
Seandainya semua proyek-proyek itu tetap berjalan, diperkirakan akan ada 100 mtpa oversupply yang berarti pasar akan kelebihan supply sampai tahun 2025. Namun demikian, mengambil kondisi sekarang dan mengekstrapolasikan ke masa depan belum terbukti sebagai sebuah cara yang bisa diandalkan untuk memprediksi pasar LNG. Proyek-proyek ini membutuhkan lima sampai enam tahun untuk membangunnya, dan pasar bisa saja berubah dramatis pada saat itu.
Penurunan produksi gas di Amerika Serikat membuat banyak orang memperkirakan itu sebagai pasar besar untuk LNG tetapi akibat revolusi shale gas banyak pabrik LNG yang dibangun terpaksa mencari pelanggan alternatif. Ditutupnya pabrik tenaga nuklir di Jepang akibat gempa dan tsunami di Fukushima tahun 2011, juga masa-masa harga pasar tinggi, membuat perusahaan-perusahaan merasa yakin untuk mengekspor cadangan gas mereka. Tetapi saat Amerika Serikat siap untuk mengekspor, keadaan akan berubah lagi dan mereka akan menjual ke pasar yang oversupply bersamaan dengan banyak proyek-proyek LNG Australia yang mulai beroperasi selama beberapa tahun ini.
Kesepakatan global tentang penurunan gas emisi "greenhouse" hanyalah satu faktor yang bisa menaikkan pertumbuhan kebutuhan LNG.
Analisa Woodmac melihat kompetisi antar proyek menyebabkan perusahaan-perusahaan enggan untuk menunda proyeknya. Beberapa pengembang mungkin kuatir kehilangan momentum yang bisa menguntungkan pesaing mereka dan penundaan proyek bisa berujung pembatalan proyek.
Selain itu penundaan juga bisa berimplikasi terhadap kontrak yang telah ditandatangani karena pengembang menanggung resiko kehilangan dukungan yang sudah diperolehnya. Dengan alasan-alasan itu memang terlihat terlalu dini untuk perusahaan-perusahaan ini mengumumkan penundaan proyek tanpa melihat lebih dulu bagaimana perkembangan pasar.
Sumber: Interfax Energy.
www.HelfiaNet.com