjang 32 tahun berkuasa, secara luar biasa Pancasila sangat dijunjung tinggi. Entah berapa kali kami dulu diharuskan ikut Penataran P4. Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) masuk dalam kurikulum wajib di Ebtanas, mata kuliah Kewiraan di Universitas juga musti lulus. Belum lagi Resimen Mahasiswa dan ABRI masuk Desa digalakkan demi keamanan Negeri dari bahaya Laten komunis. Jika ikutan test Tentara, Polisi atau PNS, dipastikan harus lulus test Mental Ideologi dan sedikitpun tidak mentolerir jika peserta terindikasi laten walaupun keluarga jauh yang pernah terlibat, meski hanya simpatisan PKI. Jika merujuk dari cerita bahwa Soeharto tahu akan ada penculikan, saya fikir Jenderal lain juga sudah tahu, Jenderal Yani pun sudah tahu namun dia dan Pak Nas menolak agar pengamanan di rumah mereka ditambah. Dan juga sangat tidak logis jikalau hanya gara-gara mengetahui lantas langsung dituduh terlibat, mengingat kondisi Soeharto pada hari-hari kelam tersebut disibukkan oleh kejadian putranya yang masuk RS akibat tersiram air panas kuah Sup. Secara militer-pun Soeharto pasti tidak terlalu khawatir sebab dia tahu bahwa PKI tidak memiliki pasukan bersenjata. Soeharto baru mengetahui bahwa PKI memdoktrin Pasukan Tjakrabirawa menculik rekan-rekannya dari Pernyataan Letkol M Untung di RRI. Awalnya Soeharto berfikir tidak mungkin PKI dan antek-anteknya mampu menculik Para Jenderal. Intinya, yang menuduh Soeharto tidak diculik subuh itu adalah simpatisan PKI. Sebagai Bangsa yang besar seyognyanya melindungi nama baik Pahlawan. Sebaiknya Bangsa Indonesia menghargai jasa Soeharto yang menyelamatkan Indonesia dari Komunis. Andai PKI berhasil maka Negara ini dipastikan mirip dengan Korea Utara. Semoga negeri ini cerdas dalam melawan sebuah propaganda fitnah. — AN/FER -- Penulis: CEO HastaNews Referensi: Dari berbagai sumber (Infokomando) ![]() Dikutip dari JPNN, 2 Oktober 2020, Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia atau KAMI membalas ancaman mantan Panglima TNI sekaligus Kepala Kantor Staf Presiden (KSP), Jenderal (purn) Moeldoko. Dalam pernyataannya Kamis (1/10), Moeldoko meminta koalisi itu menyampaikan aspirasi sesuai jalur hukum. Moeldoko juga menyebut gerakan KAMI yang berisikan orang-orang dengan sekumpulan kepentingan memang tidak dilarang. Namun Moeldoko mengingatkan kalau gagasannya memaksakan kepentingan, maka akan ada perhitungannya. Kemudian Moeldoko meminta KAMI untuk menyampaikan aspirasi lewat jalur hukum, dan menganggap koalisi tersebut hanyalah sekumpulan kepentingan. Nah, Din Syamsuddin mengaku sudah membaca berita tentang pernyataan Moeldoko yang memperingatkan KAMI dalam nada keras mengancam. Baca Juga: KAMI Bikin Politik Panas, Moeldoko Menyampaikan Peringatan Keras Mantan ketua umum PP Muhammadiyah itu awalnya menyampaikan terima kasih karena Moeldoko sudah berbicara mewakili Istana Presiden, sekaligus menandakan bahwa pemerintah sudah membaca Deklarasi KAMI bertajuk Maklumat Menyelamatkan Indonesia. "Namun, KAMI menilai bahwa Bapak KSP Moeldoko belum membaca Maklumat tersebut dengan saksama dan apalagi memahami isinya secara mendalam," ucap Din dalam jawaban tertulis yang diterima jpnn.com, Jumat (2/10). Din Syamsuddin yang pernah mendapat tugas sebagai Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar Agama dan Perabadan itu kemudian mengajukan pertanyaan tentang jalur hukum yang dimaksud Moeldoko. Din mengatakan, bukankah penyampaian aspirasi oleh rakyat adalah sesuai dengan Hukum Dasar yaitu UUD 1945 yang memberi kepada rakyat warga negara kebebasan berserikat dan berpendapat, termasuk untuk menyampaikan pendapat di depan umum? "Ataukah mungkin permintaan untuk menyampaikan aspirasi lewat jalur hukum adalah agar KAMI menggugat pemerintah atas pelanggaran konstitusional yang dilakukannya? Suatu hal yang dapat dilakukan namun belum dipikirkan," ucap tokoh kelahiran Sumbawa, NTB ini. Alumni Pondok Modern Darussalam Gontor, Jawa Timur (1975) ini juga mengamini penilaian Moeldoko bahwa KAMI adalah sekumpulan kepentingan. "Memang KAMI mempunyai banyak kepentingan, antara lain meluruskan kiblat bangsa dan negara yang banyak mengalami penyimpangan," tegas Din Syamsuddin. Selain itu, lanjut ketua Dewan Pertimbangan MUI ini, KAMI juga punya kepentingan mengingatkan pemerintah agar serius menanggulangi Covid-19 dengan mengedepankan kesehatan dan keselamatan rakyat di atas program ekonomi dan politik (Pilkada). Kemudian, mengingatkan pemerintah agar serius memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme yang masih merajalela di lingkungan pemerintahan dengan mencabut Undang-Undang yang melemahkan KPK. Kepentingan berikutnya, mengingatkan pemerintah agar bersungguh-sungguh mengatasi ketakadilan ekonomi, mengutamakan lapangan kerja bagi rakyat sendiri bukan untuk pekerja asing, dan mencabut UU yang lebih menguntungkan pengusaha dari pada kaum buruh. KAMI juga punya kepentingan mengingatkan pemerintah untuk bertindak responsif terhadap upaya pemecahbelahan masyarakat dengan tidak membiarkan kelompok-kelompok yang anti demokrasi, intoleran, dan eksklusif dengan menolak kelompok lain seperti KAMI. "Itulah sebagian dari sekumpulan kepentingan KAMI, yang pada intinya KAMI berkepentingan agar pemerintah dan jajarannya termasuk KSP bekerja bersungguh-sungguh mengemban amanat rakyat, karena gaji yang diperoleh berasal dari uang rakyat," tegas Din Syamsuddin menanggapi pernyataan Moeldoko. (fat/jpnn) Helfia Nil Chalis www.HelfiaNet.com www.HelfiaGoOnline.com |
OUR BLOG
Gunakan Search Box di pojok kanan atas halaman ini untuk mencari artikel. Categories
All
AuthorHelfia Nil Chalis:
Archives
August 2023
|